Kajian Al Qur’an

 

 

Kajian Al Qur’an-materi-ke 1

oleh Sabari Muhammad Dan Nurassajati Purnama Alam




Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 

As-salaamu 'alaikum wr wb,

Terima kasih banyak kepada Kang Zamzam A J Tanuwijaya yang telah memberikan izin kepada kami untuk meng-upload pengetahuan yang sangat bermanfa'at bagi ummat di Notes FB dan Blog kami.
Notes2 ini adalah hasil dari mengikuti Kajian Al Qur'an di Yayasan Islam Paramartha yang pernah kami ikuti di Bintaro,

Semoga Bermanfa'at,
was-salaamu 'alaikum wr wb

 A-'uudzubillaahis-samii-il 'aliim minasy-syaithaani-r-rajiim,
Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim,
Alhamdulillaahi-r-Rabbil 'aalamiin,
Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad,
Subhaanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa 'atuubu 'ilaik,

Sebuah Pengantar tentang Tashawwuf dalam Al-Qur’an

Tinjauan Umum

1. Acuan pengajian ini
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadits
c. Karya para waliyullah, karena tertunjuki-Nya beliau-beliau oleh Allah Ta’ala sehingga akurasinya tidak diragukan dan bukan spekulasi rasio belaka

2. Tema Pengajian: Tashawwuf dalam Al-Qur’an
a. Perjalanan menuju-Nya membutuhkan kedewasaan dan kesungguhan
b. Al-Qur’an sebagai peta perjalanan transformasi diri hamba untuk kembali menuju Tuhannya
c. Mendasarkan pengabdian dan perjalanan pada Al-Qur’an
d. Al-Qur’an menuntun perjalanan agar hamba tidak salah dalam mencari Tuhan. Boleh jadi malah mempertuhankan selain-Nya, entah itu jabatan, kekayaan, keluarga, harga diri, atau ketakutan yang dipertuhankan.

3. Puncak permohonan menuju Tuhan: Ihdina-sh-shirath al-mustaqim
a. Amat penting memahami doa yang kita panjatkan setiap hari
b. Rabb ada di atas shirath al-mustaqim. Mencari Rabb melalui pencarian akan shirath al-mustaqim. Pengetahuan tentang shirath al-mustaqim akan membantu dalam meniti perjalanan
c. Menuju Allah Ta’ala hanyalah dengan “pengabdian”. “Mengabdi” menurut Abu Yazid Al-Bisthami adalah

Sabar dalam ujian-Nya
Syukur dengan ni’mat-Nya
Ridha dengan segala ketetapan-Nya

4. Mengenal struktur pesan-Nya dalam Al-Qur’an melalui konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin
a. Al-Fatihah sering disebut sebagai ummul-kitab (induk kitab)
b. Konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin paralel dengan konsep keturunan yang mana variasi karakter anak-anak yang dilahirkan menjelaskan orang tuanya.

c. Berbagai konsep dalam Al-Fatihah (sebagai ummul-kitab) seperti bismillahirrahmanirrahim, pengabdian, shirath al-mustaqim, dan sebagainya dirinci dalam surat-surat lainnya (sebagai kitabul-mubin atau kitab penjelas/pemerinci). Bismillahirrahmanirrahim sebagai ummul-kitab dalam Al-Fatihah dijelaskan oleh keenam ayat lainnya sebagai kitabul-mubin.
d. Dengan konsep ini maka seluruh kata dan huruf dan Al-Qur’an saling mengunci dan melengkapi (komplementer), tidak mungkin ditambah dan dikurangi

5. Mempraktekkan konsep ketertautan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mencari shirath al-mustaqim (SM)
a. SM adalah jalan di mana Rabb ada di atasnya (QS 11:56).
b. SM setara dengan agama (ad-diin) (QS 6: 161).
c. Agar ditunjuki ke SM maka harus berjuang mengalahkan hawa nafsu dan syahwat (QS 4: 66)
d. SM merupakan jalan orang-orang yang diberi ni’mat (QS 1: 7)
e. Siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya akan disertakan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang yang berada di SM) (QS 4:69)

 Pendahuluan

Beberapa catatan dalam pengajian ini:

- Pelayanan pengajian ini tidak mengikat dan memungut biaya bagi para peserta
- Meskipun demikian diharapkan kehadirannya secara sinambung
- Diharapkan terjadi dialog dan diskusi di dalam forum

Selain mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, pengajian ini mengacu pada karya-karya orang suci seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Beberapa buku beliau-beliau sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti:

1. Al-Ghazali:
o Misykat Cahaya-cahaya (Al-Misykatul Anwar)
o Keajaiban Hati (‘Ajaib-ul-Qulub)
o Asma-ul-Husna
o Ihya ‘Ulumuddin (terjemahan Prof Isma’il Yakub)
o Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi (Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatus Salikin)

2. Ibnu al-‘Arabi:
o Pohon Kejadian (Syajaratul Kaun)
o Pohon Semesta
o Hakikat Lafadz Allah (Kalimatullah Kitab Al-Jalalah)
o Sufi-sufi Andalusia (Ruh-Al-Quds fi Munashahat-an-Nafs [Ruh Al-Quds sebagai penasihat jiwa] & Ad-Durrat-ul-Fakhirah)

3. Maulana Jalaluddin Rumi:
o Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya
o Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi (Reynold A. Nicholson)

Insan-insan tersebut di atas merupakan waliyullah oleh karena itu menjadi rujukan utama pengajian ini. Karena apapun yang dikerjakan para waliyullah akan tertunjuki sehingga tingkat akurasinya tak diragukan lagi. Beberapa kalangan memandang aneh terhadap karya dan tradisi tashawwuf para wali yang beberapanya disebut di atas.Selain itu masing-masing waliyullah mengurai khazanah yang seolah-olah berbeda jauh bahkan bertolak belakang. 

Misalnya di dunia barat dikenal pembedaan antara path of knowledge (jalan/thariqah pengetahuan)—yang umumnya disandarkan pada Ibnu al-‘Arabi, dan path of love (jalan/thariqah cinta)—yang umumnya disandarkan pada Rumi. Bagi orang-orang yang menyenangi sajak-sajak bercita rasa tinggi mungkin sajak-sajak Maulana Rumi terasa lebih cocok untuk mengisi kekosongan hati. Sedangkan bagi orang-orang yang menyukai paparan yang falsafi (bercorak filsafat) sering kali memilih Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi.

Pada dasarnya bagi seorang pencari/pejalan pembedaan tersebut tidak berlaku karena kedua-duanya hadir secara bersamaan: cinta kepada Allah Ta’ala dan pengetahuan tentang kebenaran itu menyatu. Hanya mungkin Maulana Rumi dalam guratan kisah hidupnya banyak menghadirkan fenomena ‘mabuk’ karena cinta kepada Allah sedangkan Ibnu ‘Arabi banyak banyak menghadirkan karya pemikiran yang seolah merupakan pengetahuan yang ‘rumit’. Kedua jalan tersebut sebenarnya sama saja, bagai pisau bermata dua yang kedua matanya sama tajamnya. 

Demikian pula, para pengamat melabeli Al-Ghazali dengan istilah tashawuf amaliah, artinya menekankan amalan-amalan sunah sebagai cara berjalan—yang ditentang-hadapkan dengan jalan bercorak cinta Maulana Rumi atau bercorak filsafatnya Ibnu al-‘Arabi. Tetapi, jika kita membandingkan buku-buku karya ke duanya, seperti “Pohon Kejadian” (Ibnu al-‘Arabi) dan “Misykat Cahaya-cahaya” (Al-Ghazali), maka akan kita dapati keserupaan: dimana buku pertama berbicara tentang ‘pohon semesta’ yang berfokus pada manusia paripurna atau insan kamil sebagai qalb semesta sedangkan ‘misykat cahaya-cahaya’ mengkaji rinci tentang struktur insan. Kedua buku tersebut pada dasarnya adalah identik.

Dalam menghayati sajak-sajak Maulana Rumi yang seolah sederhana pun jika tidak dipahami struktur permasalahannya maka masing-masingnya seakan tak berhubungan. Jika struktur permasalahannya terpahami maka sahabat-sahabat akan merasakan kekuatan sajak-sajak beliau. Oleh karena itu banyak buku para waliyullah yang terjemahannya cukup buruk karena sang penerjemah terseok-seok dalam menangkap aspirasi teks tersebut terutama kalau sang penerjemah bukan seorang pejalan.

 Tashawwuf dalam Al-Qur’an

Seringkali dalam proses menuju Allah Ta’ala manusia berfikir tentang Tuhan, bertafakkur, merenung. Terkadang manusia memikirkan nasib dirinya yang malang, “kenapa Tuhan memperlakukan saya demikian, kenapa Tuhan tidak adil kepada saya”. Tetapi mengapa manusia tidak pernah mencari kira-kira apa dasar policy/kebijakan Tuhan menciptakan alam semesta, menciptakan sebuah variasi sosial yang beragam, mengapa diberi bencana, mengapa diberi ni’mat, mengapa negeri ini hancur lebur seperti begini, yang semuanya tentu muncul dari ketetapan Allah Ta’ala. Apapun yang hadir dan terjadi di alam semesta pasti atas ijin Allah Ta’ala. Iblispun juga hadir dengan ijin Allah Ta’ala. Tidak ada yang bergerak tanpa diijinkan atau dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Yang baik maupun yang kita anggap buruk—semua saja yang hadir di alam semesta—hadir dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi kreasinya sendiri dan mandiri tanpa Allah kehendaki.

Sebenarnya di balik peristiwa yang mengguncangkan, menggelitik, menampar, memfrustasikan kita masing-masing itu tak ada yang tak datang dari Allah Ta’ala. “Jika Tuhanku mengijinkan sebuah petaka menimpa saya, pasti bukannya tak bertujuan”. Sayangnya cambuk tersebut tidak pernah membuat kita bertanya secara fundamental. Kita dibuat sibuk habis-habisan di dalam keseharian, persoalan yang hadir bak benang kusut yang sulit diurai; kita terjebak lemas dalam jeratan dan tak sanggup bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan sederhana. Bahkan mungkin sulit untuk sekedar bergumam: “harus menuju kemanakah kita?”.

Tema sentral pengajian ini adalah “Tashawwuf dalam Al-Qur’an”. Mengapa demikian? Seorang Muslim pada dasarnya tidak diperkenankan mengikuti sebuah persoalan yang tak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, terlebih bagi hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya, berjalan menuju Allah Ta’ala. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan-Nya, peta transformasi diri sang hamba untuk menuju Tuhannya.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS Al-Israa’ [17]: 36)

Bagaimanakah caranya menuju Allah Ta’ala? Hal ini bukanlah persoalan yang sederhana. Allah menuntut kedewasaan kita dalam menjawab persoalan besar ini. Jika perkara kembalinya sang hamba hanya merupakan sesuatu yang bersifat sampingan, dianggap sesuatu yang sambil lalu, maka kesungguhan dan kedewasaan kita dalam menuju-Nya patut dipertanyakan.

Dalam menemui kembali sesuatu yang kita cintai maka sepatutnya kita akan sangat respek dan amat perhatian pada informasi yang berkenaan dengan sesuatu tersebut. Sebagai hamba yang mau menuju Allah tentu kita akan sangat memperhatikan segala yang datang dari Sesuatu yang kita tuju. Apapun pesan yang datang dari-Nya akan dicari dengan amat kehausan. Sudah demikiankah kita? Lain halnya jika hati dan pikiran tidak menuju sesuatu; boleh jadi Al-Qur’an tidak pernah dibuka karena kurang mendesak dan kurang penting.

Kedewasaan kita akan sungguh-sungguh diuji dalam mencari-Nya. Dari hal yang paling sederhana, yaitu pengharapan harian kita, hingga jejak-jejak yang Ia tinggalkan dalam Al-Qur’an harus kita lacak dengan kesungguhan penuh. Jika sebelumnya kita biasa membuka Al-Qur’an, melafazhkan bacaannya, hingga berusaha membaca terjemahannya, maka pencarian lebih lanjut mendesak kita untuk mulai mengenali apakah gagasan Al-Qur’an. Apakah ide dasarnya, apa saja informasi yang terkandung di dalamnya, seperti apa format distribusi informasinya (yang memungkinkan kita memahami struktur gagasan Al-Qur’an). Lepas dari tepat atau tidaknya terjemahan Al-Qur’an, pernahkah kita menuntaskan seperempat atau paling tidak sepersepuluh Al-Qur’an?

Kita perlu studi tentang bagaimana cara berkomunikasi antara hamba dengan Tuhan, bagaimana perambatan/penjalaran (propagasi) informasinya. Al-Qur’an membicarakan semua informasi itu: perangkat apa yang dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana cara menggunakannya, seperti apa propagasi informasinya. 

Hal demikian diurai Al-Qur’an agar hamba tak tersesat dalam perjalanan menuju Tuhannya. Seringkali hamba menyembah sesuatu yang dipersangkakan sebagai Tuhan padahal bukan. Seperti kambing yang berkaca di air dan melihat matahari di dalam telaga padahal tentunya matahari ada di atas. Seperti kabayan menganggap laut teramat dalam karena melihat bayangan langit di atas permukaan air sehingga ia takut menyeberang. Tuhan manakah yang kita cari? Tuhan (ilah) itu banyak, ada jabatan yang dipertuhankan, kekayaan yang dipertuhankan, perempuan yang dipertuhankan, harga diri yang dipertuhankan, lantas Tuhan manakah yang akan kita tuju?

Bagaimanapun hari ini kita diuji tentang Al-Qur’an. Awalnya mungkin kita tidak tertarik kepada Al-Qur’an karena kita tak paham bahasanya. Mungkin bahasanya terlalu rumit, aneh, tak runtut, melompat-lompat, membosankan, menjemukan, tidak rapi, dan sebagainya; memang begitulah desain Al-Qur’an. Tetapi kalau kita paham artinya, Insya Allah nanti setelah pengajian ini selesai, maka Al-Qur’an akan nampak lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.

Mulai saat ini perlu kita lebih sering menelaah Al-Qur’an, meskipun sekadar terjemahannya. Lebih baik lagi jika dapat memahami bahasa Arabnya; karena antara teks arab dengan terjemahan umum berjarak cukup jauh meskipun sekian puluh persen gagasan dasarnya terungkap oleh terjemahan.

 Shirath al-Mustaqiim: Jalan Menuju Allah Ta’ala

Menuju Allah Ta’ala adalah perkara yang luar biasa besar sekaligus pelik. Kita akan mulai menelaahnya dari hal yang paling biasa kita temui: Shalat. Dalam keseharian kita sering melaksanakan shalat baik yang wajib maupun yang sunnah. Shalat itu pada prinsipnya merupakan rangkaian doa dari awal sampai akhir. Jika kita cukup memahami arti seluruh bacaan dan gerakan shalat maka kesemuanya merupakan panjatan doa. Berkaitan dengan doa sebagai permohonan dan pengharapan hamba kepada Tuhannya maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada Surah Al-Fatihah yang tentunya juga merupakan doa. Kita akan menyigi permohonan dan pengharapan harian kita tersebut dan menguji apakah ada yang tidak kita pahami.

Salah satu permohonan doa yang paling eksplisit terlihat dalam Al-Fatihah adalah:

“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sh-Shirath al-Mustaqiim”.

“Kepadamu kami mengabdi dan kepadamu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami Shirath al-Mustaqiim (‘jalan yang lurus’)”. (QS Al-Fatihah [1]: 5 – 6).

Terdapat istilah ‘Shirath al-Mustaqiim’ dalam doa tersebut. Tapi apakah itu shirath al-mustaqim? Permohonan tersebut kita lantunkan saat shalat dalam hari-hari kita. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak kita apakah kita cukup paham akan permintaan dan pengharapan yang kita panjatkan pada-Nya. Allah Ta’ala telah mengingatkan

“... Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya …” (QS Huud [11] : 46).

Apakah yang diharapkan dari doa “tunjuki hamba, ke Shirath al-Mustaqiim”? Apakah itu Shirath al-Mustaqiim? Apakah serupa dengan jalan bebas-hambatan yang yang lurus; Apakah kelancaran dalam bisnis supaya selalu mulus jalannya; Apakah kerapihan dalam rumah tangga; Apakah jalan bebas-hambatan di surga nanti; Apakah jembatan di neraka supaya kita tidak terperosok ke dalam api neraka; Apakah sebuah jalan yang tajamnya seperti rambut dibelah tujuh? (‘Titian serambut dibelah tujuh’ yang tajam bagaikan pisau silet yang diujarkan para orang tua kita merupakan metafora atau perumpaan yang menggambarkan amat sulitnya sebuah perjalanan). Boleh jadi selama ini permintaan tersebut tidak kita rasakan urgensinya, karena kebuntuan kita memahami persoalannya.

Tentu saja Allah Ta’ala menuntut kedewasaan kita untuk memahami segala apa yang Ia maksud. Mungkin kita perlu merasa malu ketika kita terus meminta sesuatu yang Ia telah tuliskan, sembari terus melanggar kalimat-Nya yang lain—yang menuntut kita memahami pengharapan yang kita panjatkan. Ini semua membuat kita perlu studi lebih jauh apakah Shirath al-Mustaqiim itu.

Ia berfirman: “… Inna Rabbii ‘alaa shirathimmustaqiim”

“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath al-Mustaqiim” (QS Huud [11]:56)

(Gambar-1)

Para pencari Allah yang sungguh-sungguh tentunya akan mencari tanda-tanda di mana Ia berada. Dan Allah Ta’ala memberikan kunci pembuka: Ia di atas Shirath al-Mustaqiim. Dengan demikian para pencari harus menemukan jalan tersebut. Seperti apakah ciri-ciri jalan tersebut.

Saat ini kita akan berusaha menjawab gagasan Shirath al-Mustaqiim hingga bagaimana mencarinya. Tanpa mengetahui do’a harian kita tersebut kita pun tidak paham apakah Tuhan menjawab permohonan kita atau tidak. Tanpa mengetahui di mana Shirath al-Mustaqiim berada maka wajar kita ragu-ragu sedang di manakah kita berada: di jalan sempit Shirath al-Mustaqiim-kah, jalan bebas-hambatan Shirath al-Mustaqiim-kah, atau sedang terperangkap di hutan antah berantah. Jika hal ini tidak terjawab sampai usai pengajian, maka boleh jadi pengajian ini gagal.

Singkat kata, tidak ada jalan lain menuju Allah Ta’ala selain melalui Shirath al-Mustaqiim, dan satu-satunya cara menempuhnya adalah dengan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Sesuai dengan QS Al-Fatihah [1] : 5), maka pengabdian harus dilakukan terlebih dahulu baru permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan dalam perjalanan. Kata ‘mengabdi’ merupakan kata yang kaya makna dan perspektif serta sering dirasa abstrak. Sebagai landasan bertolak, kita dapat menggunakan rumusan seorang waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami, yang telah memberikan penjelasan bahwa mengabdi adalah:

Sabar dalam ujian-Nya;
Syukur dengan ni’mat-Nya;
Ridha dengan ketetapan-Nya.

 Ummul Kitab dan Kitabul Mubin: Struktur Pesan-Nya dalam Al-Qur’an

Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).

Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai. 

Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).

(Gambar-2)

Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.

Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.

Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.

Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).

Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),

dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,

dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya

Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)

Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).

Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.

Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.

(Gambar-3)

Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),

kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”
(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)

(Gambar-4)

Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.

Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5). Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.

Was-salaamu 'alaikum wr wb

Gambar-1

Gambar-2

Gambar-3

 

Kajian Al Qur’an-materi-ke 2

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Merenungkan Tentang Kedudukan Manusia:
Belajar dari Kisah Penciptaan Adam a.s.



Adam a.s. semasa dalam penciptaan: 


1). Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada al-malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di Bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di Bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan meng-kuduskan-Mu?” (Tuhan) bersabda: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam al-asma akullaha, lalu mengemukakan kepada al-malaikat, maka (kemudian) berfirman: “Sebutkan kepada-Ku asma-asma tersebut jika kamu adalah shidiqiin.”


Mereka menjawab: "Subhanaka, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan 
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alim al-Hakim.”
Allah berfirman: "Hai Adam, beritakanlah kepada mereka asma-asma tersebut." Maka setelah diberitakan kepada mereka asma-asma tersebut, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui yang ghayb dari lelangit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"


Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk al-kafirin.
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu al-jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk adh-dhalimiin.


Lalu keduanya digelincirkan oleh asy-syaitan dari tempat semula dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Kemudian Adam menerima beberapa kalimah (sabda) dari Rabb-nya, maka Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat dan al-Rahim.


Manusia diciptakan dengan kedua belah tangan Tuhan:


 2). Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu takabur ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?".
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".


Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari sini; sesungguhnya kamu terkutuk,
sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai yaum ad-diin".
Iblis berkata: "Ya Rabb-ku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan".
Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang waktunya ditentukan".
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menjerumuskan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang al-mukhlasiin.


Kedudukan Malaikat:


Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, dan sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf. Dan sesungguhnya kami benar-benar al-musabbihun.


3).  Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala'ul a`la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.


4).  Jasad dari Aspek Tangan Kiri Ilahi ; Nafs (Jiwa) dari Aspek Tangan Kanan Ilahi…padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya 


5)...Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya


6).  Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami jadikan bagimu darinya (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.


7). Hembusan (Nafakh) dari ruh-Ku. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menghembuskan ke dalamnya dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.


8). Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kuhembuskan kedalamnya dari ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".


9). Letak Keutamaan Insan Menurut Imam Al-Ghazali: 


10). Ilmu (al-‘ilm) yang paling utama ialah mengetahui akan Allah, sifat-sifat-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Disinilah terletak kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan inilah bergantung bagian dan kebaikan manusia di hadapan Tuhan Yang Agung dan Sempurna.
Jasad itu kendaraan dari an-Nafs. An-Nafs itu tempat ilmu dan ilmu itulah tujuan manusia dan hakikat dirinya, yang untuk itulah manusia diciptakan. …


Manusia dipandang dari segi bahwa ia makan dan berketurunan—maka ia sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Dipandang dari segi bahwa ia merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, sama dengan binatang. Dipandang dari rupa dan bentuknya, ia sama dengan gambar yang dilukis pada dinding.
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui hakikat segala sesuatu.


Barangsiapa mempergunakan semua anggota dan kekuatannya ke arah membantu mendapatkan ilmu dan mengamalkannya, maka ia serupa dengan malaikat; atau dengan kata lain ia menyusul martabat malaikat dan patutlah ia disebut malak. Sebagaimana firman-Nya: “Ini bukanlah seorang basyar, melainkan ia seorang malak yang mulia” (QS Yusuf [12]: 31). 


Di Al-Jannah, kemudian Turun ke Bumi, kemudian … 


QS. Thaahaa [20]: 115-126


115. Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.


116. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam", maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.


117. Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.


118. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.


119. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".


120. Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"


121. Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan keduanya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah, dan durhakalah Adam kepada Rabb-nya dan sesatlah ia.


122. Kemudian Rabb-nya memilihnya maka Dia mentaubatkannya dan memberinya petunjuk.


123. Allah berfirman: "Turunlah kalian berdua dari jannah bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk (hudan) daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.


124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".


125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah sungguh seorang yang melihat?"


126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".


 QS. Al A’Raaf [7]: 11-25


11). Dan sungguh Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (al-saajidiin).


12). Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku perintahkan padamu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".


13). Allah berfirman: "Turunlah kamu dari situ; karena kamu tidak sepatutnya bertakabbur di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".


14). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".


15). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."


16). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan halangi mereka dari shirath Engkau yang lurus,


17). kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (sebagai) orang-orang yang bersyukur.


18). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari situ sebagai orang terhina lagi terusir. Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dari (jenis) kalian semuanya".


19). (Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di Jannah serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim (al-zaalimiin)".


20). Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka berdua, yaitu keburukan-keburukan mereka berdua, dan syaitan berkata: "Rabb kalian tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal".


21). Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya bagi kalian berdua adalah termasuk orang yang memberi nasehat (al-naashihiin)",


22). maka syaitan membujuk keduanya dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan mereka berdua, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian berdua adalah musuh yang nyata?"


23). Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah zalim pada kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (al-khosiruun)".


24). Allah berfirman: "Turunlah kalian, sebahagian kalian menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kalian mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di bumi sampai waktu yang telah ditentukan".


25). Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dikeluarkan.”


 Do’a Nabi Adam a.s. dan do’a Iblis


Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ketika Nabi Adam a.s. turun ke bumi, ia berdoa,”Ya Rabbi, inilah syaitan, dimana telah Engkau jadikan permusuhan antara aku dan dia. Kalau Engkau tidak memperhatikan dia, maka aku tidak akan kuat mengatasinya.” Berfirman Allah s.w.t., ”Tidak akan dilahirkan seorang anak bagimu melainkan telah diserahi seorang malaikat untuk menjaganya.”


Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah tambahan bagiku.” Berfirman Allah s.w.t., “Aku akan membalas satu kejahatan dengan satu kejahatan, dan satu kebaikan akan Kubalas dari sepuluh kali lipat sampai kepada apa yang Kukehendaki.”
Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah aku tambahan.” Berfirman Allah s.w.t., “Pintu taubat tetap terbuka selama roh masih ada di jasad.”


Lantas Iblis berkata, “Ya Tuhan, Adam inilah orang yang akan Kau muliakan atas aku. Jika Engkau tidak memperhatikan, aku tidak kuat mengatasinya.” Firman Allah s.w.t., “Tidak akan dilahirkan seorang anak bagi Adam melainkan akan dilahirkan juga seorang anak untukmu.”


Kata Iblis, “Ya Tuhan, berilah aku tambahan.” Firman Allah s.w.t., “Engkau bisa berjalan pada mereka seperti perjalanan darah dan engkau bisa membuat hati mereka (bani Adam) sebagai rumah.”
Kata Iblis, “Berilah aku tambahan.” Allah berfirman, Bawalah mereka dengan pasukan kudamu dan pasukan yang berjalan kakimu, sertailah mereka dalam urusan harta benda dan anak-anak, serta berilah mereka janji. Dan tidaklah yang dijanjikan syaitan melainkan tipuan belaka.” QS. Al-Isra’[17]: 64,


11 Dialog Nabi Nuh a.s. dengan Iblis 


Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Nuh a.s. berlayar dengan bahteranya, beliau membawa ke dalamnya segala sesuatu secara berpasangan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepadanya. Lalu beliau melihat di atas perahu itu terdapat seorang tua yang belum pernah beliau kenal, maka bertanyalah beliau kepada orang tua tersebut, “Mengapa engkau masuk ke sini?” 


Si orang tua itu menjawab, “Aku masuk ke sini untuk memperoleh hati sahabat-sahabatmu, sehingga hati mereka bersama aku sedangkan tubuh mereka bersama engkau.” Nabi Nuh a.s. berkata kepada orang tua (iblis) itu, “Keluarlah engkau dari bahtera ini, wahai musuh Allah! Sungguh engkau ini yang dilaknat.” Maka berkata orang tua ini kepada Nabi Nuh a.s., “Ada lima hal yang kupakai membinasakan manusia. Tiga dari lima perkara ini akan kuceritakan kepadamu dan yang dua perkara lagi tidak akan kuceritakan kepadamu.”


Maka Allah memberi wahyu kepada Nabi Nuh a.s. bahwa sebenarnya beliau tidak perlu kepada perkara yang tiga itu. Hendaklah beliau meminta iblis itu agar menceritakan perkara yang dua itu saja. Lalu Nabi Nuh a.s. bertanya kepada iblis tersebut, “Apakah perkara yang dua itu?” Iblis menjawab, “Dua hal itu ialah yang tidak pernah mengecewakanku, dan dengan dua hal inilah aku membinasakan manusia, yaitu tamak dan iri-dengki. Karena iri-dengki inilah aku dilaknat dan dijadikan ‘asy-syaitan al-rajim.’” 


12 Dialog Nabi Musa a.s. dengan Iblis


Diriwayatkan bahwa sewaktu Nabi Musa a.s. bertemu dengan iblis, ia berkata kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Musa! Engkaulah orang yang dipilih Allah dengan risalah-Nya, dan engkau adalah orang yang menerima Kalamullah; sedangkan aku hanyalah salah seorang dari makhluk Allah. Aku berdosa dan hendak bertaubat. Mintakanlah aku syafa’at kepada Tuhan, agar Tuhan menerima taubatku.” Nabi Musa a.s. menjawab: “Ya.”
Maka setelah Nabi Musa a.s. naik ke gunung untuk menerima Kalamullah azza wa jalla dan hendak turun, berfirmanlah Allah s.w.t. kepada Nabi Musa a.s, “Hai Musa! Sampaikan amanat.” Maka berdoalah Nabi Musa a.s., “Hamba-Mu iblis ingin Engkau menerima taubatnya.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Musa a.s., “Telah Kuperkenankan hajatmu. Perintahkanlah ia agar bersujud ke kubur Adam sehingga diterima taubatnya.”


Nabi Musa a.s. lantas menemui Iblis dan berkata kepadanya, “Hajatmu telah diperkenankan, dan engkau diperintahkan bersujud ke kubur Nabi Adam a.s. agar engkau diampuni.” Sambil marah dan menyombong Iblis berkata, “Di kala masih hidup aku tidak sudi bersujud kepada Adam, masakan aku harus sujud kepadanya sesudah ia jadi mayat?” Kemudian berkatalah Iblis kepada Nabi Musa a.s., “Ada kewajiban bagiku untuk memberikan suatu hak kepadamu, sebagai imbangan bahwa engkau telah memintakan syafa’at untukku kepada Tuhanmu. Ingatlah kepadaku dalam tiga keadaan, yang mana aku tidak akan merusakkan engkau dalam keadaan yang tiga itu.


a). Ingatlah kepadaku waktu engkau marah, sebab waktu itu diriku berada di hatimu dan mataku berada di matamu dan aku akan berjalan di tubuhmu sebagaimana darah mengalir. Ingatlah kepadaku ketika marah, sebab apabila seseorang marah, kutiup hidungnya sehingga ia tidak tahu lagi apa-apa yang ia perbuat.
b). Ingatlah padaku ketika engkau di medan peperangan, sebab aku akan mendatangi orang-orang yang sedang bertempur, lantas aku ingatkan orang-orang itu kepada istri, anak dan keluarga sampai orang itu berpaling dari barisan.
c). Jauhilah duduk-duduk dengan perempuan yang bukan mahram, sebab akulah yang menjadi suruhan perempuan itu kepadamu dan suruhanmu kepada perempuan tadi. Aku senantiasa berbuat demikian sampai engkau dapat kufitnah dengan wanita itu, dan kufitnah wanita itu dengan engkau. 


13 Dialog Nabi Yahya a.s. dengan Iblis


Diriwayatkan bahwa iblis pernah mendatangi Nabi Yahya a.s. Beliau melihat barang-barang bergantungan pada diri si iblis. Bertanyalah beliau kepada iblis tersebut, “Benda-benda apakah yang bergantungan itu?” Iblis menjawab, “Ini adalah syahwat-syahwat yang kupergunakan untuk menguasai manusia.”
Bertanya Nabi Yahya a.s., “Apakah yang terdapat dalam syahwat itu?” Iblis menjawab, “Kadang-kadang dengan syahwat itu engkau kekenyangan lantas kuberatkan engkau dari mengerjakan shalat dan zikir.” Bertanya Nabi Yahya a.s., “Adakah yang lain lagi?” Iblis menjawab, “Tidak!” Berkata Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memenuhi perutku dengan makanan.” Lantas iblis berkata kepada Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memberi nasihat kepada orang yang berserah-diri.” 


14 Kisah Iblis Sewaktu Kelahiran Nabi Isa a.s.


Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Isa bin Maryam a.s. dilahirkan, berdatanganlah syaithan-syaithan kepada Iblis. Mereka melaporkan bahwa berhala-berhala telah tersungkur semuanya.
Iblis menjawab, “Ini tentu ada perkara yang baru yang terjadi di negerimu.” Lalu iblis terbang ke sebelah barat dan timur dari bumi ini, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, iblis menemukan Isa a.s. telah lahir dengan dikelilingi oleh para Malaikat. Iblis lalu kembali kepada syaithan-syaithan komplotannya, dan berkata, “Kemarin telah dilahirkan seorang Nabi. Tidak ada seorang perempuan pun yang hamil atau melahirkan yang tidak kudatangi, kecuali orang ini. Sesudah malam ini, tinggalkanlah soal penyembahan berhala—tetapi datangilah keturunan Adam dari jurusan sifat tergesa-gesa dan keinginannya.” 


15 Teladan Nabi Muhammad s.a.w.


Berkata al-Hasan, ”Diberitakan kepadaku bahwa Jibril a.s. datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata, ‘Sesungguhnya jin ifrit akan menggoda engkau, apabila engkau hendak tidur bacalah ayat kursi.’“ 16
Bersabda Nabi s.a.w., “Sungguh telah datang setan kepadaku, lantas ia membantah dan memusuhi aku. Lalu kupegang tenggorokannya. Maka demi Yang Mengutusku dengan haqq, tidak akan kulepaskan ia sehingga aku mendapat dingin air mulutnya pada tanganku. Dan kalau tidak karena seruan saudaraku Sulaiman a.s., maka ia tentu akan jadi terlempar dalam masjid.” 


17 CATATAN


1. Q.S. Al-Baqarah [2 ] : 30-37
2. Q.S. Shaad [38] : 75-83
3. Q.S. Ash-Shaaffaat [37] : 164-166
4. Q.S. Shaad [38]: 69
5. Q.S. Az-Zumar[39] : 67
6. Kasyaf al-Asrar VIII 435
7. Q.S. Al-‘Araaf [7] : 10
8. Q.S. Al-Hijr [15] : 29
9. Q.S. Shaad [38] : 72
10. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, hh. 21-22.
11. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 121.
12. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 99.
13. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 97.
14. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 100.
15. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
16. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
17. Hadits Nabi s.a.w.


 Kajian Al Qur’an-materi-ke 3

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Struktur Insan: Skema Interaksi


 Mengenai Jasad, Nafs, Qalb, Ruh, ‘Aql


Jasad atau Jisim atau Bentuk (jasd, jism, shuwar)


Tubuh manusia yang tersusun dari materi dasar api, tanah, air dan udara, sebagaimana yang dapat kita indrai. Unsur-unsur dasar yang membentuk manusia itu sama dengan unsur-unsur dasar dari bumi, tempatnya jasad itu tinggal.
Jasad dihidupkan oleh hembusan ruh. Setelah hidup ia memerlukan enersi, yang dapat diperolehnya dari makanan yang bersumber dari bumi.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan al-insan dari saripati tanah.” 


1-Nafs (tunggal = an-nafs, jamak = al-anfus)


Merupakan suatu barzakh (intermediary) antara jasad dan ruh. Jiwa tersusun dari unsur cahaya ilahiah; ia memiliki suatu kehidupan tersendiri yang terpisah dari jasad. Jiwa memperoleh enersinya dari ruh.


Jiwa merupakan hakikat ke-insan-an seseorang—jiwa lah yang membuat insan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Jiwa lah yang menjadi sasaran pendidikan Ilahi. Di dalam jiwa ditempatkan ruh; ke duanya ditempatkan dalam jasad. Alam jiwa disebut juga alam mitsal.


Jadi, selama perjalanannya di Bumi, jiwa (nafs) menggunakan kendaraan jasad. Dapat dikatakan jasad merupakan “nagari” atau “kota” pertama (yaitu, lingkungan yang paling dekat) bagi jiwa. Diberikannya perangkat jasad kepada jiwa dimaksudkan agar jiwa dapat mengambil bagian dalam pendidikan Ilahiah yang ditebarkan di Bumi. Di Bumi ini pula ia diseru untuk melaksanakan maksud dari penciptaannya.


Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu pada kaum hingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada nafs-nafs mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan tak ada bagi mereka satu penolong pun selain Allah. 


2-Dan adapun orang-orang yang takut (khawf) terhadap maqam Rabb-nya dan menahan nafs dari hawa nafsu, maka sesungguhnya jannah-lah tempatnya.


3-Karena yang menjadi sasaran pendidikan ilahi adalah jiwa, pembahasan lebih mendalam ditujukan untuk memberikan pengantar bagi pendidikan jiwa melalui pensuciannya, yang disebut pula tazkiyatun-nafs atau jihadun-nafs.


 Ruh (tunggal = ruh, jamak = arwah)


Ruh tersusun dari unsur cahaya yang paling murni dan paling tinggi kedudukannya dalam keseluruhan aspek manusia. Yang dihembuskan kepada manusia setelah disiapkan segala sesuatunya.


Ruh memberikan kehidupan kepada jasad—tanpa ruh jasad segera terurai kembali menjadi unsur-unsur bumi pembentuknya. Ruh merupakan sumber enersi bagi nafs. Apabila cahaya ruh tidak mencapai nafs maka nafs tersebut, sekalipun dia tetap hidup, akan tetapi dia tidak memiliki enersi atau lumpuh.


Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (dari)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan af’idah. Sedikit sekali kalian bersyukur.


4-Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (dari)- Ku; maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya.


5-Qalb (tunggal = qalb, jamak = qulub)


Aspek partikular dari an-nafs tempat dikendalikannya seluruh elemen yang lain.


Di dalam diri insan—tepatnya pada perangkat qalb-nya—bertemu tiga alam yang berbeda, yakni: jismaniyyah, mitsal, dan arwah atau disebut pula tiga martabat kauniyyah.


Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang lelaki dua qalb dalam rongganya.
6- ‘Aql (al-‘aql, dibedakan dengan nalar atau akal jasad)


Aspek partikular dari Qalb, merupakan perangkat untuk menangkap dan mendapatkan al-‘ilmu—yakni ilmu ketuhanan, yang didapatkan dengan hakikat penghambaan. Jadi, ilmu (al-‘ilmu) ini dibedakan dengan ilmu biasa yang kita kenal sehari-hari, yaitu yang ditangkap oleh nalar dan didapatkan dengan jalan pengkajian.


Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka ber-‘aqal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah al-qalb yang ada di dalam shudur.


7-“Barangsiapa berbuat dosa, maka berpisahlah ia dari ‘aqal-nya dan tidak akan kembali selamanya.”


8-Nafsu’l-Mutmainnah: yang Seyogyanya Dididik Menjadi Penggembala


Pensucian jiwa ditujukan untuk mendidik satu komponen jiwa—nafsu’l-muthmainnah—yang berperan sebagai penggembala yang kuat dan ber-ilmu, sehingga ia mampu mengatur komponen-komponen jiwa lainnya yang merupakan obyek gembalaannya. Jika yang seharusnya berperan sebagai sang gembala tertidur ataupun lumpuh kekurangan enersi, maka komponen-komponen lainnya bersikap liar dan kemudian saling berlomba menguasai qalb—yang berarti menguasai diri seseorang sepenuhnya.


Dan aku tidak membebaskan nafs-ku karena sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan (nafs amara bissu’), kecuali (nafs) yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang


.9-Dan aku bersumpah dengan nafs yang mencela (nafs al-lawwamah)
10-Wahai nafs al-muthmainnah! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya.
11- Syahwat dan Hawa Nafsu


Pendidikan jiwa atau transformasi menuju Hakikat Insan yang sejati menghadapi tiga jenis musuh, yaitu: (1) Syahwat, hasrat yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat material; (2) Hawa-Nafsu, berkenaan dengan yang bersifat non-material, sperti misalnya takabur, riya’, ujub, harga-diri, dst.; (3) Syaithan, terdiri atas golongan jin dan manusia, yang mempengaruhi manusia dengan memperalat syahwat dan hawa-nafsu.


Dijadikan indah pada manusia kencintaan pada syahwat dari wanita-manita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. 


12-Katakanlah, ”Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai (hubb) daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di sabil-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan ‘amr-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqin). 


13-Maka pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah menyesatkan berdasar ‘ilm-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan menjadikan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?


14-Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah)? Maka apakah kamu dapat menjadi wakil atasnya?


15… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari sabil Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari sabil Allah akan mendapat azab yang sangat pedih disebabkan mereka melupakan Hari Penghisaban (yawm al-Hisab).


16-Qalb Sebagai Singgasana Sang Raja


Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia shalih maka shalih-lah seluruhnya, jika ia fasad (rusak) maka fasad-lah seluruhnya. 


17-Qalb itu ibarat singgasana Sang Raja. Komponen diri mana saja yang tengah berhasil menduduki qalb akan berkedudukan sebagai Raja dan memperlakukan komponen-komponen lainnya sebagai bala-tentaranya. Jika shaleh Sang Raja tersebut, maka shaleh pula bala tentaranya; sedangkan bila Raja-nya fasad (rusak) maka fasad pula bala-tentaranya.


 Sang Raja yang tengah bertahta di atas singgasana qalb mempunyai 2 jenis bala-tentara:


1. Tentara Lahir: JISIM


• Tingkat 1: “… delapan pasang binatang ternak…” 


18-(Lihat Gambar)


1 Mata - Mata
2 Telinga - Telinga
3 Hidung - Hidung
4 Tangan - Tangan
5 Kaki - Kaki
6 Lidah - Perut
7 Mulut - Larinx
8 ↑ atau ↓ Pada orang lain


• Tingkat 2: “… tiga lapis kegelapan … “
19-i. Penglihatan
ii. Pendengaran
iii. Al af’idah


 2. Tentara Batin: HAWA atau HAWA-NAFSU


Keberadaan hawa-nafsu (hawa), Imam Al-Ghazali menyebutnya tentara bathin dari qalb, pada diri seseorang hanya bisa dilihat oleh mata batin, atau penglihatan dari qalb. Hawa-nafsu itu sesuatu yang memang ada, dan memang tidak untuk dihilangkan. Tujuan dari tazkiyatun-nafs adalah untuk mengendalikannya dan bukan untuk menghilangkannya. Sekalipun demikian, bagi kebanyakan orang aspek hewaniyyah-nya yang terus berhasil menguasai dirinya, karena nafsu’l muthmainnah-nya lumpuh.


 CATATAN
1. QS Al-Mu’minun [23]: 12
2. QS Ar-Ra’d[13]: 11
3. QS An-Naazi’aat[79]: 40
4. QS As-Sajdah[32]: 9
5. QS Shaad[38]: 72
6. QS Al-Ahzab[33}: 4
7. QS Al-Hajj[22]:46
8. Hadits Nabi s.a.w.
9. QS Yusuf[12]: 53
10. QS Al-Qiyamah[75]:2
11. QS Al-Fajr[89]: 27 – 28
12. QS Ali ‘Imran [3] : 14
13. QS At-Taubah[9]: 24
14. QS Al-Jatsiyah[45]: 23
15. QS Al-Furqan[25]: 43
16. QS Shaad[38]: 26.
17. Hadits Nabi s.a.w
18. QS Az Zumar [39]: 6
19. QS An Nuur [24]: 40


 

 Kajian Al Qur’an-materi-ke 4

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Struktur Insan: Qalb 
4 Jenis Qalb:


Qalb itu ada empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang. Maka itulah qalb Al-Mu’min. Qalb yang hitam terbalik, maka itulah qalb Al-Kafir. Qalb terbungkus yang terikat dengan bungkusnya, maka itulah qalb Al-Munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan dan ke-nifaq-an. 
1 Mengapa Qalb yang Bersih Diperlukan  Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’” 
2 Beberapa Karakteristik Qalb Ideal


Ali k.w. berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai wadah di bumi-Nya, yaitu qalb. Maka qalb yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala adalah yang paling kuat, yang paling bersih, dan yang paling lembut. Kemudian Ali k.w. menafsirkannya dengan mengatakan, “Paling kuatnya qalb itu mengenai Agama, paling bersihnya itu mengenai keyakinan, dan paling lembut kepada saudara-saudara. 
3 Kedudukan Manusia Bergantung Kualitas Qalb-nya


Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikan-Nya baginya Penasehat dari qalb-nya.
4 Barangsiapa mempunyai Penasehat dari qalb-nya, niscaya ada penjaga dari Allah kepadanya. 
5 Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi qalb Bani Adam, niscaya mereka itu melihat ke alam malakut.
6… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan. 


7. Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang itu bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang takwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad.” 


8 Dosa Itu Mengotori Qalb 
Manakala dosa itu telah bertindih-lapis, niscaya tercapkanlah di atas qalb. Dan pada ketika itu, butalah qalb dari mengetahui kebenaran dan kebaikan Agama. Dan ia mempermudah urusan akhirat. Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah cita-citanya terbatas pada dunia. Maka apabila pendengarannya diketuk dengan urusan akhirat dan bahaya-bahaya yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga yang satu lagi. Tidak menetap di dalam qalb dan tidak menggerakkannya kepada taubat dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah orang-orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana putus asanya orang-orang kafir yang di dalam kubur. 


9 Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh ‘aql yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. 


10 Dan tidaklah yang mendustakan hal itu (yawm ad-Din) melainkan orang-orang yang melampaui batas lagi berdosa … sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup qulub mereka. 


11 Dan di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” Padahal mereka itu bukan orang-orang yang mu’min. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadari. Dalam qulub mereka terdapat penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka azab yang pedih disebabkan mereka berdusta. 


12 Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai qalb (tapi) tidak memahami dengannya, mereka mempunyai mata (tapi) tidak melihat dengannya, dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih tersesat. Mereka itulah orang-orang lalai (Al-Ghafilun). 


13 Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami, mereka ridha dengan kehidupan dunia dan sudah merasa tenteram dengannya dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. 


14 Mereka hanya mengetahui yang dzahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai (Ghafilun). 


15 Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai (hubb) kehidupan dunia melebihi akhirat. Dan bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum kafir (al-qawm al-kafirin). Mereka itulah orang-orang yang qalb, pendengaran, dan penglihatan mereka telah dikunci mati oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang lalai (al-ghafilun). 


16 Pernahkah engkau melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ‘Ilm-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran? 


17 Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. 


18 Allah telah mengunci mati qulub dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka azab yang berat. 


19 Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Muhtadun). 


20 Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam shudur. 


21 Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’, karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 


22 Tanda-tanda 
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”


23 Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”


Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.” 


24 Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. 


25… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun). 


26 Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun (al-Ghaffar) bagi orang-orang yang taubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap pada petunjuk. 


27 CATATAN


1. Hadist Nabi s.a.w.
2. Hadist Nabi s.a.w.
3. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 25
4. Hadist Nabi s.a.w.
5. Hadist Nabi s.a.w.
6. Hadist Nabi s.a.w.
7. QS Al-Anfal[8]: 24
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 31
10. Hadist Nabi s.a.w.
11. QS Al-Muthaffifiin[83]: 12, 14
12. QS Al-Baqarah [2]:8-10
13. QS Al-A’raf[7]: 179
14. QS Yunus [10]: 7
15. QS Ar-Ruum [30]: 7
16. QS An-Nahl [16]: 107-108
17. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
18. QS Yaasiin [36]: 9
19. QS Al-Baqarah [2]: 7
20. QS Al-An’am[6]:82
21. QS Al-Hajj [22]: 46
22. QS Al-Hujurat[49]: 11
23. QS Al-An’am[6]: 125
24. Hadits Nabi s.a.w.
25. QS Az-Zumar [39]: 22
26. QS Al-Hujurat [49]: 11
27. QS Thaahaa [20]: 82 


Kajian Al Qur’an-materi-ke 5

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


 Hijab Qalb
Sebab-sebab Qalb Terhijab


Qalb yang bersih jarang terdapat. Kebanyakan qalb dalam keadaan terkotori oleh tapak-tapak dosa. Karenanya, ia tidak dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya; ia dalam keadaan terhijab. Terdapat dua sebab utama dari keadaan ini, yaitu:


1. Mencintai kehidupan dunia.
2. Mempertuhankan hawa-nafsu.


Akibatnya…


Pada al-Hadits tentang 4 jenis qalb yang telah dibahas sebelumnya, maka tentulah jenis yang pertama dan yang ke dua tidak perlu dibicarakan lagi di sini. Jenis yang ke tiga adalah qalb al-Munafiq; yang disebut demikian sebab ia menyatakan dengan lisannya bahwa Allah merupakan Tuhannya, tetapi ia mempertuhankan hawa-nafsu dan mencintai dunia.


Sedangkan untuk jenis yang ke empat, yakni yang tercampur-aduk di-qalb-nya antara iman dan nifaq, maka ia kesulitan dalam memastikan petunjuk dalam kehidupannya. Jika petunjuk itu datang ke bagian qalb-nya yang sudah diimankan maka tentulah ia benar. Sebaliknya jika petunjuk itu ditangkap oleh bagian qalb-nya yang lain maka kebalikannya lah yang terjadi.


… orang-orang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan merekalah yang mendapat petunjuk (muhtaduun).


1-Pada keadaan yang parah, yaitu akibat lama terliputi oleh hijab yang tebal, maka qalb mengeras seperti batu. Akibatnya, syaithan—yang bekerja melalui syahwat dan hawa-nafsu dari orang itu sendiri—dapat mengendalikan sang pemilik qalb.


… bahkan qalb mereka telah menjadi keras dan syaithan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang mereka perbuat. 


2… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan. 


3-Istilah-istilah lain yang digunakan di dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan qalb yang terhijab sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya ialah dinding,


4 terkunci-mati, 5 atau tutup; 6 semuanya menggambarkan keterputusan komunikasi antara pemiliknya dengan Penciptanya.


Jika keadaan qalb seperti itu menyebabkan pemiliknya hidup di alam dunia ini bagaikan perahu tersesat kehilangan kemudi, maka pada alam-alam berikutnya yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan alam-dunia ini ia akan berada dalam keadaan yang lebih buruk lagi.


Dan barangsiapa buta di dunia ini, niscaya di akhirat buta dan lebih tersesat lagi dari jalan.


7-Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Ia berkata): Yaa, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah seorang yang melihat?


8-Al-Qur'an sendiri menerangkan bahwa kebutaan yang dikeluhkan dalam ayat di atas bukanlah suatu cacat yang terdapat pada jasad sang manusia, yang kebanyakan sempurna seluruhnya, melainkan yang terdapat di dalam jasad manusia. Hakikat manusia adalah pada jiwanya. Aspek inilah yang akan terus berjalan menelusuri alam-alam berikutnya.


Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam dada (shudur). 


9-Harus Dikembalikan kepada Allah…


Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup atas qalb-mu siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?


10-Hal pertama yang mesti dilakukan adalah bertaubat (= kembali) kepada Allah. Melakukan yang sebaliknya berarti merugikan diri sendiri.… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun). 


11-Mencari Jalan…Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah cara (wasiilah) dan berjihadlah dalam jalan (sabiil)-Nya, supaya kamu beruntung.


12-Dan barangsiapa berjihad di dalam Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulana), …


13-Berupaya Menjadi Golongan yang Ditunjuki. Keterbukaan qalb merupakan syarat agar dapat termasuk golongan yang ditunjuki atau dipandu oleh Sang Pencipta. Mekanisme pemanduan ini mempergunakan perangkat qalb.


Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu orang-orang yang beriman billah, dan hari akhirat, dan menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, dan tidak takut (yakhsya) kepada selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang ditunjuki (al-muhtadiin).


14-Wahai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap mereka yang gugur dalam sabiil Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kegembiraan kepada mereka yang sabar. Yaitu, mereka yang jika ditimpa musibah mengatakan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang atas mereka shalawat dari Rabb mereka dan rahmat, dan merekalah yang mendapat petunjuk (al-muhtaduun).


15… Sekiranya tidak karena fadhilah Allah atasmu dan rahmat-Nya kepadamu, tiada seorang pun dari kamu bersih selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.


16…Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.


17…dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang dzaliim.


18… dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqiin).


19-Barangsiapa diberi petunjuk Allah maka dialah al-muhtad, dan barangsiapa disesatkan maka dialah golongan yang merugi (al-khasiruun).


20-Tujuan Tunggal: Mencari Allah Jalan kembali merupakan sesuatu al-‘Aqabah (mendaki lagi sukar, QS Al Balad [90]: 11), yang sebelum memasuki pembicaraan lebih teknikalnya, pada tahap ini yang perlu terlebih dahulu dimantapkan di dalam hati adalah penunggalan akan apa yang dicari—yaitu apakah kita mencari Allah. Kesadaran pencarian Allah itulah yang sulit terdapat pada kebanyakan orang; sebab: Manusia itu tidur, maka apabila mereka telah mati niscaya mereka terbangun 


21-Pencarian Tuhan, pengharapan untuk bertemu dengan Allah merupakan hal yang pertama dan utama ada terlebih dahulu, jauh sebelum semua upaya untuk mencari jalannya; karena: Siapa yang mencintai bertemu dengan Allah, niscaya Allah mencintai bertemu dengan dia. 


22-Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya ajal dari Allah itu pasti datang, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 


23-Barangsiapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal-amal shalih dan janganlah mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadat kepada-Nya.


24-Telah lama lah rindunya orang-orang yang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka.


25-Sebaliknya …Barangsiapa tiada menyukai menemui Allah, niscaya Allah tidak menyukai menemuinya.


26… Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami bergelimang dalam kesesatan mereka.


27-Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada orang-orang yang beriman: ‘Adakah kamu menyukai bertemu dengan Aku?’ Mereka lalu menjawab: ‘Ya, Wahai Tuhan kami.” Maka Dia berfirman:’Mengapa?’ Maka mereka menjawab: ‘Kami mengharap kema’afan Engkau dan ampunan Engkau.’ Allah lalu berfirman: ‘Telah Aku haruskan bagimu akan ampunan-Ku’


28- CATATAN


1. QS Al An’aam [6]: 82.
2. QS Al An’aam [6]: 43.
3. QS Al Anfaal [8]: 24.
4. QS Yaasin [36]: 9.
5. QS Al-Baqarah [2]: 7, QS An-Nahl [16]: 107-108
6. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
7. QS Al Israa’ [17]: 72.
8. QS Thaahaa [20] 124 – 125.
9. QS Al-Hajj [22]: 46
10. QS Al An’aam [6]: 46.
11. QS Al-Hujurat [49]: 11
12. QS Al Maa-idah [5]: 35.
13. QS Al ‘Ankabuut [29]: 69.
14. QS At-Taubah [9]: 18.
15. QS Al Baqarah [2]: 153 – 157.
16. QS An Nuur [24]: 21.
17. QS An Nuur [24]: 31.
18. QS At-Taubah [9]: 19.
19. QS At-Taubah [9]: 24.
20. QS Al A’Raaf [7]: 178.
21. Hadits Nabi s.a.w., ‘Ihya Buku VI, h. 160.
22. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 506.
23. QS Al ‘Ankabuut [29]: 5.
24. QS Al Kahfi [18]: 110.
25. Al-Hadits al-Qudsi, ‘Ihya II, h. 913.
26. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 844
27. QS Yunus [10]: 11.
28. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Ahmad dan Thabrani, ‘Ihya Buku 4, h. 1101.


 Kajian Al Qur’an-materi-ke 6

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Kalimah Taqwa: Cahaya ‘Iman


Tingkat-tingkat Iman (Imam Al-Ghazali):


• Iman Awami: letaknya di lisan.
• Iman Mutakalimin: didukung dengan hujjah.
• Iman ‘Arifin (Nur Iman): Cahaya Allah yang memancar di qalb orang yang Allah kehendaki bersih dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya (dosa).


Jenis iman berupa cahaya Allah inilah hakikat iman yang sebenarnya. Dan hanya iman jenis ini saja yang akan dibicarakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Asma dari Allah yang segera dapat terlihat di sini, antara lain, adalah: al-Ghafur (Maha-Pengampun), al-Rahiim (Maha-Rahim), al-Rahman (Maha-Rahman), al-Nuur (Maha-Cahaya), al-Mu’miin (Maha-Memiliki-Keimanan). 


Iman Cahaya 


Allah menyatakan bahwa Dia merupakan Wali (pengayom, pelindung) bagi mereka yang beriman:
“Allah wali orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, …”


1"Cahaya merupakan lawan dari kegelapan:
“… dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka kepada shirath al-mustaqiim”


2“… supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya …”


3“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki …”


4"Adalah Allah, An-Nuur yang merupakan Cahaya bagi lelangit dan bumi, tiada sumber cahaya lain:
“… barangsiapa tidak diciptakan baginya cahaya oleh Allah maka tiada baginya cahaya sedikitpun.”


5"Cahaya keimanan merupakan sesuatu yang terus dibawa ketika nafs melakukan perjalanan menembus berbagai alam. Inilah cahaya yang “bersinar di hadapan mereka”:
“… pada hari ketika kamu melihat orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”


6“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang al-kafiriin itu memandang baik apa yang mereka lakukan.”


7"Pada sebuah haditsnya dengan seorang sahabat anshar, Haritsah r.a., Rasulullah s.a.w. menerangkan tentang keimanan berupa cahaya atau ‘iman billah ini:


Suatu ketika Rasulullah s.a.w. sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah s.a.w. bertanya, “Bagaimana keadaanmu, yaa Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mukmin billah.” Rasulullah menjawab, “Yaa Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan …!” Haritsah menjawab, “Yaa Rasulullah, hawa-nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang-hari hamba berpuasa… Sekarang ini hamba dapat melihat al-‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba… Hamba dapat melihat orang-orang di al-Jannah saling kunjung-mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni an-Naar berteriak-teriak …” Maka Rasulullah s.a.w. berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di-qalb-mu.”


8"Tempat Iman Cahaya itu di Qalb


Ayat berikut ini menjelaskan bahwa iman itu bukan sekedar pernyataan di lisan seseorang, melainkan apa yang Allah berkenan untuk dilimpahkan-Nya kepada qalb seseorang.
Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’ (aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


9"Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nuur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. 


10"Pembukaan dada untuk berserah diri yang kemudiaan diikuti dengan pencahayaan oleh Allah An-Nuur itu memperlihatkan proses pengimanan awal, yang dijelaskan tanda-tandanya oleh Rasulullah s.a.w. berikut ini:


Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…” 


11"Lalu bertanya seseorang kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima cahaya tersebut dengan seluas-luasnya.” Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?” Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.” 


12"Keberhasilan proses pensucian nafs pada tingkatan-tingkatan berikutnya kemudian diikuti dengan pelimpahan-pelimpahan cahaya keimanan yang lebih lanjut:“… Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu …”


13“… agar bertambah keimanan mereka bersama keimanan yang telah ada …”


14"Pengimanan paripurna yang Allah anugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tergolong mereka yang dikasihi-Nya, ditandai dengan ayat berikut:
“… mereka itulah orang-orang yang telah dituliskan dalam qulub mereka al-‘Iman.”


15"Hanya qalb-lah satu-satunya perangkat pada manusia yang dapat menerima pencahayaan pengimanan, sebagaimana dirumuskan dalan Hadits Qudsi yang terkenal ini: “… tidak cukup untuk-Ku bumi-Ku dan langit-Ku, tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah qalb hamba-Ku yang mukmin.”


16"Qalb yang diterangi cahaya iman itu terang bagaikan rembulan. Sehingga mulai tampaklah langit (samaai’ = nafs = jiwa), dan permukaan bumi (ardh = jasad). 


Fungsi Iman
• Sebagai sarana diturunkannya petunjuk (hudan).
“… dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya …”


17“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka …”


18“… dan sesungguhnya Allah Pemberi-petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada shiraath al-mustaqiim.”


19• Melalui iman cahaya Allah mengajarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (baik yang qur’aniyah maupun yang kauniyah) kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat menyaksikan kerajaan langit (alam malakut atau alam jiwa), menyaksikan ayat-ayat Allah tanpa terbatasi ruang dan waktu, dengan seizin-Nya; serta dapat memahami pelik-pelik dan hakikat-hakikat agama dengan penuh keyakinan.


“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dalam segenap ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-Haqq.”


20“Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu …”


21“Tidak menyentuhnya melainkan yang disucikan (al-muthaharuun)”


22• Dengan bantuan cahaya-cahaya-Nya Allah memperkenalkan Diri-Nya, dan memperlihatkan cahaya-cahaya kesucian, sehingga seorang mukmin dapat ma’rifat kepada-Nya serta beriman kepada utusan-utusan (rasul-rasul)-Nya.


“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqiin dan syuhada di sisi Rabb mereka …”


23"Bagaimana peran iman cahaya ini dalam menerima dan menyikapi apa-apa yang Allah turunkan dilukiskan dalam uraian seorang sahabat, Ibnu Umar r.a., berikut ini:
“Kita telah hidup sekejap mata. Ada diantara kita memperoleh iman sebelum Al-Qur'an, lalu turunlah surat Al-Qur'an itu. Maka dipelajarinya lah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang, dan apa yang dia harus berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang diantara mereka didatangkan Al-Qur'an sebelum iman, maka dibacanya lah semuanya, dari permulaan sampai ke penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogyanya dia berhenti padanya. Maka dihamburkannya apa yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk.”


“Adalah kami para sahabat Nabi s.a.w. diberikan kepada kami iman sebelum Al-Qur'an. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Qur'an sebelum iman. Mereka menegakkan huruf-huruf Al-Qur'an dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Qur'an, dengan mengatakan: ‘Kami sudah baca, siapakah yang lebih banyak membaca daripada kami? Kami sudah tahu, siapakah yang lebih tahu daripada kami?’ Maka begitulah nasib mereka.”


24"Sekilas Mengenai Petunjuk. Salah satu asma Allah adalah Al-Hadi (Yang Maha Menunjuki). Petunjuk ini merupakan faktor yang memilah manusia menjadi golongan yang beruntung dan yang merugi.
“Barangsiapa mendapat petunjuk Allah maka dialah yang menerima petunjuk (al-muhtadi), dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka merekalah orang-orang yang merugi (al-khasiruun).”


25“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya …”


26“… sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar …”


27“…barangsiapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya itu bagi kebaikan diri (nafs)-nya sendiri, dan barangsiapa sesat maka itu mencelakakan dirinya sendiri …”


28“Dan barangsiapa ditunjuki Allah maka dialah al-muhtadi, dan barangsiapa Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong bagi mereka selain dari Dia …”


29"Persoalan petunjuk ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan diwartakan untuk menjadi pegangan sedari awal sejarah manusia di Bumi, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang turun kepada penghulu manusia, Adam a.s. ini:
“Katakanlah, turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”


30“… barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih-hati.”


31“Mereka itulah yang tetap atasnya mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”


32"CATATAN


1. QS Al Baqarah [2]: 257.
2. QS Al Maai-dah [5]: 16.
3. QS Al Ahzab [33]: 43.
4. QS An Nuur [24]: 35.
5. QS An Nuur [24]: 40.
6. QS Al Hadiid [57]: 22.
7. QS Al An’aam [6]: 122.
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. QS Al-Hujurat[49]: 14.
10. QS Az-Zumar [39]: 22.
11. QS Al-An’am[6]: 125.
12. Hadits Nabi s.a.w. Ihya’ Ulumiddin jilid I hal. 287.
13. QS Al-Hujurat [49]: 7.
14. QS Al-Fat-h [48]: 4.
15. QS Al Mujaadilah [58]: 22.
16. Hadits Qudsi.
17. QS At Taghaabun [64]: 11.
18. QS Yunus [10]: 9.
19. QS Al Hajj [22]: 54.
20. QS Fushshilat [41]: 53.
21. QS Al Ankabuut [29]: 49.
22. QS Al Waaqi’ah [56]: 79.
23. QS Al Hadiid [57]: 19.
24. Ihya ‘Ulumiddin jilid I, h. 285 – 286.
25. Al A’raaf [7]: 178.
26. QS Al Baqarah [2]: 272.
27. QS Al Baqarah [2]: 120.
28. QS Yunus [10]: 108.
29. QS Al Israa’ [17]: 97.
30. QS Thaahaa [20]: 123.
31. QS Al Baqarah [2]: 38.
32. QS Al Baqarah [2]: 5.


Kajian Al Qur’an-materi-ke 7

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
 

Sekilas tentang Al-Fatihah dan Perjalanan Jiwa Melintas Alam-alam

Mengenai Penciptaan dan Cara Ciptaan Mendekat


Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi

Allah SWT bersabda dalam sebuah Hadits Qudsi mengenai sebab diciptakannya makhluk: ”Aku adalah sebuah khasanah tersembunyi (kanzun makhfi), Aku rindu (hubb) untuk dikenali, karena itu Aku ciptakan makhluk-makhluk agar Aku dikenali.”


Insan sebagai ciptaan terakhir, setelah semuanya selesai diciptakan merupakan locus terlengkap bagi manifestasi khasanah tersembunyi ilahiah tersebut. Jadi tujuan penciptaan insan adalah semata-mata untuk mengejawantahkan khasanah tersembunyi itu—untuk mengenal Penciptanya.


Penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan kata “kenal” (berasal dari ‘arafa) dalam dunia tashawuf memiliki aturan dan persyaratan khusus yang ketat, yang menunjukkan perangkat-perangkat apa saja dalam diri insan yang dapat menggunakan istilah ‘arafa itu. Pentingnya urusan ini ditunjukkan oleh sabda Sayidina ‘Ali k.w., “Awwaludiina ma’rifatullah”. (ini akan dibahas lebih lanjut belakangan). Rumusan dari Sayidina Ali k.w. ini dijadikan rujukan bagi semua pencari Tuhan mengingat sentralnya kedudukan beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah sabda Rasulullah s.a.w.: “Aku adalah kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya, maka masukilah kota itu melalui pintunya.”


Hadits Qudsi Mengenai Cara Mendekat

Pada dasarnya cara pendekatan yang Sang Pencipta inginkan dirumuskan dalam Hadits Qudsi berikut ini, yang memperlihatkan kedudukan amal yang fardhu dan yang nawafil.


“Tiada yang paling sempurna seorang hamba mendekat (taqarrub) kepada-Ku kecuali dengan jalan menunaikan fardlu-fardlu yang telah Kutetapkan. Dan ia akan lebih berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan berbagai amalan nawafil (sunnah), sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah cinta kepadanya, Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan, tangannya yang dengan itu ia pergunakan, lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan albnya yang dengan itu ia ber’aql. Jika ia minta kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan do’anya.”


Mencari jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan insan itulah yang peta, rute, tahap-tahapan dan rincian segala sesuatu yang berkenaan dengannya dikandung dalam Al-Qur'an yang merupakan SABDA ILAHI. Inilah sarana untuk transformasi jiwa agar pada akhirnya jiwa tersebut dapat mengerti tugasnya, memahami mengapa ia diciptakan. Ini merupakan sesuatu yang dalam zaman ini sulit ditemukan, karena dibutuhkan kesucian, mengingat “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS Al-Waqi’ah [56]:79). Singkat kata, dibutuhkan jihad untuk memperoleh kesucian, yang jika kemudian berbuah rahmat keimanan cahaya akan memungkinkan dimulainya pemahaman Al-Qur'an, sekaligus tersedianya sarana panduan pencarian.


Bila pertemuan sebelumnya menggaris-bawahi perlunya ketunggalan tujuan dalam mencari Allah, maka akan dilanjutkan dengan pengenalan struktur panduan Al-Qur'an. Mulai pula diperkenalkan bagaimana karakteristik dominan dari Tuhan –yang dituju semua makhluk—agar timbul visi yang dapat memandu pencarian. Kemudian disampaikan sekilas tentang kedudukan alam kita sekarang ini diantara alam-alam lainnya.


Dari orang-orang suci yang kepada mereka telah dibukakan Al-Qur'an, kita dapat mulai mempelajari sekilas tentang Induk Kitab (Umm al-Kitab), Al Fatihah berikut ini:


Al Fatihah
Ayat – 1 (Bismillaahirrahmaanirrahiim)

• Umm al-Kitab dan Kitab al-Mubin
Ummul Kitab: Kitab Induk, Kitab al-Mubin: Kitab Penjelas atau Kitab yang menjelaskan. Konfigurasi ayat-ayat Allah, termasuk di dalam Al-Qur'an, selalu terdiri dari Ummul Kitab dan Kitab Al-Mubin, yang digelar secara bertingkat. Misalnya, seperti pada contoh berikut ini:

Al-Fatihah sebagai Umm al-Kitab,

Surat Al-Baqarah s/d An-Nas sebagai Kitab al-Mubin.


Bismillah ar Rahman ar Rahim sebagai Umm al-Kitab; sedangkan ayat-ayat lainnya dari surat ini merupakan Kitab al-Mubin.


Kalau melihat keterkaitan diatas maka Bismillah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Al-fatihah, dengan kata lain, Bismillah merupakan Ayat dari Surat al-Fatihah.


Bismillah sebagai Ummul-Kitab,

Ar Rahman Ar Rahim sebagai Kitab al-Mubin.


Bi sebagai Ummul-Kitab,

Ismillah sebagai Kitab Al-Mubin


Huruf Alif di depan “BA” dari “Bi” sebagai Ummul-Kitab,

Titik di bawah “BA” dari “Bi” sebagai Kitab Al-Mubin

(Gambar-1)


• Titik di bawah huruf “Ba”
Sebelum segala sesuatu diciptakan, yang ada hanya DIA, bahkan istilah RABB, Allah dan Asma-Asma lainnya belum ada. Kondisi ini dilukiskan dalam QS Al-Qalam [68]:1, yaitu “nuun”.

Kenapa huruf ”nuun”? Karena huruf ini menggambar titik yang dilingkupi oleh suatu tangkup. Menggambarkan ketersembunyian, inilah aspek Bathinnya Allah.


Kemudian, turunlah “titik” di atas huruf “nuun”, kebawahnya, sehingga menjadi “titik huruf ba”. Proses penurunan ini menggambarkan Penciptaan Alam Semesta. “Titik” dibawah huruf “ba” merupakan simbol dari seluruh alam semesta.


• Alif di depan huruf “Ba”

Karena titik-nun keluar (tercipta alam semesta), maka RABB (Pemelihara) pun dibutuhkan. Maka muncullah ALIF dikanan BA, yang merupakan perlambang dari RABB, disebut juga Alif Rububiyyah. Rabb itu berperan sebagai pengayom, pelindung, pemelihara, pendidik, pengatur. Pengertian ini yang mesti melandasi semua permohonan yang mengunakan istilah “Rabb”. Ini merupakan pasangan dari adanya titik di bawah huruf Ba, yang memerlukan Rabb. (Gambar-2)


• Titik “Ba” merupakan simbol alam dan Asma Allah
Bila mengamati lafadz Bismillah yang maknanya: ” Dengan Asma Allah “
Timbullah pertanyaan: Asma Allah yang mana?

Asma Allah yang dinyatakan oleh TITIK BA.


Jadi “Titik” dibawah huruf ba merupakan:

a. Asma Allah dan

b. Simbol dari seluruh alam semesta.


• Penulisan Bismillah

Penulisan (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) menyalahi kaedah penulisan Arab, seharusnya adalah (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi). Berdasarkan penjelasan diatas, karena ada ALIF di depan BA yang menjaga, maka menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi), selanjutnya menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) seperti yang tampak ini. (dg huruf ba yang awal garisnya lebih tinggi, pencerminan Alif di awalnya yg tersembunyi) *) mohon ma'af, huruf arabnya tdk bisa di tampilkan di notes ini.


• Mengapa Asma Ar-Rahman dan Ar-Rahim Diletakkan pada Ayat Pertama
Asma Allah sangat banyak, tapi yang diketahui sebanyak 99 Asma. Mengapakah dari 99 Asma, hanya Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang dicamtumkan dalam ayat pertama al-Fatihah?

Di sini kepada kita diberitahukan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan watak dasar/ dominan Allah. Sang Pencipta memberitahukan bahwa yang sifat paling utama-Nya yang mesti diketahui makhluk-makhluk-Nya adalah Maha-Rahman dan Maha-Rahim. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah tercipta alam semesta. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah terjaga, dan terpelihara semesta alam. Jadi Ar-Rahman Ar-Rahim tercantum dalam al-Fatihah untuk menunjukkan watak dasar Allah. Dengan demikian kita mengetahui bahwa karakteristik dasar seperti inilah yang diminta untuk ditampilkan oleh seluruh makhluk-makhluk-Nya yang ingin disenangi-Nya.


• Sifat Rahmaniah (Pemurah)
Ar-Rahman berarti menyayangi, mengasihi, memelihara, mengayomi, menjaga kepada seluruh makhluk, sedangkan Ar-Rahim merupakan bagian khusus dari Ar-Rahmaan yang dianugerahkannya kepada makhluk yang disayangi-Nya. Kasih-sayang Allah kepadanya, misalnya berbentuk penjagaan-Nya, diingatkan oleh Allah kalau dia salah, diberi teguran. Ragam dari bentuk kasih-sayang Allah kepada makhluk yang dicintai-Nya tentulah tidak terhingga.

Makhluk-makhluk selain dari manusia lebih parsial atau spesifik dalam potensinya untuk mengejawantahkan asma-asma-Nya. Karena itu asma-asma yang mereka tampilkan lebih terbatas. Insan lah, yang diciptakan terakhir, yang berpotensi untuk mengejawantahkan asma Allah secara paling lengkap. Ini merupakan jalan untuk menuju, atau meningkatkan kedekatan, kepada Allah.


Pada dasarnya, tuntunan agama memberikan panduan agar insan berjuang sedemikian rupa, sampai Allah menghiasi diriNya dengan akhlak yang bersumber dari asma-asma Allah yang bersifat jamaliyah. Takhalluq bi akhlaq Allah.


Kita dapat secara sederhana mulai belajar kepada makhluk lain mengenai manifestasi sifat ini. Sebagai contoh, kita dapat memperhatikan sebatang pohon. Katakanlah, itu adalah sebatang pohon mangga. Jika pohon mangga berbuah, maka dia tidak pernah makan buahnya sendiri. Buahnya diberikan kepada makhluk lain. Pohon mangga ini beramal shaleh dengan mengeluarkan buahnya tanpa-pamrih. Pohon ini mengejawantahkan sifat atau asma Allah yang Pemurah (Rahmaniah).


Dari sini pula kita mengetahui bahwa sebatang pohon dinamai sesuai dengan buah yang dihasilkannya: jika dia berbuah mangga, maka namanya adalah “Pohon Mangga”; jika dia berbuah Jeruk, maka namanya “Pohon Jeruk.” Ini kemudian menuntun kita kepada pertanyaan penting: sewaktu diri (nafs) kita ditanam Tuhan ke bumi diri, amal-shaleh apa yang tersembunyi dalam bibit diri kita yang dikehendaki-Nya untuk dihasilkan dalam buah amal-shaleh? Apa buah dari pohon diri yang dapat membuat diri kita dikenal di langit?


Dalam memulai menelusuri jalan panjang untuk mencari jawab dari pertanyaan dasar seperti di atas, beberapa hal berikut ini bisa dijadikan pijakan untuk mengawalinya:


• Pendekatan diri kepada Allah dengan sifat pemurah
Seseorang harus menjadi indah akhlaknya agar yang Maha-Indah menarik dirinya mendekat kepada-Nya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah, hal yang paling effektif untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan memiliki sifat Pemurah.

Singkatnya sifat pemurah (rahmaniah) ini merupakan cara untuk:

➢ mendekatkan diri kepada Allah.

➢ mengundang perhatian Allah, sehingga Dia berkenan memperhatikan diri pemiliknya.

➢ mengundang turunnya rahmat dari Allah.

➢ meruntuhkan hijab-hijabnya (antara sang makhluk dengan Allah).

➢ ditarik lebih dekat kepada Allah.


• Setiap orang bisa memiliki sifat pemurah.
Sifat pemurah pada diri manusia adalah sifat-sifat baik dan memperbaiki. Cerminan dari sifat pemurah, antara lain adalah terbuka, jujur, penolong, gemar membantu, berzakat (mensucikan diri dan milik), sedekah, dst. Dan ini bisa dilakukan setiap orang dengan segera, tidak usah menunggu suatu keadaan tertentu

• Jangan menganggap remeh suatu perbuatan.
Dalam melihat suatu amal/ perbuatan jangan lihat siapa pelakunya, jangan lihat amalnya. Tidak boleh suatu perbuatan dianggap remeh. Ada pekerjaan, dimata manusia tidak ada nilainya tapi di hadapan Allah memiliki nilai yang tinggi sekali, tetapi sebaliknya ada pekerjaan yang tampak agung, tapi dihadapan Allah tidak ada nilainya, yaitu perbuatan baik yang tidak ikhlas atau ada pamrih.

Perbuatan baik yang ada pamrihnya kepada selain Allah, tidak ada artinya, karena pahalanya terletak pada pamrih tersebut.

Ada contoh dari suatu perbuatan remeh yang menyebabkan pelakunya diterima Allah, yaitu amal dari Imam al-Ghazali seorang sufi yang terkenal dengan kitab-kitab karangannya (a.l ‘Ihya). Suatu malam, muridnya bertemu dengan jiwa beliau (sewaktu beliau sudah meninggal) dalam mimpi, kemudian muridnya bertanya kepada beliau tentang amal beliau yang paling besar nilainya dihadapan Allah. Menurut beliau, amal yang paling besar nilainya disisi Allah, adalah ketika beliau membiarkan lalat meminum tinta pada kalam beliau sewaktu beliau sedang menulis buku. Beliau tidak mengusir lalat tersebut, tapi beliau menunggu sampai lalat itu kenyang, dan pergi dengan sendirinya. Dari beraneka-macam pengabdian beliau, yang Allah terima adalah perbuatannya yang rahmaniyyah tersebut.


• Beberapa landasan akan terpujinya sifat-sifat rahmaniyah:

“Sifat pemurah itu sepohon kayu dari kayu surga, dahan-dahannya terkulai ke bumi. Maka siapa yang mengambil sedahan daripadanya niscaya dahan itu membawanya ke surga.” (HR Ibnu Hibban) (IU 3/ 383)


“Sesungguhnya ini adalah diin yang Aku ridhai bagi diri-Ku sendiri. Dan tidak akan pernah ada yang bisa memperbaikinya melainkan oleh mereka yang memiliki sifat pemurah dan berakhlak baik. Maka muliakanlah diin ini dengan dua sifat tersebut menurut kesanggupanmu.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)


“Allah Ta’ala tidak membuat karakter wali-Nya selain di atas karakter baik akhlak dan pemurah.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)


“Sesungguhnya orang-orang mulia dari umatku tidak akan masuk surga dengan shalat dan puasa. Tetapi mereka masuk surga dengan jiwa yang pemurah, dada yang sejahtera dan karena nasehat kepada orang-orang muslim.” (HR. Daruquthni) (IU3/387)


“Pemurah itu sepohon kayu dalam surga, maka siapa yang pemurah niscaya ia akan mengambil sedahan dari pohon itu. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehinga dimasukkannya ke surga. Dan kikir itu sepohon kayu dalam nereka, maka siapa yang kikir, niscaya ia mengambil sedahan dari dahan-dahannya. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehingga dimasukkannya ke nereka.” (HR. Daruquthni) (IU3/ 385)


“Dua perangai yang disukai oleh Allah Azza wa jalla dan dua perangai yang dimarahi oleh Allah Azza wa jalla. Adapun dua perangai yang disukai Allah Ta’ala adalah bagus akhlak dan pemurah. Adapun dua perangai yang dimarahi oleh Allah adalah jahat akhlak dan kikir. Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seseorang hamba niscaya dipakai-Nya hamba itu pada menunaikan hajat manusia.” (HR. Ad-Dailami)(IU3/ 384)


“Orang-orang penyayang akan disayang Tuhan Yang Maha Penyayang, maka sayangilah semua yang ada di bumi, maka yang ada di langit pun akan menyayangimu.”


“Tidak akan masuk surga kecuali orang penyayang.”

 [Ayat 2 s/d 4 al Fatihah akan dibahas pada kesempatan lain]

Ayat – 5 (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in)


• Mengenai mengabdi atau beribadah
Kalau melihat susunan dari ayat ke 5, maka prasyarat sebelum meminta pertolongan kepada Yang Maha Rahman adalah harus terlebih dahulu mengabdi kepada-Nya. Seperti apa dan bagaimanakah yang dimaksudkan dengan mengabdi itu?

Untuk dapat berbakti, beribadah, mengabdi kepada Allah dengan benar, kita harus memiliki pengetahuan tentang sifat-Nya, tindakan-Nya; sehingga mengetahui kelebihan-Nya, kemudian bangga kepada-Nya, dan karenanya membutuhkan-Nya. Ilmu mengenai Allah adalah amal paling utama. Jika ini dimiliki maka barulah seorang dapat mengabdikan dirinya, dengan:


➢ beribadah dengan khusuk.

➢ meminta hanya kepada Nya.

➢ mohon perlindungan/ bantuan hanya kepada Nya.

➢ mohon petunjuk kepada Nya.


Hal-hal di atas tadi dilakukan secara lahiriah, sedangkan perwujudan yang lebih sejati dengan bathin, yakni:


➢ merasakan sebagai abdi Allah.

➢ bangga ber-Tuhankan kepada Allah.


Untuk dapat merasakannya, mengabdi dulu pada Nya, berbakti dulu pada Nya, berbuat baik kepada sesama makhluk. Barulah nantinya Allah akan mulai memperhatikan pelakunya, lalu sang hamba akan tahu kelebihan Allah yang harus dibanggakan, yaitu Allah mulai menolongnya dengan petunjuk Nya.


• Pertolongan berupa Petunjuk

Pertolongan atau petunjuk apa yang seyogyanya diharapkan seorang makhluk dari Allah? Semua jenis pertolongan dan petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Cara yang dapat ditempuh agar pertolongan/ petunjuk Allah datang:


➢ berwatak pemurah.

➢ berbuat baik.

➢ Wirid (bukan hanya persoalan lafadz lisan, melainkan harus pula diejawantahkan).


Dari semua jenis petunjuk mengenai aneka-macam persoalan yang dihadapi seseorang, maka yang paling bernilai dan diharapkan adalah petunjuk untuk menuju ke Shirat al- Mustaqiem di alam dunia ini. Saking sulit dan rumit serta halusnya, jalan ini dilukiskan sehalus rambut dibelah tujuh, setajam mata pedang. Jadi untuk berjalan disini harus hati-hati dan memiliki fondasi yang tangguh.


Ayat 6 – 7 (Ihdinash-shiraathal-mustaqiim, shiraathalladziina an’amta alaihim ghoiril maghdhubi alaihim wa ladh-dholliin)


Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, sedikitnya sebanyak 17 x sehari dalam shalat wajib. Berarti kita berdoa “Ihdinash shirath al-mustaqiim“, dimohonkan kepada-Nya paling sedikit sebanyak 17 kali pula. Sedangkan Allah melarang memohon kepadaNya yang kita tidak tahu ilmunya (QS. 11:46, periksa pula ayat 45 dan 47). Oleh sebab itu kita perlu memahami tentang Shirath al-Mustaqiim, agar dapat menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menempuhnya.


Shirath al-Mustaqiim dapat kita periksa, antara lain berarti:

• Agama Allah (ad-diin) (QS Al-An’am [6]: 161). Sedang agama disisi Allah adalah al-Islam (Ali-Imran [3]: 19).


• Jalan dari orang-orang yang telah diberi ni’mat (QS al-Fatihah [1]: 7). Kata ni’mat dirumuskan dalam QS An-Niisa [4]: 69. Pada ayat itu diterangkan bahwa orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah adalah:


1) Nabi (QS 33: 45–7)

2) Shiddiqiin (QS 57: 19)

3) Syuhada (QS 57: 19)

4) Shalihin (QS 29: 9)


Sehingga insan yang berada di Shirath al-Mustaqiim adalah:

o orang yang diberi nikmat, dan

o al-mukhlisun


Orang yang tidak dapat berada di Shirath al-Mustaqiim (QS al-Fatihah [1]: 7) adalah:


a. Yang di murkai, insya Allah kita semua terhindar dan tidak termasuk golongan ini;

b. Yang tersesat, harus hati-hati, siapapun dapat berada dalam golongan ini karena hawa-nafsu, syahwat, perangkap syaithan dan tidak mendapat petunjuk dari Nya. Untuk menghindar dari golongan ini harus beriman, sesuai dengan QS At-Taghabun [64] : 11.


Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika menggoreskankan kayu ke pasir membuat garis lurus, kemudian di sisi garis lurus tsb, ada cabang-cabang lagi.

(Gambar-3)

Garis lurus itu melambangkan Shirath al-Mustaqiim, dan pada garis cabang terdapat perangkap syaithan. Tugas syaithan, melalui syahwat dan hawa-nafsu membelokkan ke kiri atau ke kanan agar masuk perangkap syaithan. Kalau sudah masuk perangkap sulit keluar.


Nur Iman

Peringkat ke tiga keimanan menurut Imam al-Ghazali, yaitu iman ‘Arifin atau iman cahaya merupakan iman yang dimaksud dalam Al-Qur'an, yang diagramnya dapat digambarkan di bawah ini: (gambar-4))


Sumber cahaya dapat bersifat eksternal (Rahmat Pertama), dan juga internal (Rahmat ke Dua).


Cahaya Eksternal = Sumber-Cahaya = Al-Mukmin (tunggal)


Cahaya Internal = Cahaya dari dalam Qalbu = Ruh al-Quds


Disebut Al-Mukminun karena dari dalam kalbu terpantulkan cahaya Al-Mukmin.


Seorang bayi dibekali Cahaya Eksternal awal/ Cahaya Iman awal.


(at-Taghabun [64]:11)

Bila beriman billah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada qalbunya.


(Yunus [10]:99-100

Beriman itu atas izin Allah, oleh sebab itu kita tidak dapat memaksa seseorang agar beriman

(Gambar-5)


Yang menyebabkan Qalbu tidak dapat menerima cahaya-iman karena terhalangi oleh awan-dosa. Oleh sebab itu awan-dosa harus dihapus.


Proses penghapusan dosa itu seperti bertambahnya cahaya dari bulan sabit menuju bulan purnama.


Qalb yang suci-bersih dapat menerima Nur-Iman, yang kemudian berperan sebagai media komunikasi, sehingga qalbu seperti itu dapat diterima petunjuk, yang menyebabkan pemiliknya hidup dengan terpandu.


Perjalanan Nafs Melintas Alam-alam

Alam Nur (Lautan Cahaya)

Alam Nur merupakan Lautan Cahaya dekat Hadirat Allah, disinilah berkumpul al-anfus. Alam Nur dapat dimisalkan dengan “Bank Nafs.” Nafs ini berbagai macam jenisnya, misalnya tipe emas, tipe perak dst. Nafs yang akan masuk ke janin menunggu kesiapan jasad janin. Manakala janin telah siap dan telah sampai waktunya (setelah 120 hari), maka siaplah dia sebagai wadah dari nafs yang sesuai dengan janin tersebut. Nafs yang bersedia datangpun sesuai dengan bahan janin (wadah nafs). Nafs dengan yang type perak akan menempati wadah dari perak, nafs emas akan menempati wadah dari emas …dst.


Alam Alastu (Perjanjian)

Nafs yang akan menempati janin tersebut, dipanggil menghadap Allah ke Alam-Alastu. Di alam ini, Nafs mengikrarkan janji; antara lain “mengakui Allah sebagai Rabbnya“ (lihat QS Al-A’raf [7]: 172).


Juga di alam inilah Allah menetapkan Qadha dan Qadar dari ajal, rezeki, musibah dan keberuntungan baginya selama perjalanan di dunia, serta Maqam Akhirnya. Perjanjian ini direkam oleh Ruh. Lalu Ruh dimasukkan ke dalam Nafs, dan ke duanya dimasukkan ke dalam jasad.


Alam Rahim
Setelah janin berumur 120 hari atau telah disempurnakan oleh-Nya, maka ditiupkanlah Ruh-Nya ke janin dan dianugerahkan modal-dasar penglihatan, pendengaran dan af'’idah (As-Sajdah [32]:9). Dimulailah pendidikan nafs oleh orangtua dan lingkungan.

Alam Dunia

• Lahir ke dunia

Setelah janin berumur 9 bulan 10 hari, lahirlah bayi ke dunia. Turun ke dunia dengan suara tangisan karena dia cinta alam-rahim. Alam ini merupakan Surga bagi janin, disini ia hanya diam, tidur, belajar. Itulah sebabnya ia menangis sewaktu turun ke dunia, karena harus meninggalkan surga menuju ke alam yang penuh tanda tanya.


• Ingkar Janji

Sewaktu bayi lahir:

* punya FUAD (titik A)

* modal dasar I,7

Jika normal:

* perkembangan AKAL dari 0 mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Akal.

* perkembangan NAFS dari FUAD (titik A) mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Nafs.


* (Gambar-6 )


Dalam perjalanan hidupnya, akal-jasad berkembang sesuai pola grafik pertumbuhan akal, sedangkan kepada nafs pada masa BALITA, PEMUDA menuju DEWASA, seringkali megalami pengerdilan karena hadirnya penyakit hati, seperti takabbur, riya’ iri-dengki, dst. sehingga memadamkan fu’ad, menuju NOL (lihat grafik Y).


Dengan padamnya fu’ad, berarti yang berkuasa jasad, sedangkan nafs lumpuh, buta, dan tuli. Sehingga jasad bergerak tanpa kendali nafs.


Sewaktu di alam alastu, yang melakukan perjanjian adalah sang nafs, bukan jasad; manakala nafs lumpuh, maka jasad tidak akan pernah mengetahui isi perjanjian yang dulu pernah diikrarkan nafs, dan memang jasad tidak pernah mengikrarkan janji.


Taubat yang sejati mestilah yang memang membersihkan dosa, yang dapat kembali menyegarkan fu’ad, dan kemudian mengembangkannya menuju terbukanya ‘aql dalam atau lubb.


Alam Barzakh (Kubur)

Jika tiba-tiba saja seseorang disuruh pergi ke Alam Barzakh, maka boleh-jadi itu merupakan hal yang menakutkannya, karena tidak faham keadaan disana dan terlanjur cinta kepada dunia. Kasusnya sama sewaktu diperintah turun dari Alam Rahim ke Alam Dunia. Hanya pada waktu itu disambut dengan tawa-riang oleh sanak-keluarga, tapi diri ini terjun dengan jeritan tangis. Sedangkan sewaktu pergi ke Alam Barzakh, biasanya seseorang diiringi tangis oleh sanak keluarga. Bagaimana sikap seseorang sewaktu menerima perintah untuk segera berangkat ke Alam Barzakh sangat ditentukan keberhasilan memanfaatkan kehiduoannya di alam dunia.


• Suasana di Alam Barzakh

Alam-Barzakh masih berhimpitan dengan alam-dunia. Di Alam-Barzakh, yang ada hanya nafs, syahwat tidak ada, syaithan tidak ada.


Tugas setiap insan berupaya agar nafs bisa hidup penuh dengan kemaslahatan di alam barzakh, dapat melihat dan mendengar dan belajar, sebagaimana setiap orang mendambakan kemaslahatan di alam dunia sebelumnya. (Gambar-7)


al Anam 6:122:

Raga dan Ruh kembali ke asalnya masing2

Nafs melanjutkan perjalanan sampai ajal ke dua; ada yg bebas dan ada yang terpenjara


Ajal pertama: raga

Ajal ke dua: nafs (bersama seluruh makhluk, kiamat)


Lihat Ali–Imran [3]:185, semua nafs akan mati.


Di alam-Barzakh: Nafs yang tidak perlu lagi dibersihkan dengan api alam ini, akan terus belajar tentang kebenaran.


Di Alam-Barzakh, dilakukan penyucian/pembersihan hawa-nafsu yang cinta dunia. Di Alam-Barzakh, dilakukan peleburan logam-dosa yang menyelubungi Qalbu. Logam-logam tersebut dilebur dengan api yang dibuat atau disediakan oleh diri sendiri. Kalau peleburan berhasil, maka selamatlah di Hari Perhitungan (yaum al-Hisab) nanti. Tapi tidak semua logam tersebut dapat lebur dengan apinya alam-Barzakh, kalau terjadi hal demikian maka akan dilebur dengan api neraka.


Alam-Barzakh, merupakan alam asing yang harus ditempuh oleh semua insan. Kalau kita terdampar disuatu tempat yang asing bagi kita, maka kita akan bingung manakala kita tidak mengetahui tanda-tanda yang ada di sana. Mau bertanya kita tidak faham bahasanya. Tak terbayangkan bingung serta gundah gulana hati ini, mau pulang tidak dapat. Oleh sebab itu kita harus bersiap menghadap alam-Barzakh, dengan berupaya mengenal alam-Barzakh, berupaya memahami tulisan disana, berupaya mengerti tanda-tanda di sana. Dan panduan itu dimulai dicari di sini, di alam dunia ini, sekarang ini.


Kalau didunia seorang hamba selalu dekat dengan Dia yang merupakan Penguasa semesta alam, maka alam-Barzakh dari hamba tersebut akan terang-benderang.


• Harapan Nafs di Alam Barzakh

Sekalian nafs di alam Barzakh, akan merasa senang dan gembira serta merasa bangga, bila mendengar dari keturunannya ada yang tergolong mereka yang memperoleh ni’mat. Dan ini menjadi berita yang menyenangkan dan disampaikan dari warga ke warga alam barzakh. Andaikan nafs tersebut, yang sedang dibakar, dilebur dosa-dosanya mendengar berita ini, tentu akan merasakan kesejukan.


Bagi Nafs yang hidup merdeka di alam ini karena telah bebas dari dosa, maka dapat memantau keturunannya di dunia dan dapat bersilahturrahmi dengan mereka. Bila melihat ada keturunannya yang melakukan maksiat, nafs akan sedih.


Anfus yang terpenjara dialam ini, sangat merindukan do’a dan permohonan ampunan dari keturunannya. Do’a anak Shaleh akan mengurangi derajat siksaan orangtuanya atau leluhurnya secara permanen. Sedangkan do’a dari orang-orang yang tidak ada pertalian darah hanya akan mengurangi siksaan sejenak, selesai do’a, siksaan kembali ke tingkat semula.


• Keadaan Nafs yang tak-Berdaya di Alam Barzakh

Gambaran tentang nafs yang yang buta-tuli-lumpuh dinyatakan antara lain dalam Al-Baqarah [2]: 171, dan Ar-Rum [30]: 52. Tutuplah mata yang erat, tutuplah telinga, maka akan merasakan kesepian yang mencekam. Apalagi bila disaat itu terikat, kesunyian dan kesepian semakin mencekam, rasa takut dan ngerikan menghantui. Ini di dunia dan sebentar. Bayangkan, nafs akan mengalaminya dalam masa yang sangat panjang.


Alam Mahsyar

Alam mahsyar adalah alam di mana semua manusia dikumpulkan dari manusia yang paling awal hingga manusia yang paling akhir untuk menjalani berbagai proses selanjutnya, seperti dihisab amalnya.


Alam Akhirat

Alam inilah yang digambarkan sebagai akhir dari warta yang disampaikan kepada makhluk, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci.


Lihat Gambar-8 (rangkuman)


Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6
Gambar-7
Gambar-8


Kajian Al Qur’an-materi-ke 8

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Orang-orang yang Diberi Nikmat


Mereka yang Diberi Nikmat: Panduan dalam Ayat-ayat Al-Qur'an
Ucapan kita, “Saya telah beriman”, akan mengajak kita merujuk kepada QS Al-Hujurat [49]: 14, yang secara turunnya ayat mengisahkan tentang pernyataan seorang Arab Badwi, dan bagaimana Rasulullah s.a.w., memberikan jawaban—yang merupakan pembelajaran bagi kita semua—tentang duduk persoalan yang sebenarnya: bahwa (cahaya) iman itu seharusnya masuk ke dalam qalb, dan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan satu-satunya jalan bagi dianugerahkan-Nya cahaya iman itu kepada seseorang yang berserah-diri. Berdasarkan kepada materi yang telah disampaikan sebelumnya, kiranya uraian singkat berikut ini dapat melengkapi bahasan kita mengenai iman.


Jika pernyataan seperti di atas hanya sekadar kata-kata, maka ia akan sirna ketika kata-kata tersebut selesai dilisankan. Jika pernyataan tersebut hanya sampai pada nalar (fikiran) kita, maka umurnya hanya sebatas usia jasad tempat nalar ini. Apabila kita dimasukkan ke kubur, dan nalar juga hancur, sebagaimana komponen-komponen tubuh lainnya, maka ia pun kembali keasalnya. Semua yang bersifat jasadiyah akan kembali kepada sumbernya yaitu elemen-elemen pembentuknya (air, api, tanah, udara).


Kata-kata “iman” baru bermakna secara hakiki manakala menandai realitas secara cahaya, yakni dianugerahkannya oleh Allah Al-Mu’min “nur-‘iman” kedalam qalb seseorang. Iman cahaya itu diterimanya sebagai salah satu tanda bahwa orang tersebut taubat-nya benar—dan diterima Allah al-Ghafur ar-Rahim. 


Persoalan pengertian pengimanan cahaya ini, sebagaimana banyak persoalan lainnya seperti yang diperlihatkan oleh banyak istilah-istilah Qur'an’aniyyah yang kita gunakan sehari-hari (misalnya: jahil, musyrik, kafir, musibah, iman, taqwa dst.) kunci-jawabannya terdapat dalam kitab Al-Qur’an itu sendiri. 


Jadi, untuk memahami makna istilah-istilah tersebut harus dicari kembali dalam Al-Qur’an. Kemampuan nalar jasadiyah hanya akan bisa memahami Al-Qur’an dalam arti lahiriahnya saja. Untuk memahami makna tersembunyi (bathiniyyah)-nya, seseorang harus membangun-kembali instrumen jiwanya. Dan ini juga hanya akan terjadi apabila seseorang itu benar taubat-nya. Proses taubat inilah yang digambarkan alurnya dalam ayat-ayat An-Nisa [4]:64-70.


Taubat (arti dasarnya ialah “kembali”) itu suatu proses tanpa henti. Disadari atau tidak, setiap saat semua orang sedang kembali kepada Tuhan. Masalahnya lewat jalan manakah ia akan menemui Wajah Allah yang tawwabar rahiim.


Dengan mengacu kepada persaksian pertama jiwa kita di “alam alastu” (QS Al A’raf [7]: 172), yang notabene kita tidak mengingatnya sedikitpun sekarang ini, maka dalam meninjau keadaan jiwa seseorang—terutama diri kita sendiri—kiranya kita perlu lebih merenungkan pengertian dari istilah “zalim,” yang diwariskan kepada kita semua oleh Penghulu kita Adam a.s. (QS Al A’raf [7]: 23). Di sini Al-Qur'an memandu kita dengan memberikan rumusannya, yaitu tidak bertaubat (QS Al Hujurat [49]: 11). 


Sedangkan penghulu kita itu yang statusnya adalah seorang Nabi mengakui bahwa dirinya adalah seorang yang zalim—karena satu kesalahan saja—lalu bagaimanakah seyogyanya sikap kita, keturunannya, kepada Tuhan? Kiranya, timbulah kesadaran awal kita hasil dari perenungan diri yang panjang; yang diperlukan untuk modal dalam memahami makna dari “mentaati Rasul,” “menzalimi diri,” dan seterusnya dari QS An-Nisa [4]: 64.


Kepada mereka yang haqq taubatnya, Rasulullah s.aw memohonkan syafaat kepada-Nya, lalu Allah menghadapkan wajah tawwabarrahiima–Nya ke hamba tersebut. Dianugerahkannya “nur ‘iman” kepada mereka yang seperti itu taubatnya: inilah yang antara lain ditegaskan dalam QS An-Nisa [4]: 65. (Gambar-1)


Selanjutnya kita perhatikan bahwa taubat sejati adalah yang seperti dinyatakan dalam QS An-Nisaa’ [4]:66, yang artinya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan.”
(Gambar-2)


Taubat sejati itu sesuatu yang jelas rumusannya. Ia berkaitan dengan penundukan “hawa-nafsu” (bunuhlah dirimu) dan pengendalian “syahwat” (keluar dari kampung halaman), seperti yang dibahas pada QS An-Nisaa’ [4]: 66.


Mengingat bahwa hakikat insan adalah nafs-nya, jelaslah bahwa “bunuh-diri” di sini sama sekali bukan jasadiah sifatnya, sedangkan “kampung-halaman” di sini adalah jasad tempat-tinggal sang-nafs itu. Jadi, nafs itu harus “mati” dari tingkatan yang lebih-rendah agar dapat bangkit kepada tingkatan yang lebih-tinggi, dan ia harus keluar dari penjara syahwat ragawinya. Perjalanan nafs itu melintas sekian alam. Pada fase alam rahim, dipersiapkan baginya wadah jasad untuk dipakainya selama dalam alam dunia.


Jadi, hanya pada alam-dunia ini saja ia menggunakan kendaraan jasad. Sejatinya, nafs maupun jasad memiliki tugas dan tanggung-jawabnya sendiri-sendiri. Hubungan yang shaleh (maksudnya tidak fasad, cacat) diantara keduanya adalah jika keduanya shaleh pula, sehingga dapat membentuk kejama’ahan dalam satu diri: nafs sebagai imam, dan jasad sebagai makmum. Keshalehan keduanya adalah sesuatu yang sangat tidak mudah dan memerlukan perjuangan yang besar, jihad al-akbar. Pada dasarnya ini dikarenakan jasad berasal dari bumi ini, dan karenanya semua yang disukainya, syahwat, berada dalam alam yang sekarang. Sementara itu, bagi nafs alam ini hanyalah merupakan persinggahan sementara yang sangat singkat belaka. 


Untuk itu keduanya memerlukan transformasi terus menerus sepanjang di alam dunia ini. Pelatihan bagi jasad agar menjadi shaleh dipandu dengan syariah lahiriah sebagaimana disunahkan oleh Rasulullah s.a.w. Sementara itu, agar menjadi shaleh, nafs perlu menempuh tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa) untuk memohon pengampunan dan rahmat disucikan dari semua tapak dosa dan kesalahan yang telah mengotorinya. 


Aspek yang terakhir ini, sebenarnya juga diisyaratkan oleh Rasulullah s.a.w. sebagaimana dapat kita periksa dalam berbagai Hadits dan Hadits Qudsi beliau s.a.w.; dan yang seruan, arah, tahap-tahap serta apa-apa yang menandai masing-masing bagiannya dipandu dan dirumuskan dalam Al-Qur'an. Jika tazkiyatun-nafs, yakni “bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampung halamanmu,” kemudian dilakukan hanya oleh sebagian kecil orang, maka memang demikianlah kenyataannya di sepanjang sejarah; sebagaimana diutarakan dalam banyak ayat Al-Qur'an sendiri, “… kecuali sebagian kecil dari mereka …”. Karena sebagian besar sisanya tidak terseru oleh Al-Qur'an, yang memang, “tidak akan menyentuhnya kecuali mereka yang tersucikan” (QS Al Waqiah [56]: 79).


 Bagi mereka yang sedikit, yang sungguh-sungguh “kembali,” maka Allah Maha Pengampun Maha Rahiim menerimanya, dan menyediakan baginya “ganjaran yang agung dari sisi Kami” (QS An Nisaa’ [4]: 67). Kemudian melimpahinya dengan “iman cahaya” yang diperlukannya agar dia dapat menerima panduan Allah ke Shirath al-Mustaqiim, seperti dinyatakan oleh QS An-Nisaa’[4]: 68, “dan pasti Kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim.”


 Tingkat Keimanan, Tingkat Kesucian Jiwa (Nafs) Gambar-3
QS Al-Fatihah ayat-7, menyatakan bahwa Shirath al-Mustaqiim adalah “jalan orang-orang yang diberi ni’mat.” Sekali lagi, mengingat hakikat insan adalah jiwanya, maka ni’mat di sini sama sekali bukan jasadiah sifatnya, melainkan bagi jiwa—jadi nafsaniah sifatnya. Mengenai siapa saja, serta pemeringkatan dari mereka yang diberi ni’mat inilah yang dinyatakan dalam QS An-Nisaa’ [4]: 69.


“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, syuhada dan shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”


Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Shalihiin adalah para insan yang berada di Shirath al-Mustaqiim. Ini adalah istilah-istilah Al-Qur'an yang menunjukkan menyatakan tingkat kesucian jiwa (nafs).


Untuk dapat naik maqam (tingkat kesucian jiwa) harus melepaskan diri dari dirinya-sendiri (membunuh-diri secara nafsiah) menuju Tuhan-nya. [Hal ini dapat dikiaskan bahwa sewaktu seseorang menaiki tangga, kala berada dijenjang pertama memegang pegangan jenjang pertama. 


Untuk naik ke jenjang kedua, maka harus melepas pegangan jenjang pertama, lalu memegang pegangan pada jenjang kedua, begitu seterusnya hingga mencapai puncak. Ini sangat sulit, karena umumnya manusia selalu berpegang-erat pada sesuatu yang tengah digenggamnya. Diri kita sendiri inilah yang merupakan lawan kita yang paling besar, sebagaimana sabda sayidina Ali k.w. Karenanya, membunuh diri itu sesuatu yang, seperti pernyataan ayat di atas—tidak tidak akan dilakukan kecuali oleh sebagian kecil orang].


Pada kesempatan ini kita mulai mengkaji karakteristik dari mereka yang sungguh-sungguh Allah perjalankan di Shirah al-Mustaqiim.


• ShalihiinShalihiin didefinisikan Al-Qur’an dalam QS Al-Ankabut[29]: 9, yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) Shalihiin.”


Shalihiin = iman + amal & shaleh, dimana:
IMAN = pantulan nur-iman dari Al-Mukmin,
AMAL = yang diperintahkan Rukun Islam,
SHALEH = amal itu dikerjakan sewaktu qalbu-nya tidak-fasad


1) ImanIman adalah Cahaya yang Allah limpahkan ke qalb yang bersih dari dosa, bersihnya qalb karena hamba tersebut ditaubatkan secara haqq.
Gambar-4


Ilustrasi ini, menggambarkan proses taubat yang dilalui, untuk meraih iman:


o Tahap I, qalb masih penuh kotoran.
Pada tahap ini dilaksanakan taubat awal, lalu diberi iman-awal oleh Pemilik-Iman untuk modal-awal pembersihan. Surat ke 40 dari Al-Qur'an Allah namai Al-Mukmin, yang juga merupakan salah-satu al-Asma al-Husna, yang bermakna Pemilik Iman. Jadi tidak ada manusia yang memiliki iman kalau tidak disinarkan-Nya cahaya iman. Tidak ada manusia yang memiliki imannya sendiri, tapi hanya memantulkan Cahaya Iman al-Mukmin.
Gambar-5

o Tahap II, sebagian qalb mulai bersih.
Tahap selanjutnya dari seseorang yang mulai ditaubatkan, sewaktu ia mulai berupaya berbuat-baik dan mencoba melaksanakan petunjuk, maka sebagian qalb mulai dibersihkan. Pada tahap ini terjadi gempuran-gempuran pada orang tersebut, yang pada hakikatnya untuk meluaskan qalb. Kegelapan yang semula menghuni qalb terusir ke luar. 


Gempuran-gempuran seperti ini, secara awam diistilahkan sebagai musibah. Kaum awam menganggap konotasi musibah sebagai sesuatu yang buruk adanya. QS At-Taghabun [64]: 11, menyatakan bahwa “Tiada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah …” Maka apa saja yang dialami seseorang dalam pertaubatannya adalah karena Rahmat-Nya. QS Ali ‘Imran [3]: 191 menyatakan “…tiada dalam ciptaan sesuatu yang bathil…”. Jelaslah bahwa kehadiran musibah menjumpai seseorang itu terjadi dengan seizin-Nya. 


Dengan pernyataan ini, jelaslah kehadiran musibahpun seuatu yang Allah hadirkan—dan karenanya bermanfaat bagi diri kita—walaupun bertentangan dengan selera jasadiyah kita. Musibah juga merupakan alat untuk menguji ketaatan seorang insan kepada Rabb-nya. Seringkali mereka yang di Shirath al-Mustaqiim mencontohkan dengan adab mereka sendiri untuk berdo’a sewaktu datang musibah, yang kurang-lebih artinya: ”Berilah aku yang baik menurut-Mu dan berilah aku kekuatan untuk menerima ketetapan-Mu”. Mereka tidak mau melarikan diri dari ketetapan apapun yang datang. Al-Qur'an suci mencontohkan riwayat banyak orang suci yang memperlihatkan kesabarannya sewaktu dihampiri musibah.


o Tahap III, kepada qalb yang bersih ditebar benih iman.
Setelah qalbu bersih, maka ditebari dengan benih-benih iman, lalu disinari dengan Cahaya Iman, terjalinlah hubungan dengan Allah.
“… Dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke qalbunya” (QS At-Taghabun [64]: 11).


2) AmalAmal dilaksanakan dengan panduan ilmu. Amal yang paling afdal adalah ilmu mengenai Allah ta’ala. Pelaksanaan amal dilandasi oleh Rukun Islam. Perhatikan pula Hadits Qudsi mengenai amal fardhu dan nawafil yang telah dibahas sebelumnya.


 3) Shaleh
Lawannya adalah fasad yang berarti rusak. Wajah yang dihadapkan sang hamba pada khaliknya adalah qalb-nya. Jika qalb ini shaleh maka shaleh-lah keseluruhan dirinya. Jika fasad maka fasad-lah keseluruhannya.


Shalihiin adalah insan yang beriman, ada cahaya dari Ilahi yang dilimpahkan dan dipantulkan oleh qalbu yang suci. Terjalinlah jaringan komunikasi dengan Allah, turunlah petunjuk (hudan) melalui media nur-‘iman. Dengan landasan hudan itu, ia beramal. Dapat disimpulkan, bahwa “ihdinash shirath al-mustaqiiim” (QS Al-Fatihah [1]: 6), yang dimohonkan kepada-Nya minimal sebanyak 17 x sehari-semalam, adalah permohonan agar setidak-tidaknya dimasukkan menjadi golongan Shalihiin.


• SyuhadaSyuhada berada satu peringkat lebih tinggi daripada kaum Shalihiin. Syuhada yang dijelaskan dalam Al-Hadid [57]: 19, adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Peringkat ini berkaitan dengan persaksian primoridal nafs di alam alastu (QS Al A’raf [7]: 172), yaitu persoalan dipikulnya amanah QS Al [33]: 72. Inilah peringkat orang yang setidak-tidaknya:


➢ mampu menjadi saksi tentang keberadaan Allah;
➢ sudah mengetahui-kembali persaksiannya di alam-alastu;
➢ mempersaksikan al-haqq dibalik sesuatu, tidak ada sesuatupun dalam penciptaan yang bathil (QS Ali ‘Imran [3]: 191).


• ShiddiqiinShiddiqiin merupakan peringkat yang lebih tinggi daripada syuhada, didefinisikan Al-Qur’an dalam Al Hujurat [49]: 15: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah Shiddiqiin”. Shiddiqiin adalah Syuhada yang telah bekerja dengan “nur-ilmunya” di dunia ini. Bersama dengan golongan ”Nabi” kaum “Shiddiqiin” disebut kaum yang dekat “qarib” kepada Allah.


• NabiPengertian Nabi djelaskan dalam QS Al Ahzab [33]: 45 – 47, sebagai berikut:
”Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
“dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”.
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mu’min bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah”.


Itulah fungsi para Nabi bagi makhluk lainnya. Semua nabi dan rasul berada dalam kepemimpinan Rasulullah Muhammad s.a.w., sebagaimana ditunjukkan dalam jama’ah mereka sewaktu shalat bersama dalam peristiwa mi’raj. Maka apa-apa yang mereka tampilkan dalam kiprah mereka sewaktu berada di dunia adalah seizin dan dalam kehendak Allah ta’ala belaka. Adanya tuduhan, sekalipun hanya didalam hati seseorang, mengenai sikap atau tindakan seorang nabi yang dipandangnya dengan negatif merupakan hambatan yang mencegahnya dimasukkan dalam golongan yang disebut dalam QS An Nisaa’ [4]: 69. Karena tidaklah mungkin seseoarang dimasukkan dalam suatu kelompok dimana ada diantara anggotanya—yang semuanya Allah angkat—yang masih buruk dalam persangkaannya.


Bershalawat kepada Nabi s.a.w, merupakan suatu usaha agar menjadi kaumnya Nabi s.a.w. Usaha untuk menghubungkan diri dengan Nabi s.a.w, dengan menjadikannya sebagai teladan, sehingga Nabi Muhammad s.a.w. yang disebut Al-Qur'an yang berjalan, berkenan memberikan syafaatnya. Dengan kata lain, bershalawat adalah suatu komitmen untuk menjadikan teladan Rasulullah s.a.w. sebagai patron atau alat cetak pembentuk karakteristik kepribadiannya. Teladan yang tertulis di dalam Al-Qur'an adalah kiprah dan jihad para nabi dan rasul dalam bertaubat dan ditransformasikan jiwanya sewaktu ditarik kepada Allah.


Semakin tinggi peringkat kesucian jiwa seseorang dalam golongan mereka yang diberi nikmat, maka rasa jiwa akan semakin halus. Karenanya, semakin halus pula tingkat dosanya. Demikian pula semakin ditarik kepada Allah, semakin besar ujian yang akan datang. Perlu disadari bahwa orang yang dicintai Allah, akan diselimuti-Nya seperti seorang ibu menyelimuti anaknya. Allah akan menyelimuti orang tersebut dengan berbagai musibah dan ujian, untuk mencegahnya dihinggapi oleh hal-hal yang tidak Allah cintai.


Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5


Kajian Al Qur’an-materi-ke 9

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Kalimah Taqwa: Pohon Taqwa


Landasan Kalimah TaqwaDan telah bersabda Rasulullah s.a.w.: “Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, perhiasannya malu.”


Mengenai taqwa yang disebut-sebut sebagai pakaian bagi Bani ‘Adam itu juga dinyatakan dalam QS Al A’raaf [7]: 26 – 27, yang struktur persoalannya dapat dilukiskan pada gambaran di bawah ini. (lihat Gambar)


Mengenai Pohon yang Baik (Syajarah Thayyibah):
QS Ibrahiim [14]: 24 – 27:
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimah thayyibah, yaitu seperti pohon yang baik (thayyibah), akarnya teguh dan cabangnya menjulang di langit.


Pohon itu memberikan buahnya sepanjang musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu bagi manusia supaya mereka mengingatnya.


Dan perumpamaan kalimah yang buruk itu seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut seakar-akarnya dari bumi, tidak dapat tegak sedikit pun.


Allah meneguhkan yang beriman dengan sabda yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan mereka yang adz-dzaliim dan Allah memperbuat apa yang dikehendaki-Nya.”


Mengenai Syarat dan Tempat Tumbuh
Hadits Qudsi:
“Allah ta’ala mempunyai wadah di bumi–Nya yaitu diberbagai qalbu. Wadah yang paling disukai Allah, yang paling kuat, yang paling bersih dan yang paling lembut.”


Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, dimanakah Allah? Di bumi atau di langit? Rasulullah s.a.w. menjawab: “Allah ta’ala bersabda: ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat aku oleh qalb hamba-Ku, yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.”


QS Al A’Raaf [7]: 57 – 58:
“Dan Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita-gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya, hingga jika angin itu membawa awan-mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan yang telah mati (al-mawta), agar kamu mengingatnya.


Dan negeri yang baik (al-balad ath-thayyibu), tanam-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan yang buruk tanam-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulang-ulang ayat Kami bagi kaum yang bersyukur.”


Pohon taqwa inilah yang juga disebut Pohon Kehidupan, yang merupakan kalimah thayyibah (= sabda yang baik).


Bibit itu demi Pohon, Pohon itu demi Buah
Bila bibit disemai pada habitat yang tepat, lalu akar (iman) mendapatkan air dan hara (pemahaman / pengetahuan) yang tepat akan menumbuhkan pohon (taqwa) yang baik, kokoh dan kuat, seperti yang seperti dilukiskan dalam ayat-ayat di atas.


Terdapatnya taqwa pada diri seseorang bukanlah sesuatu yang mudah diidentifikasi secara lahiriah, karena ia terdapat di qalb. Yang tampak dari luar adalah buah dari taqwa tersebut.


Dari pohon seperti disebut di ataslah , yang akarnya teguh dan dahannya menjulang di langit baru dapat dihasilkan buah sepanjang musim. Buah pohon inilah yang disebut hasanah. Kita dapat mengetahui apa itu hasanah yaitu lawan dari “sayyiah” dari rumusan pada QS. Al Furqaan[25]: 70, “Kecuali yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal-shaleh, mereka itulah yang Allah ganti sayyiah-nya dengan hasanah. Dan adalah Allah itu al-Ghafur ar-Rahiim.”


Hasanah (buah taqwa) itu terdiri dari:
• Ilmu.o “… bertakwalah, Allah akan mengajarimu …” (QS Al Baqarah [2]: 282).
o “Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (utuul ilma). Dan tidak akan mengingkari ayat-ayat Kami melainkan orang-orang yang dzalim.” (QS Al ‘Ankabuut [29]: 49.


• Akhlak.o Al-Qur'an mengetengahkan Rasulullah s.a.w. dan para Nabi a.s. sebagai teladan akhlak. “Sesungguhnya engkau benar-benar atas ahklak yang agung (khuluqu ‘azhiim)” (QS Al Qalam [68]: 4); “Sesungguhnya telah terdapat pada Rasul Allah teladan (uswah) yang hasanah bagi yang mengharap rahmat-Nya dan hari akhir dan banyak mengingat Allah” (QS Al Ahzab [33]: 21.
o Periksa kembali mengenai sifat ar-Rahman Allah, sebagai sifat yang pertama dan utama [Lanjutan Materi


• Amal.
o Bentuk dari amal yang khusus (shalat, zakat, dst.) dipandu dalam Rukun Islam. Mendekat kepada Tuhan dirumuskan dalam Hadits Qudsi mengenai amal yang fardhu dan yang nawafil.
o Baik amal yang khusus dan maupun umum mempersyaratkan keihlasan sang hamba. (lihat rumusan ikhlas dalam Hadits panjang dari sayidina Muadz bin Jabal r.a. maupun Hadits Qudsi).
o Dari sebuah hadits Rasulullah s.a.w. kita mengetahui bahwa “amal yang paling afdhal” adalah “ilmu”. Ini karena menurut rumusan dari sebuah Hadits Qudsi tujuan penciptaan adalah untuk “mengenal Allah.” Dan ilmu adalah “cahaya.”


Mengenai hubungan antara akar, pohon, dan buah ini, Maulana Jalaluddin Rumi menyatakan:
Karenanya, walaupun secara bentuk-lahiriahnya engkau merupakan mikro-kosmos, secara hakekatnya engkau adalah makro-kosmos.
Tampak dari luar, cabang merupakan sumber dari buah; hakikatnya cabang itu memiliki keberadaan demi sang buah.
Jika tidak ada kehendak dan harapan bagi buah, untuk apakah Tukang Kebun menanamkan akar pohon?
Karena itu, pada hakekatnya, pohon itu lahir dari buah, walaupun tampaknya buah itu dihasilkan pohon.


Dari penggambaran di atas jelaslah bahwa hubungan antara iman dan taqwa, serta bahwa terdapat urut-urutan penumbuhannya (taubat—iman—amal-shaleh), dimana amal-shaleh memprasyaratkan iman, sedangkan iman itu sendiri memprasyaratkan taubat.


Demikianlah urutan dan syarat-syarat tersebut merupakan suatu panduan yang penting, karena seperti dinyatakan dalam QS Al Ahzab [33]: 19, “… mereka itu tidak beriman maka Allah menghapuskan amalnya …”; serta dalam QS Ibrahiim [14]: 18, “Misal bagi mereka yang kafir kepada Rabb mereka, amal-amal mereka bagaikan abu yang ditiup angin yang keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka upayakan. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.”


Penting dicatat bahwa di seputar penggunaan istilah kafir ini, Al-Qur'an sendiri menyatakan: “Dan yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka lah yang putus-asa dari rahmat-Ku, dan mereka lah yang diazab dengan sangat.” (QS Al ‘Ankabuut [29]: 23); “Sesungguhnya tidak berputus-asa dari Ruhillah, kecuali kaum al-kafiriin” (QS Yusuf [12]: 87).


Taqwa, yang sekali lagi terletak di qalb tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut:


Taqwa = iman + amal + shaleh
Dengan memperhatikan rumusan dari mereka yang berada pada peringkat terbawah dari “orang-orang yang mendapatkan ni’mat” (QS 4: 69)—yakni ash-Shalihiin (QS 10: 9; 29: 9), maka taqwa ini lah yang berada di qalb dari mereka itu, yakni orang-orang yang “berada di Shirath al-Mustaqiim”.


Pertumbuhan Pohon
Adanya cahaya iman dalam qalb seseorang merupakan sarana turunnya petunjuk. Di dalam upayanya mengikuti petunjuk-petunjuk tersebut, maka sang hamba tersebut akan menempuh ujian-ujian, dan dengan demikian ditumbuhkanlah pohon taqwa-nya. 


Sebaliknya, tidak diikutinya petunjuk—karena menakuti beratnya ujian—merupakan halangan dalam pertumbuhan pohon taqwa tersebut. Allah berfirman dalam QS Al Al ‘Ankabuut [29]: 23, ““Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: ”Sebagaimana seorang ayah merawat anaknya, maka Allah memelihara hamba-hamba yang disayanginya dengan ujian”. 


Sebagaimana dibahas sebelumnya, ujian-ujian itu berguna untuk membuang, membersihkan dan menjaga dari segala sesuatu yang tidak Allah sukai dalam qalb sang hamba; sekaligus mengajarinya tentang kelemahan dirinya-sendiri. Kehidupan para nabi di dalam Al-Qur'an—dimana mereka merupakan suri-tauladan bagi manusia—tidak ada yang sepi dari ujian. Karena itu, kaum Nabi inilah yang paling berat ujiannya diantara manusia. Penting dicatat bahwa, “Allah tidak membebani satu nafs-pun melainkan sesuai dengan kesanggupannya …” (QS Al Baqarah [2]: 286).


Pohon Taqwa


Kajian Al Qur’an-materi-ke 10

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Lebih Lanjut Mengenai Kalimah Taqwa


Pendahuluan
Siapa saja yang membaca Al-Qur'an akan menemui ayat ke dua dari Surat Al Baqarah ini: “Inilah al-Kitab, tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang al-Mutaqiin.” Apakah yang disebut taqwa itu? Siapakah gerangan Al-Mutaqiin tersebut? Secara bahasa, istilah ini kurang-lebih artinya—mereka yang paripurna ketaqwaannya—yang kepada mereka diberikan petunjuk (huda) berupa al-Kitab. Ini tentu sangat menggelitik, karena kepada mereka itulah al-Kitab akan menjadi petunjuk, dan mereka saja lah yang tidak menemukan suatu keraguan di dalamnya, di dalam bagian yang mana saja dari isinya. 


Penjelasan pertama tentang mereka segera dapat kita temui dicantumkan pada ayat-ayat selanjutnya, dan kemudian juga bertebaran di berbagai bagian Al-Qur'an yang menerangkan karakteristik dari kaum yang dimuliakan ini. Dari ayat ini saja, kita dapat mulai menangkap kompleksitas pemahaman yang harus dibangun, karena setidak-tidaknya, yang disebut dengan al-Mutaqiin tersebut—yaitu tidak ragu akan seluruh isi al-Kitab, dan dapat memperoleh petunjuk darinya—mestinya kaum yang sangat tinggi kedudukannya, mengingat untuk ‘menyentuh’ al-Kitab itu saja tidaklah sembarangan, “Tidak akan menyentuhnya, kecuali mereka yang disucikan (al-Muthahharuun)” (QS Al Waaqi’ah [56]: 79). Sementara ayat lain menyatakan, “… Sesungguhnya yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa…” (QS Al Hujuraat [49]: 13).


Taqwa merupakan salah satu persoalan utama yang sangat halus dan tersamar, yang untuk mulai memahaminya membutuhkan penelaahan yang menyeluruh dan mendalam kepada kandungan Al-Qur'an untuk menggali berbagai sisi dari persoalan ini. Mengingat untuk menyentuh Al-Qur'an itu saja mem-prasyaratkan kesucian, maka pembahasan ini, seperti juga pembahasan lainnya untuk forum ini, akan berlandaskan kepada sumber-sumber berupa apa-apa yang telah disampaikan oleh mereka yang memenuhi persyaratan di atas, dan cakupan dari amal-tugasnya memang dalam memberikan pengajaran.


Sebagai suatu istilah yang kompleks penjelasannya, sebagian dari aspek-aspek pengertian “taqwa” ini sebenarnya terliput di dalam berbagai istilah yang telah dikemukakan dalam beberapa pertemuan forum ini. Sebagian lainnya akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Kesemuanya diharapkan menjadi bahan-awal bagi semua peserta untuk membentuk pengertian yang terpadu.


Pembahasan kali ini akan berusaha menyampaikan beberapa aspek pokok persoalan taqwa ini, yang telah diawali pada pertemuan sebelumnya, dengan gambaran Pohon yang Baik (Syajarah Thayyibah), yang kembali dicantumkan di sini: (lihat gbr di materi no 6: Pohon Taqwa)


Locus-nya di Qalb
Taqwa itu tempatnya di qalb. Perlu diingatkan kembali, seperti pernah dibahas sebelumnya di dalam Skema Interaksi Qalb, bahwa bagian ini merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam dari insan, yakni: (1) alam Nasut, yaitu raga, jasad, atau ’al-ardh’; (2) alam Malakut, yaitu tempat dari jiwa, diri, ’an-nafs’, ‘as-sama’i ad-dunya’ atau ’as-sama’i’ yang “seandainya datang dengan suka-hati, dijadikan-Nya tujuh langit,” ‘sab’a samawati’ atau ‘as-samawati’ ; dan (3) alam Jabarut, yaitu alam dari al-Ruh al-Quds.


Oleh karena itu Hadits Qudsi dan Hadits berikut ini:


“Allah ta’ala mempunyai wadah di bumi–Nya yaitu diberbagai qalbu. Wadah yang paling disukai Allah, yang paling kuat, yang paling bersih dan yang paling lembut”; dan


Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, dimanakah Allah? Di bumi atau di langit? Rasulullah s.a.w. menjawab: “Allah ta’ala bersabda: ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat aku oleh qalb hamba-Ku, yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram”; serta


Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang taqwa, hatinya bersih, tidak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad,”


berkaitan dengan QS al Azhab [33]: 72, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah itu kepada lelangit (as-samawati), bumi (al-ardh), dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan jahil.” Dengan kata lain, locus-nya bukanlah di jiwa (as-samawati), jasad (al-ardh), dan bukan pula nalar (al-jibal), melainkan qalb yang merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam tersebut di atas, dan karenanya memiliki aspek-aspek dari ke tiga alam yang berbeda-beda itu.


Terlihat dari penggambaran di atas, cakupan dari Bumi-Diri yang di-imankan merupakan maqam (“akarnya teguh”); sedangkan batang pohonnya merupakan hal (“cabangnya di langit,” atau as-sama’i”) yang tegak di Langit-Diri atau an-nafs; dan (“berbuah sepanjang musim”), sepanjang jiwa itu ada, sementara kita mengetahui bahwa jiwa itu berjalan—dengan cahayanya—melintasi fase-fase hidup, dimana dunia kita saat ini hanyalah salah satu diantara yang harus dilewatinya.


Maqamat dan Ahwal
Persoalan maqamat dan ahwal (stations and states) memerlukan pembahasan yang panjang-lebar dan perlu diliput dalam suatu sesi tersendiri. Karena itu tidak akan dibahas dalam pertemuan kali ini. Sebagai suatu pengingat awal bagi kita semua mengenai tersusun-rapinya semesta alam dalam shaf-shaf, dicantumkan di sini ayat ke 164 dari QS Ash Shaaffaat [37], “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum),” untuk nanti kita tinjau kembali dalam pembahasan tersendiri.


Hasanah
Mengenai ke macam Buah Taqwa ini, akan terus dibahas dalam berbagai kesempatan. Kali ini ditambahkan beberapa contoh dialog berikut ini:


• Ilmu.o Di dalam kitab al-Hikam , tercantum dialog dua orang suci berkenaan dengan potongan ayat ini, “… bertaqwalah, Allah akan mengajarimu …” (QS Al Baqarah [2]: 282), sebagai berikut:


Ahmad bin Hambal bertemu dengan Ahmad bin Abil-Hawari, maka berkata Ahmad bin Hambal: “Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah kau dapat dari gurumu Abu Sulaiman.” Menjawab Ibn Hawari: “Bacalah Subhanallah, tetapi tanpa rasa kekaguman. Setelah Ahmad bin Hambal membaca ‘Subhanallah’ berkatalah Ibn Hawari: “Aku mendengar Abu Sulaiman berkata: ‘Apabila jiwa manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, niscaya akan terbang ia ke alam malakut, kemudian kembali membawa berbagai ilmu-hikmah tanpa berhajat kepada guru.’”


Ahmad bin Hambal setelah mendengar keterangan itu langsung bangun berdiri dan duduk kembali ke tempatnya sampai tiga kali, lalu ia berkata: “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk Islam.” Ia sungguh merasa puas dan gembira menerima keterangan itu, kemudian ia membaca hadits: “Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya’lam.” (Barangsipa yang mengamalkan apa-apa dalam ilmunya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui).


o Istilah “al-Jannah” di dalam banyak ayat Al-Qur'an adalah sesuatu “yang disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh” (= bertaqwa), “yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. Karakteristik orang-orang yang diberikan kepadanya al-Jannah ini adalah kaitannya dengan sungai, air, istilah Al-Qur'an untuk “’ilm” atau pengetahuan yang perangkatnya adalah ‘aql dengan qalb (QS al Hajj [22]: 46).


• Akhlak.o Insan lah yang diajari mengenai asma-asma Allah, agar kemudian mencari lalu berupaya untuk menjadi pengurai dari asma-asma yang terdapat di dalam dirinya. Ini berkaitan dengan persoalan “fithrah” (QS Ar Ruum [30]: 30 – 32); Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi (Kanzun Makhfiy); penggalian pengetahuan mengenai diri-sendiri; serta posisi seorang beriman diantara jama’ah kaum yang beriman yang sama-sama memandang Rasulullah Muhammad s.a.w. sebagai contoh-teladan terbaik.


o Salah satu pengajaran Al-Qur'an di dalam mengetengahkan Rasulullah s.a.w. sebagai teladan akhlak disampaikan dalam rangkaian QS Ali ‘Imran [3]: 132 – 136 berikut ini:


“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya agar kamu diberi rahmat.”


“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan jannah yang luasnya seluas lelangit dan bumi yang disediakan bagi al-Mutaqiin.”


“Yaitu orang-orang yang menafkahkan dalam lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan manusia. Sesungguhnya Allah cinta kepada al-Muhsiniin.”


“Dan orang-orang yang jika mengerjakan perbuatan yang keji dan men-zalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapakah yang dapat mengampuni kecuali Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya.”


“Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Rabb mereka dan jannah yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan ni’ma ganjaran bagi al-‘Amaliin.”


• Amal.Sewaktu seorang beriman berusaha mengejawantahkan keimanannya dalam amal sesuai petunjuk yang diterimanya, pertama-tama ia akan mencermati apa-apa yang ada padanya untuk disyukurinya. Di dalam proses ini, seorang hamba yang belajar bersyukur akan menengok kepada mereka yang ditugasi Allah untuk menjadi panutan. Mereka itu lah para Nabi dan para Rasul Allah merupakan teladan bagi manusia—mengingat mereka lah diantara manusia yang paling mengenal-Nya—karenanya yang paling mampu mewartakan tentang Allah. Mereka memberikan pengajaran kepada manusia dengan menjadi teladan dalam berbagai persoalan, termasuk pula persoalan ini. Salah satunya terliput dalam satu nasihat Nabi Allah Isa a.s yang mengajari para muridnya tentang perlunya ‘menguji pikiran seperti menguji mata-uang.’ Petikan dari ajaran Beliau a.s. dikutip di sini: “Maka sudah barang tentu lebih wajib atasmu untuk tidak membiarkan syaithan itu memasuki hatimu atau meletakkan fikiran-fikiran di dalamnya. Karena Allah telah mengkaruniakan hatimu itu untuk kamu pelihara, dan ia tempat bersemayam-Nya. Jika demikian, maka harus kamu perhatikan bagaimana seorang penukar-uang meneliti mata-uang, apakah gambar Kaisar itu betul, apakah uang itu dari perak murni atau lancung, dan apakah ia dari ukuran yang biasa atau tidak. Dari itu ia banyak membolak-balikkan uang itu di tangannya. … Sesungguhnya perak yang murni di bidang pikiran hanyalah taqwa, karena tiap pikiran yang sunyi dari taqwa itu datangnya dari setan. Ada pun gambar yang benar (pada mata-uang) hanyalah suri-teladan dari orang-orang suci dan para nabi yang wajib kita mengikutinya. Dan timbangan di bidang pikiran adalah kecintaan kepada Allah, yang segala sesuatu itu harus dikerjakan sesuai dengannya.”


Mengenai Taqwa vs Zalim
Salah satu cara untuk mempertimbangkan istilah “taqwa” ini adalah dengan memperlawankannya dengan istilah “zalim,” sebagaimana dicantumkan dalam ayat ke 71 dan 72 dari QS Maryam [19]; yang jika sedikit kita telusuri membawa kita kepada rangkaian ayat-ayat dalam skema berikut ini: (lihat gambar dibawah) 


Taqwa vs. Zalim


Kajian Al Qur’an-materi-ke 11

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Misykat Cahaya-cahaya
Pendahuluan
Sahabat-sahabat sekalian, Insya Allah materi yang akan kita ulas kali ini adalah adalah Paper “Misykat Cahaya-Cahaya”, yang disusun dengan meminjam dari karya Al-Ghazali, “Misykatu-l-Anwar (fii Tauhid-l-Jabbaar)”, yang sebagiannya saya kembangkan lebih jauh. Tulisan yang saya buat adalah esensinya, rangkuman dari semua persoalan, sehingga jangan dipaksakan dalam membacanya jika mungkin agak susah dipahami.
Dalam pembahasan terdahulu kita telah mengkaji konsepsi shirath-al-mustaqim dan Ad-Diin dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala. Untuk memahami lebih jauh konsepsi tersebut perlu dipahami ihwal struktur insan. Paper “Misykat Cahaya-Cahaya” yang akan diurai dalam pembahasan berikut menjelaskan tentang bagaimana struktur insan sebagaimana yang diwartakan-Nya melalui Al-Qur’an, terutama surah An-Nuur (24) ayat 35.


 Ayat Cahaya
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS An-Nuur (24) : 35]


Berikut ini akan diurai satu per satu berbagai perkara struktur insan yang terpendam dalam “ayat cahaya” di atas.


(1) (Allah cahaya petala langit dan bumi)
Terseratkan di atas bahwa “Allah cahaya lelangit dan bumi”. Karakteristik mendasar dari cahaya adalah kemampuannya dalam menampakkan sesuatu. Tanpa cahaya, ruangan gelap tak kan teramati segenap isinya, tak kan nampak segala sesuatu yang tegak di atas permukaan bumi. Dengan kata lain sesuatu tidak akan hadir tanpa cahaya (itu).


Allah punya “sesuatu” di tangannya yang dengan “sesuatu” tersebut semesta alam-alam (al-‘aalamiin: lelangit dan bumi) menjadi tampak. “Sesuatu” itu disebut dengan “Nur Muhammadiyyah”, Nur-nya Rasulullah Muhammad saw. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda,
“Hal pertama yang dicipta Tuhanku adalah Nur Nabimu (yaa Jabir)”
[disebut dalam Schimmel 1994:177, silakan diverifikasi lebih lanjut atau lihat Furuzanfar 1955 No. 342]
“Aku telah menjadi Nabi, sementara Adam masih berwujud antara air dan lempung” [dikutip dari Schimmel, 1994:183, lihat Furuzanfar 1955 No. 301]


Allah mencipta “Nur Muhammadiyya” yang dengan Nur ini ditampakkan semesta alam. Semesta alam yang dicipta-Nya dalam kegelapan, tanpa asma, diberikan pakaian wujud dengan ditampakkan melalui Nur Muhammad, cahaya-Nya. Semesta alam terdiri dari alam malakut (bathin) dan alam mulk/syahadah (zhahir). 


Penghuni alam malakut antara lain adalah para malaikat dan jiwa-jiwa manusia (nafs) termasuk alam barzakh. Penghuni alam mulk/syahadah pada lapisan fisik/material di antaranya adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan materi-materi lainnya sedangkan pada lapisan non-fisik di antaranya adalah alam jin. Semuanya hadir dari status awalnya yang berada dalam kegelapan. Rasulullah saw pernah bersabda:


“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” [Imam Al-Ghazali, 1999:47]
“Lawlaka maa khalaqtu-l-aflaka”
“Jika engkau tidak ada” (dengan kata lain, jika bukan karena engkau), “Aku tidak akan menciptakan alam semesta” [Schimmel, 1994:183]
“Dia yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi, kemudian menata/ membentuk (istawaa) menuju langit, maka dibentuknya (fa sawwaahunna) tujuh langit (sab’a samaawaat). Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al Baqarah (2): 29]


(lihat gambar 1 dan 2 dibawah)
Kehadiran Rasulullah saw dalam pra-keabadian ini ditunjukkan juga oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan-li-l-‘aalamiin
“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS Al-Anbiyaa’ (21) : 107]
Jika ditetapkannya Rasulullah Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam tidak dari pra-keabadian, tentunya sebelum kelahiran dan setelah wafatnya Rasulullah saw maka alam tidaklah terahmati. Tetapi rahmat-Nya meliputi alam semesta melintasi segenap masa, Nur Muhammadiyyah senantiasa mencahayai lelangit dan bumi, tak terputus sejak awal penciptaan hingga alam semesta digulung kembali.


(2)“(Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau”
Fragmen firman-Nya di atas menjelaskan tentang perumpamaan cahaya-Nya. Perlu digarisbawahi bahwa perumpamaan yang Allah berikan adalah perumpamaan tentang cahaya-Nya karena Allah tidak dapat diumpamakan dengan apapun, apalagi dibahas berstruktur dan berlapis-lapis. Dia itu ahad.
laisa kamitslihi syai-un
“Tiada permisalan/perumpamaan apapun juga bagi Dia”
[QS Asy-Syuura (42) : 11]


Cahaya-Nya yang menampakkan lelangit-bumi, semesta alam baik alam zhahir maupun bathin, diumpamakan dengan skema sebagai berikut:


(lihat gambar 3)
Perumpamaan ini menggambarkan sebuah struktur yang terbagi atas:
1. Misykat ‘Jasad’
2. Bola/lingkaran kaca {zujaajah} kaukab ‘Qalb’ di dalam ‘Nafs Muthma-innah’
3. Mishbah Ruh Al-Quds.


Misykat, fash, atau ceruk, melambangkan sebuah lubang yang tak tembus cahaya, sebuah benda gelap. Misykat ini melambangkan jasad insan yang bersifat kebumian, material, dan relatif gelap.


Di dalam misykat terdapat pelita (mishbah). Pelita bersifat memiliki cahaya sendiri, bahkan memancarkan cahayanya kepada benda-benda lain. Pelita ini melambangkan Ruh Al-Quds, kuasa Tuhan (bukan Tuhan itu sendiri), yang jika telah singgah dalam diri manusia maka manusia tersebut menjadi insan Ilahi, khalifah fi-l-ardh, yang mengejawantahkan kehendak Tuhan di muka bumi, memancarkan cahaya-Nya menerangi segenap penjuru alam semesta.


Di antara misykat dan mishbah terdapat bola kaca bening zujaajah yang berpendar dan berkilau seperti kaukab. Beningnya zujaajah tersebut memungkinkan kita menatap sesuatu yang ada di baliknya, ibarat menatap pemandangan di balik jendela kaca. Tidak demikian dengan misykat. Sesuatu yang ada di balik misykat tidak akan terlihat karena watak misykat yang kusam atau gelap. 


Di dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa benda langit seperti buruuj, kawakib, najm, thariq, dan sebagainya, yang dalam peristilahan bahasa Indonesia hanya mampu diterjemahkan sebagai ‘bintang’. Padahal secara fisika amat berbeda antara bintang dengan planet. Bintang-gemintang (contohnya matahari) merupakan benda langit yang memiliki cahaya sendiri dan bercahayanya tidak bergantung kepada keberadaan benda lain atau cahaya lain. Sedangkan planet adalah benda langit yang nampak bercahaya tetapi cahayanya berasal dari benda lain, kemilaunya didapat dari cahaya bintang lain. 


Beberapa planet seperti Merkurius dan Venus jika diamati dari bumi nampak seolah lebih terang daripada bintang-bintang lainnya; tetapi terangnya planet-planet ini bergantung kepada adanya bintang (dalam hal ini matahari) yang memancarkan cahayanya ke permukaan planet. Planet tidak punya cahaya sendiri tetapi meminjam cahaya bintang/matahari untuk kemudian dipancarkan kepada yang lain.


Trilogi misykat, kaukab qalb, dan Ruh Al-Quds ini sebenarnya merupakan perumpamaan bagi cahaya-Nya, Muhammad saw. Dengan QS An-Nuur: 35, Allah Ta’ala mengajarkan manusia untuk menyerupai kekasih-Nya Muhammad saw, Muhammad sebagai jasad, Muhammad sebagai jiwa, yang di dalamnya hadir Ruh Al-Quds.


“Sesungguhnya telah ada dalam (fii) (diri) Rasulullah itu suri teladan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir (yauma-l-akhir) dan banyak mengingat Allah.” [QS Al-Ahzab (33) : 21]


Kepaduan tiga entitas ini mengajarkan manusia untuk menyempurnakan dirinya. Setelah lahir dalam keadaan suci, manusia pada umumnya mengalami degradasi hingga kalbunya memburam bahkan gelap sama sekali sehingga manusia hanya memiliki jasad (misykat). Seiring dengan pertaubatan hamba dan pelimpahan rahmat-Nya, kaukab kalbu muncul bak bulan purnama yang berkilau. Pada akhirnya Kuasa Tuhan akan hadir dalam kaukab qalb berupa mishbah yang akan menjadikan struktur ini memiliki nyalanya sendiri.


(lihat gambar 4 & 5)


(3) “kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api.”
Bagaimana kaukab qalb yang tak memiliki cahaya sendiri dapat berpendar memancarkan cahaya? Siapakah yang menyalakannya? Diseratkan dalam ayat di atas bahwa kilauan kaukab berasal dari pohon yang banyak berkahnya.


(lihat gambar 6)


Sebuah pohon yang tumbuh tidak di ufuk barat dan tidak pula di ufuk timur. Tertanam tidak di tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq dan tidak pula di tempat terbitnya mentari Al-Haqq. Jika tidak berada di kedua titik penghujung maka tentu pohon-yang-banyak-berkah berada di antara keduanya. Tempat terbitnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian menyala dengan terang, inilah lokus keberadaan Ruh Al-Quds.


Tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian nampak padam, terang cahaya Yang Satu seolah sirna tersembunyi di balik lengkung gelap permukaan bumi, carut marut panggung dunia. Inilah lokus keberadaan raga atau jasad manusia. Pohon yang banyak berkahnya – yang minyaknya menyalakan kaukab qalb – tak tumbuh di lapis terluar struktur insan (misykat jasad) dan tak pula tumbuh pada titik api struktur (mishbah Ruh Al-Quds), tetapi pada jiwa manusia.


(lihat gambar 7)


Karena posisinya yang berada di antara tempat terbit dan tenggelamnya aspek Ilahiah maka jiwa manusia memiliki aroma Ilahiah yang lebih tinggi dibandingkan raga, jiwa mendekati citra batin Tuhan. Ia bisa pergi dengan sekejap, memandang terang ke penjuru mana pun juga, bisa mengenal kebenaran, melihat malaikat, melihat dosa manusia, dan sebagainya. Semakin ke atas—semakin mendekati api Ruh Al-Quds yang merupakan kuasa Allah dan merupakan bagian dari martabat Ilahi—tentu akan semakin terang.


Sebelum hadirnya pelita Ruh Al-Quds dalam diri manusia, kaukab qalb sudah berkilauan karena sesuatu yaitu pohon zaitun (yang banyak berkahnya). Suatu pohon dinamakan pohon mangga karena berbuah mangga, dinamakan pohon apel karena berbuah apel, dinamakan pohon jati karena manfaat kayu jatinya, dinamakan pohon kina karena manfaat kulit kinanya. Suatu pohon dinamakan karena keutamaannya. 


Pohon yang menyenangkan pemiliknya adalah pohon yang tumbuh sesuai dengan bibit yang ditanam. Pohon semangka tak berbuah tetapi berdaun sirih tentu tidak akan membahagiakan petani semangka. Pohon mangga yang tumbuh tapi tak berbuah mangga rasanya tak pantas menyandang nama pohon mangga.


Dalam “ayat cahaya” diambil perumpamaan “pohon zaitun” yang mana keutamaannya adalah minyaknya yang digunakan oleh manusia untuk menerangi rumah (baitu) di malam gelap-gulita. Bibit pohon zaitun yang tumbuh menjulang ke atas menjadi batang pohon yang subur, berbuah zaitun, dan dari buahnya didapatkan minyak yang kilau minyaknya akan memendarkan kaukab qalb. Pohon ini dinamakan “pohon taqwa” atau “kalimah taqwa” atau “kalimah thayyibah”, pohon yang bertumbuh sesuai dengan ketetapan-Nya dan berbuah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, sesuai dengan kalimah-Nya.


“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan (matsalan) bagi kalimah yang baik (kalimah thayyibah) adalah bagaikan sebuah pohon yang baik (syajarah thayyibah); akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seijin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat (tadzakkaruun).” [QS Ibrahim (14) : 24]


(lihat gambar 8)
Permisalan “pohon taqwa” atau “kalimah thayyibah” yang Allah buat merupakan gambaran bagi manusia bagaimana mengenal Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah menetapkan bibit apa yang harus ditumbuhkan oleh tiap jiwa [QS 17:13] dan setiap jiwa telah menyaksikannya di alam alastu [QS 7:172]. 

Bibit itu ditanam di permukaan lahan, permukaan bumi diri, di garis persentuhan urusan bumi raga dengan langit jiwa. Hamba yang berharap kembali kepada Allah Ta’ala dengan bersungguh-sungguh akan diteranginya dengan Nur Iman yang diperlambangkan-Nya dengan akar yang menghujam ke dalam bumi. 

Kuatnya cahaya iman yang identik dengan besarnya akar pohon dikuantifikasi (diukur) dan dikategorisasi (dikelompokkan) dengan maqamat. Akar yang besar—setara dengan iman atau maqam yang tinggi—tak bermakna apa-apa jika tidak menumbuhkan batang ketakwaan hingga menjulang tinggi ke langit. Hal ini seiring dengan ujaran bahwa iman tak berarti tanpa amal shalih (yang akan membuahkan ketakwaan).

Menumbuhkan pohon taqwa merupakan suatu persoalan penting, yang mana bibit dan akar yang tumbuh merupakan bahan identifikasi batang apa yang harus tumbuh. Namun hanya dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya maka amal shalih—yang menumbuhkan dan menguatkan batang ketaqwaan—dapat mengalir. Tak seperti maqamat yang dapat dikuantifikasi, amal shalih sulit diukur kecuali dengan perangkat “rasa jati”. Iman-lah yang akan membantu membuka dan menumbuhkan rasa jati. Yang dengan rasa jati akan diketahui apa yang Allah kehendaki, apa yang harus dilakukan oleh sang hamba untuk membuahkan amal shalih—amal yang terhubung kepada Allah Ta’ala.

Jika sang hamba mengerjakan amalnya dengan benar—dengan penuh sabar, syukur, ridha, ikhlas—maka Allah Ta’ala akan memberikan hadiah yang dinamakan al-hasanah, buah dari ketakwaan. Minyak zaitun yang diperas dari buah pohon zaitunlah yang menyalakan kaukab. Maka minyak al-hasanah dari pohon taqwa yang akan menyalakan kaukab kalbu manusia, yang membuat qalb berkilauan bak mutiara. Kilau terang yang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.

“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, dan hiasannya malu.”
[Al-Hadits]
“… Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu…”
[QS Al-Baqarah (2) : 282]

Hati yang jernih berkilau menyala-nyala oleh kilap minyak al-hasanah akan mengundang api Ruh Al-Quds dan kemudian menjadi singgasana bagi kuasa-Nya.
“... yaitu (Dia) yang menjadikan bagimu api dari pohon (syajarah) yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” [QS Yaasiin (36) : 80]

Pohon taqwa yang hijau segar yang tumbuh dalam jiwa muthma-innah, yang kesegaran buahnya akan melumuri kalbu dengan minyak al-hasanah, akan membuat-Nya terpikat untuk menyalakan pohon itu, mengkuduskan pohon itu dengan medan cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds. Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya. Kalbu suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman dan dari dalamnya Dia cahayai dengan pelita-Nya, Ruh Al-Quds utusan-Nya bagi jiwa.

Allah Ta’ala tidak ber-tajalli¬ di segala tempat. Telah ditegaskan-Nya bahwa tempat kehadiran (kuasa)-Nya hanyalah di dalam qalb hamba yang al-mu’min.
“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang al-mu’min” [Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”]

Sungguh menakjubkan bahwa Tuhan tidak ber-tajalli di atas sebuah gunung yang demikian tegar, samudera yang luas, dinosaurus yang besar dan kuat, atau malaikat yang suci. Bahkan baru Al-Qur’an yang turun maka gunung sudah terpecah belah.
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini ke atas sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut (khaasyi’an) kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir (yatafakkaruun).” [QS Al-Hasyr (59) : 21]

Ketika Rasulullah saw menerima wahyu di atas unta, tubuh beliau bergetar dan kaki unta melesak ke dalam gurun pasir. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Jibril a.s. yang mengantarkan Rasulullah saw menghadap Allah mengatakan “Yaa Muhammad, selangkah lagi sayapku terbakar”.

Allah Ta’ala memiliki dua aspek: bathin (awwaal) dan zhahir (aakhir). Aspek bathin adalah Dzat-Nya dan aspek zhahir meliputi shifat, asma, hingga af’al (tindakan)-Nya. Pada semesta alam, aspek bathin-Nya dilambangkan oleh alam malakut dan aspek zhahir-Nya dilambangkan oleh alam mulk/syahadah. Masing-masing alam terpisah secara tegas, mutually exclusive, masing-masingnya tidak memiliki aspek masing-masing yang lain. Oleh karenanya masing-masing alam tidak dapat “memuat” Allah – yang memiliki dua aspek zhahir dan bathin. Perlu ada sebuah “wadah” yang dapat memuat kedua aspek Allah.

(lihat gambar 9)

Qalb merupakan barzakh antara jiwa dan raga, antara alam malakut dan alam mulk, menghubungkan kedua alam yang berbeda aspeknya. Karenanya qalb merupakan entitas yang berpotensi “memuat” kuasa Allah-Yang-Maha-bathin-Maha-zhahir. Qalb jernih dan suci dari seorang al-mu’min yang disaput oleh minyak al-hasanah yang berkilau merupakan singgasana Allah, ‘arsy Allah, yang tegak di atas kursiy-Nya yang berupa kekuasaan atas dua kerajaan: kerajaan petala langit nafsiyyah (malakut) dan bumi jism (mulk).
Wasi’a kursiyyu-Hu-s-samaawaati wa-l-‘ardh
“…Kursiy-Nya meliputi petala langit dan bumi …”
[Ayat Kursiy, Al-Baqarah (2) : 255]

(lihat gambar 10)

Insan yang telah memiliki struktur yang sempurna (insan kamil) akan menampakkan semesta alam, mencahayai petala langit dan bumi, menarik segenap ciptaan dalam malakut dan mulk untuk mengenal Allah Ta’ala. Mekanisme perahmatan berlangsung dengan mengalirkan kehendak-Nya (kuasa-Nya) yang duduk di singgasana qalb ke segenap penjuru alam melalui amal shalih—amal yang terhubung dengan-Nya, tindakan yang sejalan dengan kehendak-Nya saat itu.

Berdasarkan uraian di atas, salah satu karakteristik qalb adalah taqallub (berbolak-balik). Apakah bolak-baliknya qalb merupakan masalah besar bagi manusia? Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa kepada umatnya
Yaa muqalliba-l-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa Diinika
“Wahai yang membalik-balikkan kalbu, teguhkan kalbuku di atas Diin-mu.”

Masalahnya bukanlah qalb harus berpaling dari alam mulk yang rendah dan senantiasa menghadap ke alam jabarut yang tinggi karena memang dari berbolak-baliknya kalbulah semesta alam ini tercahayai. Masalah utama adalah bagaimana dalam bolak-baliknya kalbu, sang kalbu tetap berada dalam kehendak-Nya, mengalirkan karsa-Nya. Sehingga kita harus bermohon kepada Allah agar ke manapun qalb kita mengarah, Sang Pembolak-balik Kalbu senantiasa menetapkan kalbu kita dalam Diin-Nya.

Jabal Nur, Madinatu-l-Mukarromah, Ka’bah, menjadi tempat yang lebih bercahaya dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya karena mereka pernah menjadi saksi atas hadirnya utusan teragung dan termulia. Mereka lebih tercahayai, lebih mengenal Allah Ta’ala, karena Rasulullah saw memantulkan cahaya-Nya melalui amaliah beliau. 

Semua yang dipancarkannya adalah wahyu, apakah itu tampak sebagai suatu kebaikan atau tampak sebagai suatu kesalahan. Seorang insan kamil adalah seseorang yang telah mengemban urusan-(amr)-Nya dan merupakan cermin-Nya, sehingga semua yang dilakukannya sudah diatur apakah itu baik atau buruk (di mata manusia). Seorang insan yang telah hadir di dalam dirinya Ruh Al-Quds adalah insan yang telah mengenal (‘arafa)-Nya, menjadi saksi-Nya yang sejati, yang dari amal shalih-Nya segenap ciptaan mencapai tujuannya: mengenal Allah Ta’ala dan menjadi dekat (qarib) dengan-Nya..

Kuntu kanzan makhfiyyan, ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu-l-khalqa li’u’raf
“Aku adalah khazanah tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan Aku membuat diriku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenalku.” [Terjemahan Hadits Qudsy, dikutip dari Alfathri Adlin, 2001]

Mekanisme perahmatan alam semesta ini senantiasa muncul dengan hadirnya orang-orang terang di setiap jaman yang kebanyakan dari mereka bahkan tidak dikenal oleh kebanyakan orang (namun semesta alam mengenalnya dan mencintainya). Dalam salah satu hadits Rasulullah saw pernah berkata bahwa ketika seorang ‘ulama wafat maka ia akan ditangisi ikan di laut dan gunung-gunung. Sebatang pohon kurma di jaman Rasulullah saw pernah menangis karena Rasulullah mengubah kebiasaan beliau dan tidak lagi bersandar pada pohon itu ketika berbicara, karena para sahabat telah membuatkan beliau sebuah mimbar sebagai penggantinya.

Karena itu iman tak berarti tanpa amal shalih. Lebih tegas lagi dalam Injil disebutkan bahwa “Jika kamu beriman tanpa beramal, pada hakikatnya kamu tidak beriman”. Manusia merupakan cermin Tuhan, sehingga manusia harus mengintegrasikan antara yang lahir dan yang batin, menyinambungkan antara rasa hingga tindakan.

Kataba fii quluubihimu-l-iimaan
“...Kami tuliskan dalam qalb mereka al-iman...”(QS Al-Mujaadilah [58] : 22)
Di dalam Injil disebutkan bahwa “iman itu tulisan Tuhan di hatimu”. Tujuan dipercikkannya iman kepada seseorang adalah untuk beramal shalih, sehingga jika amanat iman tidak dimanfaatkan untuk beramal maka iman tersebut tidaklah berguna.

(4) “Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Diseratkan bahwa Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia agar manusia berfikir (QS 59: 21) dan ber-dzikr (QS 14: 24-25) kepada-Nya. “Perumpamaan” yang dimaksud pada fragmen terakhir ‘ayat cahaya’ di sini bukanlah perumpamaan tentang Allah (karena Allah tidak bisa dibahas dengan cara bertruktur dan berlapis-lapis) tetapi perumpamaan tentang cahaya-Nya: manusia. Manusia harus berjalan dan menjadi insan kamil, yang berstruktur seperti para syuhada, shiddiqin, dan Nabi-nabi. Sesempurna-sempurnanya insan adalah Rasulullah Muhammad saw. Sehingga tindakan manusia harus mengikuti Rasulullah sebagai uswatun hasanah, seperti juga jiwa Rasullah yang di dalamnya hadir kuasa Allah Ta’ala, Ruh Al-Quds.

Agar manusia menjadi insan sempurna diciptakanlah alam semesta untuk membelajarkan manusia. Dengan membaca ayat-Nya hingga ke ufuk, ke ujung alam semesta (malakut dan mulk) dan membaca ayat-Nya yang ada di dalam nafs maka akan terlihat bahwa segala yang ada di balik itu (ayat-ayat-Nya) semua adalah Al-Haqq.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami dalam (fii) ufuk dan dalam jiwa-jiwa (fii anfusihim) mereka sendiri sehingga nyatalah bagi mereka itu (ayat-ayat tersebut) adalah Al-Haqq. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”
(QS Fushshilat [41] : 53)

Tanpa tujuan pembelajaran manusia agar mengenal Allah Ta’ala maka tidak akan dicipta alam semesta yang mencakup mulk dan malakut. Jika jiwa semua orang diwafatkan termasuk hingga sang penggenggam segel langit ke tujuh, Rasulullah Muhammad saw dan Nur-Nya, maka tidak ada lagi yang menjadi target pembelajaran Ilahi. Sehingga alam semesta akan digulung dan runtuh.

Manusia harus “belajar” dengan “berjalan” di muka bumi hingga terbentuk lingkaran kalbunya, berakal qalb-nya, dan hadir Ruh Al-Quds sebagai tanda bahwa sang hamba telah mengenal nafs-nya.
Afalam yasiiruu fi-l-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa ...
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengannya (qalb itu) mereka berakal ... “ (QS Al-Hajj [22] : 46)

Berjalan di muka bumi dalam era sekarang ini bisa saja dengan membuka situs internet, mempelajari jatuh bangunnya peradaban masa lalu, dan sebagainya. Begitulah berjalan, merenungkan segenap ciptaan-Nya. Kalau kita tidak membaca Al-Qur’an maka kita akan cenderung berpikir, “ah ... itukan urusan orang lain, bukan urusan saya, yang penting kan dapur ngebul!”. Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita semua berjalan di muka bumi hingga kita memiliki kalbu (hingga berakal dengan kalbu itu). 

Anjuran ini tidak terbatas pada suatu kalangan tertentu. Para ibu rumah tangga pun tetap bisa “berjalan” dengan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca buku; melihat TV jangan hanya menonton sinetron saja tapi coba lihat kanal discovery yang bercerita tentang alam semesta, binatang liar, tumbuh-tumbuhan; cobalah direnungkan. Kita bisa datang ke Borobodur dan menyaksikan bagaimana peradaban di jaman itu bangun, pesan apa yang ada dibalik ayat-Nya ini. Dengan demikian kita benar-benar berjalan, bukan sekadar jalan-jalan.

Mari kita bermohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menarik kita menuju-Nya dan menjadikan kita hamba-Nya yang bersungguh-sungguh belajar mengenal-Nya. Memberikan kita Nur Iman sebagai piranti kita berkomunikasi dengan-Nya dan belajar mengenali apa yang Dia kehendaki. Karena manusia yang dalam kalbunya tidak menyala Nur Iman maka tidak akan dapat menyala zujajah kalbunya, sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri (apalagi khalifah fi-l-‘ardh). Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita—karena karena kusam tubuhnya dan padam lampunya—yang tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi hawa nafsu dan jejak syaithan. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan:

“Mereka-mereka yang belum pernah pergi ke alam malakut, dan hanya duduk manis di atas kursi kelemahan alam syahadah, maka dia tidak ubahnya seperti binatang yang tidak memiliki ciri khas kemanusiaan. Bahkan lebih sesat dan lebih hina dari binatang, mengingat binatang tidak diberi sarana untuk terbang ke alam malakut.” [Imam Al-Ghazali, 1999:46]

Na’udzu biLlaahi min dzaalik. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah gelap kita kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.

Daftar Pustaka
1. Imam Al-Ghazali, “Tafsir Ayat Cahaya” yang diterjemahkan dari “Misykatu-l-Anwar Fii Tauhidi-l-Jabbar”, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999
2. Alfathri Adlin, “Serambi Suluk”, belum dipublikasikan, Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS), 2001
3. Schimmel, Annemarie, “Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan Nabi saw. dalam Islam”, Mizan, Bandung, 1994.
4. Furuzanfar, Badi’uzzaman, “Ahadits-i Matsnawi”, Teheran University, Teheran, 1334 H/1955. 

Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6
Gambar-7
Gambar-8
Gambar-9
Gambar-10


Kajian Al Qur’an-materi-ke 12

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 
  
Belajar Membaca Mengenai Al-Haqq, Shirath al-Mustaqiim, dan Ad-Diin di dalam Kitab Suci


Pendahuluan


Sebelum melanjutkan perbicangan, kiranya perlu dicatat bahwa pembahasan Materi Bagian #8 menggunakan rujukan “Misykat Cahaya-cahaya” atau “Misykatul-Anwar,” karya Imam Al-Ghazali; sedangkan Materi Bagian #9 telah dipindahkan ke muka pembahasannya, sebagai Materi Bagian #5 (lanjutan #2), “Orang-orang yang Diberi Nikmat.” Dengan menggunakan pengertian dari bahasan-bahasan sebelumnya, kali ini akan dilanjutkan perbincangan di seputar konsep Shirath al-Mustaqiim, dengan melihat hubungannya dengan dua konsep lainnya yang sangat terkait dengannya yaitu Al-Haqq dan Ad-Diin. Sebelum itu, perlu kembali diingatkan bahwa sahabat-sahabat hendaknya menguji secara kritis semua konstruk yang dikaji di sini. Karena ini akan menyangkut sesuatu yang masing-masing dari kita akan pegang dalam kehidupan. Bukan sekadar mencari pencaharian, tetapi sesuatu yang akan dipertaruhkan bahkan hingga hari perhitungan, perihal kebenaran sejati/ hakiki (Al-Haqq ).


“Dan timbangan pada hari itu adalah Al-Haqq” (QS Al-A’raf [7] : 8)


Konstruk pemahaman yang didapat hendaknya diuji, tidak hanya percaya begitu saja. Al-Haqq mustahil ditemui tanpa ikhtiar menerjuni Al-Qur’an langsung dan tanpa bermohon kepada Allah Ta’ala agar yang haqq tampak haqq-nya dan yang bathil tampak bathilnya.


“Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Kitab dengan Al-Haqq”
(QS Al-Maidah [5] : 48)


“Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada Al-Haqq”
(QS Yunus [10] : 35)


Pengenalan Kepada-Nya itu Karena Tarikan-Nya


Selama ini kita telah mencoba untuk bersama-sama menelaah tentang Al-Haqq—bukan sembarang kebenaran—tetapi sesuatu yang, insya Allah, datang dari Allah Ta’ala.


Dan katakanlah: “Al-Haqq dari Rabb-mu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS Al-Kahfi [18]: 29)


Al-Haqq terlampau halus untuk dilihat, diraba, digenggam, dan dipahami; kendati pun demikian kita harus berupaya membuka hati untuk mencari apa itu yang disebut Al-Haqq. Saat ini kita tidak tahu apakah itu Al-Haqq. Ini persis seperti Shirath Al-Mustaqiim, dalam pembahasan yang lalu, yang juga bukan merupakan sebuah definisi formal dan gamblang. 


Tentang pengertian Shirath Al-Mustaqiim itu sendiri, Al-Qur’an tidak pernah mendefinisikannya secara formal; namun hanya memberikan beberapa titik masuk: “Ia adalah agama yang teguh, ‘qayiman’” (QS 6:161); dan “Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS 11:56). Shirath Al-Mustaqiim adalah sesuatu yang ‘samar’. Seandainya secara fisik kelihatan, atau sebuah aturan hukum yang tegas, atau sebuah definisi kategoris yang formal, maka Shirath Al-Mustaqiim mudah ditemukan bahkan mungkin tak perlu dicari.


Al-Haqq pun tersamar, walau Al-Haqq merupakan hakikat dari segala sesuatu, entah itu tebaran gunung, taburan bintang dan galaksi, nyamuk; bahkan yang ada di dalam diri kita sendiri juga Al-Haqq.


“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) kami di dalam (fii) segenap ufuk dan dalam (fii) diri mereka sehingga nyatalah bagi mereka bahwa itulah Al-Haqq” (QS Fushshilat [41]: 53)


Ketika seorang Manshur Al-Hallaj mengaku “Ana al-Haqq” apakah serupa atau setara dengan pengakuan: “Saya adalah Allah?” Banyak orang yang tidak memahami konteks permasalahan terutama bagaimana posisi antara Al-Haqq dengan martabat Ilahiah. Kesembronoan menghukumi sesuatu yang tidak diketahui hakikatnya justru menutupi pesan-Nya akan martabat Ilahiah yang perlu dikenali. Sepanjang masa seorang Al-Hallaj yang waliyullah tidak pernah mengaku jadi Allah, juga seorang waliyullah rabbani seperti Abu Yazid.


Penghakiman itu terjadi karena sedikitnya pengetahuan orang tentang Martabat Ilahiah. Mengapa sedikit sekali pengetahuan yang dimiliki? Tentunya karena tak hendak belajar. Mengapa tak hendak belajar? Karena sudah merelakan saja dirinya taqlid pada sebuah konstruk, suatu paradigma, suatu mazhab, sebuah pendapat, tanpa diuji. Kita harus bebas dari itu.


Pada dasarnya kita tidak mampu untuk memahami Allah Ta’ala kecuali seperti yang diutarakan Suhrawardi Al-Maqtul: “kita mempercantik diri.” Kita hanya berupaya agar ditarik oleh Allah Ta’ala. Allah mendengar suara kita, jeritan batin kita, sekecil apapun itu, tapi tidak semua orang bisa memahami khazanah-Nya karena hanya mereka yang ditarik, yang dipanggil, yang bisa datang kehadapan-Nya. Rasanya sulit membayangkan bahwa jeritan tanpa ikhtiar ‘mempercantik’ diri akan mengundang-Nya yang Maha Indah dan Maha Qudus membelai dan menarik hamba-Nya.


Dalam proses penarikan seorang hamba ke sisi Allah Ta’ala yang Qudus tentu perlu penanggalan sekian lapis hijab dalam diri hamba tersebut yang merintangi perjumpaannya dengan Sang Pencipta. Apakah itu hijab waham, hijab mazhab, hijab pemikiran, apalagi yang jauh lebih kasar: hijab dosa dan hijab cinta dunia. Mekanisme penanggalan hijab ini perlu kita pahami agar kita mulai mengenali bagaimana mengurangi rentang jarak kita dengan Allah Ta’ala


Membedah Hijab Pemikiran dalam Menatap Al-Haqq


“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS Huud [11]: 56).


Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa menatap Al-Haqq sebagai salah satu asma Allah, Rabb yang berada di atas Shirath Al-Mustaqiim, amatlah sulit. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah belajar dari kisah para rasul. Para utusan-Nya tentu membawa Al-Haqq.


“Dan Kami ceritakan kepadamu semua kisah dari rasul-rasul, yang dengannya Kami teguhkan fu-ad (pikiran/mind)-mu; dan di dalam surat ini telah datang kepadamu Al-Haqq serta pengajaran (maw’izhah) dan peringatan (dzikr) bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud [11]: 120)


Karena itu dalam Al-Qur’an karakter dan kisah para rasul amat bervariasi. Seorang pembawa kebenaran kadang-kadang nampak jamal, hadir dengan akhlak yang baik, tutur kata yang halus dan sopan, dan nampak memang selayaknya pembawa kebenaran. Tapi seorang pembawa kebenaran terkadang juga membawa sifat jalal yang menjadikannya gelap dan rumit sehingga sulit ditembus dan seolah sulit untuk dipahami.


Cukup mudah mengenali seorang Rasulullah Muhammad S.A.W. yang amat sempurna dan jamal. Pantaslah beliau seorang pembawa kebenaran jika tutur katanya lembut dan sopan, senantiasa ramah dan tersenyum, amat pemaaf dan pemurah, penyayang pada setiap orang, dan kata-katanya mudah dipahami (bahkan hingga kita sering tidak menduga pesan yang luar biasa dalam dari ajaran beliau yang nampak sederhana dan praktis). 


Bandingkan dengan seseorang seperti Nabi Khidr a.s. yang membunuh anak kecil, melubangi perahu milik rakyat, dan mendirikan tembok kaum yang tidak menjamu mereka, hingga bahkan Nabi Musa a.s. pun tidak memahaminya. Tetapi Khidr a.s. seorang yang benar, seorang nabi, meskipun tindakannya tak terpahami. Seorang Nabi Ayub a.s. tiba-tiba dihancurkan harta bendanya, dimatikan anak-anaknya, dan diserang penyakit yang amat busuk hingga kemudian tinggal di gua. 


Jika kita hidup sezaman dengann Nabi Ayub a.s. dan kemudian mengetahui di gua sana ada seseorang yang mengaku Nabi padahal kita tahu bahwa musibah beruntun menimpanya maka mungkin kita akan bertanya-tanya: jika dia seorang Nabi mengapa Allah tidak melindungi. Lebih pantas jika dia itu seorang yang mengaku-aku dirinya seorang Nabi tanpa haqq, dan karenanya Allah mengazabnya. Demikian komentar umat pada zamannya. Dan mungkin pula senada dengan komentar kita, jika kebetulan kita hidup pada zaman tersebut. Singkat kata, amatlah sulit bagi kita mengenal kebenaran jika hanya berlandaskan bentuk lahiriahnya.


Kalau kita mengenal tentara Rasulullah S.A.W. yang sedemikian jamalnya, yang patuh pada pesan Rasulullah S.A.W. agar jika memasuki suatu wilayah tidak boleh membunuh orang tua, anak kecil, perempuan, tidak boleh menginjak rumputnya; nampak indah sekali. Seakan kebenaran sejalan dengan keindahan yang diejawantahkan oleh umat Rasulullah. Pantas mereka orang-orang yang benar.


Tetapi kalau sahabat melihat seorang nabi Bani Israil, Yussa bin Nun a.s. ketika menyerbu benteng Jericho maka benteng tersebut dihancurkan, semua penghuninya dibunuh, tua-muda-anak-anak, lelaki-perempuan, bahkan hingga ternak dan harta bendanya. Yang disisakan hanya seorang pelacur dan orang-orang yang besertanya. 


Kalau perspektif kita sempit dan penuh waham, “wah, Rasulullah S.A.W. nampaknya tidak seperti itu;” sehingga karenanya kita berkesimpulan bahwa Yussa bin Nun bukan seorang Nabi karena pembantaian besar yang dilakukannya terhadap sebuah negeri kaum Filistin waktu itu, maka kita telah terjebak dalam penghakiman atas dasar perilaku lahiriyah. Padahal Allah Ta’ala telah menyerahkan seluruh isi negeri tersebut kepadanya, dan semua tindakan Yussa bin Nun a.s. dan tentara Bani Israil dalam menghancurleburkan kota Jericho tidak keluar dari kehendak Allah Ta’ala.


Kita dapat belajar dari Iskandar Dzulqarnain yang dalam opini orang Barat merupakan pembantai kelas wahid yang melakukan genocide tanpa perikemanusiaan. Kalau kita mau studi lebih jauh dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala telah mempersilakan Dzulqarnain untuk melakukan tindakan apapun: menyiksa (menghabisi) atau berbuat kebaikan (QS 18:86). Orang suci seperti Iskandar Dzulqarnain mustahil akan memanfaatkan ‘hak’-nya dengan mengeksplorasi hawa nafsunya, tetapi sebaliknya akan merasakan dan memikirkan apa yang sebenarnya Dia kehendaki terhadap suatu kaum.


Bagaimana seorang Nabi Nuh a.s. yang telah beratus tahun berdakwah di hadapan kaumnya kelak hanya diimani oleh beberapa gelintir orang. Bahkan kaumnya hanya memandangnya sebagai orang biasa, membuat-buat nasehat, bahkan dipandang sesat dan gila. Nuh a.s. dipandang demikian oleh kaumnya yang ‘pandai’ dan ‘cendekia’ karena yang mengimaninya dianggap orang-orang yang bodoh dan hina.


Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS Huud [11]: 27).


Pendustaan terjadi hingga kaumnya menantang adzab dan mengancam akan merajam Nuh a.s. Apakah pendustaan semakin reda setelah Allah memerintahkan Nuh a.s. membuat kapal di puncak bukit yang jauh dari lautan dan sungai? Rahmat Allah Ta’ala disamarkan atas kaum Nuh a.s. (QS 11: 28) yang buta hatinya (QS 7: 64). Dibutuhkan hati yang tidak buta (QS 22: 46) dan ‘berakal’ ‘ya’qilun’ (QS 22: 46) untuk berjalan menuju-Nya.


Kebenaran pun tidak sekadar bisa ditinjau dari keajaiban apa yang muncul dari seseorang. Jika seseorang bisa ‘mendatangkan’ rizqi, ‘menurunkan’ hujan, bahkan menghidupkan sesuatu maka apakah berarti ia orang suci dan orang benar. Kita dapat membuka kisah umat Musa a.s. yang menyembah sapi emas yang dihidupkan Samiri ketika umat Musa ditinggal Nabinya mengambil kitab Taurat. Jika hanya nalar yang bermain, manakah yang lebih pantas jadi Nabi: Musa a.s. yang sekadar menjadikan ular besar dari tongkatnya atau Samiri yang bisa ‘memberi kehidupan’ pada sapi emas. Ternyata perkara menghidupkan benda mati bukan hanya pada kisah Nabi Isa a.s. tetapi juga Samiri yang dajjal.


Jikalau hanya berpegang pada bentuk lahiriah maka manifestasi dari Al-Haqq tidak akan terpahami. Kita harus mengerti hakikat kebenaran yang dapat diperoleh dari sekian banyak contoh semacam itu. Yang perlu dikenali adalah Al-Haqq yang hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Kalau kita tidak mencari Allah, kita akan terperangkap oleh kaidah, hukum, dan aturan yang kita konstruk dalam pikiran kita sendiri. Kita lebih dahulu terjerat oleh aturan—sementara Tuhan ada di balik aturan itu. Tetapi praktis kalbu kita tidak menyeru Dia. Kalbu kita terhijab oleh pikiran kita yang membuat kurungan bagi diri kita sendiri dari Tuhan Yang Maha Kaya akan khazanah dan Tanpa Batas.


Mungkin kita patut bersyukur bahwa kita lahir di zaman ini, bukan di zaman Nabi S.A.W.. Andai kita hidup di zaman itu dengan bergelimang keduniaan dan penyembahan pada berhala, kemudian berjumpa seseorang pemuda yang setelah cukup lama menjadi orang yang dipercaya ‘Al-Amin’ kemudian menikah dengan seorang janda kaya, menyepi sejenak, lantas mengaku Nabi dan menghalangi kepercayaan dan asyiknya tradisi; apakah kita akan mempercayainya? Apakah kita akan mempercayai orang yang harta istrinya yang kaya habis untuk sebuah pandangan yang ‘janggal’ menurut tradisi yang ada, mengaku pernah naik ke langit, dan setelah istrinya wafat ia menikahi lebih dari satu wanita? Andai ada orang seperti itu di zaman ini pun hanya akan jadi gunjingan tetangga dari rumah ke rumah. 


Jika kita cerdik-pandai mungkin kita akan risih mengikuti orang yang menyampaikan sesuatu tetapi tak dapat membaca apa lagi menulis, bahkan kita tentu akan meragukan bagaimana orang itu menyampaikan firman “alif laam miim”, “tha haa”, “yaa siin” yang merupakan aksara arab yang selayaknya dipahami oleh orang yang tidak ummi. Bisa jadi jika kita lahir di zaman itu tanpa sebuah kerinduan akan kebenaran-Nya justru kita akan berada pada pihak yang berseberangan dengan Rasulullah Muhammad S.A.W. yang sangat kita cintai. Na’udzu billahi min dzalik.


Kita tidak bisa mengenal Al-Haqq dari semua penampakan lahiriyah yang sering kali merupakan ilusi. Seorang pencari Allah Ta’ala akan sangat takut menghakimi sesuatu. Sang pejalan tak akan membiarkan kepalanya menjadi hakim yang sembrono atas sesuatu yang tak terjangkau oleh nalar tetapi hanya termuat oleh qalb yang suci.


“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang Al-Mu’min” (Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”)


Sayyidina ‘Ali k.w. pernah berkata bahwa janganlah mencari kebenaran (al-Haqq) dari orang, carilah kebenaran terlebih dahulu baru akan terlihat siapa-siapa yang berjalan di atasnya.


Shirath Al-Mustaqiim dan Ad-Diin (‘agama’)


Shirath Al-Mustaqiim paralel dengan Ad-Diin, ‘agama’ (QS 6: 161) dan kedua konsep tersebut sama-sama halus dan rumit. Untuk membedah apa itu Ad-Diin kiranya kita perlu mulai menilik kembali pemahaman lama kita tentang istilah agama yang semata-mata merupakan pelembagaan aturan-aturan sakral yang dipegang seseorang sejak dewasa hingga meninggal. Pemahaman seperti itu sedemikian sempitnya hingga agama sekadar menjadi pakaian atau aksesoris yang secara ringan dipakai oleh seseorang selama hidup di dunia. Pemahaman ala-kadarnya tentang pakaian tak menjelaskan siapa yang memakai pakaian tersebut dan mau kemana ia, bahkan sering menjadi wahana pertarungan antara pemilik pakaian yang terlihat berbeda.


Jadi sebenarnya kalimat Ad-Diin bukan sekadar ‘agama’ dalam terminologi kontemporer karena jika diterjemahkan sebagai ‘agama’ akan tampil agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, dan sebagainya tetapi kita hanya akan memperbandingkan pakaian-pakaian sembari tak paham hakikat dari Islam itu. Ada sebuah hadits dari Rasulullah S.A.W. bahwa Allah mengampuni kaum Yahudi, tapi tidak mengampuni Yahudi daripada umat Rasulullah. Muncul kata-kata ke-Yahudi-an, ke-Nasrani-an, yang semuanya berkaitan dengan sikap mental. Tidak mungkin ada orang Islam yang mendidik anaknya sebagai nasrani atau yahudi, tetapi seringkali ia mengajarkan keras kepalanya Yahudi atau mengajarkan ke-Nasrani-an secara tidak sadar walaupun dia tidak mengajarkan ‘agama’ nasrani atau yahudi.


“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman dengan Allah (billah), dan hari akhir, dan beramal shalih, maka bagi mereka pahala disisi Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
(QS Al-Baqarah [2]: 62, juga QS Al-Maidah [5] : 69).


Dalam Al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa:


“ ... dan telah Ku-ridhai Al-Islam jadi agama (Ad-Diin) bagimu”
(QS Al-Maidah [5]: 3).


“Sesungguhnya agama (Ad-Diin) (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam” (QS Ali ‘Imran [3]: 19).


Islam ditinjau dari akar katanya ‘aslama’ berarti keberserahdirian kepada Allah Ta’ala. Bahwa agama-agama yang diturunkan dari Allah Ta’ala esensinya semua itu Islam. Secara syariat agama Yahudi, Nasrani, Budha, bentuknya berbeda-beda karena kultur masyarakatnya berbeda. Tapi jika itu adalah agama yang Allah turunkan maka aspek batiniahnya, targetnya, skemanya, pasti akan sama, tidak akan berbeda. Semua akan bergerak dalam term keberserahan diri. Semua ‘agama’ akan bermanfaat bagi orang yang mencari dan menuju Allah, sedangkan bagi yang tidak hanya akan jadi hiasan semata.


Banyak hal yang harus kita renungkan secara mendalam. Kita patut bersyukur karena kita menjadi umat Nabi S.A.W. yang teragung, sangat jamal, yang sangat sempurna. Tapi perlu diingat bahwa representasi kebenaran mencakup juga yang jalal, bukan hanya yang jamal. Ada sejumlah nabi-nabi yang dalam tindakannya nampak aneh, representasi tak terpahami, namun tidak pernah menyimpang dari kehendak-Nya.


Agama Hindu lahir 1000 tahun sebelum Nabi Isa lahir, tepatnya sezaman dengan Nabi Daud. Agama Budha lahir 500 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Agama Nasrani saja sudah kehilangan bentuk syariatnya seperti shalat dan shaum. Islam yang masih terjaga hingga kini. Apalagi kalau kita menilai agama Buddha dan Hindu yang lebih tua dari agama Kristen. Seandainya kita melihat kitab-kitabnya maka esensi ke-Islam-an, keberserahan diri kepada Allah Ta’ala, terlihat masih kuat. 


Jika suatu saat sahabat-sahabat dapat bertemu dengan Buddha Gautama maka sahabat-sahabat akan tahu apakah dia seorang nabi atau atau seorang yang terazab di alam barzakh. Dengan terbukanya kalbu maka hal itu akan nampak jelas. Jika hanya mengandalkan bukti-bukti tertulis dengan distorsi opini dari imam, kyai, atau ustadz, maka penghakiman yang muncul dapat berbeda dengan kebenaran. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan terbukanya qalb. Dengan terbukanya mata hati kelak kita akan terkaget-kaget bahwa orang yang kita hujat, kita benci, dan kita persalahkan ternyata membawa atribut kenabian atau kewalian.


Dahulu agama Hindu mengajarkan empat pengklasifikasian jiwa: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Setelah nabi dan para shiddiqin-nya meninggal tiba-tiba kasta jiwa tersebut berubah menjadi kasta sosial. Terjadilah suatu penyimpangan. Kemudian muncul Buddha Gautama yang menghapus tata sosial berbasis kasta itu semua. Alangkah aneh bukan bahwa ada Nabi yang menghapuskan ajaran Nabi sebelumnya. Yang perlu dicermati adalah bahwa esensi keberserahdiriannya tidak dihapuskan. Tapi apa yang kemudian menjadi thaghut-lah yang dihancurkan.


Dalam tradisi Islam pun terjadi hal demikian. Seorang Waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami pernah berujar “barangsiapa yang tidak bermursyid maka mursyidnya adalah iblis”. Pernyataan tersebut adalah urusan kewalian yang dihadapi oleh Abu Yazid di masanya dan bersifat temporer. Perihal demikian bersifat kasuistis dan tidak bersifat qur’aniyyah (yang abadi tak lekang sepanjang zaman). Urusan yang terejawantahkan secara lahiriyah dan bersifat temporer sering tak terpahami di zaman berikutnya dan syaithan sering mendompleng di sana. Kalimat tersebut dapat menjadi thaghut di zaman yang lain dan akan Allah Ta’ala patahkan.


Uwais Al-Qarni adalah seorang umat Rasulullah S.A.W. yang tak pernah bertemu Rasulullah sama sekali. Beliau pernah menggendong ibundanya dari tempatnya yang berjarak ± 400 km dari tempat Rasulullah S.A.W. dan tak bertemu Rasulullah lalu pulang kembali ke kediamannya. Nabi S.A.W. mengatakan, “Yaa Umar, jika engkau suatu waktu bertemu dengan Uwais Al-Qarni, sampaikan salam saya”, dan dinyatakan bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit. 


Terlalu mudah jika kita kemudian menghakimi bahwa Uwais Al-Qarni bukanlah penghuni langit hanya karena beliau tidak pernah bertemu Rasulullah S.A.W., apalagi berbai’at kepada Rasul, atau beliau tidak bermursyid. Apakah berarti Uwais Al-Qarni bermursyid kepada Iblis? Betapa susahnya kita menebak sebuah kebenaran jika kita tidak mencari Allah Ta’ala. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka Dia akan menunjukkan kepada kita apa itu kebenaran dan pemikiran yang salah akan dipatahkan.


Setelah menyimak uraian di atas semoga kita makin mawas diri bahwa menyentuh Ad-Diin itu perkara yang teramat besar. Akan sangat mengerikan jika kita sudah cukup merasa aman dengan status formal ke-Islam-an kita saat ini sedemikian rupa sehingga Allah Ta’ala tersembunyi dan terhijab dari kita. Semoga Dia Ta’ala menarik kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.


Menguak Makna “Keberserah-dirian” dalam Ad-Diin Al-Islam


Agama, ’Ad-Diin’ yang diridhai, yang ada di sisi Allah Ta’ala adalah ’Al-Islam’. Menarik sekali “istilah yang Dia pilihkan” untuk sebuah state (keadaan) di mana Dia sebagai sang pemelihara (Rabb) tepat berada di atas keadaan tersebut, keadaan berserah diri atau Al-Islam. Mengapa Dia tidak pilihkan istilah-istilah seperti agama kecerdasan, agama kehormatan, agama kekuasaan, agama kebesaran, dan berbagai keadaan yang saat ini senantiasa manusia anggap baik bahkan disandingkan dalam pemahaman dan praktek beragama. Mari kita gali apakah itu “berserah diri kepada Allah Ta’ala”.


Apakah “berserah diri” identik dengan “pasrah”, tak berbuat apa-apa, diam di dalam gua atau atau tempat menyepi atau mengurung diri dalam rumah, menjauh dari keramaian, dan oleh karenanya akan dekat dengan Tuhan? Antara istilah tasbih, tawakkal, dan Islam terdapat keserupaan arti yaitu “berserah diri”.


Tawakkal terkait dengan ‘keberserahdirian’. Mereka yang bertaqwa kepada Allah akan diberikan rejeki yang tanpa hisab (laa yahtasib) dan mereka yang bertawakkal kepada-Nya akan dicukupi (QS Ath-Thalaaq [65]: 2 – 3). Jika kita sekarang ingin mencari rejeki maka setiap karsa kita akan kena hisab (perhitungan). Hendak berjualan sesuatu, buat apa?


Mau ke suatu kota, apa alasannya? Punya uang banyak, untuk keperluan apa? Apapun yang kemudian ditemukan sebagai sebuah kasab (pekerjaan yang menghasilkan uang, penghidupan) akan dihisab. Nabi S.A.W. bersabda bahwa seseorang akan ditanya ihwal pasir yang dihancurkan dengan dua jarinya. Bahkan seseorang yang sedang memegang sejumput pasir dan iseng menghancurkannya pun akan ditanyakan mengenai perilaku tersebut. Hal itu adalah sebuah metafora atau perumpamaan bagi orang awam bahwa sampai hal sekecil-kecilnya Allah lihat.


Maksud “berserah diri” adalah “bekerja keras menemukan kehendak-Nya” kemudian mengalir (ber-tasbih) dalam kehendak-Nya. Jika kita pasrah dan tak berbuat apa-apa, sebenarnya kita hanya berserah diri pada kehendak syahwat saja yaitu syahwat, berserah kepada kemalasan. Hanya ada dua kemungkinan dalam berserah diri: berserah diri kepada kehendak-Nya atau selain dari kehendak-Nya (lebih tepatnya kehendak hawa nafsu dan syahwat kita). Sangatlah berbeda antara pasrah dengan berserah diri.


Dalam konteks suluk orang tidak akan menemukan Ruh Al-Quds dan menjadi saksi-Nya yang benar kalau hanya membuat sebuah gua, tempat kerahiban, mengurung diri di kamar, karena dengan mengurung di kamar justru dia terikat dengan syahwat dan hawa nafsunya. 


Mungkin seseorang berpikir “Ah, kan Rasulullah S.A.W. juga ke Gua Hira, pasti yang terbaik seperti itu”. Belum tentu, orang itu sudah terkena waham tersebut. Konsepsi “zuhud” itu bukan meninggalkan dunia, tapi tidak mencintai dunia. Masuk ke dalam gua meninggalkan seluruh kemewahan tetapi kalbunya berharap kemewahan itu tidaklah zuhud. Bahkan jika kita tengah memegang emas seberat satu ton tapi dipandang sebagai sebuah titipan, dimiliki tidak dicintai, itu zuhud.


Dunia sufi itu sudah terburamkan oleh satu pemikiran yang kurang tepat. Ada sufi-sufi yang Allah perintahkan untuk hidup compang-camping. Tapi sufi tersebut memang mandiri, tidak minta-minta, bahagia seperti itu, tidak pernah menyesali diri menjadi seperti itu. Bagi sang sufi itulah jalannya: menjauh dari keramaian, memisahkan diri. 


Tetapi kalau seseorang menyendiri, menjauh dari keramaian, karena karsa hawa nafsunya maka itu bukanlah amal shalih dan tidak akan menemukan Tuhan sama sekali karena ia diikat oleh sebuah waham spiritual, bukan Tuhan yang dicari. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka kita bergerak dari apa yang ditangan kita saat ini. Kita tidak akan meninggalkan yang sekarang dan mencari sebuah bentuk peribadatan yang belum tentu baik.


Sebagai contoh seorang Sulaiman a.s. adalah orang yang harus kaya, demikian pula seorang Daud a.s. yang merupakan seorang raja. Mereka adalah Nabi dan Rasul yang tentunya kita imani. Tetapi bagi Daud dan Sulaiman, kehidupan yang sangat mewah itu tentu amat menggusarkan hatinya, tidak membuat mereka senang, tetapi karena amanatnya memang harus menjadi simbol kerajaan maka mereka harus menjadi raja. 


Jika suatu ketika sahabat-sahabat bersua dengan kedua nabi itu akan nampak bahwa mereka sangat sederhana dan bersahaja. Seperti juga Umar bin Khatthab r.a. yang seorang sahabat dekat Rasulullah pula seorang waliyullah. Walaupun ia seorang khalifah besar, tapi di manakah istana seorang Umar. Mencari kebesaran tentu bukan hal yang sulit baginya. Sahabat Abu Bakar r.a. menghidupi keluarganya dengan menganyam. Ada manusia yang bertugas kaya dan ada juga yang bertugas miskin, dalam kaca mata manusia, tapi mereka-mereka yang menjalankan tugas dari-Nya tidak pernah miskin. Mereka tetap qanaah (merasa cukup) dan orang kaya sejati adalah orang yang qanaah. Orang kaya kalau tetap merasa kekurangan maka itu bukanlah orang kaya meskipun representasinya dalam kacamata kebanyakan manusia adalah bergelimang kemewahan.


Seorang Daud a.s. jika kemudian meninggalkan kerajaannya maka itu bukanlah amal shalih karena ia mengkhianati apa yang Allah kehendaki. Jadi amal shalih itu sebuah tindakan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sekarang bagaimana mungkin seseorang akan mengenal Tuhan dan segenap kehendak-Nya kalau qalb-nya tidak terhubung kepada Allah Ta’ala ?


Dalam konteks agama sebenarnya Allah akan melihat hati. Kemana bergeraknya qalb kita: mencari Allah kah, kehebatankah, harga diri kah, Dia Mahatahu. Dia Mahatahu siapa-siapa yang mencari dia; juga siapa-siapa yang tidak mencari dia. Setiap orang yang mencari Dia akan ditransformasi, dan setiap orang yang tidak mencari dia tidak akan ditransformasi. Jadi jangan pernah takut karena jika kita memang mencari Dia, mengharapkan ridha-Nya, maka kita akan Dia transformasi dan ditarik menuju-Nya. Lain halnya kalau kita menggunakan agama seperti mencari Allah padahal hanya menjual Agama. Na’udzu billahi min dzalik.


Gagasan suluk adalah menghidupkan qalb baru kemudian mengerti sebenarnya apa yang Dia kehendaki terhadap kita, terhadap semua urusan yang menimpa kita. Kita betul-betul berangkat dari state (keadaan) yang kita miliki hari ini. Apapun problem kita, itulah jalan menuju Allah Ta’ala. Jangan coba berpikir “andai kalau saya berada di sana saya akan lebih baik”. Menuju Allah adalah dari hari ini, dari apa yang Allah anugerahkan kepada tangan kita entah itu pahit atau manis. Tidak boleh kita menolak sesuatu dari Allah Ta’ala yang seolah nampak buruk. 


Periksa hati kita apakah kita mau mencari Dia atau tidak. Allah hanya akan melihat, membuka kuasa, menurunkan kuasa, memberikan sebuah proses pendidikan kepada orang yang mencari dia. Apapun keadaannya, seorang perampok-kah, seorang bajingan-kah, seorang kiai-kah. Allah tidak melihat sejauh mana kah agama, ilmu yang dibawa seseorang hari ini. Yang penting dia berjalan mencari Allah Ta’ala, berangkat dari manapun dia. Allah siap dikontak setiap saat, pintu-Nya terbuka kapan pun bagi hamba-Nya yang ingin kembali, seburuk apapun kondisi sang hamba.


Paparan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa sebelum kita menangkap apa itu karsa-Nya maka perlu dikenali apa kehendak yang Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Masing-masing kita diciptakan seorang diri, keluar dari perut ibu tanpa teman; membawa apakah kita? Padahal menurut Al-Qur’an setiap manusia nafs-nya dipanggil Allah Ta’ala sebelum masuk ke dalam rahim ibu dan diberi mandat atau amanah untuk mengerjakan sesuatu.


“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap nafs mereka: ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai/ lengah terhadap ini.’” (QS Al-A’raf [7]: 172).


“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.”
(QS Al-Isra’ [17] : 13).


Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa pemanggilan nafs tersebut adalah persaksian awal nafs akan keberadaan Rabb semesta alam sekaligus menjelaskan kemisian yang diemban manusia ketika akan berangkat menjalankan tugasnya di bumi. Drama persaksian dilakukan agar manusia kelak tidak mengingkari persaksian akan Rabb semesta alam jika kemudian lalai terjerembab dalam dunia bahkan melupakan misinya. Melupakan amanat yang diemban nafs yang jika dilakukan akan merupakan sarana untuk meneropong Dia, mengenali kehendak-Nya dalam diri dan melaju untuk mengenal Allah Ta’ala dan menjadi saksi-Nya yang sejati.


Hari ini kita lupa masa pertemuan dengan Allah di ‘Alam Alastu’. Lupanya kita akan apa yang dibincangkan saat itu praktis membuat kita tidak pernah tahu apa yang seharusnya kita kerjakan. Alpanya kita adalah karena tertutup oleh hijab waham, hawa nafsu, syahwat, dan dosa. Bongkar dan buang dulu semua tabir itu maka kelak semua peristiwa di ‘Alam Alastu’ itu akan terbuka lagi, terjadinya peristiwa penemuan diri, tujuan sejati dari sebuah proses suluk, kembali melihat drama ketika Allah memanggil jiwa kita.


Dengan penemuan diri maka akan terbuka kotak kemisian yang jika manusia menitinya maka akan dapat menatap Rabb yang tepat berada di atasnya, tepat di atas Shirath Al-Mustaqiim. Sebuah kemisian yang amat berat yang bahkan tak sanggup disangga oleh gunung, amanat yang jika dilakukan akan mengantar sang hamba bersua Rabb-nya.


“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS Al-Ahzab [33]: 72).


“Katakanlah: ’Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa.’ ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhan-nya.’”
(QS Al-Kahfi [18]: 110)


Iman, Sarana Keterhubungan Hamba dengan Tuhannya


 Dalam konteks suluk yang disebut dengan Shirath Al-Mustaqiim berkaitan dengan orbit diri kita masing-masing. Tiap orang punya shirath masing-masing, punya cara hidup masing-masing, sesuatu yang mesti dia tuntut dalam kehidupan. Dalam suluk akan mulai terbuka sebenarnya siapa jiwa kita ini dan apa yang harus dikerjakannya. Amal apa yang harus dilakukan yang dengan itu ia akan berjumpa Rabb-nya. Tentunya amal itu adalah amal shalih, amal yang terhubung ke Allah Ta’ala. Amal yang merupakan kehendak-Nya bagi diri kita yang telah Dia tetapkan di ‘Alam Alastu’.


Karena yang disebut dengan amal shalih itu adalah amal yang terhubung ke Allah Ta’ala maka tidak semua pekerjaan yang baik (di mata manusia) itu amal shalih. Mungkin ada manusia yang cukup puas dengan: “Saya mau infaq saja, atau shadaqah saja, atau shalat saja”. Kapan pun manusia hidup, manusia tinggal, ia dapat mengerjakan berbagai macam kebaikan, entah itu haji, infaq, mencari nafkah, tapi tidak semua yang baik-baik itu amal shalih. Diantara sekian peluang kebaikan pada suatu titik waktu maka hanya ada satu yang merupakan amal shalih.


Sebelumnya telah kita bahas bahwa diperlukan qalb untuk menghubungkan diri dengan-Nya, dengan petunjuk-Nya (ke Shirath Al-Mustaqiim). Diperlukan sarana yang dengan itu maka amal yang terhubung dengan Allah Ta’ala terejawantahkan. Apakah sarana yang menghubungkan qalb dengan Allah Ta’ala?


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh ni’mat.”
(QS Yunus [10]: 9).


Dan barangsiapa yang beriman dengan Allah (yu’min billah) niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (QS At-Taghabun [64]: 11).


Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada (bi = dengan) ayat-ayat Allah, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka ...”
(QS An-Nahl [16]: 104).


Diperlukan iman agar petunjuk-Nya jatuh ke dalam qalb. Amal shalih tak mungkin muncul tanpa iman. Gabungan antara iman dan amal shalih ini membuahkan taqwa. Maka dari itu iman tanpa amal shalih tidak ada gunanya, tidak ada proses melaju menuju Shirath Al-Mustaqiim.


Definisi yang kita kenal sejak kecil tentang ‘iman’ itu adalah ma’rifatu-l-qalb atau tashdiq (pembenaran) bi-l-qalb, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh (arkan). Namun yang pertama ada di tingkat qalb, bukan di nalar. “Ah, saya percaya pada Tuhan karena sekian bukti empirik menyatakan bahwa Tuhan itu ada”. Itu belum iman yang sejati karena masih sekadar di kepala, belum berupa cahaya Sang Al-Mu’min yang dipancarkan ke dalam qalb. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa keimanan kepada Allah itu memiliki tiga tingkatan , yaitu:


1. Iman orang Awam, yaitu iman dengan taqlid semata
2. Iman mutakallimin, yang bercampur baur dengan pembuktian {istidlal}. Derajat iman ini dekat dengan derajat iman orang awam
3. Iman ‘arifin, yaitu iman yang dibuktikan dengan cahaya


Definisi iman itu mencakup dari qalb sampai ke anggota. Dari tingkat jiwa merembes ke mata, lidah, tangan, hingga kaki. Kadang-kadang yang kita rasakan hanya jasadiah semata, yang di luar saja. Ketika cahaya itu mengumpul di qalb maka semua kehendak-Nya tersampaikan, itulah yu’min “bi”-llah. “Bi” itu sebuah ‘penyertaan’, bukan sekadar ‘atas nama’ Allah atau ‘dengan’ nama Allah. Serupa dengan kata fii (“dalam”) pada kalimat jahadu fii naa “berjihad dalam kami” (QS Al-Ankabut [29]: 69) yang menyatakan ketenggelaman dalam kehendak-Nya. “Dan yang bersungguh-sungguh berjihad di dalam Kami, maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami ...”.


Maksud kata “bi”-llah bukan sekadar “atas nama Tuhan” yang “tidak bersama Tuhan”. Meliankan ada keterhubungan antara apa yang Allah kehendaki dengan tindakan lahiriah. Karena kalau terputus, maka yang akan memilih adalah hawa nafsu, syahwat, atau waham agama; Kehendak-Nya tidak ada. Tetapi kita dalam konteks yu’min billah, beriman beserta Allah, tenggelam ke dalam Tuhan, maka segala yang selain wajah-Nya fana’ (tiada) semata. Tiada karsa, tiada nilai, yang berasal dari pendapat nalar, atau syahwat, atau waham agama sekalipun. Yang menentukan adalah apa yang Allah kehendaki.


(Lihat gambar 1 dan 2)


Seorang hamba kadang risau apakah yang Allah kehendaki telah saya kerjakan. Sampai ke sebuah titik resah meresahkan ihwal apa yang Allah kehendaki merupakan awal hidayah. Dan menangkap karsanya Gusti (Allah Ta’ala) bukan hal yang mudah, perlu sekian syarat dalam Al-Qur’an. Bukan sesuatu yang mudah diterobos, akan teruji jihad dan kesungguhan kita dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala. Apakah layak seseorang bisa menyentuh karsa-Nya, kehendak-Nya, jatinya kehidupan. Hal ini merupakan proses yang panjang. Awalnya belajar terjun ke dalam kehendak-Nya (fana’ filllah), nanti beserta dengan Allah ta’ala (fana’ billah), baru kemudian bertemu dengan-Nya (liqa Allah).


Jika, misalkan, kita kemudian mengetahui apa karsa-Nya maka kita secara praktis tidak akan terguncangkan oleh apapun yang terjadi di muka bumi ini. Karena semua yang hadir akan terbaca sebagai kehendak-Nya. Apa pun yang manifest di bumi ini adalah kehendak-Nya. Apakah Iblis muncul dengan tidak Allah kehendaki? Tentu tidak bukan. Allah menciptakan makhluk bernama Azazil dari kalangan jin yang karena pengabdian dan keunggulannya diangkat segolongan dengan para malaikat. Tiada tempat di alam semesta di mana Azazil belum pernah bersujud di dalamnya.


Ketika Allah Ta’ala mencipta Adam tiba-tiba Azazil membangkang kepada Allah Ta’ala dan tidak mau menyembah kepada Adam. Apakah Allah kecolongan? Semua sudah tertulis bahwa makhluk itu akan membangkang ketika diciptakan Adam. Dalam Al-Qur’an dicatat bahwa sesungguhnya Iblis tidak melihat penciptaan manusia. Apa yang dilihat iblis adalah hanya ketika dirinya dibuat dari api dan melihat Adam dibuat dari tanah.


Tanah dikalahkan api. Proses penciptaan jiwa tidak dilihat oleh Iblis. Ia merasa lebih tinggi karena api seolah-olah lebih tinggi dari tanah, padahal di dalam tanah itu ada yang lebih tinggi dari api: cahaya (nafs). Itu yang tidak disaksikan iblis. Itu sebuah takdir yang kalau dibaca dengan akal sekarang akan membingungkan. Tapi apapun yang terjadi di muka bumi adalah dalam kehendak-Nya, tinggal bagaimana kita mengalir bersama-Nya dalam arus besar kehidupan ini. Mengerjakan peran yang Dia kehendaki dalam peradaban yang bergerak.




Gambar-1


Gambar-2


Kajian Al Qur’an-materi-ke 13

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 

Mencari Shirath Al-Mustaqiim: Beringsut diantara Kompleksitas Ribuan Variabel yang Iblis pun Tidak Dapat Mengetahui Keberadaannya

Ketika kita bertemu dengan istilah Shirath Al-Mustaqiim, Ad-Diin, dan Al-Haqq, maka sebenarnya itu sebuah persoalan dalam lingkup ilahi. Dalam surah An-Nisa ayat 66 – 69 dikatakan bahwa orang-orang yang diberi ni’mat, yang berada di Shirath Al-Mustaqiim (QS 1: 6 – 7 ) adalah nabi-nabi, shiddiqin, syuhada, shalihin. Nabi-nabi sendiri sudah aneh-aneh warna kehidupannya. Ada yang penuh penyakit, sangat miskin, sangat kaya, raja besar, pemimpin perang yang menghabis-tandaskan suatu kaum, dan sebagainya. 

Kalau kita tidak mengenal esensi kita akan terperangkap dalam semua bentuk itu. Kita mengikuti seorang Rasul tertinggi, sebaik-baiknya ciptaan, Muhammad S.A.W. yang sangat jamal, semua tenggelam dalam kesempurnaannya. Pun tak boleh dilupakan bahwa yang membawa kebenaran tidak hanya yang bersifat jamal. Bentuk-bentuk jamal dan jalal akan senantiasa bermunculan sampai akhir zaman. Ada yang sangat indah, bagus, penyantun, sehingga seolah wajar dia seorang pembawa kebenaran; namun ada juga yang tidak seperti itu, gelap, rumit, seolah-olah tidak bersyariat, tapi tidak pernah keluar dari kehendak-Nya.

Nabi Isa a.s. pun menghadapi tantangan zamannya ketika berhadapan dengan kaum Yahudi. Para Imam Yahudi yang membawa waham menjadi titik fokusnya dalam pengujian kebenaran. Ketika Nabi Isa a.s. diundang oleh mereka, yang disebut kaum Farisi, dalam sebuah hidangan tiba-tiba beliau makan tanpa cuci tangan. Dalam syariat Daud a.s. itu satu hal yang tidak dibenarkan sama sekali. Para Imam Yahudi, Imam Taurat, amat bingung, mana mungkin seorang mengaku Rasulullah tapi tidak bersyariat, tidak cuci tangan lebih dulu sebelum makan. 

Dalam keadaan gempar seperti itu muncul seorang pelacur, Maria Magdalena, yang tiba-tiba menangis di kaki Nabi Isa a.s. dan menghapus titik-titik tangisnya dengan rambutnya. Sedangkan Nabi Isa a.s. membiarkan malah menyambutnya dengan baik. Tentu kondisi bertambah runyam. Syari’at Daud a.s. itu seperti syariat di dalam Islam di mana bersentuhan dengan seorang perempuan tidak diperkenankan, apalagi dengan seorang pelacur. Mereka bergunjing, bagaimana seorang Nabi dapat seperti itu.

Kita harus banyak belajar agar kita tidak mudah menghakimi orang-orang: pasti ke neraka, pasti ke surga. Itu hanya hak Allah Ta’ala. Kita tidak pernah tahu di antara kita apa yang dicari dari kita masing-masing. Al-Haqq tidak pernah tertutup bagi orang yang mencari Allah, tapi akan tertutup bagi orang yang tidak mencari Allah. Kita harus belajar dari sekarang agar kita dimasukkan sebagai hamba-Nya yang mencari Dia. Jangan sampai berada dalam kondisi: “Ah saya masih belum mencari Dia, dalam kalbu saya hanyalah gambaran dunia, Tuhan masih nomor sekian di hati saya”.

Semakin sulit jika kita menghadapi para wali dan shiddiqin. Contohnya ada yang sehebat Syaikh Abdul Qadir Jailani, sangat bersyariat, atau Imam Ja’far Ash-Shadiq yang luar biasa hebat. Tapi kalau menyaksikan Al-Hallaj, mulai kita merasa aneh, demikian juga dengan Syaikh Siti Jenar yang ada di pulau Jawa. Di tingkat kenabian ada yang jamal dan jalal, demikian pula di tingkat wali dan shiddiqin. 

Di tingkat masyarakat awam pun sama, ada shalihin, ada yang sangat agama, qur’aniyah, tapi sebaliknya ada yang sepertinya tidak tahu apa-apa dalam agama, padahal dia orang yang terang. Kalau tidak mengerti karakter asma-Nya kita akan mudah berprasangka buruk. Kata Imam ‘Ali “janganlah kamu mencari kebenaran dari manusia. Temukan dulu Al-Haqq baru engkau akan temukan siapa yang berada di atasnya.”

Ad-Diin, Al-Haqq, dan Shirath Al-Mustaqiim sedemikian rumitnya. Ribuan variabel bergerak dengan halus dan kita harus beringsut-ingsut diantara kompleksitas tersebut dan mencari jalan-Nya (yang iblis pun bahkan tidak mengetahuinya). Ribuan karakter yang tergurat dalam sejarah telah dicatat oleh Al-Qur’an. Namun Al-Qur’an bukan hanya buku sejarah. 

Jika Al-Qur’an dipandang hanya sekadar sebagai sebuah buku sejarah maka ia amatlah tidak lengkap; masih kalah dengan Injil. Namun apapun peristiwa yang pernah terjadi di zaman dulu diurai Al-Qur’an dalam kaitannya dengan proses transformasi diri. Peristiwa-peristiwa sejarah diambil, disulam sedemikian indah sehingga menggambarkan proses transformasi jiwa.

LAMPIRAN
Kisah Nabi-nabi dan Orang-orang Suci dalam Kitab-kitab Suci

A. KISAH NABI MUSA A.S. DAN NABI KHIDR A.S.

QS Al-Kahfi [18] : 60 – 82
(QS 18: 60). Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya):"Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.
(QS 18: 61). Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

(QS 18: 62). Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:"Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".
(QS 18: 63). Muridnya menjawab:"Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".
(QS 18: 64). Musa berkata:"Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

(QS 18: 65). Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
(QS 18: 66). Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu"
(QS 18: 67). Dia menjawab:"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
(QS 18: 68). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuat, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu"

(QS 18: 69). Musa berkata:"Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
(QS 18: 70). Dia berkata:"Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
(QS 18: 71). Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidihr melobanginya. Musa berkata:"Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya" Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar.

(QS 18: 72). Dia (Khidhr) berkata:"Bukankah aku telah berkata:"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"
 (QS 18: 73). Musa berkata:"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
(QS 18: 74). Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidihr membunuhnya. Musa berkata:"Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".

(QS 18: 75). Khidhr berkata:"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku"
(QS 18: 76). Musa berkata:"Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku".
(QS 18: 77). Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata:"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
(QS 18: 78). Khidihr berkata:"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

(QS 18: 79). Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
(QS 18: 80). Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
(QS 18: 81). Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

 (QS 18: 82).Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

B. KISAH NABI NUH A.S. DAN KAUMNYA YANG BUTA HATI

QS Al-A’raf [7] : 59 – 64
(QS 7: 59). Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).
(QS 7: 60). Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:"Sesungguhnya kami me-mandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata".
(QS 7: 61). Nuh menjawab:"Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan dari Rabb semesta alam""

(QS 7: 62). Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabb-ku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui".
(QS 7: 63). Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat?
(QS 7: 64). Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).

QS Huud [11] : 25 – 49
(QS 11: 25). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):"Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu,
(QS 11: 26). agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".
(QS 11: 27). Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".

(QS 11: 28). Berkata Nuh:"Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya".
(QS 11: 29). Dan (dia berkata):"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya akan tetapi aku memandangmu sebagai kaum yang tidak mengetahui".

(QS 11: 30). Dan (dia berkata):"Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran".
(QS 11: 31). Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa):"Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak juga mengetahui yang ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan:"Bahwa sesunguhnya aku adalah malaikat", dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu:"Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.

(QS 11: 32). Mereka berkata:"Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar".
(QS 11: 33). Nuh menjawab:"Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri
(QS 11: 34). Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".
(QS 11: 35). Malahan kaum Nuh itu berkata:"Dia cuma membuat-buat nasehatnya saja". Katakanlah:"Jika aku membuat-buat nasehat itu, maka hanya akulah yang memikul dosaku, dan aku berlepas diri dari dosa yang kamu perbuat".

(QS 11: 36). Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman diantara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.
(QS 11: 37). Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
(QS 11: 38). Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh:"Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).
(QS 11: 39). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal".

(QS 11: 40). Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman:"Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman". Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.
(QS 11: 41). Dan Nuh berkata:"Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya". Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS 11: 42). Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya -sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil:"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir".

(QS 11: 43). Anaknya menjawab:"Aku akan mencari perlindunganke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata:"Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan,
(QS 11: 44). Dan difirmankan:"Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan:"Binasalah orang-orang yang zalim".

(QS 11: 45). Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata:"Ya Tuhanku sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya".
(QS 11: 46). Allah berfirman:"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan".
(QS 11: 47). Nuh berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi".

(QS 11: 48). Difirmankan:"Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami".

(QS 11: 49). Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

QS Al-Mu’minun [23] : 23 – 30
(QS 23: 23). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa(kepada-Nya)?"

(QS 23: 24). Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab:"Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.
(QS 23: 25). Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu".

(QS 23: 26). Nuh berdo'a:"Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku".
(QS 23: 27). Lalu Kami wahyukan kepadanya:"Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tannur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.

(QS 23: 28). Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah:"Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim".
(QS 23: 29). Dan berdo'alah:"Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat".
(QS 23: 30). Sesungguhnya pada (kejadian) itu benar-benar terdapat beberapa tanda (kebesaran Allah), dan sesungguhnya Kami menimpakan azab (kepada kaum Nuh itu).

QS Asy-Syu’ara’ [26] : 105 – 119
(QS 26: 105). Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.
(QS 26: 106). Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka:"Mengapa kamu tidak bertaqwa?
(QS 26: 107). Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
(QS 26: 108). maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
(QS 26: 109). Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

(QS 26: 110). Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku".
(QS 26: 111). Mereka berkata:"Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?"
(QS 26: 112). Nuh menjawab:"Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?
(QS 26: 113). Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari.

(QS 26: 114). Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman.
(QS 26: 115). Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan".
(QS 26: 116). Mereka berkata:"Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam".

(QS 26: 117). Nuh berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku;
(QS 26: 118). maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mu'min besertaku".
(QS 26: 119). Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan.

QS Al-Ankabut [29] : 14 – 15
(QS 29: 14). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal diantara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
(QS 29: 15). Maka Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan Kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia.

Lihat juga: QS Nuh, surat ke 71.

C. KISAH YUSYA bin NUN (JOSHUA/YOSUA)

QS Al-Maidah [5] : 20 – 26
(QS 5: 20). Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:"Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan jadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain".
(QS 5: 21). Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.

(QS 5: 22). Mereka berkata:"Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya".
(QS 5: 23). Berkatalah dua orang di antara orang-oang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya :"Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".

(QS 5: 24). Mereka berkata:"Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja".
(QS 5: 25). Berkata Musa:"Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu".

(QS 5: 26). Allah berfirman:"(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu".

D. KISAH (ISKANDAR) DZULQARNAIN

QS Al-Kahfi [18]: 83 – 88
(QS 18: 83). Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah:"Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya".
(QS 18: 84). Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,
(QS 18: 85). maka diapun menempuh suatu jalan.

(QS 18: 86). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata:"Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka".

(QS 18: 87). Berkata Dzulqarnain:"Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.
(QS 18: 88). Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami".

 E. KISAH MUSA a. s. dan SAMIRI

QS Thaha [20]: 85 – 98
(QS 20: 85). Allah berfirman:"Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.
(QS 20: 86). Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa:"Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku".

(QS 20: 87). Mereka berkata:"Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya",
(QS 20: 88). kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembuh yang bertubuh dan bersuara, maka dan mereka berkata:"Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa".
(QS 20: 89). Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan

(QS 20: 90). Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya:"Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutulah aku dan ta'atilah perintahku".
(QS 20: 91). Mereka menjawab:"Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami".

(QS 20: 92). Berkata Musa:"Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat,
(QS 20: 93). (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku"
(QS 20: 94). Harun menjawab:"Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku) "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku ".

(QS 20: 95). Berkata Musa:"Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?"
(QS 20: 96). Samiri menjawab:"Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul (Jibril a.s.) lalu aku melemparkannya. Dan demikianlah nafsuku membujukku".

(QS 20: 97). Berkata Musa:"Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu didalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan:"Janganlah menyentuh(aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman(di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah ilah kamu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).

(QS 20: 98). Sesungguhnya Ilahmu hanyalah Allah, yang tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu".


Kajian Al Qur’an-materi-ke 14

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 
Materi Bagian 


#11-Ad-Diin Al-Islam: Sebuah Skema Perjalanan


Pendahuluan. 
Thaha (20:82):
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.


Allah menjadi Maha-Pengampun kepada yang:
(1) taubat
(2) iman
(3) beramal shaleh


kemudian terpimpin ke Shirath al-Mustaqim


Kalau diperhatikan, maka ayat diatas merupakan rute perjalanan hamba Allah untuk menuju-Nya, untuk mendapatkan petunjuk, untuk menuju shirath al-mustaqiim.


Dari diagram disamping ini dapatlah dikatakan secara sederhana bahwa tugas-tugas dasar dari seseorang yang berkehendak menuju Allah adalah:


a. membongkar waham,
b. membuka pintu taubat,
c. mencari misi-hidup 


(Lihat Gambar 1)
Al Qur’an mengajarkan kepada kita melalui ayat tersebut, yang dengan kriteria yang jelas menunjukkan siapa saja yang akan mendapat ampunan-Nya. Ayat tersebut menyebutkan bahwa yang mendapat ampunan hanyalah orang-orang yang berTaubat, berIman dan berAmal Shaleh, lalu kemudian Diberi Petunjuk. 


T a u b a t.


 Taubat bermakna kembali atau mendekat kepada Al-Khaliq. Jelaslah bahwa taubat merupakan langkah awal bagi pejalan. Yang dapat melakukan taubat adalah orang-orang pilihan-Nya yaitu orang yang benar-benar merindukan-Nya, seperti dijelaskan dalam Thaahaa[20]: 122,
“Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk yang tetap/kekal [‘ala hudan]”.


Jadi ayat ini menjelaskan bahwa:
a. Allah memilih orang yang akan taubat,
b. Allah menerima taubatnya,
c. Kemudian Allah memberinya petunjuk.


Taubat yang akan diterima Allah adalah taubat-nasuha, yaitu taubat diri seseorang secara keseluruhan atau paripurna. Hal ini dilukiskan dalam QS At-Tahrim [66]: 8, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:"Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".


Catatan:


Cahaya yang tampak dihadapan adalah nur-iman, sedangkan yang tampak di sebelah kanan adalah nur-ilmu. 


I m a n 


Salah satu fungsi iman adalah agar mendapat petunjuk dari-Nya (QS Yunus [10]: 9), juga dijelaskan dalam QS Surat Yunus [10]: 100, bahwa:


a. sesorang beriman atas izin Allah,
b. Allah murka kepada yang tidak menggunakan ‘aql.


(sedangkan QS 22: 46 jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘aql itu dari qalb atau ber-‘aql dengan menggunakan perangkat qalb. Pernyataan diatas merupakan suatu keterkaitan, antara iman dan qalb dengan menyebut iman berarti dengan sendirinya menyebut pula qalb. Jadi, qalb mati karena tidak ada iman. Matinya qalb karena tiadanya iman menyebabkan ‘aql menjadi lemah, padahal ‘aql merupakan alat untuk mengenal agama).


Perwujudan iman atau pembuktian iman melalui:
o Iqrar dengan Qalb,
o Ucapan melalui lisan, dan
o Amal dengan anggota badan (Perbuatan, Amal Shalih).


Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya pernah disampaikan bahwa aura itu merupakan cahaya-jasad sedangkan cahaya iman merupakan cahaya dari nafs-nya. Seorang yang telah Allah sucikan dan Allah anugerahi bashirah dapat melihat intensitas “nur-iman” seseorang.


Adanya cahaya iman itu maksudnya agar dapat dimanifestasikan dengan amal shalih. Ini merupakan tanda yang tampak (lahiriah) dari keimanan seseorang.


Tanda yang lain adalah keluar “hasanah” (buah dari taqwa).
Ciri-ciri dari keluarnya hasanah adalah mendapat ilmu langsung dari Allah tanpa melalui pembelajaran. 


Qalb 


Qalb memuat antara lain:
• qudrah manusia,
• urusan yang harus manusia bangun,
• nur–iman


Dalam pertemuan sebelumnya telah dibahas mengenai Pohon Thayyibah yang tumbuh di qalb dari nafs ini.


(Lihat Gambar 2)
Peran Qalb bagi diri seseorang sangalah besar, yang paling utama adalah sebagai pengendali. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits, dalam diri ini ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh, bila ia rusak (fasad) maka rusaklah keseluruhan tubuh. Yang dimaksud dengan segumpal daging ini adalah qalb.


Kalau melihat begitu pentingnya peranan qalb bagi diri manusia dalam mengemban tugas sebagai hamba-Nya, maka harus ekstra hati-hati dalam memelihara dan menjaga qalb.


Harus dijaga jangan sampai qalb sakit (Al-Baqarah [2]:10) atau dikunci oleh Allah (Al-Baqarah [2]:7). Bila dikunci maka akan kehilangan fungsinya sebagai pengendali. Pengendali indra, pengendali jasad, serta pengendali aktifitas jasadiah maupun jiwa.


Gambar 3 dibawah melukiskan Qalb yang terselubung atau terlindung oleh PENUTUP, sehingga mata-jasad melihat hanya dikendalikan oleh hawa dan syahwat,


Telinga jasad mendengar juga hanya dikontrol oleh hawa dan syahwat,


Sedang gambar 4 berikut disamping ini, melukiskan qalb yang yang bersih (tidak ada penutupnya).


Sehingga ALUR-MELIHAT, adalah qalb – mata-bathin – mata jasad. Disini Mata-Jasad dikenda-likan oleh qalb.


Demikian juga ALUR-MENDENGAR adalah qalb – telinga bathin – telinga jasad.
Disinipun Telinga-Jasad dikenda-likan oleh qalb.


Mata dan telinga merupakan alat akal, maka kalau mata dan telinga terkendali oleh qalb, maka akal pun akan terkendali juga.


Oleh sebab itulah Allah memberikan Al-Abshar, As-Sama’, Al-Af’idah (akal qalb), untuk melihat dan mendengar Al-Haqq pada ufuk dan anfus (jiwa-jiwa mereka) (QS Fushilat[42]: 53) yang akan menghantarkan menuju-Nya. Orang butapun kalau Al-Af’idah-nya terbuka masih dapat melihat Al-Haqq.


Bila qalb terselubung, berarti ruh tidak dapat memberikan energi kepada nafs, akibatnya nafs lumpuh yang membuat seluruh indra-nafs lumpuh juga, sehingga tidak dapat membaca al-Haqq di balik ufuk, fenomena alam, apalagi dalam anfus.


Pernah disampaikan bahwa alam ini dan semua kejadian di alam merupakan hudan, merupakan petunjuk menuju-Nya.


Bila menerima ujian atau mendengar musibah, gempa bumi, banjir, tanah longsor, huru-hara ……….dst, dibalik itu ada rahasia Allah, tapi tidak akan tampak bagi insan yang qalb-nya tertutup.


Bila menjumpai semua itu janganlah mencaci zaman, karena Allah adalah Zaman-itu (Sang Waktu/ as-sa’ah). Semua yang terjadi sudah direncanakan Allah. Semua fenomena merupakan rahasia untuk mengenal-Nya.


Ali ra: Janganlah mencari al-Haqq kepada manusia, tapi temukan dulu al-Haqq itu, maka baru engkau akan mengetahui siapa-siapa yang mengikuti al-Haqq itu.


Amal Shalih


Amal itu dapat dibagi menjadi Amal-Salah dan Amal-Baik.
Amal-Shaleh merupakan bagian dari Amal-Baik.
Jadi belum tentu setiap amal-baik merupakan amal-shalih.


(Lihat Gambar 5)
Amal Shalih adalah amal yang dikehendaki Allah agar dikerjakan orang tersebut pada waktu itu, jadi amal itu terhubung kepada Allah.


Amal Shalih dapat mempertemu-kan dunia dan akhirat. (Dunia bagaikan Barat dan Akhirat ibarat Timur, kalau menuju dunia maka akhirat akan tertinggal, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi dengan AMAL-SHALIH dapat memperte-mukan pada dirinya Barat dengan Timur sekaligus). Ini merupakan ciri dari orang yang sudah “bertemu-diri”, karena yang dilakukannya sudah sesuai dengan yang diperjanjikannya dahulu (QS Al Araaf [7]: 172).


Saat ini perlulah kita memperbanyak AMAL-BAIK semata-mata dengan mengharap kepada-Nya, agar kemudian kita ditarik kepada-Nya dan ditransformasi-Nya ke Shirath al-Mustaqiim. Sebab jika hanya melakukan AMAL-BAIK dengan maksud mengharapkan DUNIA, maka hanya akan mendapat DUNIA saja.


Mendapat Petunjuk


Siapa saja yang dipilih untuk mendapat petunjuk?
Menurut QS Yunus [10]: 9, yang dipilih untuk mendapat petunjuk adalah yang memiliki keimanan.


Hasil dari Mendapat-Petunjuk dijelaskan dalam QS Al-Baqarah [2]: 5 dan Luqman [31]: 5,


”Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".


yaitu Orang-orang Muflihun (orang-orang yang beruntung) yang akan mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah secara kontinyu (terus-menerus) sampai nanti.


Golongan inilah yang dinamakan HIZBULLAH [= Golongan Allah] (Al-Mujadilah [58]: 22) atau dengan istilah lainnya mereka yang Allah tempatkan di Shirath al-Mustaqiim.


Dapat disimpulkan bahwa “tsummahtada” = kemudian ditunjuki ke shirath al-mustaqiim.


Jihad


Adalah berupaya dengan segenap daya dalam jalan-Nya dan berpindah menuju pengamalan dari urusan yang yang diridhai-Nya. Dijelaskan dalam QS Al-Ankabut [29]: 69, yang artinya:
“Dan orang-orang yang berjihad di dalam Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang mendapatkan hasanah (buah taqwa)”.


Ayat ini menjelaskan tentang alur untuk meraih muhsinin, yaitu Jihad → ditunjuki → jalan-jalan Allah → menjadi orang yang muhsinin → (orang-orang yang punya hasanah).


Andaikan ada 3-orang berjalan (berjihad) maka ada 3-jalan menuju-Nya yang setiap orang memiliki satu jalan tersebut, serta setiap orang tidak ada yang sama jalannya. Ini sesuai dengan hadits yang bermakna bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak nafs hamba-Nya.


“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah wasilah (untuk mendekatkan diri kepada-Nya), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS Al-Ma’idah [5]: 35)


Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum berjihad, carilah wasilah-wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan tujuan agar menjadi orang beruntung yaitu orang yang mendapat petunjuk terus-menerus.


Sebelum melakukan jihad, terlebih dahulu harus hijrah, sesuai urutan yang dituturkan dalam At-Taubah [9]:20:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. “


Jadi setelah beriman, cari wasilah lalu hijrah (secara maknawi) baru jihad maka akan lahir sebagai orang yang menang/ beruntung.


Jenjang Menuju Pemahaman tentang Ad-Diin


Pernyataan Ali r.a. bahwa awal dari beragama itu adalah menegenal Allah. (“Awaluddiina ma’rifatullah”).


(Lihat Gambar 6)
Jadi menurut beliau, bila tidak mengenal Allah, maka tidak akan beragama. Oleh sebab itu Ma’rifatullah itu penting. Prosesnya dilukiskan sebagai berikut:


(Lihat Gambar 7):
Ada sebuah Syair Sufi, menggambarkan perjalanan panjang manusia menuju Tuhannya dengan sangat indahnya. Dilukiskan sebagai perjalanan seorang pejalan (salik) mengarungi samudra. Salik berangkat dari Asal mengarungi Samudera Syari’at yang luas untuk menuju tujuan Ma’rifat. Dalam mengarungi samudera dia menggunakan kapal Thariqat. Untuk mengarungi samudera dalam menempuh perjalanan yang jauh dibutuhkan modal, begitu juga untuk bekal setelah mendaratpun membutuhkan perbekalan yang cukup banyak.
Mengarungi samudera luas, dapat merupakan suatu rekreasi yang menarik tapi terkadang banyak hambatan menghadang. Badai yang datang tiba-tiba, hujan yang dapat menutup pandangan, petir, awan gelap mengaburkan, malah mungkin kerusakan kapal itu sendiri. Untuk inilah dibutuhkan tekad yang bulat, pasrah-berserah diri, sahabat-sahabat untuk saling membantu dan koordinasi. Yang lebih utama harus memiliki peta-tujuan dan kompas.
Dalam perjalanan inilah Salik dengan kapal Thariqatnya, harus mencari/ menemukan mutiara Haqiqat dari dasar samudera untuk modal dan bekal. Semakin banyak mutiara didapat semakin baik, dan semakin membuatnya berserah-diri.


Salah satu penggambaran saling-terkaitnya diantara Syari’at—Thariqat—Haqiqat—Ma’rifat, adalah seperti gambar 8 dibawah ini:


“Syari’at” diibaratkan jalan raya/ umum
“Thariqat” (Suluk) adalah jalan-jalan kecil yang menuju Haqiqat.
Thariqat yang berhasil akan meningkat ke jenjang Haqiqat, senantiasa dapat melihat Al-Haqq. Untuk dapat naik ke jenjang Haqiqat tergantung dari IKHLAS kepada Allah.
“Haqiqat” adalah pengetahuan manusia tentang aspek haqq dari ciptaan Allah (mengerti kebijakan Allah).
Di dalam jenjang Haqiqat ini sudah tidak ada pertentangan lagi.
“Ma’rifat” adalah pemahaman manusia tentang Allah.


Syari’at dikiaskan dengan pagar, yang merupakan batas dari halamannya Islam. Kita tidak boleh keluar pagar dan meninggalkan pagar.


Thariqat diwakili panah yang menggambarkan jalan. Jalan ini banyak sekali, hampir dari tiap sudut pagar terdapat jalan yang menuju ke-tengah halaman, bermuara ke-satu titik tujuan.


Haqiqat digambarkan sebagai sebuah Titik/Noktah besar yang berada ditengah-tengah halaman, yang merupakan muara atau tujuan seluruh Thariqat.


Ma’rifat digambarkan dengan Garis lurus keatas menuju Allah.


Teladan / Panutan bagi Pejalan


Nabi Ibrahim a.s.
Dalam Al-Qur'an terdapat kisah-kisah tentang nabi-nabi, misalnya tentang Nabi Daud a.s., Sulaiman a.s., Ibrahim a.s., dan nabi-nabi lainnya. Mereka semua merupakan suri-tauladan dan perumpamaan bagi pejalan.


Nabi Ibrahim a.s. adalah seseorang yang tidak memiliki kerajaan di Bumi (karena menjadi perlambang dari warga Kerajaan Langit = Nafs), beliau hanya disuruh menuju ke suatu tempat (tidak jelas dimana letaknya) untuk menemukan tanah-harapan. Beliau patuh (tasbih), tidak banyak menyanggah, tidak pernah protes, walaupun sampai akhir hayat, beliau tidak menemukan tanah harapan tersebut.


Petunjuk apapun yang datangnya dari Allah, perintah apapun yang diperintahkan Allah, beliau a.s. selalu patuh.


Bagaimana beratnya, sewaktu beliau disuruh meninggal Siti-Hajar dan putranya Isma’il ditengah padang-pasir yang tak berpenghuni, tapi karena perintah Allah, beliau laksanakan dan pasrah. Bagaimana pula sewaktu beliau diperintahkan menyembeli putranya Isma’il.


Beliau ini melambangkan pejalan (salik). Seorang Salik harus mencontoh Nabi Ibrahim a.s. dalam pasrah dan berserah diri kepada Allah.


Lebih-kurang 500 tahun kemudian, Tanah harapan yang dijanjikan tersebut baru ditemukan oleh keturunan beliau yaitu Nabi Sulaiman a.s. Pada masa Nabi Sulaiman a.s, Jerusalem dikuasai dan mendirikan ba’it (pusat peribadatan) bagi Bani Isra’il.
Nabi Daud a.s. dan Sulaiman a.s. terkenal sebagai seorang Raja yang memiliki kerajaan, maka beliau disebut Raja-Dunia yang melukiskan tentang Kerajaan-Jasad. Rakyat yang mereka pimpin adalah Bani Isra’il yang terkenal dengan pembangkangannya. Ini melukiskan jasad yang cenderung seenaknya sendiri.


Semut dan Lebah
Sabda Ilahi dalam Al-Qur'an memuat banyak sekali panduan bagi mereka yang kembali kepada-Nya, salah satunya dalam penamaan surat-surat. Yang kali iniingin diketengahkan adalah penamaan surat ke 27, yaitu An-Naml, dan surat ke 16, yaitu An-Nahl.


Kedua surat ini diambil dari nama serangga (semut dan lebah-madu), keduanya mempunyai kemiripan dalam berkoloni, punya susunan masyarakat yang jelas, ada Ratu, pekerja, penjaga.


Selain memiliki persamaan, ke duanya juga memiliki perbedaan. Perbedaannya antara lain pada makanan, produknya dan cara bersarangnya.


An-Naml bersarang dibumi, semua kegiatannya melukiskan bumi jasad, sedangkan An-Nahl bersarang diudara, langit melukiskan langit nafs.


Semut dan lebah tersebut memperlihatkan perbedaan karakteristik jasad dan jiwa, dan karenanya menjadi cerminan seorang yang berjalan kembali kepada Tuhan-Nya, tentang perbedaan cara bersyukur dari jasad dan jiwa-nya.


Perhatikanlah bahwa semua kegiatan lebah atas wahyu dari Allah (An-Nahl [16]: 68 – 69):


• Allah menyampaikan wahyu,
• Makanlah bermacam-macam buah-buahan,
• Berjalanlah pada Jalan-Allah, yang pada jalannya masing-masing Allah mudahkan semua makhluk (sesuai swa-bhawa, sesuai misi-hidup).


Jadi, sewaktu seseorang—semata-mata karena Rahmat-Nya—akhirnya menemukan misi-hidupnya maka amal yang dikerjakannya sesuai dengan misi-hidupnya itu sama sekali tidak akan mengganggu agamanya, melainkan semata-mata merupakan salah satu manifestasi dari ketaqwannya, sesuatu yang shaleh dan diridhai-Nya


Siapapun yang berjalan kembali kepada Tuhannya dapat mencontoh lebah: nafs harus mengalir terbang bagaikan lebah dengan memakan sari bunga yang baik dan tepat maka akan menghasilkan madu yang dapat digunakan sebagai obat oleh orang lain maupun diri sendiri—terutama penyakit hati. Demikian gambaran hasil dari amal yang tepat, yang shaleh, yang tidak hanya menjawab persoalan-persoalan di Bumi; tetapi juga—lebih penting lagi—menghasilkan hasanah yang mengganti sayyiah, yang semakin membuka jalan yang kemudahan dari sisi-Nya.


Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6
Gambar-7
Gambar-8


Kajian Al Qur’an-materi-ke 15

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Materi Bagian #11 (lanjutan) – 11.1


Lebih Lanjut tentang Ad-Diin Al-Islam: Sebuah Skema Perjalanan


Pendahuluan

Thaahaa [20]:82:
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.


Allah menjadi Maha-Pengampun kepada yang:
(1) taubat
(2) iman
(3) beramal shaleh
kemudian terpimpin ke Shirath al-Mustaqim


Proses tajrid hawa dan syahwat untuk menuju Allah (proses dari 1,2 3, )


Kembali kita lanjutkan pembahasan di seputar topik Ad-Diin—Shirat al-Mustaqiim—al-Haqq, yang dikaitkan dengan “jalan kembali” dalam rangkaian Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma’rifat yang telah diawali dalam pertemuan minggu yang lalu. Kita akan menggunakan lagi ayat QS Thaahaa [20]: 82 untuk memulai pembahasan.


Terlihatlah pada rangkaian istilah-istilah pada ayat tersebut bahwa untuk menjadi seorang yang “ahtada” (terpimpin, terpandu, terbimbing, tertunjuki) [4], maka dari seorang hamba dituntut amal-shaleh [3], yang amal-shaleh itu haruslah dilakukan oleh seorang yang memiliki cahaya keimanan [2] yang Allah al-Mu.min limpahkan kepada qalb-nya, yang untuk memperolehnya seseorang itu mesti bertaubat [1] sepenuhnya kepada Tuhan.


Terpimpin atau tertunjuki di sini maksudnya adalah sebagaimana yang senantiasa kita panjatkan dalam QS Al-Fathihah [1]: 6, “Ihdinash Shirath al-Mustaqiim.” Dan kita telah membahas pula mengenai landasan masalah ini, sebagaimana rekaman ucapan Nabi Allah Ibrahim a.s. dalam QS Al-An’am[6]:161 berikut ini:


“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Ad-Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).


Singkat kata, yang dimaksud dengan Shirath al-Mustaqiim itu adalah Ad-Diin.


Ad-Diin Mensyaratkan Ma’rifatullah

Kaitan antara Ad-Diin dengan Ma’rifatullah dapat kita telaah berdasarkan dua rumusan kunci berikut ini:


1) Awaludiinna ma’rifatullah (Awal dari agama, ad-diin, adalah mengenal, ma’rifat, Allah) [Imam ‘Ali kw].


2) Man ‘arfa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barangsiapa mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Tuhannya) [Hadits Rasulullah SAW.].


Dari dua rumusan di atas dapatlah kita meletakkan istilah Ad-Diin di dalam skema berikut ini:


(Gambar 1)
Secara sederhananya Ad-Diin itu merupakan suatu sikap atau akhlaq kepada Allah. Dari pengalaman sehari-hari, terlihatlah bahwa sikap kita kepada seseorang atau sesuatu tergantung kepada pengenalan kita terhadap siapa seseorang itu, atau apakah sebenarnya sesuatu itu. Misalnya, kita di tengah perjalanan di kegelapan malam mendapati sebuah api unggun. Kita akan dapat mengambil sikap yang tepat setelah mengenali api unggun tersebut. Jika kita berdiri terlau dekat maka kita akan kepanasan atau malahan terbakar. Sedangkan jika kita berdiri terlalu jauh dari api tersebut, maka kita tidak akan memperoleh manfaatnya. Kita akan tetap berada dalam kegelapan, atau kedinginan. Berdasarkan pengenalan kepadanya, maka kita akan dapat mengukur diri, menentukan jarak yang tepat, dan menempatkan diri pada kedudukan yang tepat dari api unggun tersebut.


Begitu juga kepada Allah. Untuk dapat bersikap atau berakhlaq yang tepat kepada-Nya, maka kita harus mengenal–Nya. Jadi, ma’rifatullah itu, katakanlah, sama dengan mengenal Dia yang disebut ALLAH. Sebelum itu dapatlah kita mempertanyakan diri kita sendiri: jika kita tidak kenal (‘arif) kepada Allah, maka apakah atau siapakah sebenarnya yang kita abdi, kita sembah, kita sujudi itu?


Pengenalan kepada Allah bergantung sampai sejauh mana hijab yang membentang antara sang hamba dengan Allah itu dapat tersingkap. Semakin tersingkap hijab, semakin sang hamba mengenal Allah. Istilah “Allah” sebagai asma yang “maha meliputi” dapat kita mulai membedahnya dari cara penulisannya sendiri. Dari situ saja dapat kita identifikasi tiga tingkat kedudukan dari yang disebut “Allah” itu: (1) Sebagai “Rabb” atau Tuhan; (2) Sebagai “ilah”; dan (3) Sebagai Dzat.


(Gambar 2)
Dari dua rumusan kunci di atas tadi: (1) Awaludiinna ma’rifatullah, dan (2) Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu, maka dapatlah kita menyusun suatu formula bahwa: “Awaludiina ma’rifatun nafs.” Awal dari beragama adalah mengenal jiwa (nafs). Jadi, diawali dengan mengenal nafs, lalu mencari rahmat Allah agar dapat dibantu dengan qalb dan ‘aql—yang ke duanya merupakan aspek dari iman—selanjutnya mencari Rahmat Allah berikutnya berupa penguatan dengan Ruh al-Quds (QS Al-Mujaadilah [58]: 22), agar dapat mengenal Allah (ma’rifatullah); barulah dapat memahami ad-Diin.


(Gambar 3)


Di dalam konteks ma’rifatun nafs itulah kita dapat mendudukkan ke tiga tingkatan nafs seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Jadi berdasarkan struktur internal manusia yang dibahas dalam QS An Nuur [24]: 35, kedudukan nafs itu ada diantara dua aspek lainnya, yaitu jasad dan ruh. Nafs ini, yang merupakan hakikat insan, yang diperebutkan pengendalian- nya diantara ruh dan jasad.


(Gambar 4)
Ke tiga kategori nafs berikut ini terjadi karena proses menarik itu:


1) Al-Nafs al-Mutma’innah.
Nafs yang dipengaruhi oleh ruh; nafs yang tenang, yang menjadi pengendali jasad. Dijelaskan dalam QS Al-Fajr [89]: 27.


2) Al-Nafs al-Lawamah.
Nafs yang tidak stabil, terkadang terpengaruh ruh, terkadang terpengaruh jasad. Nafs yang lemah, goyah, penuh dengan keluh-kesah, sering merasa kagum-diri atau sebaliknya rendah diri. Tertera pada QS Al-Qiyamah [75]:2.


3) Al-Nafs al-Amarah bissu’.
Nafs yang dipengaruhi oleh jasad, dikendalikan oleh Hawa dan Syahwat. Nafs inilah yang selalu mengajak dan menyuruh kepada kejahatan. Dicantumkan dalam QS Yusuf [12]: 53.


Kita harus memohon RAHMAT (pertolongan)-Nya agar nafs terbebas dari kungkungan hawa dan syahwat. Inilah cara semestinya—jadi bukannya dengan mengandalkan diri sendiri. Demikianlah anjuran yang dicantumkan dalam QS Yunus [12]: 53. Jelaslah bahwa ma’rifatullah, yang diawali dengan ma’rifatun-naas itu merupakan syarat agar kita dapat memiliki pandangan yang haqq tentang Allah. Dan itu baru bisa terjadi jika hijab tersingkap. QS Thaahaa [20]:82 di atas menunjukkan alur penyingkapan hijab. Ini terutama pada bagian keimanan dan beramal shaleh (atau = taqwa). Salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan dalam QS Al-Mujaadilah [58]: 22:


• Mencintai Allah.
• Membenci siapa pun yang tidak mencintai Allah.
• Mengikuti Rasul, sebagai jalan untuk mencintai Allah (lihat pula QS Ali ‘Imran [3]: 31).


Taqwa itu di qalb, sehingga sulit diamati. Yang boleh-jadi tampak adalah amal-shaleh. Tetapi ini pun sebenarnya sulit dipastikan, karena amal-shaleh itu mesti dibedakan dengan amal-baik. Bagaimanapun, perlulah kita membiasakan diri senantiasa mengabdi secara sepenuhnya kepada Allah dengan ikhlas—artinya tidak perlu penyaksian, pengakuan, ataupun pengukuhan dari makhluk.


Tauhid
Dari tiga tingkat kedudukan yang disimpulkan dari istilah “Allah” di atas, maka disusun tiga tingkatan dalam tauhid:
(Gambar 5)


1) Tauhid Uluhiyah, disebut juga Al-Huwiyah.
Dia (Huwa atau Hu saja) sebagai Dzat yang Esa. Hanya “Dia” saja yang mengenal “Dia”. Tidak ada sesuatu pun yang dapat bernama Allah, tiada sesuatu dapat dibandingkan dengan Dia, “laisa kamitslihi syai’un” (QS 42:11). Sebagai Dzat, Dia tidak tersentuh, terjangkau, terfahami manusia.


2) Tauhid Ilahiyah
Tauhid Ilahiyah (DIA berperan sebagai ILAH yang disembah makhluk).


3) Tauhid Rubbubiyah
Di dalam Tauhid Rubbubiyah, Dia berperan sebagai yang memelihara serta menjaga alam. Kita mendengar kicauan burung, desir angin, debur ombak. merasakan sejuk, panas, segar, nyaman, kesemuanya itu karena RUBBUBIYAH yang menjaga alam. Andaikan Dia terlena sesaat saja maka hancur runtuhlah salam ini. Jadi RABB adalah DIA yang memelihara alam, yang memelihara kita.


Ilahiyah dan Rubbubiyah inilah yang dimaksud dengan wajah Allah. Sedangkan jika Allah menggunakan istilah “Kami” di dalam Al-Qur'an, maka yang dimaksud adalah ke tiga tingkatan tersebut sekaligus.


Pengetahuan nalar manusia saat ini hanya dapat memahami Alam-Raya yang nyata saja. Di dalam alam-raya itu kita bertempat tinggal di Galaxy ini, yakni tempat matahari kita ini, dan kita tinggal di salah satu dari planetnya (bumi). Padahal salah satu hadits Rasulullah SAW. menyebutkan bahwa terdapat 18.000 alam. Dari ke empat materi yang membentuk manusia saja dapat terbentuk beberapa alam. Dengan kekuatan nafakh ruh, maka unsur-unsur materi dasar ini: Api, air, udara, tanah membangun jasad. Alam jin tersusun dari unsur api, yang dari unsur ini saja dapat tersusun alam-alam lainnya lagi yang tidak kita ketahui. Demikian pula unsur-unsur lainnya, seperti air dan tanah.


Jika satu Alam Raya, misalnya dimana Galaxy kita ini berada, bagaikan selembar kertas, maka bumi kita itu ukurannya demikianlah kecilnya—sehingga tidak akan nampak. Lalu dimanakah diri kita—hanya seorang manusia diantara milyaran manusia penghuni bumi—tentulah tidak akan tampak sama sekali. Sementara itu kita memerlukan Allah sebagai Rabb yang memelihara, mengayomi, mengurus diri kita. Apakah yang kita miliki selain harapan kepada-Nya? Tidakkah ini menegaskan pentingnya qalb yang suci, bersih, sebagai sarana kita membangun komunikasi dengan Allah—sehingga di situ kita dapat berseru dapat menjerit kepada-Nya. Allah tidak melihat wajahmu, tapi melihat hatimu. (Hadits Rasulullah SAW).


Pada tingkat kesucian apa pun seseorang saat ini berada, jika ia tidak memiliki aspirasi untuk mengabdi kepada-Nya maka tidak sedikit pun ia bergerak kepada-Nya. Berdiam diri berarti membeku, mandek; tidak bergerak kepada-Nya. Di lain pihak, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi gerakan menuju-Nya, jika seseorang menyikapi dirinya sebagai seorang hamba Allah. Seorang abdi Allah. Karena itu salah satu godaan paling mendasar dari syaithan adalah dengan mebuatnya asyik memandang orang lain, sehingga terlena kepada kedudukannya sendiri yang adalah seorang abdi. Seorang hamba tentunya tidak punya urusan memasalahkan urusan hamba yang lain. Dia akan berkonsentrasi dalam pengabdiannya sendiri.


Dalam Tauhid Ilahiyah yang disebutkan di atas, maka pengabdian kepada-Nya itu dilakukan melalui penyembahan. Cara penyembahan itu berbeda-beda dalam setiap alam tempat sang hamba tinggal. Ditambah lagi, dalam alam yang sama pun, hijab yang dimiliki seorang penghuninya berbeda dengan milik penghuni yang lain. Kita menyembah/mengabdi kepada Allah sesuai dengan cara yang ada di alam kita, karena kita menyatu dengan alam tempat kita tinggal. Pada alam ini, bentuk penyembahan kepada Allah terdapat didalam Al-Qur'an-al-Karim dan Hadits.
Untuk dapat mengabdi dengan tepat kepada Allah dituntut akhlak yang benar, di sinilah diperlukan Ad-Diin.


(Gambar 6)
Dengan pemahaman Ad-Diin maka seseorang dapat mengorbit dengan berporos pada Allah (ta’at kepada Allah). Setiap individu harus mencari posisi tasbihnya—masing-masing berupaya menjadi salah satu dari butir-butir tasbih.


Yang Merugi dan Yang Beruntung


“…….. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat [49]:11).


Jika rangkaian pada ayat pembuka di muka tadi dimulai dengan taubat, maka siapa saja yang tidak bertaubat disebut zalim. Golongan ini (Az-Zalim) disebut pula Golongan Syaithan atau Golongan Yang Merugi


Al-Qur'an sendiri menegaskan akibat-akibat dari zalim itu, antara lain:
1) Ditinggalkan Allah, QS Maryam [19]: 71 – 72.
2) Tidak diberi petunjuk dari Allah, QS Al-Maidah [5]:51; Taubah [9]: 19, 109.
3) Pemimpinnya adalah Syaithan, QS Al-A’raf [7]: 27, yang menyebabkan:
• Qalb-nya keras melebihi batu, QS Al-Baqarah [2]: 74.
• Syaithan menampakkan indah yang mereka kerjakan, QS Al-An’am [6]: 43).
• Syaithan menguasai mereka, QS Al-Mujaadilah [58]: 19.
• Mereka dibuat lupa kepada Allah, QS Al-Mujaadilah [58]: 19.


Pada QS Maryam [19]:71 – 72, dinyatakan bahwa semua orang akan menuju neraka, kemudian orang yang bertakwa diselamatkan, sementara orang yang zalim dibiarkan, atau tidak diberi petunjuk. Ini karena memang ia tidak bertaubat, sehingga tidak mendapat iman. Qalb-nya mati, sakit, atau membatu karena tidak dihidupi oleh cahaya-iman. Hatinya tertutup buat Allah, terbuka untuk Syaithan. Akhirnya Syaithan menguasai mereka, yang menyebabkan mereka memandang indah dan benar setiap perbuatannya, akhirnya mereka melupakan Allah.


Sangat berat akibat dari melupakan Allah, yaitu mereka akan lupa kepada diri sendiri, sebagaimana dinyatakan ayat ini:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS Al-Hasyr [59]: 19).


Akibat lupa kepada Allah, seseorang itu menjadi orang-fasik, yaitu orang yang lupa siapa dirinya, lupa apa tugasnya, lupa apa tujuannya. Setelah mereka melupakan Allah, maka Syaithanlah yang memimpin mereka, maka mereka disebut Hizbusy Syaithan (Golongan Syaithan), dan disebut pula Al-Khaasiruun (Golongan yang Merugi).


Kebalikan dari golongan yang disebutkan di atas adalah Golongan yang Beruntung, yang disebut juga Golongan Allah. Inilah golongan yang mengikuti QS Thaahaa [20]: 82 di atas, sampai senantiasa terbimbing oleh petunjuk. Keseluruhan proses ini dimulai dengan taubat. Sebagaimana dinyatakan dalam QS Thaahaa [20]: 122, maka Allah:


• memilih hamba-hamba-nya untuk bertaubat,
• menerima taubatnya,
• memberi petunjuk.


Adalah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap hamba untuk bertaubat, sampai memperoleh petunjuk yang haqq bahwa taubatnya diterima.


Tertera pada QS Maryam [19] ayat 72 bahwa Allah hanya menyelamatkan orang-orang yang taqwa, dan mereka-mereka inilah yang termasuk ke dalam Hizbullah (Golongan Allah), atau disebut pula Al-Muflihuun (Golongan yang Beruntung).


Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6


Kajian Al Qur’an-materi-ke 16

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Materi Bagian #12


Mencermati Skema Perjalanan dalam Tujuh Ayat yang Diulang-ulang


Pendahuluan


Ayat itu “tanda” atau “sign,” yang menunjuk kepada sesuatu. Ayat-ayat itu sendiri terdapat di balik bentuk, fenomena atau suatu kejadian. Ayat-ayat ditebarkan Tuhan di ufuk dan dalam diri manusia itu sendiri (QS Fushshilat [41]:53), yang dimanapun dijumpai yang menunjukkan bahwa ia merupakan al-Haqq.


Dilihat dati potensi dalam penciptaaannya, manusia itu berada dalam rentang kemungkinan yang paling lebar. Ia dapat, “dalam sebaik-baik penciptaan” (QS At-Tiin [95]: 4), sampai ke “yang rendah diantara yang rendah-rendah” (QS At-Tiin [95]: 5). Mentafakuri kemungkinan potensi yang luar biasa dari setiap manusia itu, dapat membantu seseorang untuk enggan bersikap takabur kepada orang lain (atau bahkan makhluk lain) siapapun ia. Sebab orang yang takabur atau kibr itu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad S.A.W. adalah, ”… man batharal-haqqa wa ghanishan-naasa ...” (“…orang yang benci atau mengabaikan kepada al-Haqq dan menghinakan manusia…”). Dengan bersikap demikian ia membenci kepada al-Haqq, atau menentang ayat Tuhan.


Agar dapat terhindar dari keadaan seperti itu, maka sangatlah penting bagi setiap orang untuk menyusun bagi dirinya masing-masing suatu susunan pengetahuan yang jelas sumbernya dari Dia, Al-Haqq. Oleh karena itu yang pertama-tama kita upayakan di sini adalah di seputar pengembalian arti kepada makna yang murni dari istilah-istilah agama, yang dalam pengertian umum telah banyak mengalami distorsi.


Ini merupakan sebuah upaya yang masing-masing kita mesti berjihad untuk melakukannya, karena tidak ada orang lain yang dapat melakukannya buat kita. Semua pihak di luar diri kita merupakan bantuan yang dihadirkan agar masing-masing kita menyeru langsung kepada-Nya: agar diri kita juga dirahmati-Nya untuk dapat memahami ayat-ayat-Nya, sehingga kita tidak menentang ayat-ayat itu, sehingga kita dapat terhindar dari penentangan kepada al-Haqq.


Tujuh Ayat yang Berulang


“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur'an yang agung.”
(QS. Al-Hijr[15]: 87).


“Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” adalah salah satu julukan bagi Surat Al-Fathihah surat yang selalu dibaca berulang dalam Shalat. Surat ini adalah “Induk Kitab” yang meringkas keseluruhan Al-Qur'an, yang dirinci dalam “Kitab Penjelas” di surat-surat lainnya. Karena itu jelaslah maknanya “tidak terhingga dalamnya.” Kali ini kita akan sedikit berusaha menyimak tentang salah satu arti lain dari “tujuh ayat” itu, karena kita diperintahkan untuk “membacanya.” Tentu saja ini tidaklah mengurangi sedikit pun arti lahirnya, yaitu dibacanya Surat Al-Fathihah dalam setiap raka’at shalat.


Dalam berbagai ayatnya, Al-Qur'an berulang-kali mengetengahkan mengenai susunan berlapis tujuh di lelangit dan bumi. Dalam perspektif tashawuf, hal ini merupakan acuan bagi pemurnian nafs manusia—yang merupakan hakikatnya—dalam perjalanan kembali (taubat)-nya kepada Tuhannya.


Yang pertama-tama perlu ditinjau adalah kekhususan dalam penciptaan manusia—ia diciptakan setelah selesainya penciptaan semua makhluk yang lainnya. Apa-apa yang diciptakan secara terinci dalam bentuk-bentuk makhluk-makhluk lainnya, dihimpun secara global (mujmal) dalam diri manusia. Ia merupakan ciptaan yang menghimpun ciptaan-ciptaan lainnya. Ia merupakan satu-satunya yang diciptakan “dengan ke dua belah tangan-Nya.”


“Allah berfirman:"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".


Berlandaskan diskusi-diskusi sebelumnya, jelaslah diketahui bahwa dengan “ke dua belah tangan itu” berkaitan dengan aspek-aspek “langit” (= nafs, jiwa), dan “bumi” (= jasad, raga) dari manusia:


“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.
(QS. Az-Zumar [39]: 67) .


Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya.


“Dan di dalam dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.”
(QS Adz Dzaariyaat [51]: 21).


(Gambar 1)
Yang masing-masing aspeknya tersusun atas tujuh lapisan:


“Allah lah yang menciptakan tujuh lelangit (samawati) dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(QS Ath Thalaq [65]: 12).


Yang urutan pembentukannya adalah dari bumi—yang diperuntukkannya bagi sang jiwa, menuju langit, seperti ditunjukkan oleh ayat berikut ini:


“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh lelangit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS Al Baqarah [2]: 29).


Di sinilah para sebagian Guru Sufi meletakkan susunan komposisi tujuh lapis bumi:


(Gambar 2)
Karakter dasar dari aspek-aspek itu adalah keberserahan-diri:


”Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati.’”
(QS. Fushshilat [41]: 11)


Keberserahan-diri inilah yang merupakan faktor-kunci dalam transformasi langit menjadi tujuh lelangit. Keberserahan-diri inilah yang diperlihatkan oleh langit dan bumi ketika mereka dipanggil Sang Pencipta. Ini merupakan pelajaran fundamental dalam perjalanan pensucian, manakala seseorang yang bertaubat mengharapkan agar Allah menghujamkan akar-akar pohon taqwanya ke seluruh lapisan bumi-jasadnya, dan membina serta menyempurnakan langit-jiwanya agar menjadi tujuh lelangit. Dengan keberserahan-diri itulah ia dapat berkembang: sehingga ia semakin mampu menjadi kalbu dari semestanya. Seiring dengan semakin terbinanya langit-langit jiwa-nya, semakin berkembang pula urusan-urusan yang dapat ditampung nafs-nya: ini karena masing-masing langit memiliki urusannya sendiri-sendiri.


“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fushshilat[41]:12).


Tujuh lapis lelangit (sab’a samaawati) yang Allah bina dari langit-jiwa (sama’i) yang berserah-diri inilah yang dikemukakan banyak Guru Sufi, manakala mereka menunjukkan berbagai skema kenaikan jiwa, yang salah satunya diperlihatkan berikut ini:


(Gambar 3)
Salah satu rumusan pokok Kaum Sufi: ”man a’rafa nafsahu, faqad a’rafa rabbahu,” tidaklah terlepas dari skema di atas. Karena bagi mereka kata dasar a’rafa (diterjemahkan dengan “mengenal”) itu berlangsung pada ke empat lapisan paling atas dari ilustrasi di atas. Perangkat yang digunakan di sini mereka istilahkan sebagai “dzawq.” Sedangkan subyek yang mengenal, yang a’rafa, disebut sebagai a’rif (jamak: a’rifin). [Pada lapisan-lapisan inilah dipakai istilah Ma’rifat.] Sedangkan yang mereka maksud dengan “’ilm” itu adalah sesuatu yang diketahui (‘alama) dengan lapisan-lapisan qalb-‘aql (sebagai perangkat bumi dan langitnya). [Disini dipakai istilah Haqiqat.] Jadi, sangatlah berbeda dengan “pengetahuan” yang ditangkap orang bukan-sufi yang perangkatnya adalah nalar yang merupakan instrumen jasad. [Pada tingkatan jasad inilah dipakai istilah Syariah, sedangkan untuk menyebut tahapan pensucian nafs menuju lapisan qalb-‘aql di atasnya, dilakukan dalam Thariqah]. Gerakan pensucian menuju kenaikan kepada lapisan demi lapisan di dalam dirinya itulah yang bagi mereka merupakan sesuatu yang diisyaratkan dalam hadits Rasulullah S.A.W, “Kita baru kembali dari jihad kecil dan memasuki jihad akbar.” Yakni, jihadun-nafs.


Bagi kaum Sufi, keseluruhan struktur di atas itulah yang merupakan salah satu makna dari istilah “al-Kursyi” yang merupakan pasangan dari “al-‘Arsy.” Dengan mencermati penjelasan mereka itu, kita dapat memiliki perspektif yang lain dalam menelaah hadits Rasulullah yang terkenal ini.


Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah S.A.W. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang Mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’”


Kesempurnaan Manusia dalam Kata-kata Al-Ghazali


Dengan berlandaskan kepada uraian di atas, mungkin sekali kata-kata Al-Ghazali berikut ini, dari kitabnya, Keajaiban Hati, membawa suatu penyegaran bagi kita semua.


“Bahwa ia makan dan berketurunan, manusia itu sama dengan tumbuh-tubuhan,
Bahwa ia bisa merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, ia sama dengan binatang,
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui segala sesuatu.
Manusia yang mempergunakan segala instrumen yang ada padanya dan kekuatannya untuk mendapatkan ilmu dan mengamalkannya maka ia menyerupai malaikat.
Ia seorang Malak atau Rabbani,
Ilmu yang paling utama ialah mengenal akan Allah, Sifat- Sifat-Nya dan Perbuatan- Perbuatan (Af’al) – Nya,
Disinilah letak kesempurnaan manusia,
Yang menentukan kedudukannya dihadapan Penciptanya.“


Yang segera membawa kita kepada bunyi sebuah hadits qudsi mengenai Khasanah Tersembunyi, dimana Allah menyatakan melalui Rasulullah S.A.W., “Aku adalah khazanah tersembunyi, aku rindu untuk dikenal, lalu Aku menciptakan makhluk agar aku bisa dikenali” (kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf).


Dan dalam Kata-kata Maulana Rumi
Pengetahuan Langsung
(terjemahan dari Matsnawi vol I, #3445)


Mari, ketahuilah bahwa indera dan imajinasi serta pengetahuanmu
bagaikan batang bambu yang ditunggangi anak-anak.
Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas;
pengetahuan indrawi manusia adalah sebuah beban.
Tuhan telah berfirman: “seperti keledai yang membawa kitab-kitab
betapa berat pengetahuan yang tidak di ilhami oleh-Nya
Namun, apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri,
maka beban itu akan terangkat dan engkau akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas dari anggur-Nya,
Wahai, engkau yang puas dengan tandanya.
Apa yang lahir dari sifat dan nama ?
Khayalan, namun khayalan yang menunjukkan jalan menuju Kebenaran.
Tahukah kau nama tanpa hakikat ?
Ataukah pernah kau memetik mawar dari M . A . W . A . R
Engkau telah menyebutkan nama itu; Pergi, carilah sesuatu yang diberi nama,
Bulan itu di langit, bukan dalam air.
Sudilah engkau pergi ke balik nama dan huruf,
sucikanlah dirimu sepenuhnya.
Dan saksikan dalam lubuk-hatimu sendiri,
seluruh pengetahuan para Nabi, tanpa buku, tanpa belajar, tanpa pengajar. 


Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3

Kajian Al Qur’an-materi-ke 17

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Materi Bagian #13


Dua Bagian Rahmat


Pendahuluan


Mengenai dua bagian rahmat, kita akan memulainya dengan memperhatikan ayat-ayat berikut ini:


”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Demikianlah agar ahli Kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan fadilah Allah, dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah, yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai al-Fadhlil’azhiim”.
(QS Al-Hadiid [57]: 28 – 29).


Taubat yang sejati adalah upaya memohonkan dari sisi-Nya, dua bagian rahmat, yaitu untuk:


1. Menjadi Muthahharun.
Yaitu diperolehnya kembali Nur–iman sebagaimana yang dibekalkan kepadanya sewaktu kelahirannya ke dunia (periksa QS Al Waqiah [56]: 79); yang kemudian dilanjutkan untuk,


2. Menjadi Syuhada.
Bertemu diri atau bertemu dengan ar-Ruh al-Quds (Al-Fadhlil-azhiim, QS. Al-Hadid [57]:29)


Pada rahmat pertama, status “muthahharun,” mulai menunjukkan kemampuan untuk ”menyentuh” Al-Qur'an. Sedangkan mengenai rahmat ke dua, status “Syuhada” itu sendiri telah mulai diperkenalkan dalam alur taubat pada QS 4: 64 – 70, yang ditandai dengan diutusnya ar-Ruh al-Quds sebagai Penasihat jiwa.


Ar-Ruh Al-Quds itu Sebuah Istilah Qur’ani


Ar-Ruh Al-Quds sebuah istilah Qur’ani yang sering disampaikan oleh para Ulama beberapa abad yang silam. Tidak sebagaimana dipahami hari ini, ia bukanlah sebuah istilah kristiani. Ar-Ruh Al-Quds, yang dalam Al-Qur’an juga disebut ar-Ruh min ‘amr itu merupakan oknum yang berbeda dengan Ar-Ruh Al-Amin (Jibril a.s.). Jika Jibril a.s. yang merupakan ketua dari para malaikat merupakan warga, utusan (rasul) dari alam malakut; maka ar-Ruh al-Quds merupakan warga, utusan, dari alam jabarut atau alam ‘amr.


Istilah ar-Ruh al-Quds dapat disimak, antara lain, dalam ayat-ayat berikut ini:


”Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu'jizat) kepada 'Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Quds…”.
QS Al-Baqarah[2]: 87.


”Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagaian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada 'Isa putera Maryam beberapa mu'jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds…”
QS. Al-Baqarah[2]: 253.


”(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai 'Isa putera Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada Ibumu diwaktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Quds…”
QS. Al-Ma’idah[5]: 110.


”Katakanlah:"Ruhul Qudus menurunkan itu dari Tuhanmu dengan Al-Haq, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimun.”
QS. An-Nahl [16]: 102.


Pada pertemuan terdahulu telah disampaikan, bahwa kisah–kisah para Nabi yang terdapat dalam Al-Qur’an menggambarkan tahapan-tahapan yang dilalui oleh mereka yang bertaubat secara paripurna. Kalau kita lihat ayat-ayat yang berkenaan dengan ar-Ruh al-Quds di atas hampir selalu berhubungan dengan tarikh Nabi Isa a.s. Ini menandakan bahwa fase Nabi Isa a.s. adalah tahapan yang menggelar pengetahuan ilahiah bahwa oknum yang menjadi penasehat dalam kalbu setiap nabi, shidiqqiin dan syuhada itu adalah oknum yang disebut ar-Ruh al-Quds. Sedangkan penggunaan istilah yang setara pengertiannya, ar-Ruh min ‘amr, terdapat pada banyak ayat-ayat lain dari Al-Qur’an.


Jelaslah bahwa tahapan ini merupakan fase yang sangat penting bagi mereka yang selalu bermohon: tunjuki kami ke shirath al-mustaqiim, karena QS 4: 69 menerangkan bahwa mereka itulah orang-orang yang mendapat nikmat.


As-Syuhada Identik dengan Diutusnya ar-Ruh al-Quds


“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: ‘Bukankah aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Benar, kami menjadi saksi (syaahidnaa)’...”
QS. Al-A’raf [7]: 172


Demikianlah, semua manusia yang hadir ke alam dunia ini, jauh hari sebelumnya pernah bersaksi akan Tuhannya, yakni di alam nuur. Isi dari persaksian itu direkam oleh ar-Ruh al-Quds. Setelah manusia diberi pakaian jasad dan diturunkan ke alam dunia, maka peristiwa itu terlupakan. Sasaran ke dua dari taubat yang sejati adalah untuk ‘mengingat’ kembali (recollection) pertemuan persaksian itu. Di dalam persaksian itu, antara lain, manusia sepakat untuk mengemban amanat yang sebelumnya telah ditolak oleh makhluk-makhluk lain, sebagaimana dipaparkan dalam ayat berikut:


“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesunguhnya manusia itu amat dzhalim dan amat bodoh”.
QS. Al-Ahzab [33]: 72.


Persaksian manusia di alam alastu diiringi oleh pemberian amanat yang kemudian dipikul oleh setiap jiwa sesuai kadarnya masing-masing. Amanat itulah yang dalam konteks suluk disebut sebagai misi-hidup, satu tugas spesifik yang menanti untuk dipahami dan dikerjakan oleh sanag penerima amanat di alam dunia ini. Hal ini disinggung oleh para utusan, para Nabiullah dan Waliullah dengan berbagai cara masing-masing. Salah satunya, seorang Waliullah pada zamannya, Maulana Jalaluddin Rumi, menyampaikan dalam uraiannya:


Yang Satu Itu …


Dan seseorang berkata, “Aku telah melupakan sesuatu.” Sesungguhya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan! Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu—maka tiada sesuatu pun telah engkau capai.
Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim sang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa.
Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun….


“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada lelangit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi manusia mengambilnya: dan sungguh, ia itu zhalim dan bodoh.” (QS Al Ahzab [33]: 72)


Diperlukan transformasi diri dalam taubat yang mendalam untuk mengetahui apa yang pernah Allah amanatkan kepada kita. Perjalanan yang panjang tersebut tepat-arah jika bertujuan merecall pengetahuan tentang persaksian kita dengan-Nya, di alam alastu. Inilah jalan pengenalan nafs (mengenal-diri). Sebagaimana ungkapan Nabi s.a.w. dalam hadits beliau:


“Barangsiapa mengenal nafsnya, maka ia mengenal Rabb-nya”
Ar-Ruh al-Quds itulah yang akan mengingatkan kembali tentang persaksian yang pernah dilakukan jiwa. Persoalan yang dipersaksikan itulah yang merupakan “amanat” bagi jiwa. Di dalam menjalankan amanat tersebut ar-Ruh al-Quds akan bertindak sebagai penasehat bagi jiwa agar tindakannya senantiasa selaras dengan apa-apa yang dikehendaki Tuhan.


Sebagaimana dibahas dalam QS An-Nuur [24]: 35 (Misykat Cahaya-Cahaya), simbol ar-Ruh al-Quds adalah seumpama api yang menyala. Tanpanya, maka siapa diri kita yang sejati berada dalam kegelapan; dengannya, maka diri kita yang sejati akan kita kenali dan terproyeksikan. Hanya mereka yang sudah sampai/ atau melewati fase inilah yang disebut Al-Qur'an sebagai Asy-Syuhada di sisi Tuhan.


”Katakanlah:"Ruhul Qudus menurunkan itu dari Tuhanmu dengan Al-Haqq, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimun.”
QS. An-Nahl [16]: 102. (lihat juga ayat-ayat lainnya di atas)


(Lihat Gambar 1)


Qalbu Terbaik


Didalam “Keajaiban Qalbu” Imam al-Ghazali menuliskan hadits dari Nabi Muhammad s.a.w sebagai berikut :


“Allah ta’ala mempunyai wadah di Bumi-Nya, yakni diberbagai qalbu, maka (mana) wadah yang paling disukai Allah ? Yang paling kuat, paling bersih, paling lunak. (Rasullullah saw kemudian menjelaskan) Yang paling kuat dalam agamanya, paling bersih dalam keyakinannya, paling lunak kepada saudara-saudaranya (sesama muslim)”


Imam Al-Ghazali, menambahkan bahwa tidak akan mengenal Allah (ma’rifatullah) tanpa mengenal nafs, dan tidak akan mengenal nafs bila tidak mengenal qalb tanpa penyucian dalam pertaubatan.


(Lihat Gambar 2)


Al-Fadhlu ’al-Azhiim, Fadhilah yang Agung


Beraktifitas itu gampang, tapi beramal-shaleh itu sulit. Adapun kegelapan itu lawannya, atau yang akan mengusirnya, adalah cahaya; bukannya aktifitas. Cahaya diperoleh bukan dengan memperbanyak sembarang aktifitas, tetapi dengan peningkatan keimanan dari keimanan yang sudah ada, dan meningkatkan ketaqwaan. (Perhatikan kembali QS Al-Hadiid [57]: 28 –29 di atas). Untuk meraih cahaya maka dibutuhkan amal-shaleh—bukan semata-mata aktifitas, melainkan amal yang tercahayai. Perintah untuk meningkatkan keimanan dari keimanan yang sudah ada tersebar dalam berbagai ayat. Tingkatan pencapaian cahaya keimanan yang diperintahkan adalah sampai cahaya itu sedemikian kuatnya, sehingga dengan cahaya itu sang hamba yang bertaubat dapat secara sejati meng-imani para rasul. (Perhatikan Rukun Iman).


• Cahaya
Dengan cahaya, nafs dapat berjalan di shirath al-mustaqim nafs masing-masing. Digambarkan dalam QS. Al-An’am[6]: 122, dengan cahaya itu nafs dapat melihat dan berjalan di muka bumi.


• Taqwa
Taqwa = iman + amal yang shaleh. Keimanan yang menyala di qalb merupakan prasyarat sekaligus landasan untuk beramal shaleh. Di dalam beramal, maka keluasan ilmu—yang memimpin amal—sangatlah penting. Oleh karena itu, contoh sunnah Rasulullah s.a.w. yang menghidupkan Al Qur’an sangatlah sentral. Ketakwaan yang sejati akan memancing dianugerahkan-Nya ilmu-ilmu yang baru; yang kemudian dapat digunakan untuk membuat amal selanjutnya semakin bernilai. Allah bersabda dalam QS Al Baqarah [2]: 282, “… bertakwalah, maka Allah mengajarimu …”.


• Al-Fadh Al-Azhiim
Ayat di bagian awal tadi menyatakan bahwa Allah-lah pemilik “Fadhilah yang Agung”. Rahmat yang ke dua ini dipesankan dalam berbagai ayat, ternasuk yang umum dibaca dalam berdo’a: “… dan anugerahi kami dari sisi-Mu, rahmah …” (QS Ali ‘Imran [3]: 8).


Demikian pula Nabi Musa a.s. direkam dalam Al Qur’an (QS Thaahaa [20]: 25 – 28) memohon agar dianugerahi penasehat (wazir) dari keluarga (ahli) beliau; yang Allah kabulkan dengan menjadikan Nabi saudaranya, Harun a.s. Nabi Musa a.s. yang bertugas dengan nasehat dari Nabi Harun a.s. mengerjakan urusan (‘amr)-nya: Inilah personifikasi dari diri sang penyandang amanat yang bekerja dengan nasehat dari Ruh al-Quds.


Ash-Shiddiqiin


Ash-shiddiqin merupakan jenjang berikutnya dari asy-syuhada. Perbedaan diantara keduanya terletak pada aspek pelaksanaan dharma. Orang yang sudah mengenal-diri (asy-syuhada), sebagaimana telah dikemukakan di atas, mulai mengenal amanat atau misi-hidup (swa-bhawa) yang harus dipikul dan dikerjakannya. Untuk menjalankan misi-hidup tersebut, kepadanya dibekalkan berbagai perangkat pendukung, misalnya, berupa nuur-ilmu, yang sesuai dengan misinya.


Seorang shiddiqin adalah syuhada yang telah mengerjakan misi-hidupnya (berdharma), dengan menggunakan perangkat-perangkat yang telah dianugerahkan kepadanya.


“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu ash-shiddiqiin dan asy-syuhadaa disisi Tuhannya. Bagi mereka ganjaran (ajran) dan cahaya mereka…”.
(QS Al-Hadiid [57]: 19).


Mereka yang tergolong shiddiqin dan syuhada itulah yang merupakan pengiring dan pembantu para Nabi. Mereka-lah orang-orang yang telah dianugerahi-Nya nikmat, mereka berada di atas Shirath al-Mustaqiim. Kepada mereka itulah semua yang bertaubat seyogyanya mencontoh. 


Gambar-1
Gambar-2


Kajian Al Qur’an-materi-ke 18

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Sekilas Mengenai Maqam dan Hal


Pendahuluan


Dengan menggunakan pemahaman dasar dari perbincangan-perbincangan sebelumnya, kini akan diperkenalkan mengenai dua istilah khas tashawuf yang mungkin paling banyak dikenal, yakni: maqam (jamak: maqamat), yang dalam Bahasa Ingris diterjemahkan degan station (s); serta hal (jamak: ahwal) yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan state (s).


Dengan menyadari adanya berbagai perbincangan mengenai maqam dan hal yang bervariasi penekanannya dari zaman ke zaman dalam pembahasan sebagian teks klasik tashawuf yang sempat diperiksa, ke dua istilah, dalam pemahaman kami saat ini, membicarakan tentang dua persoalan mendasar yang sangat berhubungan satu sama lain: maqam itu berkaitan dengan “’iman”, sedangkan hal itu berkitan dengan “taqwa.” Yang dimaksud dengan “’iman” disini adalah dalam pengertian “’iman ‘arifin” seperti yang dipaparkan Imam al-Ghazali. Sedangkan mengenai pengertian dari “taqwa” sendiri adalah sebagaimana dalam pengertian “Pohon Taqwa” yang telah dibahas sebelumnya.


Perbincangan selanjutnya akan banyak berasal dari rujukan yang disusun sendiri oleh PICTS yang mengasuh forum ini, baik yang telah dipublikasikan kepada umum, maupun yang masih menunggu saat yang tepat untuk kemudian juga disebar-luaskan.


Sekelumit Mengenai Maqamat


Pada pertemuan sebelumnya pernah disinggung salah satu landasan dari persoalan ini, yakni: “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum), dan sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf” (QS Ash Shaaffaat [37]: 164 – 165). Demikianlah Jibril a.s., sang penyampai wahyu, mengajarkan bahwa makhluk-makhluk kedudukannya (maqam, station) ma’aluum, ‘dalam pengetahuan’ dan teratur rapih bershaf-shaf, di hadapan Sang Pencipta.


Telah kita ketahui bahwa hakikat insan adalah jiwa (nafs)-nya, yang merupakan sasaran pendidikan Ilahiah. Jiwa ini telah menjelajah sekian alam sebelumnya, dan kini untuk sangat sementara tengah berada di alam ini. Selanjutnya jiwa kita semua akan segera berangkat ke alam berikutnya, yaitu alam barzakh. Ketika maqam insan dibicarakan, yang ditelaah adalah kedudukan dari jiwanya. Aspek jiwa inilah yang, sekali lagi, merupakan kekhususan dari manusia. Kekhususannya ini berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia, yang telah dibahas pada perbincangan awal, serta amanah yang diembannya (QS Al Azhab [33]: 72).


Sebagian dari rujukan qur’ani dari persoalan ini diringkaskan kembali di sini, untuk menjadi landasan dari persoalan yang tengah dibahas:


o Berbeda dengan yang selainnya, insan adalah makhluk yang diciptakan “… dengan ke dua-belah tangan-Ku …” (QS Shaad [38]: 75).


o “… Dan bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya …” (QS Az Zumar [39]: 67).


o “Allah-lah yang menjadikan tujuh langit dan demikian pula bumi …” (QS Ath Thalaaq [65]: 12.


o “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit ‘amr-Nya …” (QS Fushilat [41]: 12).


o “Dan di Bumi terdapat ayat-ayat bagi mereka yang yakin. Dan juga pada anfus-mu sendiri, tidakkah engkau perhatikan. Dan di lelangit terdapat rizkimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Rabb lelangit dan bumi sesungguhnya itu adalah al-Haqq seperti yang engkau ucapkan” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 20 – 23).


o Terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) Tuhan yang sedemikian pentingnya, yang diulang-ulang di segenap ciptaan, “… tujuh ayat yang diulang-ulang …” (QS Al-Hijr [15]: 87).


Sebagai ciptaan terakhir, yang menghimpun semua unsur segala ciptaan sebelumnya, maqam insan yang dimiliki oleh jiwa (nafs)-nya adalah kuantitas cahaya iman atau tingkat kesucian jiwa yang saat itu dimilikinya. ‘Tujuh ayat yang berulang’ diperlihatkan pula dalam pemeringkatan maqamat ini menjadi tujuh tingkat. Unsur yang bersifat ‘kebumian,’ yakni yang berasal dari ‘Tangan Kiri Tuhan’ diperingkatkan dalam tujuh tingkat berikut ini:


Tingkat I : Jiwa Hewaniah
Tingkat II : Jiwa Nabatiah
Tingkat III : Jiwa Material
Tingkat IV s/d VII : Jiwa Syaithaniah


Sedangkan unsur yang bersifat ‘kelangitan’, yakni yang berasal dari ‘Tangan Kanan Tuhan’, juga diperingkatkan menjadi tujuh langit berikut ini:


Langit IV s/d VII : Jiwa Rabbaniah
Langit III : Jiwa Rahmaniah
Langit II : Jiwa Ruhaniah
Langit I: Jiwa Jasmaniah


Setiap langit dibagi-bagi lagi menjadi 7 shaf, yang kemudian dibagi lebih rinci lagi menjadi 7 sub-shaf. Sehingga seorang insan yang maqam-nya dituliskan dengan notasi seperti ini: I. 7. 7. berarti ia saat itu berada di Langit Jiwa Jasmaniah (I), shaf ke 7, sub-shaf ke 7. Pembagian ke dalam rincian seperti ini tidak berlaku bagi Langit Rabbaniah, karena tidak ada penjelasan mengenai peringkat jiwa pada langit ini.


Jika kedudukan jiwa seseorang itu pada umumnya tersembunyi dari manusia lainnya, maka persoalan ini ditampilkan secara terinci pada makhluk-makhluk lainnya, baik yang bersifat ‘kebumian,’ seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, maupun yang bersifat ‘kelangitan,’ seperti para penghuni alam malakut. Seperti dibahas sebelumnya, jiwa manusia itu sebenarnya penghuni alam malakut. Kedudukan jiwa manusia itu bersifat potensial, artinya ia bisa melambung tinggi menempati posisinya yang seharusnya di alam malakut, ataupun terjatuh menjadi bersifat kebumian. Semua ini dalam diri manusia sifatnya menyeluruh (mujmal), sedangkan pada makhluk-makhluk lainnya ia bersifat terinci (mufashil), atau dengan kata lain makhluk-makhluk itu memiliki suatu kedudukan, ‘suatu maqam’ yang tetap.


Sekedar Ilustrasi untuk memudahkan pemahaman:
(Gambar 1)


Jika maqam seperti disebutkan di atas merupakan kuantitas cahaya iman, maka terangnya cahaya ini dapat diibaratkan dengan terangnya cahaya lampu (yang kita nyatakan dengan watt). Misalnya, kita ambil contoh bahwa Langit Jasmaniah shaf 1, atau Langit I. 1 = 5 watt, Langit I. 2 = 10 watt, Langit Ruhaniah shaf 3, Langit II. 3 = 25 watt, Langit Rahmaniah shaf 5, Langit III. 5 = 50 watt, dan seterusnya; singkat kata semakin tinggi maqam seseorang semakin terang cahaya imannya. Dengan pengandaian seperti itu, maka dapat kita gambarkan skema mengenai maqamat itu seperti pada ilustrasi yang dilampirkan.


Sewaktu jiwa seseorang lahir ke alam dunia ini, maka ia memiliki suatu Maqam Awal, sebagai modal dasarnya. Kedudukannya adalah pada Langit Jasmaniah shaf 7, dan sub-shaf 7 (Langit I. 7. 7), suatu kedudukan yang disebut Bulan Purnama. Bagi umumnya manusia kedudukan ini biasanya menurun, sehingga cahayanya semakin meredup. Penurunan atau pemburaman ini berkaitan dengan apa yang disebut dosa, seperti yang telah kita bahas sebelumnya dikarenakan oleh dua sebab pokok:


1) Cinta dunia, syahwat (QS ‘Ali Imran [3]: 14).
2) Mempertuhankan hawa-nafsu (QS Al Furqaan [25]: 43 – 44, Al Jatsiyah [45]: 23).


Kembalinya meningkatnya kedudukan seseorang, seiring dengan kembali terangnya cahaya iman hanya dapat berlangsung dengan proses taubat. Jika kemudian ia berhasil kembali mencapai kedudukan Langit I. 7. 7, maka barulah ia suci seperti bayi yang baru dilahirkan, atau dikatakan ia memperoleh Rahmat Pertama (QS Al Hadiid [57]: 28). Umumnya fluktuasi, naik – turunnya maqamat seseorang, berlangsung dengan sangat cepat.


Sedari semula setiap manusia memiliki Maqam Puncak, yaitu kedudukan tertinggi yang mungkin dapat dicapai oleh jiwanya. Ini berhubungan dengan daya pikul beban tugas yang dapat ditanggungnya, berkaitan dengan amanah (QS Al Ahzab [33]: 72) yang telah dipersaksikannya. Jadi tinggi rendahnya Maqam Puncak berkaitan dengan kebutuhan untuk melaksanakan amanah seseorang, dan tidak menunjukkan kemuliaannya; yang terakhir ini bergantung kepada taqwa-nya (QS Al Hujuraat [49]: 13).


Sekelumit Mengenai Ahwal


Sebenarnya perbincangan mengenai maqam dan hal selalu sulit dilakukan diluar pengalaman dan penghayatan di jalan pertaubatan (suluk). Hal berkaitan dengan taqwa—sesuatu yang tersembunyi di qalb, dan hanya tampak pada tiga jenis buahnya: ilmu, amal, dan akhlak. Selain itu, ia juga dapat timbul sehubungan dengan fungsi seseorang dalam jama’ah kaum beriman (jadi belum karena taqwa-nya). Karena itu lingkup ahwal ini luas sekali, sangat spesifik, dan sangat personal.


Secara sederhananya, hal ini berkaitan dengan berfungsinya instrumen-instrumen jiwa seseorang sebagai hasil dari taubatnya. (Kembali) bekerjanya instrumen-instrumen itu adalah agar instrumen-instrumen tersebut dapat digunakan sebagai perangkat bagi sang pejalan agar semakin tekun bertaubat, dalam rangka menemukan dan mengerjakan amal-shaleh sesuai dengan orbit dirinya. Gradasi kinerja berbagai ahwal diantara sesama mereka yang bertaubat sangatlah beragam kualitasnya. Kinerja puncak dari perangkat-perangkat jiwa seorang abdi yang telah Allah cintai itulah yang disinggung dalam Hadits Qudsi mengenai amal fardhu dan nawafil yang terkenal itu: “… Apabila Aku telah cinta kepadanya, Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan, tangannya yang dengan itu ia pergunakan, lisannya yang dengan itu ia bertutur-kata, dan qalb-nya yang dengan itu ia ber-‘aql. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan doa-nya.”


Gambar

Kajian Al Qur’an-materi-ke 19

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 



Keutamaan Penciptaan Manusia





Pendahuluan



Kita mulai dengan mendaftarkan berikut ini topik-topik yang telah dikaji sebelumnya, yang paling dekat kaitannya dengan pembahasan kali ini:



• Manusia sebagai ciptaan terakhir, yang diciptakan dengan ke dua belah tangan-Nya’.

• Pembahasan asma-asma Allah, ar-Rahman dan ar-Rahiim, dalam pembicaraan tentang makna Al-Fathihah.

• Hadits tentang Khasanah Tersembunyi (kanzhun makhfiy).

• Keutamaan manusia dalam mengetahui (‘alama) dan mengenali (‘arafa) akan Tuhan, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan (af’al)-Nya.

• Satu tugas atau misi-hidup bagi setiap manusia di alam dunia ini.



Kali ini kita akan ditambahkan beberapa butir pembahasan di seputar tujuan penciptaan manusia, dan pentingnya prinsip bahwa manusia itu diciptakan dalam citra ar-Rahman.



Tentang Citra (Shurah) ar-Rahman



Dalam sebuah hadits terkenal dikatakan bahwa “insan itu diciptakan dalam shurah (citra) ar-Rahman.” Versi lain menyebutkan dalam “citra (shurah) Allah.” Pada dasarnya pewartaan ini memberikan panduan kepada manusia tentang bagaimana cara terbaik agar Allah berkenan menarik manusia kepada-Nya. Sebuah panduan paling dasar untuk kembali secara ikhtiyari.



Kita sudah mengetahui bahwa asma “Allah” merupakan asma yang menghimpun seluruh asma-asma lainnya. Kita juga sudah mengetahui bahwa secara teologis asma-asma itu dapatlah dibagi menjadi dua kelompok: [1] Yang mendeklarasikan bahwa Tuhan itu ‘tanzih’ atau agung—dengan suatu perspektif yang memperlihatkan bahwa Tuhan itu ‘incomparable’ dari makhluk-makhluk-Nya; dan [2] Yang mendeklarasikan bahwa Tuhan itu ‘tasybih’ atau indah—dengan syatu perspektif yang memperlihatkan Tuhan memiliki ‘similarity’ dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan mengetahui sifat khusus dari asma “Allah” tadi, dan bahwa manusia merupakan satu-satunya yang diciptakan dengan ke dua belah tangan-Nya, maka dapatlah kita mulai meraba maksud dari ucapan para Sufi besar, seperti misalnya Abu Sa’id al-Kharraz, yang secara terus-menerus mengingatkan bahwa tawhid sejati, pengetahuan yang haqq tentang Tuhan dan makhluk hanya dapat diperolah dengan memadukan ke dua perspektif yang berlawanan ini.



Sufi besar lainnya, Ibnu al-'Arabi, mendefinisikan tasahwuf dengan ‘Berakhlak dengan akhlak Allah’ (takhalluq bi akhlaq Allah). Akhlak utama Allah itulah yang diwartakan-Nya kepada kita ciptaan (‘khuluq,’ satu akar kata dengan istilah ‘akhlaq’)-Nya dalam ayat: ar-Rahman ar-Rahiim. Hadits di atas memperlihatkan akhlak seperti apa yang mesti menghias qalb seseorang.



Dengan sangat elegan, Allah menghimbau kepada makhluk-makhluk-Nya agar berjuang menghiasi diri masing-masing dengan karakteristik-karakteristik yang bersifat rahmaniah. Surat ke 55 dari Al-Qur'an dinamai Ar-Rahman.



Dicantumkan berikut ini beberapa ayat dimana Allah secara langsung menisbatkan aspek ‘rahman’ ini kepada-Nya, sebagai tambahan bahan tafakur kita:



“… telah menetapkan Tuhanmu, atas diri-Nya, ar-rahmat …”

(QS Al An’aam [6]: 54).



Secara halus ini menunjukkan: jika Tuhan saja menetapkan atas Dirinya, rahmat; maka bagaimanakah seharusnya sikap makhluk-Nya …?



“… Rabbana, terliput segala sesuatu dalam ilmu-Mu dan rahmat-Mu, maka ampunilah mereka yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari adzab al-jahannam.”

(Qs Al Mu’min [40]: 7).



ar-Rahman dan al-‘ilm merupakan dua saja asma yang bersifat maha-meliputi segala sesuatu.



“Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Apa pun seruanmu, Dia-lah yang memiliki al-asma al-husna …”

(Qs Al israa’ [17]: 110).



“Dan demi Allah (lillah), al-asma al-husna, maka bermohonlah dengannya…”

(QS Al A’raaf [7]: 180).



Dua ayat di atas menunjukkan bagaimana seyogyanya seruan atau do’a kepada Tuhan itu dilakukan—yakni dengan menghiaskan asma tersebut kepada qalb.

“… Adzab-Ku akan Kutimpakan kepada yang Ku-kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Kutetapkan rahmat-Ku kepada mereka yang bertakwa dan menunaikan az-zakata dan mereka yang beriman dengan ayat-ayat Kami. (Yaitu) mereka yang mengikuti ar-Rasul an-Nabi al-Ummi, yang mereka dapatkan tertulis dalam Taurat dan dalam Injil di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan bi’l ma’ruf dan melarang dari al-munkar, yang menghiaskan kepada mereka ath-thayyibah yang mengharamkan dari mereka yang buruk-buruk (al-khaba’its), dan membuang dari mereka beban-beban mereka dan belengu-belengu yang ada pada mereka. Maka mereka yang beriman dengannya, dan memuliakannya, dan menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-Muflihuun).

(QS Al ‘raaf [7]: 156 – 157.



“Sesungguhnya Aku-lah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku. Rahmat-Ku mendahului murka (ghadhab)-Ku. Barangsiapa bersaksi (syahida) bahwa tiada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu abdi-Ku dan rasul-Ku, maka baginya al-Jannah.”

(HQR ad-Dailami dari Ibnu Abbas r.a.)



Terlihat bahwa rahmat meliputi segala sesuatu, sedangkan adzab adalah sesuatu yang sangat khusus dan merupakan cabang dari rahmat. Rincian di atas menerangkan panduan pelaksanaan ketakwaan dan pensucian.



“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas anfus-mu, janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosamu, semuanya. Sesungguhnya Dia al-Ghafur ar-Rahiim.”

(QS Az-Zumar [39]: 53).



Yang mesti dibaca bersama dengan ayat ini:



“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni yang menyekutukan-Nya. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar.”

(QS An Nisaa’ [4]: 48)





Allah, Ar-Rahman, memudahkan semua yang berupaya menghadapkan wajah kepada-Nya, dengan menyandingkan secara kontras pewartaan-pewartaan di atas dengan peringatan-peringatan tentang akhlak-akhlak buruk yang mesti dimintakan pensuciannya kepada Dia Yang Maha Pengampun:



“Keperkasaan (al-Izzu) itu kain-Ku, keagungan (al-Kibr) itu selendang-Ku. Barangsiapa berusaha sedikit saja menyamai-Ku maka baginya azhab.”

(HQR Muslim dari Abu Sa’id, Samuwaih dari Abu Sa’id, Thabarani dari ‘Ali r.a.)



Tujuan Penciptaan Manusia



Jika kita sekarang menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka di seputar masalah penciptaan manusia dapatlah disarikan sebagai berikut:



• Menjadi Saksi Allah (asy-syuhada): sebagaimana yang telah disaksikan di alam alastu (QS Al-A’raaf [7]:172) yang berkaitan dengan amanah bagi setiap orang. Dicapainya tahapan “penyaksian” ini merupakan kunci bagi dicapainya tujuan-tujuan penciptaan manusia yang merupakan suatu kesatuan dengan dipenuhinya perjanjian tersebut, “dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu” (QS Al Baqarah [2]: 40).



• Menjadi abdi Allah (‘abd): sebagaimana difirmankan dalam ayat ini, “Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar menyembah-Ku semata” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 56). Sahabat Ibn ‘Abbas r.a. menjelaskan bahwa kata-kata “liya’budun,” agar menyembah-[Ku], berarti “li-ya’rifûn,” agar mengenal[-Ku]. Jadi, disini diperlihatkan bahwa ‘penghambaan’ itu memerlukan ‘pengenalan.’



• Menjadi wakil Allah (khalifah): Inilah persoalan awal diturunkannya manusia ke bumi, yang dalam penciptaan Adam a.s. membuat para malaikat bertanya (QS Al Baqarah [2]: 30 – 37.



“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah fil-ardh. Maka berilah keputusan kepada mereka dengan adil; dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shaad [38]: 26).



Tidaklah mungkin merealisasikan peran sebagai khalifah di bumi tanpa terlebih dahulu menjadi seorang hamba, yang terakhir ini mensyaratkan pemenuhan persaksian. ‘Adil’ erat kaitannya dengan ‘takwa.’



“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu jadi orang-orang yang tegak karena Allah dan syuhada kepada al-qisti. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Maidah[5]: 8).



Sedangkan mengenai pengertian dari “mengikuti hawa-nafsu,” antara lain, dikemukakan oleh Ibnu al-'Arabi: “segala sesuatu yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah berarti mengikuti hawa-nafsu”.



• Pemakmur bumi: Sebagaimana difirmankan dalam ayat ini, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (ardh) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud [11]: 61). Dengan mengingat hakikat insan adalah jiwanya, maka nafs itu diturunkan kepada raganya—yang merupakan bumi pertamanya, lalu ke duanya diturunkan ke bumi tanah-airnya. Pemakmuran ini mempersyaratkan pelakunya adalah seorang ash-shalihin, karena, “… sesungguhnya al-ardh itu diwarisi oleh hamba-hamba-Ku (‘abd) ash-shalihin” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Karena, sebagaimana sebagaimana diperingatkan Al-Qur'an: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah membuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Ingatlah sesunguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah [2]: 11 – 12; periksa pula Al- Baqarah [2]: 27, tentang pelanggaran janji.



Mengemban Amanah Itu Dimulai dari Berjuang Menghadapi Kezhaliman dan Kebodohan



“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesunguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.

QS. Al-Ahzab [33]: 72.



Dari sekian pembahasan kita tentang kata-kata kunci Al-Qur'an, jelaslah bahwa amanat ini dialamatkan kepada qalb, karena ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang Mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram’; yang merupakan perangkat yang serba meliputi dan bukannya perangkat-perangkat yang lain, seperti: langit (jiwa, nafs), bumi (jasad), atau gunung-gunung (nalar rasional). Hanya pada qalb-lah berlangsung pertemuan ke tiga alam dari aspek-aspek insan: alam nasut, malakut,dan jabarut. Terlihatlah bahwa amanat itu dapat mulai dipikul dengan bekerjanya ke tiga aspek tersebut secara lengkap pada diri sang insan.



Demikianlah para Sufi menekankan bahwa yang pertama-tama harus terbuka—sebelum pengetahuan sejati dapat dimengerti—adalah qalb.



Ayat tersebut menunjukkan pula dua hal pokok yang mesti dihadapi setiap individu dalam perjalanannya memenuhi perjanjian primordialnya di alam alastu persoalan kebodohan (jahl), dan kezhaliman diri. Kebodohan itu lawannya adalah berilmu. Khusnya di dalam tashawuf yang sedang dibahas ini, istilah berilmu atau mempunyai ilmu (‘ilm) inilah yang sebenarnya merupakan terjemahan yang tepat bagi kata ‘ulama. Kita sudah pernah membahas di seputar aspek ilmu ini, dan bagaimana Allah al-‘Alim mengajari hamba-hamba-Nya yang bertakwa:



“Sesungguhnya (kitab) itu adalah ayat-ayat yang nyata di dada orang-orang yang diberi ilmu (u’tuul ‘ilmi). Dan tidaklah mengingkari dengan ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”

(QS Al ‘Ankabuut [29]: 49).



“… Dan diangkat Allah mereka yang beriman diantaramu dan mereka yang ‘utul ‘ilma beberapa derajat …”

(QS Al Mujaadilah [58]: 11).



“… Sesungguhnya yang yakhsyallahu diantara hamba-hamba-Nya hanyalah al-‘ulama …”

(QS Faathir [35]: 28)



“… bertakwalah kepada Allah, Allah akan membuatmu ‘alim (wattaqullah wa yu’alllimukumullahu) …”

(QS Al Baqarah [2]: 282)



“… dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”

(QS Al Hujuraat [49]: 11) 

Kajian Al Qur’an-materi-ke 20

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 


Keberserah-dirian


Pendahuluan


Keberserah-dirian adalah suatu prinsip yang paling mudah disebut, tetapi paling sulit disampaikan. Ia bukanlah sebuah pengertian yang dapat kita ambil dari orang lain, melainkan sesuatu yang harus dicari sendiri oleh setiap orang. Kitab-kitab suci memandu pembacanya dengan membentangkan contoh-contoh keberserah-dirian dari mereka yang dididik Allah. Para nabi dan orang-orang suci yang merupakan teladan bagi manusia itu—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.


Terdapat kaitan yang sangat erat antara istilah-istilah kunci dalam ayat ini:
“Dan siapakah yang lebih baik diin-nya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan ia seorang muhsinun dan mengikuti milah Ibrahim yang hanif, dan Allah telah mengambil Ibrahim sebagai khalil-Nya.”
(QS An Nisaa’ [4]: 125).


Sebagaimana dibahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, berserah-diri itu adalah bekerja-keras menemukan kehendak-Nya, dan kemudian mengalir (bertasbih) dalam kehendak-Nya. Berserah-diri adalah sendi agama. Ia adalah prinsip dasar yang di atasnya segala sesuatu yang lain ditegakkan. ‘Berserah-diri’ merupakan makna yang dicoba disampaikan dengan berbagai istilah penting, antara lain: aslama (dari akar ini istilah yang dipilih untuk menjadi nama agama yang diridhai, Al-Islam, berasal), sabaha (dari sini kita mendapatkan kata tasbih), na’budu (mengabdi), sujada (akar kata sujud). Istilah-istilah ini bertebaran di seantero Al-Qur’an. Kiprah berbagai nabi dan rasul memperlihatkan keberserahdirian mereka dalam jalan pendidikan Allah kepada diri mereka masing-masing. Keberserah-dirian adalah istilah dari ‘state’ yang dipilih Allah untuk nama agama-Nya. Setiap nabi—yang semuanya ber-ma’mum kepada Rasulullah Muhammad s.a.w.—membawakan tema keberserah-dirian sesuai dengan perintah Allah yang mereka terima. Inilah ‘nafas’ dari setiap syariah yang mereka bawakan. Baru pada fase kenabian Muhammad s.a.w. itulah tema-dasar dari semua kenabian sebelumnya itu diangkat menjadi nama dari agama (ad-Diin). Tiada tempat bagi kita untuk tidak berserah-diri, karena semua makhluk ciptaan yang lainnya—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.


Berserah-diri ... Sedari Awalnya


Semua makhluk adalah ciptaan, yang tidak pernah jeda bergantung dan membutuhkan Sang Pencipta. Sejak awalnya, yang diminta dari semua makhluk adalah keberserah-dirian kepada-Nya. Demikianlah, menurut sebuah Hadits Qudsi, yang pertama-tama tertulis di al-Lawh al-Mahfudz adalah Sabda Ilahi berikut ini:
“Bismillahir rahmanir rahiim. Barangsiapa yang taslama kepada qadha-Ku dan ridha dengan pengaturan (hukm)-Ku, dan sabar atas ujian (bala’)-Ku, niscaya Aku bangkitkan ia pada hari kiamat (al-yaum al-qiyamah) bersama para ash-shiddiqiin.”
(HQR Dailami dari Ibnu Abbas r.a.).


Banyak sekali ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa keberserah-dirian merupakan sikap dasar dari semua ciptaan di lelangit dan bumi.
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia bersabda kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kalian dengan suka-hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘kami datang dengan suka-hati.’”
(QS Fushshilat [41]: 11)


“Maka apakah mereka mencari selain diin Allah, padahal berserah-diri (aslama) segala sesuatu di lelangit dan bumi dengan suka-hati ataupun terpaksa, dan kepada Allahlah mereka dikembalikan.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 83).


Diajarkan Semua Nabi


Kepada nenek-moyang kita semua diturunkan firman ini:


“Allah bersabda: ‘Turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS Thaahaa [20]: 123).


Persoalan dasar bagi setiap jiwa adalah: apakah alam yang disini dan kini akan menjadi alam-dunia yang akan membuatnya terjebak dan menganggap bahwa disini dan kini itu merupakan keseluruhan perjalanannya; ataukah akan menjadi ‘mahdan’ suatu tempat petunjuk yang memang perlu dicari dan dikumpulkannya demi kemaslahatan jiwanya di alam-alam berikutnya. Kita telah mengetahui bahwa raga itu memang diciptakan dari unsur-unsur bumi, karenanya ia mencintai segala sesuatu dari alam ini, dan menganggap bahwa di sini dan kini adalah keseluruhan alam yang diperlukannya. Di dalam diri seseorang, hal ini berhadapan dengan kecenderungan jiwa yang menganggap bahwa semua yang dilakoninya di bumi ini merupakan tahap yang diperlukannya untuk mengumpulkan bekal dalam keseluruhan perjalanannya. Yang pertama-tama teramat penting baginya dalam fase kehidupan di Bumi ini adalah pemenuhan perjanjian primordial dengan Tuhannya. Amanah yang telah disepakatinya dalam perjanjian di alam alastu itulah yang merupakan perhatian utamanya, sedangkan semua yang lain merupakan penunjang yang mendukung pelaksanaan amanah tersebut. Karenanya, tidak ada satu hal pun yang dialaminya yang dianggapnya sebagai suatu kebetulan belaka. Baginya, Bumi ini tidaklah lain dari suatu mahdan: arena tempat Tuhan menaruh berbagai petunjuk yang dibutuhkannya untuk memenuhi perjanjian tersebut.


Untuk melepaskan diri dari hanya sekedar memperturutkan kemauan ragawinya itulah maka setiap orang memerlukan ‘petunjuk’ bagi kemaslahatan jiwa-nya. Sewaktu seseorang berupaya patuh pada petenjuk yang memandu kepada kemaslahatan jiwanya, maka ia memerlukan jasa dari raganya. Tetapi raga di sini tidak lagi ditempatkannya sebagai ‘tuan besar’ yang harus dituruti semua kemauannya, akan tetapi akan ditempatkannya sebagai ‘tunggangan’ yang digembalakannya, dan dikendarainya kesana kemari sesuai keperluannya. Dan petunjuk itu membutuhkan kelapangan dada untuk berserah-diri. Antara lain, itulah signifikannya pelajaran dari hadits Rasulullah s.a.w. ini:


Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya,
niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”


Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”


‘Mati sebelum mati’ itulah yang dicari oleh mereka yang taubatnya sejati. Tentu saja artinya bukan bunuh-diri ragawi, melainkan suatu keadaan ideal dimana yang dikerjakan itu sepenuhnya merupakan petunjuk-Nya—penyerahan wajah sang hamba sepenuhnya kepada Sang Pencipta—bukan sesuatu yang berasal dari keinginannya sendiri. Barulah dikatakan seorang pencari itu menjadi ‘sufi’ jika ia telah sampai pada keadaan itu. Oleh karena itu, jelaslah panduan bagi semua orang yang mencari Allah adalah pelajaran Allah sendiri kepada para nabi: mereka itulah yang merupakan panutan dalam keberserah-dirian.


‘Dibukanya-dada’ untuk berserah-diri itulah yang akan membawa kepada pelimpahan cahaya dari Tuhan, yang tanpa cahaya itu manusia akan tersesat dalam kegelapannya sendiri.
“Maka apakah yang dibukakan Allah dadanya kepada keberserah-dirian lalu ia mendapatkan cahaya dari Rabb-nya ...”
(QS Az Zumar [39]: 22).


“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu ia berjalan diantara manusia serupa dengan yang dalam kegelapan yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya. Demikianlah al-kafirin memandang-baik apa yang mereka kerjakan.”
(QS Al An’aam [6]: 122).
Pendidikan Allah yang senada dengan hadits di atas juga disampaikan dalam awal risalah Nabi Ibrahim a.s. dalam persoalan pencarian Tuhan semesta alam yang harus dicari petunjuk-Nya, diantara belantara himbauan makhuk-makhluk lain:


“Maka kemanakah kalian akan pergi?”
“Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, kiranya Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Ibrahim, khalilullah a.s. sang Bapak bangsa-bangsa (abra arham) meneladankan dalam risalahnya pencarian akan Allah yang konsisten dalam keberserah-dirian. Tauhid sejati yang diamalkannya hanya mengenal satu obyektif dan satu sumber panduan saja: Allah, Sang Pencipta sendiri.


Bagi para nabi, tidaklah ada perbedaan diantara mereka, semuanya saja menyerukan keberserah-dirian dengan meneladakannya kepada umat mereka masing-masing.


“Katakanlah kami beriman billah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, dan Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan para nabi dari Tuhan mereka, tidaklah Kami membedak-bedakan seorang pun diantara mereka. Dan kepada-Nya lah kami berserah-diri.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 84).


Ad-Diin, Al-Islam


Simbol yang dipergunakan di alam jiwa bagi agama (ad-diin) adalah (buhul) tali yang terulur dari langit untuk berpegangannya jiwa kepadanya. Tali yang sangat halus ini mensyaratkan keberserahan-diri agar dapat terpegang. Tanpa kehalusan itu, manusia cenderung lebih memilih genggaman yang lebih ‘kuat-teraba’ dan ‘pasti.’
“Dan barangsiapa menyerahkan (yuslimu) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang kokoh.”
(QS Luqman [31]: 22).


Keseluruhan aspek diri seseorang, itulah yang diwakili oleh ‘wajah.’ Inilah yang dihimbau untuk diserahkan—seluruhnya—demi kebaikannya sendiri:
“Demikianlah, barangsiapa menyerahkan (aslama) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), maka ia memiliki ganjaran (ajran) di sisi Rabb-nya.”
(QS Al Baqarah [2]: 112)


Dan kita bisa merenungkan kembali ayat berikut ini, tentang lebah (an-nahl) yang merupakan simbol dari suatu kaum—yang melayang dalam perjalanannya di bumi ini:
“Dan Rabb-mu mewahyukan kepada seekor lebah (an-nahli): buatlah dari gunung (al-jibal) sarang-sarang, dan dari pohon (asy-syajari), dan dari apa-apa yang meng-‘arsy (ya’risyun).”
(An-Nahl [16]: 68).


Keberserah-dirian secara paripurna, itulah agama (ad-ddin):
“Barangsiapa mencari selain al-islam sebagai diin-nya, maka sekali-kali tidaklah itu dikabulkan darinya. Dan ia pada hari akhirat termasuk golongan yang merugi.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 85).


Tidak Ada Tempat bagi Ciptaan yang Tidak Berserah-diri


Tanpa keberserah-dirian itu, maka suatu ciptaan menjadi ‘asing’ diantara ciptaan-ciptaan lainnya. Dan posisinya menjadi tidak jelas: ia makhluk yang keberadaannya senantiasa bergantung kepada yang mengadakannya, tetapi kepada yang mengadakannya itu ia tidak mau berserah-diri. Sementara itu lelangit, bumi dan semua makhluk lainnya berserah-diri. Ini bertebaran dalam banyak sekali ayat yang menyatakan mereka itu bertasbih, bersujud, mengabdi, dan dengan istilah-istilah searti lainnya.


Allah memperingatkan dalam sebuah Hadist Qudsi berikut ini, yang mendeskripsikan pokok-pokok persoalan keberserah-dirian, dan juga dengan sangat keras menyatakan bahwa tiada tempat dalam ciptaan bagi makhluk yang tidak berserah-diri:
“Barangsiapa tidak ridha dengan qadha-Ku, dan tidak bersabar atas ujian (bala’)-Ku, tidak bersyukur atas ni’mat-Ku, dan tidak mau menerima apa yang Aku berikan, maka sembahlah Tuhan selain Aku.”




Note:Alhamdulillah wa Syukrulillah,
materi pengantar kajian Al Qur’an dari program Serambi Suluk - Yayasan Islam Paramartha, telah selesai kami upload di Notes FB kami.
Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing kami yang telah memberi izin utk memuatnya di Notes kami,
Semoga bermanfa'at bagi yang membacanya dan semoga Allah SWT berkenan utk membimbing kita bersama dalam memahami alur perjalanan menuju-Nya, aamiin


Subhaanakallaahumma wa bihamdika. Asyhadu an-laa ilaaha illaa Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.
(“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan segala pujian bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun kepadaMu dan aku bertaubat kepadaMu.” )


was-salaamu 'alaikum wr wb

3 komentar:

  1. Selamat Datang Saudara-Saudari-ku, Diblogku ini semoga Anda merasa puas dan merasa suka serta mendapatkan manpaatnya juga Mendapatkan Keridhaan Dari Pada-Nya Aamiin...Ttd...Nurassajati Purnama Alam. Dan Semua ini aku persemabahkan buat kalian namun jangan lupa ucapkan Salam persatuan Islam. Karena hal itu merupakan Do'a keselamatan bagi kita semua.Aamiin...Ya Robbal Alamin.Wassalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. WATAWAA SHOWBIL HAQQI, WATAWAA SHOWBISHSHOBRI.
      WATAWAA SHOWBISHSHOBRI, WATAWAA SHOWBIL MARHAMAH.
      SAlam Ukhuwah

      Hapus
  2. Alhamdulillaah, tentara Allah semakin kuat.

    BalasHapus