Sabtu, 15 Januari 2011

Kajian Al Qur’an-materi-ke 18

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Sekilas Mengenai Maqam dan Hal


Pendahuluan

Dengan menggunakan pemahaman dasar dari perbincangan-perbincangan sebelumnya, kini akan diperkenalkan mengenai dua istilah khas tashawuf yang mungkin paling banyak dikenal, yakni: maqam (jamak: maqamat), yang dalam Bahasa Ingris diterjemahkan degan station (s); serta hal (jamak: ahwal) yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan state (s).

Dengan menyadari adanya berbagai perbincangan mengenai maqam dan hal yang bervariasi penekanannya dari zaman ke zaman dalam pembahasan sebagian teks klasik tashawuf yang sempat diperiksa, ke dua istilah, dalam pemahaman kami saat ini, membicarakan tentang dua persoalan mendasar yang sangat berhubungan satu sama lain: maqam itu berkaitan dengan “’iman”, sedangkan hal itu berkitan dengan “taqwa.” Yang dimaksud dengan “’iman” disini adalah dalam pengertian “’iman ‘arifin” seperti yang dipaparkan Imam al-Ghazali. Sedangkan mengenai pengertian dari “taqwa” sendiri adalah sebagaimana dalam pengertian “Pohon Taqwa” yang telah dibahas sebelumnya.

Perbincangan selanjutnya akan banyak berasal dari rujukan yang disusun sendiri oleh PICTS yang mengasuh forum ini, baik yang telah dipublikasikan kepada umum, maupun yang masih menunggu saat yang tepat untuk kemudian juga disebar-luaskan.

Sekelumit Mengenai Maqamat

Pada pertemuan sebelumnya pernah disinggung salah satu landasan dari persoalan ini, yakni: “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum), dan sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf” (QS Ash Shaaffaat [37]: 164 – 165). Demikianlah Jibril a.s., sang penyampai wahyu, mengajarkan bahwa makhluk-makhluk kedudukannya (maqam, station) ma’aluum, ‘dalam pengetahuan’ dan teratur rapih bershaf-shaf, di hadapan Sang Pencipta.

Telah kita ketahui bahwa hakikat insan adalah jiwa (nafs)-nya, yang merupakan sasaran pendidikan Ilahiah. Jiwa ini telah menjelajah sekian alam sebelumnya, dan kini untuk sangat sementara tengah berada di alam ini. Selanjutnya jiwa kita semua akan segera berangkat ke alam berikutnya, yaitu alam barzakh. Ketika maqam insan dibicarakan, yang ditelaah adalah kedudukan dari jiwanya. Aspek jiwa inilah yang, sekali lagi, merupakan kekhususan dari manusia. Kekhususannya ini berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia, yang telah dibahas pada perbincangan awal, serta amanah yang diembannya (QS Al Azhab [33]: 72).

Sebagian dari rujukan qur’ani dari persoalan ini diringkaskan kembali di sini, untuk menjadi landasan dari persoalan yang tengah dibahas:

o Berbeda dengan yang selainnya, insan adalah makhluk yang diciptakan “… dengan ke dua-belah tangan-Ku …” (QS Shaad [38]: 75).

o “… Dan bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya …” (QS Az Zumar [39]: 67).

o “Allah-lah yang menjadikan tujuh langit dan demikian pula bumi …” (QS Ath Thalaaq [65]: 12.

o “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit ‘amr-Nya …” (QS Fushilat [41]: 12).

o “Dan di Bumi terdapat ayat-ayat bagi mereka yang yakin. Dan juga pada anfus-mu sendiri, tidakkah engkau perhatikan. Dan di lelangit terdapat rizkimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Rabb lelangit dan bumi sesungguhnya itu adalah al-Haqq seperti yang engkau ucapkan” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 20 – 23).

o Terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) Tuhan yang sedemikian pentingnya, yang diulang-ulang di segenap ciptaan, “… tujuh ayat yang diulang-ulang …” (QS Al-Hijr [15]: 87).

Sebagai ciptaan terakhir, yang menghimpun semua unsur segala ciptaan sebelumnya, maqam insan yang dimiliki oleh jiwa (nafs)-nya adalah kuantitas cahaya iman atau tingkat kesucian jiwa yang saat itu dimilikinya. ‘Tujuh ayat yang berulang’ diperlihatkan pula dalam pemeringkatan maqamat ini menjadi tujuh tingkat. Unsur yang bersifat ‘kebumian,’ yakni yang berasal dari ‘Tangan Kiri Tuhan’ diperingkatkan dalam tujuh tingkat berikut ini:

Tingkat I : Jiwa Hewaniah
Tingkat II : Jiwa Nabatiah
Tingkat III : Jiwa Material
Tingkat IV s/d VII : Jiwa Syaithaniah

Sedangkan unsur yang bersifat ‘kelangitan’, yakni yang berasal dari ‘Tangan Kanan Tuhan’, juga diperingkatkan menjadi tujuh langit berikut ini:

Langit IV s/d VII : Jiwa Rabbaniah
Langit III : Jiwa Rahmaniah
Langit II : Jiwa Ruhaniah
Langit I: Jiwa Jasmaniah

Setiap langit dibagi-bagi lagi menjadi 7 shaf, yang kemudian dibagi lebih rinci lagi menjadi 7 sub-shaf. Sehingga seorang insan yang maqam-nya dituliskan dengan notasi seperti ini: I. 7. 7. berarti ia saat itu berada di Langit Jiwa Jasmaniah (I), shaf ke 7, sub-shaf ke 7. Pembagian ke dalam rincian seperti ini tidak berlaku bagi Langit Rabbaniah, karena tidak ada penjelasan mengenai peringkat jiwa pada langit ini.

Jika kedudukan jiwa seseorang itu pada umumnya tersembunyi dari manusia lainnya, maka persoalan ini ditampilkan secara terinci pada makhluk-makhluk lainnya, baik yang bersifat ‘kebumian,’ seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, maupun yang bersifat ‘kelangitan,’ seperti para penghuni alam malakut. Seperti dibahas sebelumnya, jiwa manusia itu sebenarnya penghuni alam malakut. Kedudukan jiwa manusia itu bersifat potensial, artinya ia bisa melambung tinggi menempati posisinya yang seharusnya di alam malakut, ataupun terjatuh menjadi bersifat kebumian. Semua ini dalam diri manusia sifatnya menyeluruh (mujmal), sedangkan pada makhluk-makhluk lainnya ia bersifat terinci (mufashil), atau dengan kata lain makhluk-makhluk itu memiliki suatu kedudukan, ‘suatu maqam’ yang tetap.

Sekedar Ilustrasi untuk memudahkan pemahaman:
(Gambar 1)

Jika maqam seperti disebutkan di atas merupakan kuantitas cahaya iman, maka terangnya cahaya ini dapat diibaratkan dengan terangnya cahaya lampu (yang kita nyatakan dengan watt). Misalnya, kita ambil contoh bahwa Langit Jasmaniah shaf 1, atau Langit I. 1 = 5 watt, Langit I. 2 = 10 watt, Langit Ruhaniah shaf 3, Langit II. 3 = 25 watt, Langit Rahmaniah shaf 5, Langit III. 5 = 50 watt, dan seterusnya; singkat kata semakin tinggi maqam seseorang semakin terang cahaya imannya. Dengan pengandaian seperti itu, maka dapat kita gambarkan skema mengenai maqamat itu seperti pada ilustrasi yang dilampirkan.

Sewaktu jiwa seseorang lahir ke alam dunia ini, maka ia memiliki suatu Maqam Awal, sebagai modal dasarnya. Kedudukannya adalah pada Langit Jasmaniah shaf 7, dan sub-shaf 7 (Langit I. 7. 7), suatu kedudukan yang disebut Bulan Purnama. Bagi umumnya manusia kedudukan ini biasanya menurun, sehingga cahayanya semakin meredup. Penurunan atau pemburaman ini berkaitan dengan apa yang disebut dosa, seperti yang telah kita bahas sebelumnya dikarenakan oleh dua sebab pokok:

1) Cinta dunia, syahwat (QS ‘Ali Imran [3]: 14).
2) Mempertuhankan hawa-nafsu (QS Al Furqaan [25]: 43 – 44, Al Jatsiyah [45]: 23).

Kembalinya meningkatnya kedudukan seseorang, seiring dengan kembali terangnya cahaya iman hanya dapat berlangsung dengan proses taubat. Jika kemudian ia berhasil kembali mencapai kedudukan Langit I. 7. 7, maka barulah ia suci seperti bayi yang baru dilahirkan, atau dikatakan ia memperoleh Rahmat Pertama (QS Al Hadiid [57]: 28). Umumnya fluktuasi, naik – turunnya maqamat seseorang, berlangsung dengan sangat cepat.

Sedari semula setiap manusia memiliki Maqam Puncak, yaitu kedudukan tertinggi yang mungkin dapat dicapai oleh jiwanya. Ini berhubungan dengan daya pikul beban tugas yang dapat ditanggungnya, berkaitan dengan amanah (QS Al Ahzab [33]: 72) yang telah dipersaksikannya. Jadi tinggi rendahnya Maqam Puncak berkaitan dengan kebutuhan untuk melaksanakan amanah seseorang, dan tidak menunjukkan kemuliaannya; yang terakhir ini bergantung kepada taqwa-nya (QS Al Hujuraat [49]: 13).

Sekelumit Mengenai Ahwal

Sebenarnya perbincangan mengenai maqam dan hal selalu sulit dilakukan diluar pengalaman dan penghayatan di jalan pertaubatan (suluk). Hal berkaitan dengan taqwa—sesuatu yang tersembunyi di qalb, dan hanya tampak pada tiga jenis buahnya: ilmu, amal, dan akhlak. Selain itu, ia juga dapat timbul sehubungan dengan fungsi seseorang dalam jama’ah kaum beriman (jadi belum karena taqwa-nya). Karena itu lingkup ahwal ini luas sekali, sangat spesifik, dan sangat personal.

Secara sederhananya, hal ini berkaitan dengan berfungsinya instrumen-instrumen jiwa seseorang sebagai hasil dari taubatnya. (Kembali) bekerjanya instrumen-instrumen itu adalah agar instrumen-instrumen tersebut dapat digunakan sebagai perangkat bagi sang pejalan agar semakin tekun bertaubat, dalam rangka menemukan dan mengerjakan amal-shaleh sesuai dengan orbit dirinya. Gradasi kinerja berbagai ahwal diantara sesama mereka yang bertaubat sangatlah beragam kualitasnya. Kinerja puncak dari perangkat-perangkat jiwa seorang abdi yang telah Allah cintai itulah yang disinggung dalam Hadits Qudsi mengenai amal fardhu dan nawafil yang terkenal itu: “… Apabila Aku telah cinta kepadanya, Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan, tangannya yang dengan itu ia pergunakan, lisannya yang dengan itu ia bertutur-kata, dan qalb-nya yang dengan itu ia ber-‘aql. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan doa-nya.”

Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar