Sabtu, 15 Januari 2011

Kajian Al Qur’an-materi-ke 15

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 

Materi Bagian #11 (lanjutan) – 11.1

Lebih Lanjut tentang Ad-Diin Al-Islam: Sebuah Skema Perjalanan

Pendahuluan

Thaahaa [20]:82:
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.

Allah menjadi Maha-Pengampun kepada yang:
(1) taubat
(2) iman
(3) beramal shaleh
kemudian terpimpin ke Shirath al-Mustaqim

Proses tajrid hawa dan syahwat untuk menuju Allah (proses dari 1,2 3, )

Kembali kita lanjutkan pembahasan di seputar topik Ad-Diin—Shirat al-Mustaqiim—al-Haqq, yang dikaitkan dengan “jalan kembali” dalam rangkaian Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma’rifat yang telah diawali dalam pertemuan minggu yang lalu. Kita akan menggunakan lagi ayat QS Thaahaa [20]: 82 untuk memulai pembahasan.

Terlihatlah pada rangkaian istilah-istilah pada ayat tersebut bahwa untuk menjadi seorang yang “ahtada” (terpimpin, terpandu, terbimbing, tertunjuki) [4], maka dari seorang hamba dituntut amal-shaleh [3], yang amal-shaleh itu haruslah dilakukan oleh seorang yang memiliki cahaya keimanan [2] yang Allah al-Mu.min limpahkan kepada qalb-nya, yang untuk memperolehnya seseorang itu mesti bertaubat [1] sepenuhnya kepada Tuhan.

Terpimpin atau tertunjuki di sini maksudnya adalah sebagaimana yang senantiasa kita panjatkan dalam QS Al-Fathihah [1]: 6, “Ihdinash Shirath al-Mustaqiim.” Dan kita telah membahas pula mengenai landasan masalah ini, sebagaimana rekaman ucapan Nabi Allah Ibrahim a.s. dalam QS Al-An’am[6]:161 berikut ini:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Ad-Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).

Singkat kata, yang dimaksud dengan Shirath al-Mustaqiim itu adalah Ad-Diin.

Ad-Diin Mensyaratkan Ma’rifatullah

Kaitan antara Ad-Diin dengan Ma’rifatullah dapat kita telaah berdasarkan dua rumusan kunci berikut ini:

1) Awaludiinna ma’rifatullah (Awal dari agama, ad-diin, adalah mengenal, ma’rifat, Allah) [Imam ‘Ali kw].

2) Man ‘arfa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barangsiapa mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Tuhannya) [Hadits Rasulullah SAW.].

Dari dua rumusan di atas dapatlah kita meletakkan istilah Ad-Diin di dalam skema berikut ini:

(Gambar 1)
Secara sederhananya Ad-Diin itu merupakan suatu sikap atau akhlaq kepada Allah. Dari pengalaman sehari-hari, terlihatlah bahwa sikap kita kepada seseorang atau sesuatu tergantung kepada pengenalan kita terhadap siapa seseorang itu, atau apakah sebenarnya sesuatu itu. Misalnya, kita di tengah perjalanan di kegelapan malam mendapati sebuah api unggun. Kita akan dapat mengambil sikap yang tepat setelah mengenali api unggun tersebut. Jika kita berdiri terlau dekat maka kita akan kepanasan atau malahan terbakar. Sedangkan jika kita berdiri terlalu jauh dari api tersebut, maka kita tidak akan memperoleh manfaatnya. Kita akan tetap berada dalam kegelapan, atau kedinginan. Berdasarkan pengenalan kepadanya, maka kita akan dapat mengukur diri, menentukan jarak yang tepat, dan menempatkan diri pada kedudukan yang tepat dari api unggun tersebut.

Begitu juga kepada Allah. Untuk dapat bersikap atau berakhlaq yang tepat kepada-Nya, maka kita harus mengenal–Nya. Jadi, ma’rifatullah itu, katakanlah, sama dengan mengenal Dia yang disebut ALLAH. Sebelum itu dapatlah kita mempertanyakan diri kita sendiri: jika kita tidak kenal (‘arif) kepada Allah, maka apakah atau siapakah sebenarnya yang kita abdi, kita sembah, kita sujudi itu?

Pengenalan kepada Allah bergantung sampai sejauh mana hijab yang membentang antara sang hamba dengan Allah itu dapat tersingkap. Semakin tersingkap hijab, semakin sang hamba mengenal Allah. Istilah “Allah” sebagai asma yang “maha meliputi” dapat kita mulai membedahnya dari cara penulisannya sendiri. Dari situ saja dapat kita identifikasi tiga tingkat kedudukan dari yang disebut “Allah” itu: (1) Sebagai “Rabb” atau Tuhan; (2) Sebagai “ilah”; dan (3) Sebagai Dzat.

(Gambar 2)
Dari dua rumusan kunci di atas tadi: (1) Awaludiinna ma’rifatullah, dan (2) Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu, maka dapatlah kita menyusun suatu formula bahwa: “Awaludiina ma’rifatun nafs.” Awal dari beragama adalah mengenal jiwa (nafs). Jadi, diawali dengan mengenal nafs, lalu mencari rahmat Allah agar dapat dibantu dengan qalb dan ‘aql—yang ke duanya merupakan aspek dari iman—selanjutnya mencari Rahmat Allah berikutnya berupa penguatan dengan Ruh al-Quds (QS Al-Mujaadilah [58]: 22), agar dapat mengenal Allah (ma’rifatullah); barulah dapat memahami ad-Diin.

(Gambar 3)

Di dalam konteks ma’rifatun nafs itulah kita dapat mendudukkan ke tiga tingkatan nafs seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Jadi berdasarkan struktur internal manusia yang dibahas dalam QS An Nuur [24]: 35, kedudukan nafs itu ada diantara dua aspek lainnya, yaitu jasad dan ruh. Nafs ini, yang merupakan hakikat insan, yang diperebutkan pengendalian- nya diantara ruh dan jasad.

(Gambar 4)
Ke tiga kategori nafs berikut ini terjadi karena proses menarik itu:

1) Al-Nafs al-Mutma’innah.
Nafs yang dipengaruhi oleh ruh; nafs yang tenang, yang menjadi pengendali jasad. Dijelaskan dalam QS Al-Fajr [89]: 27.

2) Al-Nafs al-Lawamah.
Nafs yang tidak stabil, terkadang terpengaruh ruh, terkadang terpengaruh jasad. Nafs yang lemah, goyah, penuh dengan keluh-kesah, sering merasa kagum-diri atau sebaliknya rendah diri. Tertera pada QS Al-Qiyamah [75]:2.

3) Al-Nafs al-Amarah bissu’.
Nafs yang dipengaruhi oleh jasad, dikendalikan oleh Hawa dan Syahwat. Nafs inilah yang selalu mengajak dan menyuruh kepada kejahatan. Dicantumkan dalam QS Yusuf [12]: 53.

Kita harus memohon RAHMAT (pertolongan)-Nya agar nafs terbebas dari kungkungan hawa dan syahwat. Inilah cara semestinya—jadi bukannya dengan mengandalkan diri sendiri. Demikianlah anjuran yang dicantumkan dalam QS Yunus [12]: 53. Jelaslah bahwa ma’rifatullah, yang diawali dengan ma’rifatun-naas itu merupakan syarat agar kita dapat memiliki pandangan yang haqq tentang Allah. Dan itu baru bisa terjadi jika hijab tersingkap. QS Thaahaa [20]:82 di atas menunjukkan alur penyingkapan hijab. Ini terutama pada bagian keimanan dan beramal shaleh (atau = taqwa). Salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan dalam QS Al-Mujaadilah [58]: 22:

• Mencintai Allah.
• Membenci siapa pun yang tidak mencintai Allah.
• Mengikuti Rasul, sebagai jalan untuk mencintai Allah (lihat pula QS Ali ‘Imran [3]: 31).

Taqwa itu di qalb, sehingga sulit diamati. Yang boleh-jadi tampak adalah amal-shaleh. Tetapi ini pun sebenarnya sulit dipastikan, karena amal-shaleh itu mesti dibedakan dengan amal-baik. Bagaimanapun, perlulah kita membiasakan diri senantiasa mengabdi secara sepenuhnya kepada Allah dengan ikhlas—artinya tidak perlu penyaksian, pengakuan, ataupun pengukuhan dari makhluk.

Tauhid

Dari tiga tingkat kedudukan yang disimpulkan dari istilah “Allah” di atas, maka disusun tiga tingkatan dalam tauhid:

(Gambar 5)

1) Tauhid Uluhiyah, disebut juga Al-Huwiyah.
Dia (Huwa atau Hu saja) sebagai Dzat yang Esa. Hanya “Dia” saja yang mengenal “Dia”. Tidak ada sesuatu pun yang dapat bernama Allah, tiada sesuatu dapat dibandingkan dengan Dia, “laisa kamitslihi syai’un” (QS 42:11). Sebagai Dzat, Dia tidak tersentuh, terjangkau, terfahami manusia.

2) Tauhid Ilahiyah
Tauhid Ilahiyah (DIA berperan sebagai ILAH yang disembah makhluk).

3) Tauhid Rubbubiyah
Di dalam Tauhid Rubbubiyah, Dia berperan sebagai yang memelihara serta menjaga alam. Kita mendengar kicauan burung, desir angin, debur ombak. merasakan sejuk, panas, segar, nyaman, kesemuanya itu karena RUBBUBIYAH yang menjaga alam. Andaikan Dia terlena sesaat saja maka hancur runtuhlah salam ini. Jadi RABB adalah DIA yang memelihara alam, yang memelihara kita.

Ilahiyah dan Rubbubiyah inilah yang dimaksud dengan wajah Allah. Sedangkan jika Allah menggunakan istilah “Kami” di dalam Al-Qur'an, maka yang dimaksud adalah ke tiga tingkatan tersebut sekaligus.

Pengetahuan nalar manusia saat ini hanya dapat memahami Alam-Raya yang nyata saja. Di dalam alam-raya itu kita bertempat tinggal di Galaxy ini, yakni tempat matahari kita ini, dan kita tinggal di salah satu dari planetnya (bumi). Padahal salah satu hadits Rasulullah SAW. menyebutkan bahwa terdapat 18.000 alam. Dari ke empat materi yang membentuk manusia saja dapat terbentuk beberapa alam. Dengan kekuatan nafakh ruh, maka unsur-unsur materi dasar ini: Api, air, udara, tanah membangun jasad. Alam jin tersusun dari unsur api, yang dari unsur ini saja dapat tersusun alam-alam lainnya lagi yang tidak kita ketahui. Demikian pula unsur-unsur lainnya, seperti air dan tanah.

Jika satu Alam Raya, misalnya dimana Galaxy kita ini berada, bagaikan selembar kertas, maka bumi kita itu ukurannya demikianlah kecilnya—sehingga tidak akan nampak. Lalu dimanakah diri kita—hanya seorang manusia diantara milyaran manusia penghuni bumi—tentulah tidak akan tampak sama sekali. Sementara itu kita memerlukan Allah sebagai Rabb yang memelihara, mengayomi, mengurus diri kita. Apakah yang kita miliki selain harapan kepada-Nya? Tidakkah ini menegaskan pentingnya qalb yang suci, bersih, sebagai sarana kita membangun komunikasi dengan Allah—sehingga di situ kita dapat berseru dapat menjerit kepada-Nya. Allah tidak melihat wajahmu, tapi melihat hatimu. (Hadits Rasulullah SAW).

Pada tingkat kesucian apa pun seseorang saat ini berada, jika ia tidak memiliki aspirasi untuk mengabdi kepada-Nya maka tidak sedikit pun ia bergerak kepada-Nya. Berdiam diri berarti membeku, mandek; tidak bergerak kepada-Nya. Di lain pihak, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi gerakan menuju-Nya, jika seseorang menyikapi dirinya sebagai seorang hamba Allah. Seorang abdi Allah. Karena itu salah satu godaan paling mendasar dari syaithan adalah dengan mebuatnya asyik memandang orang lain, sehingga terlena kepada kedudukannya sendiri yang adalah seorang abdi. Seorang hamba tentunya tidak punya urusan memasalahkan urusan hamba yang lain. Dia akan berkonsentrasi dalam pengabdiannya sendiri.

Dalam Tauhid Ilahiyah yang disebutkan di atas, maka pengabdian kepada-Nya itu dilakukan melalui penyembahan. Cara penyembahan itu berbeda-beda dalam setiap alam tempat sang hamba tinggal. Ditambah lagi, dalam alam yang sama pun, hijab yang dimiliki seorang penghuninya berbeda dengan milik penghuni yang lain. Kita menyembah/mengabdi kepada Allah sesuai dengan cara yang ada di alam kita, karena kita menyatu dengan alam tempat kita tinggal. Pada alam ini, bentuk penyembahan kepada Allah terdapat didalam Al-Qur'an-al-Karim dan Hadits.
Untuk dapat mengabdi dengan tepat kepada Allah dituntut akhlak yang benar, di sinilah diperlukan Ad-Diin.

(Gambar 6)
Dengan pemahaman Ad-Diin maka seseorang dapat mengorbit dengan berporos pada Allah (ta’at kepada Allah). Setiap individu harus mencari posisi tasbihnya—masing-masing berupaya menjadi salah satu dari butir-butir tasbih.

Yang Merugi dan Yang Beruntung

“…….. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat [49]:11).

Jika rangkaian pada ayat pembuka di muka tadi dimulai dengan taubat, maka siapa saja yang tidak bertaubat disebut zalim. Golongan ini (Az-Zalim) disebut pula Golongan Syaithan atau Golongan Yang Merugi

Al-Qur'an sendiri menegaskan akibat-akibat dari zalim itu, antara lain:
1) Ditinggalkan Allah, QS Maryam [19]: 71 – 72.
2) Tidak diberi petunjuk dari Allah, QS Al-Maidah [5]:51; Taubah [9]: 19, 109.
3) Pemimpinnya adalah Syaithan, QS Al-A’raf [7]: 27, yang menyebabkan:
• Qalb-nya keras melebihi batu, QS Al-Baqarah [2]: 74.
• Syaithan menampakkan indah yang mereka kerjakan, QS Al-An’am [6]: 43).
• Syaithan menguasai mereka, QS Al-Mujaadilah [58]: 19.
• Mereka dibuat lupa kepada Allah, QS Al-Mujaadilah [58]: 19.

Pada QS Maryam [19]:71 – 72, dinyatakan bahwa semua orang akan menuju neraka, kemudian orang yang bertakwa diselamatkan, sementara orang yang zalim dibiarkan, atau tidak diberi petunjuk. Ini karena memang ia tidak bertaubat, sehingga tidak mendapat iman. Qalb-nya mati, sakit, atau membatu karena tidak dihidupi oleh cahaya-iman. Hatinya tertutup buat Allah, terbuka untuk Syaithan. Akhirnya Syaithan menguasai mereka, yang menyebabkan mereka memandang indah dan benar setiap perbuatannya, akhirnya mereka melupakan Allah.

Sangat berat akibat dari melupakan Allah, yaitu mereka akan lupa kepada diri sendiri, sebagaimana dinyatakan ayat ini:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS Al-Hasyr [59]: 19).

Akibat lupa kepada Allah, seseorang itu menjadi orang-fasik, yaitu orang yang lupa siapa dirinya, lupa apa tugasnya, lupa apa tujuannya. Setelah mereka melupakan Allah, maka Syaithanlah yang memimpin mereka, maka mereka disebut Hizbusy Syaithan (Golongan Syaithan), dan disebut pula Al-Khaasiruun (Golongan yang Merugi).

Kebalikan dari golongan yang disebutkan di atas adalah Golongan yang Beruntung, yang disebut juga Golongan Allah. Inilah golongan yang mengikuti QS Thaahaa [20]: 82 di atas, sampai senantiasa terbimbing oleh petunjuk. Keseluruhan proses ini dimulai dengan taubat. Sebagaimana dinyatakan dalam QS Thaahaa [20]: 122, maka Allah:

• memilih hamba-hamba-nya untuk bertaubat,
• menerima taubatnya,
• memberi petunjuk.

Adalah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap hamba untuk bertaubat, sampai memperoleh petunjuk yang haqq bahwa taubatnya diterima.

Tertera pada QS Maryam [19] ayat 72 bahwa Allah hanya menyelamatkan orang-orang yang taqwa, dan mereka-mereka inilah yang termasuk ke dalam Hizbullah (Golongan Allah), atau disebut pula Al-Muflihuun (Golongan yang Beruntung).

Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar