Minggu, 26 Agustus 2012

HIKMAH HALAL BI HALAL




Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Saudaraku..."
...
Sekalipun hanya melalui dunia maya dan diruang rubrik ini , tiada salahnya jika kita melakukan " HALAL BI HALAL.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan izin-Nya jua kita dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka acara Halal Bi Halal yang terkait erat dengan Hari raya Idul Fithri 1433 Hijriyah.

Kemudian marilah kita sampaikan salam serta shalawat kepada Jujungan kita: Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, serta para pewaris Ilmu Tauhidnya.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 2012 atau 1 Syawal 1433 Hijriyah, seluruh umat Islam di dunia telah merayakan Hari Raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan, karena telah berhasil melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh, dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.

Setiap umat Islam di seluruh dunia mempunyai tradisi yang berbeda-beda ketika merayakan hari Raya Idul Fithri tersebut, sesuai dengan ciri khas bangsanya masing-masing. Walaupun terjadi perbedaan tradisi dalam merayakannya, tetapi dari segi esensi atau nilai-nilai dasar syariah Islam tidaklah terjadi perbedaan dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri tersebut.

Kita sebagai umat Islam yang berdomisili di Indonesia, mempunyai tradisi Halal bi halal yang biasanya dilaksanakan dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi sesama umat muslim. Dalam acara Halal bi halal tersebut biasanya diselingi dengan acara ceramah keagamaan yang berkaitan dengan Hikmah-hikmah Idul Fithri, yang Insya Allah dapat mempertajam kerohanian dan keimanan kita kepada Allah SWT.

Pada acara Halal bi halal kali ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah yang berkaitan dengan peringatan hari Raya Idul Fitri, yaitu Hikmah Halal bi halal.

PEGERTIAN HIKMAH DAN HALAL BI HALAL

Secara umum, hikmah, yang dalam kamus umum bahasa Indonesia dimengerti sebagai “arti yang mendalam”, biasa dipetik di dalam dua perspektif atau pandangan. Pertama, dalam perspektif yang “aktulistis”. Dan kedua alam perspektif “historis”.

Melalui sisi pandang ini, hikmah sebagai “pelajaran” akan dipahami dalam dua “wajah”, yakni hikmah dari sebuah kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, maupun hikmah dari sebuah kebenaran, keburukan dan kesalahan.

Sedangkan, istilah Halal bi halal secara harfiah mempunyai arti halal dengan halal atau halal atas halal. Tetapi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, Halal bi halal mempunyai makna yang sangat luas, yaitu suatu pola hubungan silaturahmi antar sesama umat muslim yang diwujudkan dalam suatu kegiatan atau acara keagamaan, yang juga disertai dengan saling memaafkan, dan dijiwai oleh nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dan nilai-nilai Idul Fithri.

Berkaitan dengan masalah hikmah yang dipandang dari sisi aktualistis, setiap orang diharapkan bisa mengambil arti yang mendalam atau hikmah dari sebuah peristiwa, yang terjadi dalam kehidupan di alam semesta, karena semua yang terjadi bukanlah suatu hal yang sia-sia.

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau …..“. (QS Ali Imron 3 : 191).

Dengan perspektif seperti tersebut di atas, adanya gejolak krisis ekonomi dan terjadinya bencana yang datang silih berganti, yang berdampak negatif terhadap hampir seluruh sektor kehidupan bangsa Indonesia, layaknya juga memberi hikmah tersendiri bagi kita.

Agar dari hikmah itu, kita bisa menyiasati berbagai program yang berhubungan dengan peningkatan fundamental ekonomi dan program mitigasi bencana bangsa kita.

Sebaliknya, keberhasilan bangsa kita menjaga dan menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kesetiakawanan sosial, rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda bangsa kita, mestinya juga dipahami sebagi peristiwa yang banyak hikmahnya.

Setidaknya, ada hikmah khusus yang bisa dipetik dan untuk dicontoh, bahwa di tengah tumbuhnya individualistis, bangsa kita masih sanggup melahirkan dan menumbuhkan orang-orang yang dengan ikhlas menghibahkan dan menginfaqkan sebagian hartanya untuk membantu orang lain yang terkena bencana atau masyarakat miskin.

Sebenarnya masih banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa terjadinya krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda negeri ini, jika kita mau lebih cermat lagi untuk menangkap hikmah-hikmah tersebut.

Adapun pemahaman hikmah historis, bernuansa sejarah, adalah mengambil peristiwa besar yang berpengaruh terhadap nasib umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia dikemudian hari. Sehingga layak direnungkan sebagai pelajaran yang aktual sepanjang hidup bangsa ini.

Mengambil hikmah lewat perspektif historis ini, sesungguhnya merupakan hal yang penting bagi kehidupan umat Islam. Agar kita bisa maju dan tidak terperosok ke dalam kegagalan yang sama. Bahkan di dalam Al-Qur’an-pun kita diperintahkan memahami hikmah dari berbagai peristiwa yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.

“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka sebagian besar dari orang-orang di masa dahulu dan sesungguhnya telah kami utus pemberi peringatan di kalangan mereka. Maka perhatikan (ambillah sebagai pelajaran bagimu) bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu !”. (QS Ash Shaffat 37 : 71,72,73)

Maka tak ada salahnya kalau saat ini kita merenungi akar masalah yang membuat umat Islam di Irak bisa jadi seperti sekarang ini. Mereka hancur lebur dihantam peperangan.

Atau boleh juga direnungi akar sejarah yang membuat nasib umat Islam di Palestina, di Pakistan, di Al Jazair, di Sudan, di Mesir, yang tidak habis-habisnya dilanda kerusuhan politik dalam negeri dan perang saudara.

Demikian juga patut direnungi runtuhnya negara Federasi Yugoslavia dan negara Uni Sovyet, yang terpecah belah menjadi negara-negara kecil yang kadang terjadi perselisihan diantara mereka. Sebaliknya, kita juga layak mengambil hikmah dari kesuksesan umat Islam di Brunei yang memperlihatkan kemajuan pesat dalam bidang Ukhuwah Islamiyah dan bidang-bidang lainnya.

Dalam setiap jaman, hikmah historis ini memang selalu memberi pelajaran, sebab, tidak semua sejarah berjalan mulus. Ada saat-saat cemerlang, namun ada saat-saat sebaliknya. Tinggal kejelian kita memahami hikmah sejarah, yang menentukannya. Apakah akan berjaya dan terhindar dari kegagalan yang pernah terjadi, atau terpeleset lagi dan jatuh ke lembah yang sama.

Jadi, melalui pemahaman hikmah seperti tersebut di atas, sesorang yang berjumpa dengan peristiwa baik, hikmahnya, dia akan menganjurkan untuk ditiru. Sebaliknya, jika peristiwa itu merugikan, hikmahnya, dia mengajarkan agar hal serupa diwaspadai.

Dengan demikian segala peristiwa semestinya bisa menjadi hikmah. Pandangan ini, sayangnya belum merata di masyarakat. Sebab, masih banyak yang membatasi keberadaan hikmah tadi hanya untuk peristiwa yang “Tragis” saja.

Sementara untuk berbagai kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, hikmah sering dilalaikan. Akibatnya, ungkapan bahwa bahwa semua peristiwa pasti ada hikmahnya, sering dipahami secara pasif. Sehingga anjuran memetik hikmah hanya menjadi muara terakhir dari proses ketidakberdayaan.

Padahal Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, bahwa setiap akhir dari suatu peristiwa, terdapat kebaikan bagi kita, tidak peduli apakah akhir dari peristiwa tersebut baik atau buruk menurut kaca mata kita.

“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”. (QS Adh Dhuha 93 :4)

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikanmu karunia-Nya (hikmah dari peristiwa tersebut) (QS Adh Dhuha 93 : 5)

HUBUNGAN HIKMAH DENGAN HALAL BI HALAL

Apabila uraian tentang hikmah tersebut di atas dikaitkan dengan Halal bi halal, maka hal ini dapat mempunyai minimal dua pengertian tentang hikmah Halal bi halal, yaitu :

1. Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu arti yang mendalam dari hakekat pelaksanaan Halal bi halal, apabila ia dikaji dengan penuh rasa keimanan kepada Allah SWT.

2. Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu pelajaran atau hikmah yang dapat kita petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan, baik kelebihan atau manfaat dari pelaksanaan Halal bi halal tersebut, maupun kekurangan-kekurangannya.

Sebelum kita mengkaji hikmah Halal bi halal berdasarkan kepada dua pengertian tersebut diatas, ada baiknya kita mengkaji peristiwa sebelumnya yaitu ibadah Shaum dan Idul Fithri. Selama 12 bulan, kita diberi kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan segala aktivitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat di sekeliling kita.

Dalam melakukan kegiatan tersebut kadang terjadi persaingan dan benturan-benturan, serta perselisihan dan permusuhan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang kadang menimbulkan kekecewaan, ketidakpuasan, sakit hati, emosi, kesedihan dan lain sebagainya.

Hal ini kadang menjadi beban pikiran dan beban rohani bagi orang-orang yang mengalaminya.Oleh sebab itu Allah menurunkan satu bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan, yang di dalamnya terdapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah Shaum, 
dengan tujuan agar setiap individu melatih dirinya sedemikian rupa untuk menahan dan mengendalikan setiap aktivitas hidupnya agar tidak menjadi budak hawa nafsu dengan segala bentuk dan sifatnya, yang kadang sering mendominasi aktivitas hidup kita, baik di keluarga, maupun di lingkungan masyarakat sekitar kita. 
Dengan ibadah Shaum, pada akhirnya kita diharapkan agar dapat mudik dari hilir kehidupan menuju ke hulu kehidupan yang fitrah dan penuh ketakwaan kepada Allah SWT

Hubungan sosio spiritual Idul Fithri dan shaum Ramadhan juga dapat dipahami dengan memandangnya sebagai simbolisme perjalanan melingkar hidup keruhanian manusia.

Siklus itu dimulai dari saat roh ditiupkan dan ke dalam jasad, kemudian lahir di dunia ini, kemudian berakhir dengan saat kembali (dikembalikan) kepada Tuhan. Siklus itu juga bermula dari Idul Fithri ke Idul Fithri berikutnya. Mula-mula ia adalah seorang makhluk manusia yang suci, bagaikan dalam surga atau “Paradiso”.

Ia hidup dengan bimbingan hati kecil yang suci, yang disebut nurani, artinya bersifat terang, karena menerangi jalan hidup manusia menuju kepada baik dan benar.

Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulah manusia bersifat hanif, artinya, secara pembawaan alami cenderung merindukan dan memihak kepada baik dan benar.

Karena itu pula fitrah dan kehanifan (hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran dan merupakan titik pusat kesediaan masing-masing pribadi manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak.

Fitrah dan kehanifan itu adalah design ciptaan Allah yang tidak akan berubah sehingga tetap ada selama-lamanya dalam diri manusia

“Maka hadapkanlah dirimu kepada dien yang hanif, fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi fitrah Allah. Itulah dien yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS Ar-Rum 30:30)

Kehanifan menjadi sumber potensi kearifan abadi (al-hikmat, al-khalidah atau Sophia perennis), inti nilai kemanusiaan universal. Dan Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah al-hanifiyat al-sambah, yaitu semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar, alami, lapang dan manusiawi (HR Ahmad dari Ibn Abbas). Tetapi sekalipun diciptakan dalam kesucian asal, manusia adalah makhluk yang lemah.

“Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia dijadikan dalam keadaan lemah” (QS An-Nisa 4 : 28).

Kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya yang pendek, dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarkan kesenangan, padahal dalam jangka panjang membawa malapetaka.

Adalah hati nurani yang memperingatkan manusia untuk waspada jangan sampai terjebak oleh hal-hal yang pendek yang menyenangkan, sementara melupakan jangka panjang yang lebih besar dan penting.

Karena itu Nabi SAW menjelaskan, bahwa kebajikan adalah budi pekerti luhur, dan dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam hati yang bersangkutan dan tidak suka jika diketahui oleh orang banyak.

Hadits ini menyangkut seorang sahabat Nabi bernama Wabishah al-Asadi : Qalbu adalah "Jendela Kaca" yang dengannya Ruhani melihat Nur-Nya, apabila ada bercak hitam didalamnya, maka akan menghalangi pandangan dalam melihat Nur-Nya. Apa yang menyebabkan bercak hitam ? itulah "Dosa" yang diisyaratkan dalam Hadits :

Berkata Wabishah a-asadi, “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan aku tidak akan mengesampingkan barang sedikitpun tentang kebajikan dan dosa melainkan mesti akan kutanyakan kepada beliau, dan beliau saat itu dikelilingi sejumlah kaum muslim untuk meminta nasehat dan aku pun melangkah melewati mereka, dan mereka berkata,

“hai Wabishah, jangan mendekati Rasulullah SAW!” Aku katakan, “Biarkanlah aku! Aku akan mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling aku cintai untuk saya dekati.” Beliau (Nabi) bersabda, “Biarkanlah Wabishah! Kemari, Wabishah! (dua atau tiga kali)” Kata Wabishah,” Akupun mendekat kepada beliau hingga aku duduk bersimpuh dihadapannya”. Lalu beliau bersabda,”

Hai Wabishah, apakah kau mau aku beritahu atau engkau akan bertanya kepadaku?” Aku berkata,”Tidak, melainkan beritahulah aku. Beliau bersabda , “Engkau datang untuk bertanya kepadaku tentang kebajikan dan dosa bukan?” Wabishah menjawab,”

Ya!” lalu beliau merapatkan jari-jari beliau, kemudian dengan jari-jari itu beliau menepuk Qalbuku dan bersabda,”Hai Wabishah, mintalah fatwa (bertanyalah, berkonsultasilah) kepada Qalbumu! Mintalah fatwa kepada dirimu! (tiga kali), kebajikan ialah sesuatu yang Qalbu merasa tentram kepadanya dan dosa ialah sesuatu yang terbetik di dalam Qalbumu dan bergejolak dalam Shudur, sekalipun orang banyak memberi fatwa (membenarkan) kepadamu, sekalipun mereka memberi fatwa kepadamu! “. (HR. Bukhori )

Jadi pertimbangan pertama dan utama dalam bertindak ialah nurani. Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan kepada kita tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan yang palsu.

Namun karena kelemahan manusia tersebut tadi, kita tidak selalu dapat mendengar Suara nurani kita sendiri. Atau karena Qalbu kita sudah kehilangan cahaya-Nya disebabkan oleh dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan kita.

Karena itu dalam istilah Al-Qur’an, dosa disebut zhalim, orang yang melakukan kegelapan. Maka orang yang banyak berbuat dosa, qalbunya tidak lagi bersifat terang (nurani), melainkan menjadi gelap (zhulmani).

Dan dalam stadium yang kronis dan parah, perbuatan dosa atau zhalim itu mungkin tidak lagi kita rasakan sebagai dosa atau kejahatan, bahkan terasa baik-baik saja.

Inilah yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an bahwa adakalanya kejahatan pada sesorang ‘dihiaskan’ baginya, sehingga nampak indah bagi yang bersangkutan.

Dan itulah stadium kebangkrutan ruhani, yang menyeret manusia keluar dari dalam “Paradiso” menuju “inferno”. Dalam Al-Qur’an terbaca isyarat kebangkrutan spiritual itu :

“Apakah (kamu risaukan, wahai Muhammad) orang yang dihiaskan baginya kejahatan amalnya sebagai ia pandang baik? Sebab sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendak-Nya

Oleh karena itu, janganlah engkau menelantarkan dirimu dengan kesedihan tentang mereka itu. Sesungguhnya Allah maha Tahu akan segala sesuatu yang mereka perbuat ”. (QS Al Fathir 35 : 8)

Karena selalu ada bahaya ancaman kebangkrutan spiritual seperti itu, maka setiap pribadi memerlukan proses pembersihan diri. Proses itu yang kita jalani dengan berpuasa di bulan Ramadhan.

Maka bulan puasa adalah bagaikan alam “purgatorio”, alam pensucian dan pembersihan diri.

Proses pensucian diri itu ditempuh dengan memperteguh kemampuan kita menahan diri dari godaan, akibat pandangan kita yang cenderung pendek (miyopik) dan gampang tergoda itu.

Dengan asumsi bahwa ketika berhasil menjalani proses itu, maka kita akan dapat melepaskan diri dari alam “inferno” kembali menuju ke alam “Paradiso” yang dianugerahkan Tuhan kepada kita melalui kesucian primordial kita.

Kembali ke “Paradiso” itulah yang kita rayakan pada akhir bulan Ramadhan, tanggal 1 Syawal, dan perayaan itu dinamakan Idul Fithri, “kembalinya kesucian primordial”, atau “kembali ke kesucian primordial”.

Maka, menurut petunjuk Al-Qur’an, kita hendaknya merayakan Idul Fithri dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk yang telah kita terima, dan bersyukur atas segala petunjuk itu

“Bulan Ramadhan, yang yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang dan batil.

Karena itu barang siapa diantara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit, atau dalam perjalanan, maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan kamu hendaklah mengagungkan Allah atas Petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al Baqarah 2 : 185).

Nabi SAW juga berpesan agar dalam Idul Fitri semua orang keluar rumah menuju tempat sholat Hari Raya, termasuk kaum wanita yang sedang berhalangan. Dan beliau juga membiarkan dan mendukung penuh kegembiraan warga Madinah dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri.

Di negara kita, perayaan Hari Raya Idul Fithri biasanya diteruskan dengan pelaksanaan kegiatan Halal bi halal yang sarat dengan hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang mendalam untuk mempererat Ukhuwah Islamiyah. Hikmah yang dapat di petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan adalah sebagai berikut :

1).Bersikap kasih sayang kepada sesama muslim, seperti mengasihi diri sendiri.Jangan mengkhususkan sesuatu untuk diri pribadi tanpa mengindahkan mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiada sempurna iman seseorang hingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri “. (HR Bukhori & Muslim )

2). Selalu menebarkan salam, berjabat tangan dan bertutur kata yang manis apabila berjumpa dengan sesama Muslim. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW :

“ Hak seorang muslim kepada muslim lainnya ada enam perkara yaitu apabila kamu berjumpa dengan dia, hendaklah memberi salam kepadanya. Apabila kamu diundangnya, perkenankanlah undangan itu. Apabila ia meminta nasihat kepadamu, nasihatilah ia.

Apabila ia bersin dan memuji Allah maka jawablah dengan ucapan “ Yarhamukullah “. Apabila dia sakit, jenguklah dia. Apabila meninggal dunia maka iringilah jenazahnya “. ( HR Muslim )

3). Hendaklah bergaul dengan sesama muslim dengan akhlak yang baik, sayang menyayangi dan tidak lekas marah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW :
.
“ Dan sesungguhnya kamu harus benar-benar berbudi pekerti yang tinggi “. ( QS Al Qalam 68 : 4 )

“ Orang mukmin yang paling yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya “ ( HR Turmudzi ) .

4). Selalu bersikap tawadhu kepada sesama muslim sebagaimana perintah Allah dengan firman- Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman “. ( QS Al Hijr 15 : 88 )

“ Dan barang siapa yang merendahkan hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat martabatnya. Pada penglihatannya dia kecil tetapi dimata orang orang banyak dia besar, Dan barang siapa sombong niscaya Allah meletakkannya atau merendahkan martabatnya. Dimata orang banyak dia kecil tetapi dimatanya sendiri dia besar sehingga ia lebih hina bagi kamu daripada anjing atau babi “. ( HR Thabrani )

“ Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku : berendah hatilah kamu hingga tiada seorangpun membanggakan diri kepada orang lain dan janganlah berbuat kejahatan seseorang terhadap orang lainnya “. ( HR Muslim )

5). Selalu berusaha mencari kerelaan sesama muslim dan memandang mereka dengan baik, Saling tolong menolong dalam menegakkan kebajikan dan takwa serta mencintai Allah, mendorong mereka supaya berusaha mencapai kerelaan Allah, menunjuki mereka ke jalan yang benar jika anda sudah dewasa dan belajar dari mereka jika anda lebih muda. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “. ( QS Al Maidah 5 :2 )

“ Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang raja, dijadikan-Nya seorang wazir atau menteri yang jujur untuknya. Jika Raja lupa, akan diingatkannya, dan jika teringat akan dibantunya. Dan apabila Allah menghendaki tidak demikian atau sebaliknya maka dijadikan-Nya seorang menteri jahat untuknya. Jika Raja lupa, tidak diingatkannya dan jika ingat tidak dibantunya”.

6). Selalu menyayangi sesama umat muslim dengan menghormati orang-orang tua dan menyayangi anak-anak sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiadalah termasuk golongan kami , orang-orang yang tidak menghormati orang-orang tua kami dan tidak menyayangi anak-anak kami “.( HR Turmudzi )

“ Orang-orang yang menaruh balas kasihan, dirahmati Allah Yang Maha Pengasih “. ( HR Abu Daud )

“ Jika kamu ingin mendapat Rahmat-Ku maka sayangilah makhluk-Ku “. ( Hadits Qudsi )

“ Barang siapa tidak menyayangi orang niscaya Allah tidak menyayanginya”. (HR Muslim)

7). Selalu saling menasihati dengan lemah lembut apabila melihat atau terdapat kesalahan diantara sesama umat Islam . Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Barang siapa menyembunyikan aurat atau aib saudaranya niscaya Allah menyembunyikan aibnya. Dan barang siapa membukakan aurat atau aib saudara niscaya dibukakan Allah aibnya sehingga keaibannya disiar-siarkannya dalam rumahnya”. ( HR Muslim )

8). Selalu berprasangka baik terhadap sesama umat Islam. Apabila nampak aib seseorang katakan pada dirimu :

“ Aib itu adalah pada diriku karena seorang muslim itu adalah cermin bagi muslim lain. Seseorang tidak akan melihat dalam cermin kecuali rupa dirinya”. (HR Muslim )

“ Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian dari kamu menggunjing sebahagian ynag lain.

Sukakah salah seorang dianatara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang “. ( QS Al Hujurot 49 : 18 )

9).Saling memaafkan diantara sesama umat Islam. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW dan Firman-Nya:

“ Jadilah engkau seorang yang pemaaf……..”. ( QS Al A’raf 7:199 )

“ Barang siapa didatangi sahabatnya mohon dilepaskan dari kesalahannya hendaklah diterimanya baik sifatnya membenarkan atau membatalkan. Barang siapa tidak berbuat demikian niscaya ia tidak akan dapat mendatangi kolam-Ku pada hari kiamat “.( HR Al Hakim )

10). Selalu mendamaikan sengketa yang terjadi diantara sesama muslim. Janganlah berpihak kepada salah seorang diantara mereka . Tetapi damaikanlah dengan cara yang baik dan lemah lembut . Hal ini sesuai dengan firman-Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”..( QS Al Hujurot 49 : 10 )

“ Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan orang yang berselisih “.( HR Thabrani )

“ Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan sesama manusia lalu dikembangkannya kebaikan atau diucapkannya perkataan yang baik-baik “. (HR Bukhori )

11). Selalu bertegur sapa dan beramah tamah diantara sesama muslim. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Apabila salah seorang kamu mengasihi saudaramu pada jalan Allah maka hendaklah ia mengajarinya karena hal itu melebihlamakan keramah-tamahan dan lebih memantapkan kemesraan “. ( HR Bukhari )

“ Bila anda bersahabat dengan seseorang tanyalah namanya dan nama ayahnya atau bertegur sapa . Jika ia tidak ditempat, anda menjaganya , dan jika ia sakit, anda menjenguknya dan jika ian meninggal dunia anda menyaksikannya atau mengiringinya “. ( HR Al Baihaqi )

12). Selalu melapangkan tempat duduk kepada sesama muslim atau orang lain ketika sedang mengikuti suatu majelis sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya bagi seorang muslim itu ada hak apabila melihat saudaranya datang, ia menjauhkan diri atau menyediakan tempat untuknya “.( HR Al Baihaqi )

13). Selalu menempati janji sesama muslim apabila kita terlibat janji. Karena masa menunggu itu adalah salah satu pemberian yang dikalangan Ahlullah adalah hutang. Dan mungkir janji adalah sebagian tanda-tanda munafik. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tanda-tanda munafik itu ada tiga yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkir dan apabila dipercaya dia berkhianat “. ( HR Bukhari )

Demikianlah beberapa hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang sangat mendalam dari sebuah penyelenggaraan kegiatan halal bi halal, semoga kita dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kurang lebihnya mohon maaf, akhirul kalam, wabillahi taufik wal hidayah wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Sabtu, 25 Agustus 2012

IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan

Assalamu allaikum warahmatullahi wabarokatuh

Saudaraku..."
Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian yaitu :

1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janin

Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).

“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).

Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir ata diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).

Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dala kandungan dan juga keadaan serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang dapat Anda lihat

Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :

1. Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).

Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. 
 Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.

2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.

3. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.

Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.

“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).

Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal dikarenakan sifat ma’ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin.

Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.

Idul Dithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta

Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan kea lam dunia ini oleh ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa “Pre Natal”.

Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.

Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu :

1. Ktika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan kapasitas rohanin

2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negative.

Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani.

Empat indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak).

Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, cirri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.

Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya yati Allah SWT.

Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah (Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di aats bumi.

Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampong Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).

“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri = Pencipta).

Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).

“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan.

Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :

“hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana telah ditulis PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA”. QS Al Baqarah 2 : 183).

“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)

“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)

“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)

“…hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).

“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”.(QS Al Kahfi 18 : 11).

“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”.(QD An Nisaa 4 : 66-67).

“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).

“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)

Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”.(QS Al Kahfi 18 : 18)

“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).

“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua”. (Hadits).

“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).

“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).

“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata hati kalian bias melihat Allah di dunia ini” (Hadits).

Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan :“Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.

“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda : “Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”.(HR Al Hakim dari Ya’la bin Syidad).

Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”.Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat bertemu Tuhannya. Hadits).

Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).

“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).

‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).

“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).

“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa 4 : 1100).

“…maka masuklah ke dalam Gua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu beada di tempat Yang luas dalam Gua tersebut, begitulah, semoga bermanfaat. Aamiin... Wassalam

Senin, 20 Agustus 2012

TAFSIR SURAT AL-’ASHR

Assalamu allaikum warahmatullahi wabarokatuh

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat
populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu
pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun
surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau
Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr
saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh
pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan
kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah
dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah
Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi.
Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi
yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin
Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan
Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang
turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat
dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.”
“Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh
‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga
turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?”
Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka
hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua
telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash,
yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku
sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat
Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi
pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya
seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup
untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di
dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan
benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah
bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ
sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah
dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS.
Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi
yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili
idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang
apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah
bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.

Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat
ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari
waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu
ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa
‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur
rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk
menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman
besi di dalam sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman
Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa
sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau
jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang
suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan
seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu
mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya
peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia
dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat
itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak
membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota
lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa
besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu
tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita
menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang
sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari
pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat
tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu
ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan
karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini
kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang
membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran
Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi
rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi,
walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari
lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita
sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke
tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu,
karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini
makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada
orangnya).

Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam,
tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang
begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting
bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah
(zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah).
Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting.
Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa
diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya
Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah
masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”

Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung
penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah
dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan).
Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya
ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh
kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan
kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki
happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan
binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti
Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang
suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun,
ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda
melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda.
Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan?
Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang
lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah
kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28).
Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar
dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang
ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak
memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam
perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada
manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit
kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita
pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai
manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat
menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak
otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan
atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan
“kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia
atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat
kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses
perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku
lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku
seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat
kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada
sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya
ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh
kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian,
karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita
sendiri.

Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain
yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing
yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling
hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia
yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti
jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi
hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal
beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih
rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia
yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan
nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia?
Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai
kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia
mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya
happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi
bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang
yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah
manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari
pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat
ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang,
nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan
mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam
pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan
yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai
Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata,
“Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan
orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia
orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda
mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua
kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.”
Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan.
Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi
makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan
baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air
matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan.
Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam
melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah
a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman
dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ
‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am
132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong
orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah
berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama,
ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan
amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua,
ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat
bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya.
Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai
orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah
hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak
mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika
mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas
kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi
karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan
orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar
setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal
saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu
shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada
melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat
Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan
malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh.
Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan
mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at,
shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan
daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah
itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan
bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran
sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah
juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu
yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi
juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang
yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua
berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat
sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia
memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena
tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak
sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan
bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu
sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam
hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang
bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi.
Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang
kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah
mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus
mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan
mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang
lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional
intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa
malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau
kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang
mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil
haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan
manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh.
Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal
saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya
mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan
masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an
menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr.
Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi
Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih
dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga
boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus
objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa
yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka
Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan
beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau
tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan
kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian
apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh.
Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan
Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)

Salam Wassalam...

Senin, 13 Agustus 2012

◦☀°• Jangan Berputus Asa Dalam Berdo'a •°☀◦

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

...
“ Saudaraku...
Janganlah berputus asa dalam berdo’a dan mengulang doa-doa kita, mungkin Allah tengah menguji kita dengan menunda ijabah doa kita itu“
~~~~~

Saudaraku, Ibnu Athaillah as-Sakandari mengingatkan kepada kita semua agar kita tidak berputus asa dalam berdoa. Mengapa demikian? Karena nafsu manusia seringkali muncul ketika Allah menunda ijabah atau pengabulan doa-doa kita. Dalam kondisi demikian manusia seringkali berputus asa, dan merasa bahwa doanya tidak dikabulkan.

Sikap putus asa itu disebabkan karena manusia merasa bahwa apa yang dijalankan melalui doanya itu, akan benar-benar memunculkan pengabulan dan Allah.Tanpa disadari bahwa ijabah itu adalah Hak Allah bukan hak hamba. Dalam situasi keputus asaan itulah hamba Allah cenderung mengabaikan munajatnya sehingga ia kehilangan hudlur (hadir) bersama Allah.

Dalam ulasannya terhadap wacana di atas, Syekh Zaruq menegaskan, bahwa tipikal manusia dalam konteks berdoa ini ada tiga hal:

~Pertama, seseorang menuju kepada Tuhannya dengan kepasrahan total, sehingga ia meraih ridha-Nya. Hamba ini senantiasa bergantung dengan-Nya, baik doa itu dikabulkan seketika maupun ditunda. la tidak peduli apakah doa itu akan dikabulkan dalam waktu yang panjang atau lainnya.

~Kedua, seseorang tegak di depan pintu-Nya dengan harapan penuh pada janji-Nya dan memandang aturan-Nya. Hamba ini masih kembali pada dirinya sendiri dengan pandangan yang teledor dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi, sehingga mengarah pada keputusasaan dalam satu waktu, namun kadang-kadang penuh harapan optimis. Walaupun hasratnya sangat ringan, toh syariatnya menjadi besar dalam hatinya.

~Ketiga, seseorang yang berdiri tegak di pintu Allah namun disertai dengan sejumlah cacat jiwa dan kealpaan, dengan hanya menginginkan keinginannya belaka tanpa mengikuti aturan dan hikmah. Orang ini sangat dekat dengan keputusasaan, kadang-kadang terjebak dalam keragu-raguan, kadang-kadang terlempar dijurang kebimbangan. Semoga Allah mengampuninya.

“Allahlah yang menjamin ijabah doa itu menurut pilihan-Nya padamu, bukan menurut pilihan seleramu, kelak pada waktu yang dikehendaki-Nya, bukan menurut waktu yang engkau kehen-daki.”

Seluruh doa hamba pasti dijamin pengabulannya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu. “

Allah menjamin pengabulan itu melalui janji-Nya. Janji itu jelas bersifat mutlak. Hanya saja dalam ayat tersebut Allah tidak menfirmankan dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri.”

Dalam hadits Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tak seorang pun pendoa, melainkan ia berada di antara salah satu dari tiga kelompok ini: Kadang ia dipercepat sesuai dengan permintaannya, atau ditunda (pengka-bulannya) demi pahalanya, atau ia dihindarkan dari keburukan yang menimpanya.” (HR. Imam Ahmad dan AI-Hakim).

Dalam hadits lain disebutkan, “Doa di antara kalian bakal di ijabahi, sepanjang kalian tidak tergesa-gesa, (sampai akhirnya) seseorang mengatakan, “Aku telah berdoa, tapi tidak diijabahi untukku. “ (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam menafsiri suatu ayat “Telah benar-benar doa kalan berdua di ijabahi” maksudnva baru 40 tahun diijabahi doanya. Menurut Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, perihal firman Allah: “Maka hendaknya kalian berdua istiqamah”, maksudnya adalah “tidak tergesa-gesa”. Sedangkan ayat selanjutnya,

“Dan janganlah kalian mengikuti jalannya orang-orang yang tidak mengetahui”, maksudnya adalah orang-orang yang menginginkan agar disegerakan ijabah doanya. Bahwa ijabah doa itu diorientasikan pada pilihan Allah, baik dalam bentuk yang riil ataupun waktunya, semata karena tiga hal:

~Pertama, karena kasih sayang dan pertolongan Allah pada hamba-Nya. Sebab Allah Maha Pemurah, dan Maha Asih serta Maha Mengetahui. Dzat Yang Maha Pemurah apabila dimohon oleh orang yang memuliakan-Nya, ia akan diberi sesuatu yang lebih utama menurut Kemahatahuan-Nya.

Sementara seorang hamba itu pada dasarnya bodoh terhadap mana yang baik dan yang lebih bermashlahat. Terkadang seorang hamba itu mencintai sesuatu padahal sesuatu itu buruk baginya, dan terkadang ia membenci sesuatu padahal yang dibenci itu lebih baik baginya. Inilah yang seharusnya difahami pendoa.

~Kedua, bahwa sikap tergantung pada pilihan Allah itu merupakan sikap yang bisa mengabadikan hukum-hukum ubudiyah, di samping lebih mengakolikan wilayah rububiyah. Sebab manakala suatu ijabah doa itu tergantung pada selera hamba dengan segala jaminannya, niscaya doa itu sendiri lebih mengatur Allah. Dan hal demikian suatu tindakan yang salah.

~Ketiga, doa itu sendiri adalah ubudiyah. Rahasia doa adalah menunjukkan betapa seorang hamba itu serba kekurangan. Kalau saja ijabah doa itu menurut keinginan pendoanya secara mutlak, tentu bentuk serba kurang itu tidak benar.

Dengan demikian pula, rahasia taklif (kewajiban ubudiyah) menjadi keliru, padahal arti dari doa adalah adanya rahasia taklij'itu sendiri. Oleh sebab itu, lbnu Athaillah as-Sakandari menyatakan pada wacana selanjutnya:

“Janganlah membuat dirimu ragu pada janji Allah atas tidak terwujudnya sesuatu yang dijanjikan Allah, walaupun waktunya benar-benar nyata.”

Maksudnya, kita tidak boleh ragu pada janji Allah. Terkadang Allah memperlihatkan kepada kita akan terjadinya sesuatu yang kita inginkan dan pada waktu yang ditentukan. Namun tiba-tiba tidak muncul buktinya. Kenyataan seperti itu jangan sampai membuat kita ragu-ragu kepada janji Allah itu sendiri. Allah mempunyai maksud tersendiri dibalik semua itu, yaitu melanggengkan rububiyah atas ubudiyah hamba-Nya.

Syarat-syarat ijabah atasjanji-Nya, terkadang tidak terpenuhi oleh hamba-Nya. Karena itu Allah pun pernah menjanjikan pertolongan kepada Nabi-Nya Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam dalam perang Uhud dan Ahzab serta memenangkan kota Mekkah.

Tetapi Allah menutupi syarat-syarat meraih pertolongan itu, yaitu syarat adanya sikap “merasa hina” di hadapan Allah yang bisa menjadi limpahan pertolongan itu sendiri. Sebab Allah berfirnian dalam At-Taubah: “Allah benar-benar menolongmu pada Perang Badar, ketika kamu sekalian merasa hina “.

Kenapa demikian? Sebab sikap meragukan janji Allah itu bisa mengaburkan pandangan hati kita terhadap karunia Allah sendiri. As-Sakandari meneruskan:

“Agar sikap demikian tidak mengaburkan mata hatimu dan meredupkan cahaya rahasia batinmu”.

Bahwa disebut di sana padanya pengaburan mata hati dan peredupan cahaya rahasia batin, karena sikap skeptis terhadap Allah itu, akan menghilangkan tujuan utama dan keleluasaan pandangan pengetahuan dibalik janji Allah itu. Walahu a'lam bishowaab.

Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan? ”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman :13)

"Segala puji bagi Allah Yang telah memberi kita makan, minum dan mencukupi kita, serta memberi kita tempat tinggal. Betapa banyak orang yang tidak mendapatkan yang mencukupi dia serta memberi dia tempat tinggal". [HR Muslim dari Anas bin Malik]

Saudaraku lalu apa saja penyebab do’a kita tidak terkabul, berikut ini aku bawakan sebuah kisah:

KETIKA Ibrahim bin Adham, seorang ulama tasawuf yang terkemuka, sedang berjalan disebuah pasar di kota Basrah, sekumpulan manusia menghampirinya lalu bertanya kepadanya:

“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (Al-Mukmin:6)

“Kami telah menyeru-Nya berkali-kali tetapi Allah masih tidak menjawab dan memperkenankan seruan kami itu.”

Maka Ibrahim bin Adham pun berkata:

“Wahai kaum Basrah! Sesungguhnya hati kamu itu telah mati dalam beberapa perkara.

“Kamu telah mengenal Allah, tetapi kamu tidak menunaikan hak-Nya. “Kamu telah membaca Kitab Allah, tetapi kamu tidak beramal dengannya.

“Kamu mendakwa bahwa kamu cintakan Rasulullah saw tetapi kamu tinggalkan sunnahnya.

“Kamu telah katakan bahwa maut itu adalah benar tetapi kamu tidak bersedia menghadapinya.

“Kamu telah katakan bahwa kamu takutkan api neraka tetapi kamu telah meridhoi diri kamu padanya.

“Kamu telah katakan bahwa kamu kasihkan syurga tetapi kamu tidak beramal semata-mata untuknya. “Kamu sibuk dengan keaiban saudara-saudara kamu tetapi kamu lupa menutup keaiban kamu. “Kamu telah merasai nikmat Tuhan kamu tetapi kamu tidak bersyukur pada-Nya.

“Kamu telah mengebumikan mayat-mayat saudara kamu yang telah meninggal dunia tetapi kamu tidak mengambil contoh dan pelajaran atas kematian mereka. “Bagaimanakah Allah swt hendak memperkenankan seruan kamu itu?”

Jika kita meneliti apa yang telah dikatakan oleh Ibrahim bin Adham itu, Maka kita dapati bahwa nasihatnya itu sesuai dengan firman Allah yang artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. (Surah Al-Baqarah: 186)

Kita perlu mawas diri bahwa seseorang Muslim itu tidak harus Selalu bertumpu kepada ayat pendek ini, malah hendaklah dia meneruskan pemahamannya pada ayat ini: Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Surah Al-Baqarah: 186)

Justeru itu, hendaklah kita menyahut segala perintah Allah dan meninggalkan segala laranganNya. Di sini juga kita dapat mengambil pelajaran, diantaranya:

Umumnya susunan kata pada orang yang berdoa mengesankan bahwa Seseorang hamba ingin sekali dan tidak sabar agar doanya terkabul secepat mungkin, namun apabila mereka dapati doa mereka itu sudah terkabul, maka mereka terus meninggalkan doa itu sama sekali.

Sikap ini diibaratkan oleh Ibnu Qayyim seperti seorang insan menanam sesuatu benih. Mereka menjaga dan mengairinya setiap saat. Apabila mereka dapati usaha itu lewat dan mendatangkan hasil, maka ia terus ditinggalkannya. Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya :

Diperkenankan (doa) salah seorang daripada kamu, jika dia tidak berniat mengharapkan hasilnya dengan segera. Baginda menambah lagi …aku pernah menyeru (Tuhanku), tapi tidak diperkenankan bagiku.

Baginda bersabda lagi yang bermakna : Jangan sekali-kali kamu lemah dalam berdoa. Tidak mendatangkan kebinasaan jika seseorang itu menyertai dirinya dengan berdoa.

Allah berfirman pula dalam Kitab Suci-Nya yang artinya : Jadilah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Surah Al-Baqarah:

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI

Assalamu allaikum warahmatullahi wabarokatuh

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

... Saudaraku.."
Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.

Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan ibadah ini.

[1]. Makna Zakat Fithri

Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.[Shahih Fiqhis Sunnah, 2/71]

[2]. Hikmah Zakat Fithri

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :

"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani]

[3]. Hukum Zakat Fithri

Zakat fithri wajib bagi setiap muslim.
Sebagian ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).[Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani; Ma’alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari]

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri ini. Beliau t berkata,"Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib [Ijma', karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80]. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.

[4]. Siapa Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri?

Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua:
1) Islam dan
2) Mampu.

Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah diwajibkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah n telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)"
[HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].

Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".
[al Baqarah/2:286].

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:

"Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam dan sehari".
[HR Abu Dawud, no. 1629. dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299]

Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan".
[HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad]

Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta, seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu a’lam.[Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81]

[5]. Bagaimana Dengan Janin?

Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”. [Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102]

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”. [Taisirul Fiqh, 74]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t berkata : “Yang nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat fithri bagi janin [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan 'Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).]. Jika tidak, maka tentang hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”. [Syarhul Mumti’, 6/162-163]

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam kandungan, wallahu a’lam.

[6]. Suami Membayar Zakat Fithri Dari Dirinya Dan Orang-Orang Yang Menjadi Tanggungannya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung seluruh anggota keluarganya?[Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi; Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin]

Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil, bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang kamu tanggung”.
[Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835].[Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi (4/161), dari Ibnu 'Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain mauquf (berhenti) pada Ibnu 'Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, hlm. 105).]

Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:

1. Hadits Ibnu Umar :

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam”.
[HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].

Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami ataupun belum bersuami.

Tetapi pendapat ini dibantah :
Bahwa disebutkan “wanita”, tidak berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya. Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin di dalam perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.

2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung orang lain.

Allah berfirman:

"Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].

Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan memikul beban (dosa) orang lain.

Tetapi pendapat ini dibantah :
Ini seperti seorang suami yang menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu a’lam.

[7]. Bentuknya.

Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir (sejenis gandum), atau tepung?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-hamdulillah. Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya? (Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :

Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.

Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-".[Majmu’ Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107]

[8]. Ukurannya.

Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.

"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata,"Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju, dan kurma kering.”
[HR Bukhari, no. 1510].

Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus], apakah satu sha’ seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah sha'.

"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’ burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua "
[HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105].

Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat, maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini, sebagai berikut:

1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,"Para ulama telah mencoba dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh) menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].

Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita -umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.

[9]. Tidak Boleh Diganti Dengan Jenis Lainnya.

Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun dengan uang!

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah membolehkannya”. [Syarah Muslim].

Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu 'Utsaimin, al Fauzan, 'Abdullah al Jibrin]

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [Minhajul Muslim, halaman 231].

[10]. Waktu Mengeluarkan.

Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:

1. Waktu wajib.
Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul Fithri.[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76]

2. Waktu afdhal.
Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/80]3.

3. Waktu boleh.
Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat : [Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/75] - Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : "Boleh maju setahun atau dua tahun". - Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju". - Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan". - Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .

Nafi’ berkata:

"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri". [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].

[11]. Yang Berhak Menerima.

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal. Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.[Ikhtiyarat, 2/412-413]

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin. Asy Syaukani rahimahullah berkata,"Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam 'Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima,' dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain." [Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M]

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Tempat pembagian shadaqah fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi, orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 'Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!' Maka zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka".[Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul 'Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74]

3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:
"Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, wallahu a’lam.3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :$"(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya. [Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.]

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit. Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

[12]. Panitia Zakat Fithri?

Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106] 1. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. (HR Bukhari, no. 3275). 2. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya (HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986). Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri.
Semoga bermanfaat untuk kita.
Wallahu a'lam.

Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm: 101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Semoga Bermanfaat

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saudaraku... Jangan Berputus Asa Dalam Berdo'a~
“ Aminkan doa ini memohon penerang hati,
"Allahumma nawwir qalbi binuri hidayatika kama nawwartal ardha binuri syamsika ya fattahu ya alimu iftah ‘ alayya fathan qariban , ya fattahu ya
alimu.

”YaAllah , sinarilah hatiku dengan cahaya hidayah-Mu sebagai mana Engkau telah
menyinari bumi dengan cahaya matahari-Mu.

Wahai Dzat! yang Maha Membuka lagi Maha
Mengetahui. Bukalah pintu hatiku dalam waktu yang dekat. Wahai Dzat, Yang Maha Membuka lagi
Maha Mengetahui.”Aamiin Ya Robbal’alamiin Wassalam.