Selasa, 11 Januari 2011

Mutiara karya Syeikh Abdul Qadir Jailani,-ke 12

Risalah ke Lima Puluh
Ia bertutur:


Kau mungkin dekat kepada Allah atau jauh dari-Nya.


Jika kau jauh dari-Nya, kenapa berlengah diri, tak berupaya mendapatkan rahmat, kemuliaanmu, keamanan dan kecukupan diri di dunia ini dan di akhirat. Segeralah terbang kepada-Nya dengan dua sayap. Sayap pertama berupa penolakan akan kesenangan, keinginan-keinginna tak halal; sayap kedua berupa penanggungan kepedihan, hal-hal tak menyenangkan dan menjauh dari keinginan duniawi dan ukhrawi, agar bisa menyatu dengan-Nya dan dekat kepada-Nya. 

Maka kau peroleh segala yang diidamkan dan diraih orang. Kau menjadi demikian terhormat dan mulia. Jika kau termuliakan dengan kelembutan-Nya, menerima cinta-Nya, dan menerima kasihsayang-Nya, maka tunjukkanlah perilaku terbaik dan jangan berbangga diri dengan semua itu, agar kau tak lalai mengabdi, tak angkuh, tak lazim dan tak tergesa-gesa. Allah berfirman:


"Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh." (QS. 33:72)


"Dan manusia itu bersifat tergesa-gesa." (QS. 17:11)


Lindungilah hatimu dari kecondongan kepada orang dan keinginan-keinginan yang telah kau campakkan, dari ketaksabaran, dari ketak-selarasan dan dari ketak-ridhaan kepada Allah di kala ditimpa musibah. Campakkanlah dirimu ke hadapan-Nya dengan sikap seperti bola di kaki pemain polo yang menggulirkannya dengan stiknya, bagai jasad mati di hadapan orang yang memandikannya, dan bagai bayi di pangkuan ibu. 

Butalah terhadap segala selain-Nya agar tak kau lihat sesuatu pun selain-Nya - tiada kemaujudan, kemudharatan, manfaat, karunia dan penahan karunia. Anggaplah orang dan sarana duniawi di kala menderita dan ditimpa musibah sebagai cambuk-cambuk-Nya yang dengan keduanya Ia mencambukmu. Dan anggaplah keduanya di kala suka sebagai tangan-Nya yang menyuapimu.

Risalah ke Lima Puluh Satu
Ia bertutur:


Orang saleh menerima pahala dua kali lipat. Pertama, karena penolakannya akan dunia, sehingga ia tak terpesona olehnya, bertentangan dengan kedirian, dan memenuhi perintah Allah, sehingga ia terpilahkan darinya. Bila ia menjadi musuh diri, maka ia menjadi pentahkik kebenaran, pilihan Allah, badal dan arif (yang tahu kebenaran). 

Maka ia diperintahkan untuk berhubungan dengan dunia, sebab kini dalam dirinya maujud sesuatu yang tak dapat dibuang dan tak tercipta dalam orang lain. Setelah hal itu tertulis, pena takdir menjadi kering, dan tentangnya Allah telah tahu sebelumnya. 

Bila perintah telah dipenuhi, maka ia mengambil bagian duniawinya atau, dengan menerima ma'rifat, ia berhubungan dengan dunia dengan berlaku sebagai wahana takdir dan tindakan-Nya, tanpa keterlibatannya, tanpa keinginannya dan tanpa upayanya - ia dipahalai karena hal ini untuk kedua kalinya, karena ia melakukan semua ini demi mematuhi perintah Allah.


Bila dikatakan - bagaimana mungkin kau menyatakan tentang pahala orang yang telah berada pada maqam ruhani yang sangat tinggi dan yang, menurutmu, telah menjadi badal dan arif, telah lepas dari orang, kedirian, kesenangan, kehendak dan harapan akan pahala atas kebajikannya, orang yang hanya melihat di dalam semua kepatuhan dan penyembahannya kehendak Allah, kasih-Nya, rahmat-Nya, pemudahan-Nya dan pertolongan-Nya, dan orang yang percaya bahwa ia hanyalah hamba hina Allah, tak berhak menentang-Nya, dan melihat bahwa dirinya, gerak-geriknya dan upaya-upayanya sebagai milik-Nya. 

Bisakah dikatakan, tentang orang semacam itu bahwa ia dipahalai, mengingat ia tak meminta upah atau sesuatu yang lain sebagai balasan bagi tindakannya, dan tidak melihat sesuatu tindakan sebagai berasal darinya, tapi memandang dirinya sebagai orang yang hina dan miskin akan kebajikan? 

Jika dikatakan demikian, maka jawabannya adalah: "Kamu telah berkata benar, tapi Allah menganugerahkan rahmat-Nya baginya, membelainya dengan rahmat-Nya dan membesarkannya dengan kasih, kelembutan dan karunia-Nya; bila ia telah menahan tangannya dari hal-hal, dari dirinya, dari meminta kenikmatan-kenikmatan yang disisihkan bagi kehidupannya. 

Dan dari menepis kemudharatan yang timbul darinya, maka ia menjadi seperti bayi yang tak berdaya dalam hal-hal dirinya, yang diasuh dengan kelembutan rahmat-Nya dan rizki dari-Nya lewat tangan kedua orang tuanya, yang menjadi pembimbing dan penjaminnya."


Bila telah Dia jauhkan darinya segala ketertarikan dalam hal-halnya, maka Ia membuat hati orang condong kepadanya dan melimpahkan kasih dan sayang-Nya di hati orang, sehingga mereka lembut terhadapnya, condong kepadanya dan memperlakukannya dengan baik. 

Dengan begini segala selain Allah menjadi tak berdaya kecuali dengan kehendak-Nya dan, menimpali rahmat-Nya, menghamba kepada-Nya di dunia ini dan di akhirat untuk menjaganya dari segala musibah. Nabi Saw bersabda:


"Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran)
dan Dia melindungi orang-orang saleh."


Risalah ke Lima Puluh Dua
Ia bertutur:


Allah menguji sekelompok mukmin yang menjadi khalifah-khalifah-Nya dan yang memiliki ilmu ruhani, agar mereka berdoa kepadanya, dan Dia senang menerima doa-doa mereka. Bila mereka berdoa, Ia senang menerima doa mereka, agar bisa Ia anugerahi kemurahan haknya, sebab ia memohon kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung di kala mereka berdoa untuk menerima doa mereka, dan kadang-kadang tidak segera diterima, bukan karena ditolak. 

Maka sang hamba Allah mesti menunjukkan sikap baik di kala ditimpa musibah, dan menelaah apakah ia telah mengabaikan perintah atau melanggar hal-hal terlarang, secara nyata atau tersembunyi, atau menyalahkan ketentuan-Nya, karena lebih sering ia diuji sebagai hukuman atas dosa-dosa semacam itu. 

Bila musibah berlalu, dia mesti selalu berdoa, berendah diri, meminta maaf dan memohon kepada Allah, karena mungkin ujian itu dimaksudkan untuk membuatnya terus berdoa dan memohon; dan ia tak boleh menyalahkan Allah karena penundaan pengabulan doanya sebagaimana telahkami bicarakan.


Risalah ke Lima Puluh Tiga
Ia bertutur:


Mintalah kepada Allah keridhaan akan ketentuan-Nya, atau kemampuan meluruh dalam kehendak-Nya. Sebab di dalam hal ini terletak kesenangan dan keunikan besar di dunia ini, dan juga gerbang besar Allah dan sarana untuk dicintai-Nya. Barangsiapa dicintai-Nya, maka Ia tak menyiksanya di dunia ini dan di akhirat.Dalam dua kebajikan ini terletak hubungan dengan Allah, kebersatuan dengan-Nya dan keintiman dengan-Nya. Jangan bernafsu berupaya meraih kenikmatan hidup ini, karena hal ini tak dimaksudkan bagimu. 

Bila hal itu tak dimaksudkan, maka bodolah bila berupaya mendapatkannya, dan hal itu juga sangat dikutuk, sebagaimana dikatakan: "Di antara siksa paling besar ialah berupaya meraih yang tak ditentukan oleh-Nya.

"Dan bila hal itu dimaksudkan, hal itu hanyalah kesetiaan yang dibolehkan dan tersendiri dalam pengabdian, cinta dan kebenaran. Berupaya kera meraih segala selain Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung adalah syirik. Orang yang berupaya mendapatkan kenikmatan duniawi, tak tulus dalam cinta dan persahabatannya dengan Allah, siapa pun yangmenyekutukan-Nya, maka ia pendusta.


Begitu pula, orang yang mengharapkan balasan bagi tindakannya adalah tak ikhlas. Keikhlasan ialah mengabdi kepada Allah hanya untuk memberi Rabubiyyah, yaitu sifat Allah yang mengatur alam semesta, pembuluhnya. Orang seperti itu mengabdi kepada-Nya karena Ia adalah Tuhannya dan patut diabdi, dan wajib baginya berbuat kebajikan dan patuh kepada-Nya, mengingat bahwa ia sepenuhnya milik-Nya, begitu pula gerak-geriknya, dan upayanya. 

Hamba dan segala miliknya milik Tuannya. Bukankah harus begitu? Sebagaimana telah kami nyatakan, semua pengabdian merupakan rahmat Allah dan karunia-Nya atas hamba-Nya, karena Dialah yang memberinya daya bertindak dan daya mengatasinya.


Maka, senantiasa bersyukur kepada-Nya lebih baik daripada meminta balasan dari-Nya atas kebajikannya. Kenapa kau berupaya keras meraih kenikmatan duniawi, bila telah kau lihat sejumlah besar orang, bila kenikmatan duniawi berlimpah tak berkeputusan, mereka kian sedih, cemas dan haus akan hal-hal yang tak dimaksudkan bagi mereka? 

Bagian duniawi mereka tampak timpang, kecil dan menjijikkan,dan bagian duniawi yang lain tampak indah dan agung bagi hati dan mata mereka, dan mulailah mereka berupaya meraihnya meski hal itu bukan hak mereka. 

Dengan begini, kehidupan mereka berlalu dan daya mereka menjadi sirna, dan mereka menjadi tua, kekayaan mereka menjadi habis, tubuh mereka menjadi renta, kening mereka berkeringat, dam catatan kehidupan mereka menjadi gelap oleh dosa-dosa mereka, upaya keras mereka dalam meraih hak orang lain, dan oleh pengabaian mereka terhadap perintah-Nya. 

Mereka gagal mendapatkannya, menjadi miskin dan merugi dalam kehidupan ini dan di akhirat, karena itu, mereka berupaya mendapatkan pertolongan-Nya untuk mengabdi kepada-Nya. Mereka tak mendapatkan yang mereka upayakan, tapi hanya memubazirkan kehidupan duniawi dan akhirat mereka; merekalah seburuk-buruk orang, sebodoh-bodoh orang, sekeji-keji orang dalam nalar dan batin.


Mereka menjadi ridha kepada takdir-Nya, puas dengan karunia-Nya dan patuh kepada-Nya. Bagian duniawi mereka datang kepada mereka tanpa diupayakan dan dicemaskan; mereka menjadi dekat dengan Allah yang Mahamulia, dan menerima dari-Nya segala yang mereka dambakan. 

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang ridha dengan ketentuan-Nya, yang meluruh dalam kehendak-Nya dan yang mendapatkan kesehatan dan kekuatan ruhani untukmelakukan yang dikehendaki-Nya.


Risalah ke Lima Puluh Empat
Ia bertutur:


Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya mengabaikan dunia. Barangsiapa menghendaki Allah, maka wajib baginya mengabaikan kehidupan akhirat. Ia harus mencampakkan kehidupan duniawinya demi Tuhannya. Selama keinginan, kesenangan dan upaya duniawi dan di dalam hatinya seperti makan, minum, berbusana, menikah, tempat tinggal, kendaraan, jabatan, ketinggian dalam pengetahuan tentang lima pilar ibadah dan hadis dan penghafalan Al-Quran dengan segala bacaan, bahasa dan retorikanya. 

Begitu pula keinginan akan lenyapnya kemiskinan, maujudnya kekayaan, berlalunya musibah, datangnya kesenangan, hilangnya kesulitan dan datangnya kemudahan - jika keinginan semacam itu masih bersemayam di dalam benak orang, maka itu tentu bukan seorang saleh, karena dalam segala hal ini ada kenikmatan bagi diri manusia dan keselarasan dengan kehendak jasmani, kesenangan jiwa dan kecintaannya. 

Hal-hal ini merupakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya orang senang kebaikan, dan dengannya orang mencoba mendapatkan kepuasan dan ketentramanjiwa.


Orang harus berupaya meniadakan hal-hal ini dari hatinya, dan mempersiapkan diri untuk meniadakan semua ini dan mensirnakannya dari jiwa, dan berupaya bersenang dalam peluruhan dan kemiskinan, sehingga tiada lagi di dalam hatinya kesenangan mengisap biji korma, sehingga pematangannya dari kehidupan duniawimenjadi suci.


Bila ia telah menyempurnakannya, segala dukacita hatinya dan kecemasan benaknya akan sirna, dan datanglah kepadanya kesenangan, kehidupan yang baik dan keintiman dengan Allah, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw:


"Mengabaikan dunia menimbulkan kebahagiaan hati dan jasmani."


Tapi selama masih ada di dalam hatinya kesenangan kepada dunia ini, maka dukacita dan ketakutan tetap bersemayam di dalam hatinya, dan kehinaan mengiringnya, begitu pula keterhijaban dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, oleh tabir tebal yang berlipat-lipat. Semua ini tak beranjak, kecuali melalui kecintaan akan dunia ini dan pemutusan darinya.


Ia harus mengabaikan kehidupan akhirat, agar tak menghendaki kedudukan dan derajat tinggi, pembantu-pembantu cantik, rumah-rumah, kendaraan, busana, hiasan, makanan, minuman, dan hal-hal lain sejenisnya, yang disediakan oleh Allah Yang Mahabesar bagi hamba-hamba beriman-Nya.


Maka janganlah mencoba mendapatkan balasan, atas sesuatu tindakan, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung di dunia ini atau di akhirat. Dengan demikian Allah akan memberi balasan sebagai rahmat dan kemurahan-Nya. 

Maka Ia kan mendekatkan kepada-Nya dan melimpahkan kelembutan-Nya, dan Ia memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai karunia dan kebajikan, sebagaimana Ia berlaku terhadap para Nabi dan utusan-Nya, terhadap kekasih-kekasih-Nya. 

Maka setiap hari, dalam hidupnya, urusannya kian sempurna, dan di bawalah ia ke akhirat untuk mengecap yang tak terlihat oleh mata, yang tak terdengar oleh telinga, dan yang tak terpikirkan oleh manusia, yang sungguh tak dapat dipahami dan tak dapat dijelaskan.


Risalah ke Lima Puluh Lima
Ia bertutur:


Kesenangan hidup dicampakkan tiga kali. Pada awalnya sang hamba Allah berada dalam kegelapan, kejahilan dan kekacauan, bertindak berdasarkan dorongan-dorongan alaminya dalam segala keadaan, tanpa sikap pengabdian terhadap Tuhannya dan tanpa memperhatikan hukum agama. 

Dalam keadaan begini, Allah memandangnya penuh kasih, maka dianugerahkan-Nya kepadanya pengingat dari sesamanya, seorang hamba saleh-Nya. Dan kawan pengingat ini juga terdapat dalam dirinya sendiri. Kedua pengingat ini jaya atas dirinya, dan peringatan menimbulkan pengaruh pada jiwanya. 

Maka noda yang ada padanya, seperti memperturutkan kehendak dirinya dan penentangannya terhadap kebenaran, sirna. Maka condonglah ia kepada hukum Allah dalam segalagerak-geriknya.


Menjadilah sang hamba Allah itu seorang Muslim di hadapan hukum-Nya, lepas dari alamnya, membuang hal-hal haram duniawi, begitu pula hal-hal yang meragukan dan pertolongan orang. 

Maka ia melakukan hal-hal yang halal dalam makan, minum, berpakaian, menikah, bertempat tinggal dan lain-lain: dan semua ini sangat muhim bagi kesehatan jasmani dan bagi mendapatkan kekuatan untuk mengabdi kepada-Nya, agar ia bisa memperoleh bagian dan orang tak bisa melampauinya - takkan luput dari kehidupan duniawi ini sebelum meraihdan menyempurnakannya. 

Maka ia berjalan di atas jalur kebenaran dalam keadaan hidupnya, sehingga hal ini membawanya ke maqam tertinggi wilayat dan menjadikannya pembukti kebenaran dan orang pilihan, yang memiliki pernyataan yang kukuh, yang haus akan hakikat, yaitu Allah. 

Maka ia makan dengan perintah-Nya, dan (sang salik) mendengar suara Allah di dalam dirinya berkata, "Campakkanlah dirimu dan campakkanlah kesenangan dan ciptaan, jika kau menghendaki sang Pencipta. 

Lepaskanlah sepatu dunia dan akhiratmu. Nafilah dari segala kemaujudan, hal-hal yang akan maujud dan segala dambaan. Lepaslah dari segala suatu. 

Berbahagialah dengan Allah, campakkanlah kesyirikan dan ikhlasan dalam kehendak. Mendekatlah kepada-Nya dengan hormat, dan jangan memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi, orang-orang dankesenangan." Bila ia meraih maqam ini, maka ia menerima busana kemuliaan dan aneka karunia. 

Dikatakan kepadanya, busanailah dirimu dengan rahmat dan karunia, jangan berburuk-laku menilaj dan menampik keinginan-keinginan, karena penolakan terhadap karunia raja sama dengan menekannya dan meremehkan kekuasaannya. Maka ia terselimuti karunia dan anugera-Nya tanpa berupaya.


Sebelumnya ia terkuasai oleh keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan dirinya. Maka dikatakan kepadanya, "Selimutilah dirimu dengan rahmat dan karunia Allah." Maka baginya empat keadaan, dalam meraih kenikmatan dan karunia. Yang pertama ialah dorongan alami, ini tak halal. 

Yang kedua ialah hukum, ini diperbolehkan dan absah. Yang ketiga adalah perintah batin, ini adalah keadaan para wali dan pencampakan keinginan. Yang keempat ialah karunia Allah, ini adalah keadaan lenyapnya tujuan dan tercapainya badaliyya dan keadaan menjadi objek-Nya, yang berdiri di atas ketentuan-Nya; ini adalah keadaan tahu dan keadaan memiliki kesalehan, dan tak seorang pun bisa disebut saleh, jika ia belummeraih maqam ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah:


"Sesungguhnya Waliku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab dan Ia adalah Wali orang-orang saleh (bajik)."(QS. 12:196).


Menjadilah ia seorang hamba yang tertahan dari menggunakan sesuatu, memanfaatkan diri dan dari menolak sesuatu yang mudharat baginya. Ia menjdai seperti bayi di tangan perawat dan seperti jasad mati yang sedang dimandikan orang. 

Maka Allah membesarkannya tanpa kehendaknya dan tanpa upayanya, ia lepas dari segala hal ini, tak berkeadaan atau bermaqam, tak berkehendak melainkan berada di atas ketentuan-Nya, yang kadang menahan, kadang memudahkannya, kadang membuatnya kaya dan kadang membuatnya miskin. Ia tak punya pilihan, dan tak menghendaki berlalunya keadaan dan perubahannya. 

Sebaliknya, ia menunjukkan keridhaan abadi. Inilah keadaan ruhani terakhir yang dicapai oleh para badal dan wali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar