Kajian Al Qur’an-materi-ke 1
oleh Sabari Muhammad Dan Nurassajati Purnama Alam
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
As-salaamu 'alaikum wr wb,
Terima kasih banyak kepada Kang Zamzam A J Tanuwijaya yang telah memberikan izin kepada kami untuk meng-upload pengetahuan yang sangat bermanfa'at bagi ummat di Notes FB dan Blog kami.
Notes2 ini adalah hasil dari mengikuti Kajian Al Qur'an di Yayasan Islam Paramartha yang pernah kami ikuti di Bintaro,
Semoga Bermanfa'at,
was-salaamu 'alaikum wr wb
A-'uudzubillaahis-samii-il 'aliim minasy-syaithaani-r-rajiim,
Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim,
Alhamdulillaahi-r-Rabbil 'aalamiin,
Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad,
Subhaanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa 'atuubu 'ilaik,
Sebuah Pengantar tentang Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Tinjauan Umum
1. Acuan pengajian ini
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadits
c. Karya para waliyullah, karena tertunjuki-Nya beliau-beliau oleh Allah Ta’ala sehingga akurasinya tidak diragukan dan bukan spekulasi rasio belaka
2. Tema Pengajian: Tashawwuf dalam Al-Qur’an
a. Perjalanan menuju-Nya membutuhkan kedewasaan dan kesungguhan
b. Al-Qur’an sebagai peta perjalanan transformasi diri hamba untuk kembali menuju Tuhannya
c. Mendasarkan pengabdian dan perjalanan pada Al-Qur’an
d. Al-Qur’an menuntun perjalanan agar hamba tidak salah dalam mencari Tuhan. Boleh jadi malah mempertuhankan selain-Nya, entah itu jabatan, kekayaan, keluarga, harga diri, atau ketakutan yang dipertuhankan.
3. Puncak permohonan menuju Tuhan: Ihdina-sh-shirath al-mustaqim
a. Amat penting memahami doa yang kita panjatkan setiap hari
b. Rabb ada di atas shirath al-mustaqim. Mencari Rabb melalui pencarian akan shirath al-mustaqim. Pengetahuan tentang shirath al-mustaqim akan membantu dalam meniti perjalanan
c. Menuju Allah Ta’ala hanyalah dengan “pengabdian”. “Mengabdi” menurut Abu Yazid Al-Bisthami adalah
Sabar dalam ujian-Nya
Syukur dengan ni’mat-Nya
Ridha dengan segala ketetapan-Nya
4. Mengenal struktur pesan-Nya dalam Al-Qur’an melalui konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin
a. Al-Fatihah sering disebut sebagai ummul-kitab (induk kitab)
b. Konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin paralel dengan konsep keturunan yang mana variasi karakter anak-anak yang dilahirkan menjelaskan orang tuanya.
c. Berbagai konsep dalam Al-Fatihah (sebagai ummul-kitab) seperti bismillahirrahmanirrahim, pengabdian, shirath al-mustaqim, dan sebagainya dirinci dalam surat-surat lainnya (sebagai kitabul-mubin atau kitab penjelas/pemerinci). Bismillahirrahmanirrahim sebagai ummul-kitab dalam Al-Fatihah dijelaskan oleh keenam ayat lainnya sebagai kitabul-mubin.
d. Dengan konsep ini maka seluruh kata dan huruf dan Al-Qur’an saling mengunci dan melengkapi (komplementer), tidak mungkin ditambah dan dikurangi
5. Mempraktekkan konsep ketertautan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mencari shirath al-mustaqim (SM)
a. SM adalah jalan di mana Rabb ada di atasnya (QS 11:56).
b. SM setara dengan agama (ad-diin) (QS 6: 161).
c. Agar ditunjuki ke SM maka harus berjuang mengalahkan hawa nafsu dan syahwat (QS 4: 66)
d. SM merupakan jalan orang-orang yang diberi ni’mat (QS 1: 7)
e. Siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya akan disertakan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang yang berada di SM) (QS 4:69)
Pendahuluan
Beberapa catatan dalam pengajian ini:
- Pelayanan pengajian ini tidak mengikat dan memungut biaya bagi para peserta
- Meskipun demikian diharapkan kehadirannya secara sinambung
- Diharapkan terjadi dialog dan diskusi di dalam forum
Selain mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, pengajian ini mengacu pada karya-karya orang suci seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Beberapa buku beliau-beliau sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti:
1. Al-Ghazali:
o Misykat Cahaya-cahaya (Al-Misykatul Anwar)
o Keajaiban Hati (‘Ajaib-ul-Qulub)
o Asma-ul-Husna
o Ihya ‘Ulumuddin (terjemahan Prof Isma’il Yakub)
o Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi (Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatus Salikin)
2. Ibnu al-‘Arabi:
o Pohon Kejadian (Syajaratul Kaun)
o Pohon Semesta
o Hakikat Lafadz Allah (Kalimatullah Kitab Al-Jalalah)
o Sufi-sufi Andalusia (Ruh-Al-Quds fi Munashahat-an-Nafs [Ruh Al-Quds sebagai penasihat jiwa] & Ad-Durrat-ul-Fakhirah)
3. Maulana Jalaluddin Rumi:
o Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya
o Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi (Reynold A. Nicholson)
Insan-insan tersebut di atas merupakan waliyullah oleh karena itu menjadi rujukan utama pengajian ini. Karena apapun yang dikerjakan para waliyullah akan tertunjuki sehingga tingkat akurasinya tak diragukan lagi. Beberapa kalangan memandang aneh terhadap karya dan tradisi tashawwuf para wali yang beberapanya disebut di atas.Selain itu masing-masing waliyullah mengurai khazanah yang seolah-olah berbeda jauh bahkan bertolak belakang.
Misalnya di dunia barat dikenal pembedaan antara path of knowledge (jalan/thariqah pengetahuan)—yang umumnya disandarkan pada Ibnu al-‘Arabi, dan path of love (jalan/thariqah cinta)—yang umumnya disandarkan pada Rumi. Bagi orang-orang yang menyenangi sajak-sajak bercita rasa tinggi mungkin sajak-sajak Maulana Rumi terasa lebih cocok untuk mengisi kekosongan hati. Sedangkan bagi orang-orang yang menyukai paparan yang falsafi (bercorak filsafat) sering kali memilih Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi.
Pada dasarnya bagi seorang pencari/pejalan pembedaan tersebut tidak berlaku karena kedua-duanya hadir secara bersamaan: cinta kepada Allah Ta’ala dan pengetahuan tentang kebenaran itu menyatu. Hanya mungkin Maulana Rumi dalam guratan kisah hidupnya banyak menghadirkan fenomena ‘mabuk’ karena cinta kepada Allah sedangkan Ibnu ‘Arabi banyak banyak menghadirkan karya pemikiran yang seolah merupakan pengetahuan yang ‘rumit’. Kedua jalan tersebut sebenarnya sama saja, bagai pisau bermata dua yang kedua matanya sama tajamnya.
Demikian pula, para pengamat melabeli Al-Ghazali dengan istilah tashawuf amaliah, artinya menekankan amalan-amalan sunah sebagai cara berjalan—yang ditentang-hadapkan dengan jalan bercorak cinta Maulana Rumi atau bercorak filsafatnya Ibnu al-‘Arabi. Tetapi, jika kita membandingkan buku-buku karya ke duanya, seperti “Pohon Kejadian” (Ibnu al-‘Arabi) dan “Misykat Cahaya-cahaya” (Al-Ghazali), maka akan kita dapati keserupaan: dimana buku pertama berbicara tentang ‘pohon semesta’ yang berfokus pada manusia paripurna atau insan kamil sebagai qalb semesta sedangkan ‘misykat cahaya-cahaya’ mengkaji rinci tentang struktur insan. Kedua buku tersebut pada dasarnya adalah identik.
Dalam menghayati sajak-sajak Maulana Rumi yang seolah sederhana pun jika tidak dipahami struktur permasalahannya maka masing-masingnya seakan tak berhubungan. Jika struktur permasalahannya terpahami maka sahabat-sahabat akan merasakan kekuatan sajak-sajak beliau. Oleh karena itu banyak buku para waliyullah yang terjemahannya cukup buruk karena sang penerjemah terseok-seok dalam menangkap aspirasi teks tersebut terutama kalau sang penerjemah bukan seorang pejalan.
Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Seringkali dalam proses menuju Allah Ta’ala manusia berfikir tentang Tuhan, bertafakkur, merenung. Terkadang manusia memikirkan nasib dirinya yang malang, “kenapa Tuhan memperlakukan saya demikian, kenapa Tuhan tidak adil kepada saya”. Tetapi mengapa manusia tidak pernah mencari kira-kira apa dasar policy/kebijakan Tuhan menciptakan alam semesta, menciptakan sebuah variasi sosial yang beragam, mengapa diberi bencana, mengapa diberi ni’mat, mengapa negeri ini hancur lebur seperti begini, yang semuanya tentu muncul dari ketetapan Allah Ta’ala. Apapun yang hadir dan terjadi di alam semesta pasti atas ijin Allah Ta’ala. Iblispun juga hadir dengan ijin Allah Ta’ala. Tidak ada yang bergerak tanpa diijinkan atau dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Yang baik maupun yang kita anggap buruk—semua saja yang hadir di alam semesta—hadir dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi kreasinya sendiri dan mandiri tanpa Allah kehendaki.
Sebenarnya di balik peristiwa yang mengguncangkan, menggelitik, menampar, memfrustasikan kita masing-masing itu tak ada yang tak datang dari Allah Ta’ala. “Jika Tuhanku mengijinkan sebuah petaka menimpa saya, pasti bukannya tak bertujuan”. Sayangnya cambuk tersebut tidak pernah membuat kita bertanya secara fundamental. Kita dibuat sibuk habis-habisan di dalam keseharian, persoalan yang hadir bak benang kusut yang sulit diurai; kita terjebak lemas dalam jeratan dan tak sanggup bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan sederhana. Bahkan mungkin sulit untuk sekedar bergumam: “harus menuju kemanakah kita?”.
Tema sentral pengajian ini adalah “Tashawwuf dalam Al-Qur’an”. Mengapa demikian? Seorang Muslim pada dasarnya tidak diperkenankan mengikuti sebuah persoalan yang tak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, terlebih bagi hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya, berjalan menuju Allah Ta’ala. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan-Nya, peta transformasi diri sang hamba untuk menuju Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS Al-Israa’ [17]: 36)
Bagaimanakah caranya menuju Allah Ta’ala? Hal ini bukanlah persoalan yang sederhana. Allah menuntut kedewasaan kita dalam menjawab persoalan besar ini. Jika perkara kembalinya sang hamba hanya merupakan sesuatu yang bersifat sampingan, dianggap sesuatu yang sambil lalu, maka kesungguhan dan kedewasaan kita dalam menuju-Nya patut dipertanyakan.
Dalam menemui kembali sesuatu yang kita cintai maka sepatutnya kita akan sangat respek dan amat perhatian pada informasi yang berkenaan dengan sesuatu tersebut. Sebagai hamba yang mau menuju Allah tentu kita akan sangat memperhatikan segala yang datang dari Sesuatu yang kita tuju. Apapun pesan yang datang dari-Nya akan dicari dengan amat kehausan. Sudah demikiankah kita? Lain halnya jika hati dan pikiran tidak menuju sesuatu; boleh jadi Al-Qur’an tidak pernah dibuka karena kurang mendesak dan kurang penting.
Kedewasaan kita akan sungguh-sungguh diuji dalam mencari-Nya. Dari hal yang paling sederhana, yaitu pengharapan harian kita, hingga jejak-jejak yang Ia tinggalkan dalam Al-Qur’an harus kita lacak dengan kesungguhan penuh. Jika sebelumnya kita biasa membuka Al-Qur’an, melafazhkan bacaannya, hingga berusaha membaca terjemahannya, maka pencarian lebih lanjut mendesak kita untuk mulai mengenali apakah gagasan Al-Qur’an. Apakah ide dasarnya, apa saja informasi yang terkandung di dalamnya, seperti apa format distribusi informasinya (yang memungkinkan kita memahami struktur gagasan Al-Qur’an). Lepas dari tepat atau tidaknya terjemahan Al-Qur’an, pernahkah kita menuntaskan seperempat atau paling tidak sepersepuluh Al-Qur’an?
Kita perlu studi tentang bagaimana cara berkomunikasi antara hamba dengan Tuhan, bagaimana perambatan/penjalaran (propagasi) informasinya. Al-Qur’an membicarakan semua informasi itu: perangkat apa yang dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana cara menggunakannya, seperti apa propagasi informasinya.
Hal demikian diurai Al-Qur’an agar hamba tak tersesat dalam perjalanan menuju Tuhannya. Seringkali hamba menyembah sesuatu yang dipersangkakan sebagai Tuhan padahal bukan. Seperti kambing yang berkaca di air dan melihat matahari di dalam telaga padahal tentunya matahari ada di atas. Seperti kabayan menganggap laut teramat dalam karena melihat bayangan langit di atas permukaan air sehingga ia takut menyeberang. Tuhan manakah yang kita cari? Tuhan (ilah) itu banyak, ada jabatan yang dipertuhankan, kekayaan yang dipertuhankan, perempuan yang dipertuhankan, harga diri yang dipertuhankan, lantas Tuhan manakah yang akan kita tuju?
Bagaimanapun hari ini kita diuji tentang Al-Qur’an. Awalnya mungkin kita tidak tertarik kepada Al-Qur’an karena kita tak paham bahasanya. Mungkin bahasanya terlalu rumit, aneh, tak runtut, melompat-lompat, membosankan, menjemukan, tidak rapi, dan sebagainya; memang begitulah desain Al-Qur’an. Tetapi kalau kita paham artinya, Insya Allah nanti setelah pengajian ini selesai, maka Al-Qur’an akan nampak lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Mulai saat ini perlu kita lebih sering menelaah Al-Qur’an, meskipun sekadar terjemahannya. Lebih baik lagi jika dapat memahami bahasa Arabnya; karena antara teks arab dengan terjemahan umum berjarak cukup jauh meskipun sekian puluh persen gagasan dasarnya terungkap oleh terjemahan.
Shirath al-Mustaqiim: Jalan Menuju Allah Ta’ala
Menuju Allah Ta’ala adalah perkara yang luar biasa besar sekaligus pelik. Kita akan mulai menelaahnya dari hal yang paling biasa kita temui: Shalat. Dalam keseharian kita sering melaksanakan shalat baik yang wajib maupun yang sunnah. Shalat itu pada prinsipnya merupakan rangkaian doa dari awal sampai akhir. Jika kita cukup memahami arti seluruh bacaan dan gerakan shalat maka kesemuanya merupakan panjatan doa. Berkaitan dengan doa sebagai permohonan dan pengharapan hamba kepada Tuhannya maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada Surah Al-Fatihah yang tentunya juga merupakan doa. Kita akan menyigi permohonan dan pengharapan harian kita tersebut dan menguji apakah ada yang tidak kita pahami.
Salah satu permohonan doa yang paling eksplisit terlihat dalam Al-Fatihah adalah:
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sh-Shirath al-Mustaqiim”.
“Kepadamu kami mengabdi dan kepadamu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami Shirath al-Mustaqiim (‘jalan yang lurus’)”. (QS Al-Fatihah [1]: 5 – 6).
Terdapat istilah ‘Shirath al-Mustaqiim’ dalam doa tersebut. Tapi apakah itu shirath al-mustaqim? Permohonan tersebut kita lantunkan saat shalat dalam hari-hari kita. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak kita apakah kita cukup paham akan permintaan dan pengharapan yang kita panjatkan pada-Nya. Allah Ta’ala telah mengingatkan
“... Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya …” (QS Huud [11] : 46).
Apakah yang diharapkan dari doa “tunjuki hamba, ke Shirath al-Mustaqiim”? Apakah itu Shirath al-Mustaqiim? Apakah serupa dengan jalan bebas-hambatan yang yang lurus; Apakah kelancaran dalam bisnis supaya selalu mulus jalannya; Apakah kerapihan dalam rumah tangga; Apakah jalan bebas-hambatan di surga nanti; Apakah jembatan di neraka supaya kita tidak terperosok ke dalam api neraka; Apakah sebuah jalan yang tajamnya seperti rambut dibelah tujuh? (‘Titian serambut dibelah tujuh’ yang tajam bagaikan pisau silet yang diujarkan para orang tua kita merupakan metafora atau perumpaan yang menggambarkan amat sulitnya sebuah perjalanan). Boleh jadi selama ini permintaan tersebut tidak kita rasakan urgensinya, karena kebuntuan kita memahami persoalannya.
Tentu saja Allah Ta’ala menuntut kedewasaan kita untuk memahami segala apa yang Ia maksud. Mungkin kita perlu merasa malu ketika kita terus meminta sesuatu yang Ia telah tuliskan, sembari terus melanggar kalimat-Nya yang lain—yang menuntut kita memahami pengharapan yang kita panjatkan. Ini semua membuat kita perlu studi lebih jauh apakah Shirath al-Mustaqiim itu.
Ia berfirman: “… Inna Rabbii ‘alaa shirathimmustaqiim”
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath al-Mustaqiim” (QS Huud [11]:56)
(Gambar-1)
Para pencari Allah yang sungguh-sungguh tentunya akan mencari tanda-tanda di mana Ia berada. Dan Allah Ta’ala memberikan kunci pembuka: Ia di atas Shirath al-Mustaqiim. Dengan demikian para pencari harus menemukan jalan tersebut. Seperti apakah ciri-ciri jalan tersebut.
Saat ini kita akan berusaha menjawab gagasan Shirath al-Mustaqiim hingga bagaimana mencarinya. Tanpa mengetahui do’a harian kita tersebut kita pun tidak paham apakah Tuhan menjawab permohonan kita atau tidak. Tanpa mengetahui di mana Shirath al-Mustaqiim berada maka wajar kita ragu-ragu sedang di manakah kita berada: di jalan sempit Shirath al-Mustaqiim-kah, jalan bebas-hambatan Shirath al-Mustaqiim-kah, atau sedang terperangkap di hutan antah berantah. Jika hal ini tidak terjawab sampai usai pengajian, maka boleh jadi pengajian ini gagal.
Singkat kata, tidak ada jalan lain menuju Allah Ta’ala selain melalui Shirath al-Mustaqiim, dan satu-satunya cara menempuhnya adalah dengan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Sesuai dengan QS Al-Fatihah [1] : 5), maka pengabdian harus dilakukan terlebih dahulu baru permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan dalam perjalanan. Kata ‘mengabdi’ merupakan kata yang kaya makna dan perspektif serta sering dirasa abstrak. Sebagai landasan bertolak, kita dapat menggunakan rumusan seorang waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami, yang telah memberikan penjelasan bahwa mengabdi adalah:
Sabar dalam ujian-Nya;
Syukur dengan ni’mat-Nya;
Ridha dengan ketetapan-Nya.
Ummul Kitab dan Kitabul Mubin: Struktur Pesan-Nya dalam Al-Qur’an
Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).
Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai.
Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).
(Gambar-2)
Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.
Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.
Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.
Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).
Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,
dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,
Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)
Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).
Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.
Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.
(Gambar-3)
Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”
(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)
(Gambar-4)
Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.
Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5). Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.
Was-salaamu 'alaikum wr wb
Kajian Al Qur’an-materi-ke 2
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Merenungkan Tentang Kedudukan Manusia:
Belajar dari Kisah Penciptaan Adam a.s.
Adam a.s. semasa dalam penciptaan:
1). Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada al-malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di Bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di Bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan meng-kuduskan-Mu?” (Tuhan) bersabda: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam al-asma akullaha, lalu mengemukakan kepada al-malaikat, maka (kemudian) berfirman: “Sebutkan kepada-Ku asma-asma tersebut jika kamu adalah shidiqiin.”
Mereka menjawab: "Subhanaka, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alim al-Hakim.”
Allah berfirman: "Hai Adam, beritakanlah kepada mereka asma-asma tersebut." Maka setelah diberitakan kepada mereka asma-asma tersebut, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui yang ghayb dari lelangit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk al-kafirin.
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu al-jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk adh-dhalimiin.
Lalu keduanya digelincirkan oleh asy-syaitan dari tempat semula dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Kemudian Adam menerima beberapa kalimah (sabda) dari Rabb-nya, maka Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat dan al-Rahim.
Manusia diciptakan dengan kedua belah tangan Tuhan:
2). Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu takabur ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?".
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".
Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari sini; sesungguhnya kamu terkutuk,
sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai yaum ad-diin".
Iblis berkata: "Ya Rabb-ku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan".
Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang waktunya ditentukan".
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menjerumuskan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang al-mukhlasiin.
Kedudukan Malaikat:
Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, dan sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf. Dan sesungguhnya kami benar-benar al-musabbihun.
3). Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala'ul a`la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.
4). Jasad dari Aspek Tangan Kiri Ilahi ; Nafs (Jiwa) dari Aspek Tangan Kanan Ilahi…padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya
5)...Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya
6). Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami jadikan bagimu darinya (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
7). Hembusan (Nafakh) dari ruh-Ku. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menghembuskan ke dalamnya dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
8). Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kuhembuskan kedalamnya dari ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
9). Letak Keutamaan Insan Menurut Imam Al-Ghazali:
10). Ilmu (al-‘ilm) yang paling utama ialah mengetahui akan Allah, sifat-sifat-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Disinilah terletak kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan inilah bergantung bagian dan kebaikan manusia di hadapan Tuhan Yang Agung dan Sempurna.
Jasad itu kendaraan dari an-Nafs. An-Nafs itu tempat ilmu dan ilmu itulah tujuan manusia dan hakikat dirinya, yang untuk itulah manusia diciptakan. …
Manusia dipandang dari segi bahwa ia makan dan berketurunan—maka ia sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Dipandang dari segi bahwa ia merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, sama dengan binatang. Dipandang dari rupa dan bentuknya, ia sama dengan gambar yang dilukis pada dinding.
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui hakikat segala sesuatu.
Barangsiapa mempergunakan semua anggota dan kekuatannya ke arah membantu mendapatkan ilmu dan mengamalkannya, maka ia serupa dengan malaikat; atau dengan kata lain ia menyusul martabat malaikat dan patutlah ia disebut malak. Sebagaimana firman-Nya: “Ini bukanlah seorang basyar, melainkan ia seorang malak yang mulia” (QS Yusuf [12]: 31).
Di Al-Jannah, kemudian Turun ke Bumi, kemudian …
QS. Thaahaa [20]: 115-126
115. Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
116. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam", maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.
117. Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
118. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.
119. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
120. Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
121. Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan keduanya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah, dan durhakalah Adam kepada Rabb-nya dan sesatlah ia.
122. Kemudian Rabb-nya memilihnya maka Dia mentaubatkannya dan memberinya petunjuk.
123. Allah berfirman: "Turunlah kalian berdua dari jannah bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk (hudan) daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.
124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah sungguh seorang yang melihat?"
126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".
QS. Al A’Raaf [7]: 11-25
11). Dan sungguh Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (al-saajidiin).
12). Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku perintahkan padamu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
13). Allah berfirman: "Turunlah kamu dari situ; karena kamu tidak sepatutnya bertakabbur di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
14). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".
15). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."
16). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan halangi mereka dari shirath Engkau yang lurus,
17). kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (sebagai) orang-orang yang bersyukur.
18). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari situ sebagai orang terhina lagi terusir. Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dari (jenis) kalian semuanya".
19). (Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di Jannah serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim (al-zaalimiin)".
20). Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka berdua, yaitu keburukan-keburukan mereka berdua, dan syaitan berkata: "Rabb kalian tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal".
21). Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya bagi kalian berdua adalah termasuk orang yang memberi nasehat (al-naashihiin)",
22). maka syaitan membujuk keduanya dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan mereka berdua, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian berdua adalah musuh yang nyata?"
23). Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah zalim pada kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (al-khosiruun)".
24). Allah berfirman: "Turunlah kalian, sebahagian kalian menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kalian mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di bumi sampai waktu yang telah ditentukan".
25). Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dikeluarkan.”
Do’a Nabi Adam a.s. dan do’a Iblis
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ketika Nabi Adam a.s. turun ke bumi, ia berdoa,”Ya Rabbi, inilah syaitan, dimana telah Engkau jadikan permusuhan antara aku dan dia. Kalau Engkau tidak memperhatikan dia, maka aku tidak akan kuat mengatasinya.” Berfirman Allah s.w.t., ”Tidak akan dilahirkan seorang anak bagimu melainkan telah diserahi seorang malaikat untuk menjaganya.”
Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah tambahan bagiku.” Berfirman Allah s.w.t., “Aku akan membalas satu kejahatan dengan satu kejahatan, dan satu kebaikan akan Kubalas dari sepuluh kali lipat sampai kepada apa yang Kukehendaki.”
Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah aku tambahan.” Berfirman Allah s.w.t., “Pintu taubat tetap terbuka selama roh masih ada di jasad.”
Lantas Iblis berkata, “Ya Tuhan, Adam inilah orang yang akan Kau muliakan atas aku. Jika Engkau tidak memperhatikan, aku tidak kuat mengatasinya.” Firman Allah s.w.t., “Tidak akan dilahirkan seorang anak bagi Adam melainkan akan dilahirkan juga seorang anak untukmu.”
Kata Iblis, “Ya Tuhan, berilah aku tambahan.” Firman Allah s.w.t., “Engkau bisa berjalan pada mereka seperti perjalanan darah dan engkau bisa membuat hati mereka (bani Adam) sebagai rumah.”
Kata Iblis, “Berilah aku tambahan.” Allah berfirman, Bawalah mereka dengan pasukan kudamu dan pasukan yang berjalan kakimu, sertailah mereka dalam urusan harta benda dan anak-anak, serta berilah mereka janji. Dan tidaklah yang dijanjikan syaitan melainkan tipuan belaka.” QS. Al-Isra’[17]: 64,
11 Dialog Nabi Nuh a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Nuh a.s. berlayar dengan bahteranya, beliau membawa ke dalamnya segala sesuatu secara berpasangan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepadanya. Lalu beliau melihat di atas perahu itu terdapat seorang tua yang belum pernah beliau kenal, maka bertanyalah beliau kepada orang tua tersebut, “Mengapa engkau masuk ke sini?”
Si orang tua itu menjawab, “Aku masuk ke sini untuk memperoleh hati sahabat-sahabatmu, sehingga hati mereka bersama aku sedangkan tubuh mereka bersama engkau.” Nabi Nuh a.s. berkata kepada orang tua (iblis) itu, “Keluarlah engkau dari bahtera ini, wahai musuh Allah! Sungguh engkau ini yang dilaknat.” Maka berkata orang tua ini kepada Nabi Nuh a.s., “Ada lima hal yang kupakai membinasakan manusia. Tiga dari lima perkara ini akan kuceritakan kepadamu dan yang dua perkara lagi tidak akan kuceritakan kepadamu.”
Maka Allah memberi wahyu kepada Nabi Nuh a.s. bahwa sebenarnya beliau tidak perlu kepada perkara yang tiga itu. Hendaklah beliau meminta iblis itu agar menceritakan perkara yang dua itu saja. Lalu Nabi Nuh a.s. bertanya kepada iblis tersebut, “Apakah perkara yang dua itu?” Iblis menjawab, “Dua hal itu ialah yang tidak pernah mengecewakanku, dan dengan dua hal inilah aku membinasakan manusia, yaitu tamak dan iri-dengki. Karena iri-dengki inilah aku dilaknat dan dijadikan ‘asy-syaitan al-rajim.’”
12 Dialog Nabi Musa a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa sewaktu Nabi Musa a.s. bertemu dengan iblis, ia berkata kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Musa! Engkaulah orang yang dipilih Allah dengan risalah-Nya, dan engkau adalah orang yang menerima Kalamullah; sedangkan aku hanyalah salah seorang dari makhluk Allah. Aku berdosa dan hendak bertaubat. Mintakanlah aku syafa’at kepada Tuhan, agar Tuhan menerima taubatku.” Nabi Musa a.s. menjawab: “Ya.”
Maka setelah Nabi Musa a.s. naik ke gunung untuk menerima Kalamullah azza wa jalla dan hendak turun, berfirmanlah Allah s.w.t. kepada Nabi Musa a.s, “Hai Musa! Sampaikan amanat.” Maka berdoalah Nabi Musa a.s., “Hamba-Mu iblis ingin Engkau menerima taubatnya.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Musa a.s., “Telah Kuperkenankan hajatmu. Perintahkanlah ia agar bersujud ke kubur Adam sehingga diterima taubatnya.”
Nabi Musa a.s. lantas menemui Iblis dan berkata kepadanya, “Hajatmu telah diperkenankan, dan engkau diperintahkan bersujud ke kubur Nabi Adam a.s. agar engkau diampuni.” Sambil marah dan menyombong Iblis berkata, “Di kala masih hidup aku tidak sudi bersujud kepada Adam, masakan aku harus sujud kepadanya sesudah ia jadi mayat?” Kemudian berkatalah Iblis kepada Nabi Musa a.s., “Ada kewajiban bagiku untuk memberikan suatu hak kepadamu, sebagai imbangan bahwa engkau telah memintakan syafa’at untukku kepada Tuhanmu. Ingatlah kepadaku dalam tiga keadaan, yang mana aku tidak akan merusakkan engkau dalam keadaan yang tiga itu.
a). Ingatlah kepadaku waktu engkau marah, sebab waktu itu diriku berada di hatimu dan mataku berada di matamu dan aku akan berjalan di tubuhmu sebagaimana darah mengalir. Ingatlah kepadaku ketika marah, sebab apabila seseorang marah, kutiup hidungnya sehingga ia tidak tahu lagi apa-apa yang ia perbuat.
b). Ingatlah padaku ketika engkau di medan peperangan, sebab aku akan mendatangi orang-orang yang sedang bertempur, lantas aku ingatkan orang-orang itu kepada istri, anak dan keluarga sampai orang itu berpaling dari barisan.
c). Jauhilah duduk-duduk dengan perempuan yang bukan mahram, sebab akulah yang menjadi suruhan perempuan itu kepadamu dan suruhanmu kepada perempuan tadi. Aku senantiasa berbuat demikian sampai engkau dapat kufitnah dengan wanita itu, dan kufitnah wanita itu dengan engkau.
13 Dialog Nabi Yahya a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa iblis pernah mendatangi Nabi Yahya a.s. Beliau melihat barang-barang bergantungan pada diri si iblis. Bertanyalah beliau kepada iblis tersebut, “Benda-benda apakah yang bergantungan itu?” Iblis menjawab, “Ini adalah syahwat-syahwat yang kupergunakan untuk menguasai manusia.”
Bertanya Nabi Yahya a.s., “Apakah yang terdapat dalam syahwat itu?” Iblis menjawab, “Kadang-kadang dengan syahwat itu engkau kekenyangan lantas kuberatkan engkau dari mengerjakan shalat dan zikir.” Bertanya Nabi Yahya a.s., “Adakah yang lain lagi?” Iblis menjawab, “Tidak!” Berkata Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memenuhi perutku dengan makanan.” Lantas iblis berkata kepada Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memberi nasihat kepada orang yang berserah-diri.”
14 Kisah Iblis Sewaktu Kelahiran Nabi Isa a.s.
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Isa bin Maryam a.s. dilahirkan, berdatanganlah syaithan-syaithan kepada Iblis. Mereka melaporkan bahwa berhala-berhala telah tersungkur semuanya.
Iblis menjawab, “Ini tentu ada perkara yang baru yang terjadi di negerimu.” Lalu iblis terbang ke sebelah barat dan timur dari bumi ini, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, iblis menemukan Isa a.s. telah lahir dengan dikelilingi oleh para Malaikat. Iblis lalu kembali kepada syaithan-syaithan komplotannya, dan berkata, “Kemarin telah dilahirkan seorang Nabi. Tidak ada seorang perempuan pun yang hamil atau melahirkan yang tidak kudatangi, kecuali orang ini. Sesudah malam ini, tinggalkanlah soal penyembahan berhala—tetapi datangilah keturunan Adam dari jurusan sifat tergesa-gesa dan keinginannya.”
15 Teladan Nabi Muhammad s.a.w.
Berkata al-Hasan, ”Diberitakan kepadaku bahwa Jibril a.s. datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata, ‘Sesungguhnya jin ifrit akan menggoda engkau, apabila engkau hendak tidur bacalah ayat kursi.’“ 16
Bersabda Nabi s.a.w., “Sungguh telah datang setan kepadaku, lantas ia membantah dan memusuhi aku. Lalu kupegang tenggorokannya. Maka demi Yang Mengutusku dengan haqq, tidak akan kulepaskan ia sehingga aku mendapat dingin air mulutnya pada tanganku. Dan kalau tidak karena seruan saudaraku Sulaiman a.s., maka ia tentu akan jadi terlempar dalam masjid.”
17 CATATAN
1. Q.S. Al-Baqarah [2 ] : 30-37
2. Q.S. Shaad [38] : 75-83
3. Q.S. Ash-Shaaffaat [37] : 164-166
4. Q.S. Shaad [38]: 69
5. Q.S. Az-Zumar[39] : 67
6. Kasyaf al-Asrar VIII 435
7. Q.S. Al-‘Araaf [7] : 10
8. Q.S. Al-Hijr [15] : 29
9. Q.S. Shaad [38] : 72
10. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, hh. 21-22.
11. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 121.
12. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 99.
13. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 97.
14. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 100.
15. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
16. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
17. Hadits Nabi s.a.w.
Kajian Al Qur’an-materi-ke 3
Merenungkan Tentang Kedudukan Manusia:
Belajar dari Kisah Penciptaan Adam a.s.
Adam a.s. semasa dalam penciptaan:
1). Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada al-malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di Bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di Bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan meng-kuduskan-Mu?” (Tuhan) bersabda: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam al-asma akullaha, lalu mengemukakan kepada al-malaikat, maka (kemudian) berfirman: “Sebutkan kepada-Ku asma-asma tersebut jika kamu adalah shidiqiin.”
Mereka menjawab: "Subhanaka, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alim al-Hakim.”
Allah berfirman: "Hai Adam, beritakanlah kepada mereka asma-asma tersebut." Maka setelah diberitakan kepada mereka asma-asma tersebut, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui yang ghayb dari lelangit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk al-kafirin.
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu al-jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk adh-dhalimiin.
Lalu keduanya digelincirkan oleh asy-syaitan dari tempat semula dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Kemudian Adam menerima beberapa kalimah (sabda) dari Rabb-nya, maka Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat dan al-Rahim.
Manusia diciptakan dengan kedua belah tangan Tuhan:
2). Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu takabur ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?".
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".
Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari sini; sesungguhnya kamu terkutuk,
sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai yaum ad-diin".
Iblis berkata: "Ya Rabb-ku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan".
Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang waktunya ditentukan".
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menjerumuskan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang al-mukhlasiin.
Kedudukan Malaikat:
Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, dan sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf. Dan sesungguhnya kami benar-benar al-musabbihun.
3). Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala'ul a`la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.
4). Jasad dari Aspek Tangan Kiri Ilahi ; Nafs (Jiwa) dari Aspek Tangan Kanan Ilahi…padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya
5)...Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya
6). Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami jadikan bagimu darinya (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
7). Hembusan (Nafakh) dari ruh-Ku. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menghembuskan ke dalamnya dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
8). Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kuhembuskan kedalamnya dari ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
9). Letak Keutamaan Insan Menurut Imam Al-Ghazali:
10). Ilmu (al-‘ilm) yang paling utama ialah mengetahui akan Allah, sifat-sifat-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Disinilah terletak kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan inilah bergantung bagian dan kebaikan manusia di hadapan Tuhan Yang Agung dan Sempurna.
Jasad itu kendaraan dari an-Nafs. An-Nafs itu tempat ilmu dan ilmu itulah tujuan manusia dan hakikat dirinya, yang untuk itulah manusia diciptakan. …
Manusia dipandang dari segi bahwa ia makan dan berketurunan—maka ia sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Dipandang dari segi bahwa ia merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, sama dengan binatang. Dipandang dari rupa dan bentuknya, ia sama dengan gambar yang dilukis pada dinding.
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui hakikat segala sesuatu.
Barangsiapa mempergunakan semua anggota dan kekuatannya ke arah membantu mendapatkan ilmu dan mengamalkannya, maka ia serupa dengan malaikat; atau dengan kata lain ia menyusul martabat malaikat dan patutlah ia disebut malak. Sebagaimana firman-Nya: “Ini bukanlah seorang basyar, melainkan ia seorang malak yang mulia” (QS Yusuf [12]: 31).
Di Al-Jannah, kemudian Turun ke Bumi, kemudian …
QS. Thaahaa [20]: 115-126
115. Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
116. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam", maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.
117. Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
118. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.
119. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
120. Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
121. Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan keduanya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah, dan durhakalah Adam kepada Rabb-nya dan sesatlah ia.
122. Kemudian Rabb-nya memilihnya maka Dia mentaubatkannya dan memberinya petunjuk.
123. Allah berfirman: "Turunlah kalian berdua dari jannah bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk (hudan) daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.
124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah sungguh seorang yang melihat?"
126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".
QS. Al A’Raaf [7]: 11-25
11). Dan sungguh Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (al-saajidiin).
12). Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku perintahkan padamu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
13). Allah berfirman: "Turunlah kamu dari situ; karena kamu tidak sepatutnya bertakabbur di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
14). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".
15). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."
16). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan halangi mereka dari shirath Engkau yang lurus,
17). kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (sebagai) orang-orang yang bersyukur.
18). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari situ sebagai orang terhina lagi terusir. Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dari (jenis) kalian semuanya".
19). (Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di Jannah serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim (al-zaalimiin)".
20). Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka berdua, yaitu keburukan-keburukan mereka berdua, dan syaitan berkata: "Rabb kalian tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal".
21). Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya bagi kalian berdua adalah termasuk orang yang memberi nasehat (al-naashihiin)",
22). maka syaitan membujuk keduanya dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan mereka berdua, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian berdua adalah musuh yang nyata?"
23). Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah zalim pada kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (al-khosiruun)".
24). Allah berfirman: "Turunlah kalian, sebahagian kalian menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kalian mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di bumi sampai waktu yang telah ditentukan".
25). Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dikeluarkan.”
Do’a Nabi Adam a.s. dan do’a Iblis
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ketika Nabi Adam a.s. turun ke bumi, ia berdoa,”Ya Rabbi, inilah syaitan, dimana telah Engkau jadikan permusuhan antara aku dan dia. Kalau Engkau tidak memperhatikan dia, maka aku tidak akan kuat mengatasinya.” Berfirman Allah s.w.t., ”Tidak akan dilahirkan seorang anak bagimu melainkan telah diserahi seorang malaikat untuk menjaganya.”
Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah tambahan bagiku.” Berfirman Allah s.w.t., “Aku akan membalas satu kejahatan dengan satu kejahatan, dan satu kebaikan akan Kubalas dari sepuluh kali lipat sampai kepada apa yang Kukehendaki.”
Berdoa Nabi Adam a.s., “Ya Rabbi, berilah aku tambahan.” Berfirman Allah s.w.t., “Pintu taubat tetap terbuka selama roh masih ada di jasad.”
Lantas Iblis berkata, “Ya Tuhan, Adam inilah orang yang akan Kau muliakan atas aku. Jika Engkau tidak memperhatikan, aku tidak kuat mengatasinya.” Firman Allah s.w.t., “Tidak akan dilahirkan seorang anak bagi Adam melainkan akan dilahirkan juga seorang anak untukmu.”
Kata Iblis, “Ya Tuhan, berilah aku tambahan.” Firman Allah s.w.t., “Engkau bisa berjalan pada mereka seperti perjalanan darah dan engkau bisa membuat hati mereka (bani Adam) sebagai rumah.”
Kata Iblis, “Berilah aku tambahan.” Allah berfirman, Bawalah mereka dengan pasukan kudamu dan pasukan yang berjalan kakimu, sertailah mereka dalam urusan harta benda dan anak-anak, serta berilah mereka janji. Dan tidaklah yang dijanjikan syaitan melainkan tipuan belaka.” QS. Al-Isra’[17]: 64,
11 Dialog Nabi Nuh a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Nuh a.s. berlayar dengan bahteranya, beliau membawa ke dalamnya segala sesuatu secara berpasangan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepadanya. Lalu beliau melihat di atas perahu itu terdapat seorang tua yang belum pernah beliau kenal, maka bertanyalah beliau kepada orang tua tersebut, “Mengapa engkau masuk ke sini?”
Si orang tua itu menjawab, “Aku masuk ke sini untuk memperoleh hati sahabat-sahabatmu, sehingga hati mereka bersama aku sedangkan tubuh mereka bersama engkau.” Nabi Nuh a.s. berkata kepada orang tua (iblis) itu, “Keluarlah engkau dari bahtera ini, wahai musuh Allah! Sungguh engkau ini yang dilaknat.” Maka berkata orang tua ini kepada Nabi Nuh a.s., “Ada lima hal yang kupakai membinasakan manusia. Tiga dari lima perkara ini akan kuceritakan kepadamu dan yang dua perkara lagi tidak akan kuceritakan kepadamu.”
Maka Allah memberi wahyu kepada Nabi Nuh a.s. bahwa sebenarnya beliau tidak perlu kepada perkara yang tiga itu. Hendaklah beliau meminta iblis itu agar menceritakan perkara yang dua itu saja. Lalu Nabi Nuh a.s. bertanya kepada iblis tersebut, “Apakah perkara yang dua itu?” Iblis menjawab, “Dua hal itu ialah yang tidak pernah mengecewakanku, dan dengan dua hal inilah aku membinasakan manusia, yaitu tamak dan iri-dengki. Karena iri-dengki inilah aku dilaknat dan dijadikan ‘asy-syaitan al-rajim.’”
12 Dialog Nabi Musa a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa sewaktu Nabi Musa a.s. bertemu dengan iblis, ia berkata kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Musa! Engkaulah orang yang dipilih Allah dengan risalah-Nya, dan engkau adalah orang yang menerima Kalamullah; sedangkan aku hanyalah salah seorang dari makhluk Allah. Aku berdosa dan hendak bertaubat. Mintakanlah aku syafa’at kepada Tuhan, agar Tuhan menerima taubatku.” Nabi Musa a.s. menjawab: “Ya.”
Maka setelah Nabi Musa a.s. naik ke gunung untuk menerima Kalamullah azza wa jalla dan hendak turun, berfirmanlah Allah s.w.t. kepada Nabi Musa a.s, “Hai Musa! Sampaikan amanat.” Maka berdoalah Nabi Musa a.s., “Hamba-Mu iblis ingin Engkau menerima taubatnya.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Musa a.s., “Telah Kuperkenankan hajatmu. Perintahkanlah ia agar bersujud ke kubur Adam sehingga diterima taubatnya.”
Nabi Musa a.s. lantas menemui Iblis dan berkata kepadanya, “Hajatmu telah diperkenankan, dan engkau diperintahkan bersujud ke kubur Nabi Adam a.s. agar engkau diampuni.” Sambil marah dan menyombong Iblis berkata, “Di kala masih hidup aku tidak sudi bersujud kepada Adam, masakan aku harus sujud kepadanya sesudah ia jadi mayat?” Kemudian berkatalah Iblis kepada Nabi Musa a.s., “Ada kewajiban bagiku untuk memberikan suatu hak kepadamu, sebagai imbangan bahwa engkau telah memintakan syafa’at untukku kepada Tuhanmu. Ingatlah kepadaku dalam tiga keadaan, yang mana aku tidak akan merusakkan engkau dalam keadaan yang tiga itu.
a). Ingatlah kepadaku waktu engkau marah, sebab waktu itu diriku berada di hatimu dan mataku berada di matamu dan aku akan berjalan di tubuhmu sebagaimana darah mengalir. Ingatlah kepadaku ketika marah, sebab apabila seseorang marah, kutiup hidungnya sehingga ia tidak tahu lagi apa-apa yang ia perbuat.
b). Ingatlah padaku ketika engkau di medan peperangan, sebab aku akan mendatangi orang-orang yang sedang bertempur, lantas aku ingatkan orang-orang itu kepada istri, anak dan keluarga sampai orang itu berpaling dari barisan.
c). Jauhilah duduk-duduk dengan perempuan yang bukan mahram, sebab akulah yang menjadi suruhan perempuan itu kepadamu dan suruhanmu kepada perempuan tadi. Aku senantiasa berbuat demikian sampai engkau dapat kufitnah dengan wanita itu, dan kufitnah wanita itu dengan engkau.
13 Dialog Nabi Yahya a.s. dengan Iblis
Diriwayatkan bahwa iblis pernah mendatangi Nabi Yahya a.s. Beliau melihat barang-barang bergantungan pada diri si iblis. Bertanyalah beliau kepada iblis tersebut, “Benda-benda apakah yang bergantungan itu?” Iblis menjawab, “Ini adalah syahwat-syahwat yang kupergunakan untuk menguasai manusia.”
Bertanya Nabi Yahya a.s., “Apakah yang terdapat dalam syahwat itu?” Iblis menjawab, “Kadang-kadang dengan syahwat itu engkau kekenyangan lantas kuberatkan engkau dari mengerjakan shalat dan zikir.” Bertanya Nabi Yahya a.s., “Adakah yang lain lagi?” Iblis menjawab, “Tidak!” Berkata Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memenuhi perutku dengan makanan.” Lantas iblis berkata kepada Nabi Yahya a.s., “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan memberi nasihat kepada orang yang berserah-diri.”
14 Kisah Iblis Sewaktu Kelahiran Nabi Isa a.s.
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Isa bin Maryam a.s. dilahirkan, berdatanganlah syaithan-syaithan kepada Iblis. Mereka melaporkan bahwa berhala-berhala telah tersungkur semuanya.
Iblis menjawab, “Ini tentu ada perkara yang baru yang terjadi di negerimu.” Lalu iblis terbang ke sebelah barat dan timur dari bumi ini, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, iblis menemukan Isa a.s. telah lahir dengan dikelilingi oleh para Malaikat. Iblis lalu kembali kepada syaithan-syaithan komplotannya, dan berkata, “Kemarin telah dilahirkan seorang Nabi. Tidak ada seorang perempuan pun yang hamil atau melahirkan yang tidak kudatangi, kecuali orang ini. Sesudah malam ini, tinggalkanlah soal penyembahan berhala—tetapi datangilah keturunan Adam dari jurusan sifat tergesa-gesa dan keinginannya.”
15 Teladan Nabi Muhammad s.a.w.
Berkata al-Hasan, ”Diberitakan kepadaku bahwa Jibril a.s. datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata, ‘Sesungguhnya jin ifrit akan menggoda engkau, apabila engkau hendak tidur bacalah ayat kursi.’“ 16
Bersabda Nabi s.a.w., “Sungguh telah datang setan kepadaku, lantas ia membantah dan memusuhi aku. Lalu kupegang tenggorokannya. Maka demi Yang Mengutusku dengan haqq, tidak akan kulepaskan ia sehingga aku mendapat dingin air mulutnya pada tanganku. Dan kalau tidak karena seruan saudaraku Sulaiman a.s., maka ia tentu akan jadi terlempar dalam masjid.”
17 CATATAN
1. Q.S. Al-Baqarah [2 ] : 30-37
2. Q.S. Shaad [38] : 75-83
3. Q.S. Ash-Shaaffaat [37] : 164-166
4. Q.S. Shaad [38]: 69
5. Q.S. Az-Zumar[39] : 67
6. Kasyaf al-Asrar VIII 435
7. Q.S. Al-‘Araaf [7] : 10
8. Q.S. Al-Hijr [15] : 29
9. Q.S. Shaad [38] : 72
10. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, hh. 21-22.
11. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 121.
12. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 99.
13. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 97.
14. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 100.
15. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
16. Al-Ghazali, Keajaiban Hati, h. 103.
17. Hadits Nabi s.a.w.
Kajian Al Qur’an-materi-ke 3
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Struktur Insan: Skema Interaksi
Mengenai Jasad, Nafs, Qalb, Ruh, ‘Aql
Jasad atau Jisim atau Bentuk (jasd, jism, shuwar)
Tubuh manusia yang tersusun dari materi dasar api, tanah, air dan udara, sebagaimana yang dapat kita indrai. Unsur-unsur dasar yang membentuk manusia itu sama dengan unsur-unsur dasar dari bumi, tempatnya jasad itu tinggal.
Jasad dihidupkan oleh hembusan ruh. Setelah hidup ia memerlukan enersi, yang dapat diperolehnya dari makanan yang bersumber dari bumi.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan al-insan dari saripati tanah.”
1-Nafs (tunggal = an-nafs, jamak = al-anfus)
Merupakan suatu barzakh (intermediary) antara jasad dan ruh. Jiwa tersusun dari unsur cahaya ilahiah; ia memiliki suatu kehidupan tersendiri yang terpisah dari jasad. Jiwa memperoleh enersinya dari ruh.
Jiwa merupakan hakikat ke-insan-an seseorang—jiwa lah yang membuat insan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Jiwa lah yang menjadi sasaran pendidikan Ilahi. Di dalam jiwa ditempatkan ruh; ke duanya ditempatkan dalam jasad. Alam jiwa disebut juga alam mitsal.
Jadi, selama perjalanannya di Bumi, jiwa (nafs) menggunakan kendaraan jasad. Dapat dikatakan jasad merupakan “nagari” atau “kota” pertama (yaitu, lingkungan yang paling dekat) bagi jiwa. Diberikannya perangkat jasad kepada jiwa dimaksudkan agar jiwa dapat mengambil bagian dalam pendidikan Ilahiah yang ditebarkan di Bumi. Di Bumi ini pula ia diseru untuk melaksanakan maksud dari penciptaannya.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu pada kaum hingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada nafs-nafs mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan tak ada bagi mereka satu penolong pun selain Allah.
2-Dan adapun orang-orang yang takut (khawf) terhadap maqam Rabb-nya dan menahan nafs dari hawa nafsu, maka sesungguhnya jannah-lah tempatnya.
3-Karena yang menjadi sasaran pendidikan ilahi adalah jiwa, pembahasan lebih mendalam ditujukan untuk memberikan pengantar bagi pendidikan jiwa melalui pensuciannya, yang disebut pula tazkiyatun-nafs atau jihadun-nafs.
Ruh (tunggal = ruh, jamak = arwah)
Ruh tersusun dari unsur cahaya yang paling murni dan paling tinggi kedudukannya dalam keseluruhan aspek manusia. Yang dihembuskan kepada manusia setelah disiapkan segala sesuatunya.
Ruh memberikan kehidupan kepada jasad—tanpa ruh jasad segera terurai kembali menjadi unsur-unsur bumi pembentuknya. Ruh merupakan sumber enersi bagi nafs. Apabila cahaya ruh tidak mencapai nafs maka nafs tersebut, sekalipun dia tetap hidup, akan tetapi dia tidak memiliki enersi atau lumpuh.
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (dari)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan af’idah. Sedikit sekali kalian bersyukur.
4-Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (dari)- Ku; maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya.
5-Qalb (tunggal = qalb, jamak = qulub)
Aspek partikular dari an-nafs tempat dikendalikannya seluruh elemen yang lain.
Di dalam diri insan—tepatnya pada perangkat qalb-nya—bertemu tiga alam yang berbeda, yakni: jismaniyyah, mitsal, dan arwah atau disebut pula tiga martabat kauniyyah.
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang lelaki dua qalb dalam rongganya.
6- ‘Aql (al-‘aql, dibedakan dengan nalar atau akal jasad)
Aspek partikular dari Qalb, merupakan perangkat untuk menangkap dan mendapatkan al-‘ilmu—yakni ilmu ketuhanan, yang didapatkan dengan hakikat penghambaan. Jadi, ilmu (al-‘ilmu) ini dibedakan dengan ilmu biasa yang kita kenal sehari-hari, yaitu yang ditangkap oleh nalar dan didapatkan dengan jalan pengkajian.
Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka ber-‘aqal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah al-qalb yang ada di dalam shudur.
7-“Barangsiapa berbuat dosa, maka berpisahlah ia dari ‘aqal-nya dan tidak akan kembali selamanya.”
8-Nafsu’l-Mutmainnah: yang Seyogyanya Dididik Menjadi Penggembala
Pensucian jiwa ditujukan untuk mendidik satu komponen jiwa—nafsu’l-muthmainnah—yang berperan sebagai penggembala yang kuat dan ber-ilmu, sehingga ia mampu mengatur komponen-komponen jiwa lainnya yang merupakan obyek gembalaannya. Jika yang seharusnya berperan sebagai sang gembala tertidur ataupun lumpuh kekurangan enersi, maka komponen-komponen lainnya bersikap liar dan kemudian saling berlomba menguasai qalb—yang berarti menguasai diri seseorang sepenuhnya.
Dan aku tidak membebaskan nafs-ku karena sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan (nafs amara bissu’), kecuali (nafs) yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
.9-Dan aku bersumpah dengan nafs yang mencela (nafs al-lawwamah)
10-Wahai nafs al-muthmainnah! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya.
11- Syahwat dan Hawa Nafsu
Pendidikan jiwa atau transformasi menuju Hakikat Insan yang sejati menghadapi tiga jenis musuh, yaitu: (1) Syahwat, hasrat yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat material; (2) Hawa-Nafsu, berkenaan dengan yang bersifat non-material, sperti misalnya takabur, riya’, ujub, harga-diri, dst.; (3) Syaithan, terdiri atas golongan jin dan manusia, yang mempengaruhi manusia dengan memperalat syahwat dan hawa-nafsu.
Dijadikan indah pada manusia kencintaan pada syahwat dari wanita-manita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
12-Katakanlah, ”Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai (hubb) daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di sabil-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan ‘amr-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqin).
13-Maka pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah menyesatkan berdasar ‘ilm-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan menjadikan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
14-Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah)? Maka apakah kamu dapat menjadi wakil atasnya?
15… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari sabil Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari sabil Allah akan mendapat azab yang sangat pedih disebabkan mereka melupakan Hari Penghisaban (yawm al-Hisab).
16-Qalb Sebagai Singgasana Sang Raja
Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia shalih maka shalih-lah seluruhnya, jika ia fasad (rusak) maka fasad-lah seluruhnya.
17-Qalb itu ibarat singgasana Sang Raja. Komponen diri mana saja yang tengah berhasil menduduki qalb akan berkedudukan sebagai Raja dan memperlakukan komponen-komponen lainnya sebagai bala-tentaranya. Jika shaleh Sang Raja tersebut, maka shaleh pula bala tentaranya; sedangkan bila Raja-nya fasad (rusak) maka fasad pula bala-tentaranya.
Sang Raja yang tengah bertahta di atas singgasana qalb mempunyai 2 jenis bala-tentara:
1. Tentara Lahir: JISIM
• Tingkat 1: “… delapan pasang binatang ternak…”
18-(Lihat Gambar)
1 Mata - Mata
2 Telinga - Telinga
3 Hidung - Hidung
4 Tangan - Tangan
5 Kaki - Kaki
6 Lidah - Perut
7 Mulut - Larinx
8 ↑ atau ↓ Pada orang lain
• Tingkat 2: “… tiga lapis kegelapan … “
19-i. Penglihatan
ii. Pendengaran
iii. Al af’idah
2. Tentara Batin: HAWA atau HAWA-NAFSU
Keberadaan hawa-nafsu (hawa), Imam Al-Ghazali menyebutnya tentara bathin dari qalb, pada diri seseorang hanya bisa dilihat oleh mata batin, atau penglihatan dari qalb. Hawa-nafsu itu sesuatu yang memang ada, dan memang tidak untuk dihilangkan. Tujuan dari tazkiyatun-nafs adalah untuk mengendalikannya dan bukan untuk menghilangkannya. Sekalipun demikian, bagi kebanyakan orang aspek hewaniyyah-nya yang terus berhasil menguasai dirinya, karena nafsu’l muthmainnah-nya lumpuh.
CATATAN
1. QS Al-Mu’minun [23]: 12
2. QS Ar-Ra’d[13]: 11
3. QS An-Naazi’aat[79]: 40
4. QS As-Sajdah[32]: 9
5. QS Shaad[38]: 72
6. QS Al-Ahzab[33}: 4
7. QS Al-Hajj[22]:46
8. Hadits Nabi s.a.w.
9. QS Yusuf[12]: 53
10. QS Al-Qiyamah[75]:2
11. QS Al-Fajr[89]: 27 – 28
12. QS Ali ‘Imran [3] : 14
13. QS At-Taubah[9]: 24
14. QS Al-Jatsiyah[45]: 23
15. QS Al-Furqan[25]: 43
16. QS Shaad[38]: 26.
17. Hadits Nabi s.a.w
18. QS Az Zumar [39]: 6
19. QS An Nuur [24]: 40
8 Dosa Itu Mengotori Qalb
9 Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh ‘aql yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya.
10 Dan tidaklah yang mendustakan hal itu (yawm ad-Din) melainkan orang-orang yang melampaui batas lagi berdosa … sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup qulub mereka.
11 Dan di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” Padahal mereka itu bukan orang-orang yang mu’min. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadari. Dalam qulub mereka terdapat penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka azab yang pedih disebabkan mereka berdusta.
12 Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai qalb (tapi) tidak memahami dengannya, mereka mempunyai mata (tapi) tidak melihat dengannya, dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih tersesat. Mereka itulah orang-orang lalai (Al-Ghafilun).
13 Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami, mereka ridha dengan kehidupan dunia dan sudah merasa tenteram dengannya dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.
14 Mereka hanya mengetahui yang dzahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai (Ghafilun).
15 Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai (hubb) kehidupan dunia melebihi akhirat. Dan bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum kafir (al-qawm al-kafirin). Mereka itulah orang-orang yang qalb, pendengaran, dan penglihatan mereka telah dikunci mati oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang lalai (al-ghafilun).
16 Pernahkah engkau melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ‘Ilm-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
17 Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
18 Allah telah mengunci mati qulub dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka azab yang berat.
19 Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Muhtadun).
20 Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam shudur.
21 Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’, karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
22 Tanda-tanda
23 Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
24 Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
25… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun).
26 Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun (al-Ghaffar) bagi orang-orang yang taubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap pada petunjuk.
27 CATATAN
1. Hadist Nabi s.a.w.
2. Hadist Nabi s.a.w.
3. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 25
4. Hadist Nabi s.a.w.
5. Hadist Nabi s.a.w.
6. Hadist Nabi s.a.w.
7. QS Al-Anfal[8]: 24
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 31
10. Hadist Nabi s.a.w.
11. QS Al-Muthaffifiin[83]: 12, 14
12. QS Al-Baqarah [2]:8-10
13. QS Al-A’raf[7]: 179
14. QS Yunus [10]: 7
15. QS Ar-Ruum [30]: 7
16. QS An-Nahl [16]: 107-108
17. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
18. QS Yaasiin [36]: 9
19. QS Al-Baqarah [2]: 7
20. QS Al-An’am[6]:82
21. QS Al-Hajj [22]: 46
22. QS Al-Hujurat[49]: 11
23. QS Al-An’am[6]: 125
24. Hadits Nabi s.a.w.
25. QS Az-Zumar [39]: 22
26. QS Al-Hujurat [49]: 11
27. QS Thaahaa [20]: 82
Struktur Insan: Skema Interaksi
Mengenai Jasad, Nafs, Qalb, Ruh, ‘Aql
Jasad atau Jisim atau Bentuk (jasd, jism, shuwar)
Tubuh manusia yang tersusun dari materi dasar api, tanah, air dan udara, sebagaimana yang dapat kita indrai. Unsur-unsur dasar yang membentuk manusia itu sama dengan unsur-unsur dasar dari bumi, tempatnya jasad itu tinggal.
Jasad dihidupkan oleh hembusan ruh. Setelah hidup ia memerlukan enersi, yang dapat diperolehnya dari makanan yang bersumber dari bumi.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan al-insan dari saripati tanah.”
1-Nafs (tunggal = an-nafs, jamak = al-anfus)
Merupakan suatu barzakh (intermediary) antara jasad dan ruh. Jiwa tersusun dari unsur cahaya ilahiah; ia memiliki suatu kehidupan tersendiri yang terpisah dari jasad. Jiwa memperoleh enersinya dari ruh.
Jiwa merupakan hakikat ke-insan-an seseorang—jiwa lah yang membuat insan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Jiwa lah yang menjadi sasaran pendidikan Ilahi. Di dalam jiwa ditempatkan ruh; ke duanya ditempatkan dalam jasad. Alam jiwa disebut juga alam mitsal.
Jadi, selama perjalanannya di Bumi, jiwa (nafs) menggunakan kendaraan jasad. Dapat dikatakan jasad merupakan “nagari” atau “kota” pertama (yaitu, lingkungan yang paling dekat) bagi jiwa. Diberikannya perangkat jasad kepada jiwa dimaksudkan agar jiwa dapat mengambil bagian dalam pendidikan Ilahiah yang ditebarkan di Bumi. Di Bumi ini pula ia diseru untuk melaksanakan maksud dari penciptaannya.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu pada kaum hingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada nafs-nafs mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan tak ada bagi mereka satu penolong pun selain Allah.
2-Dan adapun orang-orang yang takut (khawf) terhadap maqam Rabb-nya dan menahan nafs dari hawa nafsu, maka sesungguhnya jannah-lah tempatnya.
3-Karena yang menjadi sasaran pendidikan ilahi adalah jiwa, pembahasan lebih mendalam ditujukan untuk memberikan pengantar bagi pendidikan jiwa melalui pensuciannya, yang disebut pula tazkiyatun-nafs atau jihadun-nafs.
Ruh (tunggal = ruh, jamak = arwah)
Ruh tersusun dari unsur cahaya yang paling murni dan paling tinggi kedudukannya dalam keseluruhan aspek manusia. Yang dihembuskan kepada manusia setelah disiapkan segala sesuatunya.
Ruh memberikan kehidupan kepada jasad—tanpa ruh jasad segera terurai kembali menjadi unsur-unsur bumi pembentuknya. Ruh merupakan sumber enersi bagi nafs. Apabila cahaya ruh tidak mencapai nafs maka nafs tersebut, sekalipun dia tetap hidup, akan tetapi dia tidak memiliki enersi atau lumpuh.
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (dari)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan af’idah. Sedikit sekali kalian bersyukur.
4-Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (dari)- Ku; maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya.
5-Qalb (tunggal = qalb, jamak = qulub)
Aspek partikular dari an-nafs tempat dikendalikannya seluruh elemen yang lain.
Di dalam diri insan—tepatnya pada perangkat qalb-nya—bertemu tiga alam yang berbeda, yakni: jismaniyyah, mitsal, dan arwah atau disebut pula tiga martabat kauniyyah.
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang lelaki dua qalb dalam rongganya.
6- ‘Aql (al-‘aql, dibedakan dengan nalar atau akal jasad)
Aspek partikular dari Qalb, merupakan perangkat untuk menangkap dan mendapatkan al-‘ilmu—yakni ilmu ketuhanan, yang didapatkan dengan hakikat penghambaan. Jadi, ilmu (al-‘ilmu) ini dibedakan dengan ilmu biasa yang kita kenal sehari-hari, yaitu yang ditangkap oleh nalar dan didapatkan dengan jalan pengkajian.
Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka ber-‘aqal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah al-qalb yang ada di dalam shudur.
7-“Barangsiapa berbuat dosa, maka berpisahlah ia dari ‘aqal-nya dan tidak akan kembali selamanya.”
8-Nafsu’l-Mutmainnah: yang Seyogyanya Dididik Menjadi Penggembala
Pensucian jiwa ditujukan untuk mendidik satu komponen jiwa—nafsu’l-muthmainnah—yang berperan sebagai penggembala yang kuat dan ber-ilmu, sehingga ia mampu mengatur komponen-komponen jiwa lainnya yang merupakan obyek gembalaannya. Jika yang seharusnya berperan sebagai sang gembala tertidur ataupun lumpuh kekurangan enersi, maka komponen-komponen lainnya bersikap liar dan kemudian saling berlomba menguasai qalb—yang berarti menguasai diri seseorang sepenuhnya.
Dan aku tidak membebaskan nafs-ku karena sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan (nafs amara bissu’), kecuali (nafs) yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
.9-Dan aku bersumpah dengan nafs yang mencela (nafs al-lawwamah)
10-Wahai nafs al-muthmainnah! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya.
11- Syahwat dan Hawa Nafsu
Pendidikan jiwa atau transformasi menuju Hakikat Insan yang sejati menghadapi tiga jenis musuh, yaitu: (1) Syahwat, hasrat yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat material; (2) Hawa-Nafsu, berkenaan dengan yang bersifat non-material, sperti misalnya takabur, riya’, ujub, harga-diri, dst.; (3) Syaithan, terdiri atas golongan jin dan manusia, yang mempengaruhi manusia dengan memperalat syahwat dan hawa-nafsu.
Dijadikan indah pada manusia kencintaan pada syahwat dari wanita-manita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
12-Katakanlah, ”Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai (hubb) daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di sabil-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan ‘amr-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqin).
13-Maka pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah menyesatkan berdasar ‘ilm-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan menjadikan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
14-Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah)? Maka apakah kamu dapat menjadi wakil atasnya?
15… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari sabil Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari sabil Allah akan mendapat azab yang sangat pedih disebabkan mereka melupakan Hari Penghisaban (yawm al-Hisab).
16-Qalb Sebagai Singgasana Sang Raja
Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia shalih maka shalih-lah seluruhnya, jika ia fasad (rusak) maka fasad-lah seluruhnya.
17-Qalb itu ibarat singgasana Sang Raja. Komponen diri mana saja yang tengah berhasil menduduki qalb akan berkedudukan sebagai Raja dan memperlakukan komponen-komponen lainnya sebagai bala-tentaranya. Jika shaleh Sang Raja tersebut, maka shaleh pula bala tentaranya; sedangkan bila Raja-nya fasad (rusak) maka fasad pula bala-tentaranya.
Sang Raja yang tengah bertahta di atas singgasana qalb mempunyai 2 jenis bala-tentara:
1. Tentara Lahir: JISIM
• Tingkat 1: “… delapan pasang binatang ternak…”
18-(Lihat Gambar)
1 Mata - Mata
2 Telinga - Telinga
3 Hidung - Hidung
4 Tangan - Tangan
5 Kaki - Kaki
6 Lidah - Perut
7 Mulut - Larinx
8 ↑ atau ↓ Pada orang lain
• Tingkat 2: “… tiga lapis kegelapan … “
19-i. Penglihatan
ii. Pendengaran
iii. Al af’idah
2. Tentara Batin: HAWA atau HAWA-NAFSU
Keberadaan hawa-nafsu (hawa), Imam Al-Ghazali menyebutnya tentara bathin dari qalb, pada diri seseorang hanya bisa dilihat oleh mata batin, atau penglihatan dari qalb. Hawa-nafsu itu sesuatu yang memang ada, dan memang tidak untuk dihilangkan. Tujuan dari tazkiyatun-nafs adalah untuk mengendalikannya dan bukan untuk menghilangkannya. Sekalipun demikian, bagi kebanyakan orang aspek hewaniyyah-nya yang terus berhasil menguasai dirinya, karena nafsu’l muthmainnah-nya lumpuh.
CATATAN
1. QS Al-Mu’minun [23]: 12
2. QS Ar-Ra’d[13]: 11
3. QS An-Naazi’aat[79]: 40
4. QS As-Sajdah[32]: 9
5. QS Shaad[38]: 72
6. QS Al-Ahzab[33}: 4
7. QS Al-Hajj[22]:46
8. Hadits Nabi s.a.w.
9. QS Yusuf[12]: 53
10. QS Al-Qiyamah[75]:2
11. QS Al-Fajr[89]: 27 – 28
12. QS Ali ‘Imran [3] : 14
13. QS At-Taubah[9]: 24
14. QS Al-Jatsiyah[45]: 23
15. QS Al-Furqan[25]: 43
16. QS Shaad[38]: 26.
17. Hadits Nabi s.a.w
18. QS Az Zumar [39]: 6
19. QS An Nuur [24]: 40
Kajian Al Qur’an-materi-ke 4
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Struktur Insan: Qalb
Struktur Insan: Qalb
4 Jenis Qalb:
Qalb itu ada empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang. Maka itulah qalb Al-Mu’min. Qalb yang hitam terbalik, maka itulah qalb Al-Kafir. Qalb terbungkus yang terikat dengan bungkusnya, maka itulah qalb Al-Munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan dan ke-nifaq-an.
Qalb itu ada empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang. Maka itulah qalb Al-Mu’min. Qalb yang hitam terbalik, maka itulah qalb Al-Kafir. Qalb terbungkus yang terikat dengan bungkusnya, maka itulah qalb Al-Munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan dan ke-nifaq-an.
1 Mengapa Qalb yang Bersih Diperlukan Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’”
2 Beberapa Karakteristik Qalb Ideal
Ali k.w. berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai wadah di bumi-Nya, yaitu qalb. Maka qalb yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala adalah yang paling kuat, yang paling bersih, dan yang paling lembut. Kemudian Ali k.w. menafsirkannya dengan mengatakan, “Paling kuatnya qalb itu mengenai Agama, paling bersihnya itu mengenai keyakinan, dan paling lembut kepada saudara-saudara.
Ali k.w. berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai wadah di bumi-Nya, yaitu qalb. Maka qalb yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala adalah yang paling kuat, yang paling bersih, dan yang paling lembut. Kemudian Ali k.w. menafsirkannya dengan mengatakan, “Paling kuatnya qalb itu mengenai Agama, paling bersihnya itu mengenai keyakinan, dan paling lembut kepada saudara-saudara.
3 Kedudukan Manusia Bergantung Kualitas Qalb-nya
Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikan-Nya baginya Penasehat dari qalb-nya.
Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikan-Nya baginya Penasehat dari qalb-nya.
4 Barangsiapa mempunyai Penasehat dari qalb-nya, niscaya ada penjaga dari Allah kepadanya.
5 Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi qalb Bani Adam, niscaya mereka itu melihat ke alam malakut.
6… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan.
7. Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang itu bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang takwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad.”
7. Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang itu bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang takwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad.”
8 Dosa Itu Mengotori Qalb
Manakala dosa itu telah bertindih-lapis, niscaya tercapkanlah di atas qalb. Dan pada ketika itu, butalah qalb dari mengetahui kebenaran dan kebaikan Agama. Dan ia mempermudah urusan akhirat. Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah cita-citanya terbatas pada dunia. Maka apabila pendengarannya diketuk dengan urusan akhirat dan bahaya-bahaya yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga yang satu lagi. Tidak menetap di dalam qalb dan tidak menggerakkannya kepada taubat dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah orang-orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana putus asanya orang-orang kafir yang di dalam kubur.
9 Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh ‘aql yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya.
10 Dan tidaklah yang mendustakan hal itu (yawm ad-Din) melainkan orang-orang yang melampaui batas lagi berdosa … sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup qulub mereka.
11 Dan di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” Padahal mereka itu bukan orang-orang yang mu’min. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadari. Dalam qulub mereka terdapat penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka azab yang pedih disebabkan mereka berdusta.
12 Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai qalb (tapi) tidak memahami dengannya, mereka mempunyai mata (tapi) tidak melihat dengannya, dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih tersesat. Mereka itulah orang-orang lalai (Al-Ghafilun).
13 Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami, mereka ridha dengan kehidupan dunia dan sudah merasa tenteram dengannya dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.
14 Mereka hanya mengetahui yang dzahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai (Ghafilun).
15 Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai (hubb) kehidupan dunia melebihi akhirat. Dan bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum kafir (al-qawm al-kafirin). Mereka itulah orang-orang yang qalb, pendengaran, dan penglihatan mereka telah dikunci mati oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang lalai (al-ghafilun).
16 Pernahkah engkau melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ‘Ilm-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
17 Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
18 Allah telah mengunci mati qulub dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka azab yang berat.
19 Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Muhtadun).
20 Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam shudur.
21 Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’, karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
22 Tanda-tanda
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
23 Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
24 Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
25… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun).
26 Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun (al-Ghaffar) bagi orang-orang yang taubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap pada petunjuk.
27 CATATAN
1. Hadist Nabi s.a.w.
2. Hadist Nabi s.a.w.
3. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 25
4. Hadist Nabi s.a.w.
5. Hadist Nabi s.a.w.
6. Hadist Nabi s.a.w.
7. QS Al-Anfal[8]: 24
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 31
10. Hadist Nabi s.a.w.
11. QS Al-Muthaffifiin[83]: 12, 14
12. QS Al-Baqarah [2]:8-10
13. QS Al-A’raf[7]: 179
14. QS Yunus [10]: 7
15. QS Ar-Ruum [30]: 7
16. QS An-Nahl [16]: 107-108
17. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
18. QS Yaasiin [36]: 9
19. QS Al-Baqarah [2]: 7
20. QS Al-An’am[6]:82
21. QS Al-Hajj [22]: 46
22. QS Al-Hujurat[49]: 11
23. QS Al-An’am[6]: 125
24. Hadits Nabi s.a.w.
25. QS Az-Zumar [39]: 22
26. QS Al-Hujurat [49]: 11
27. QS Thaahaa [20]: 82
Kajian Al Qur’an-materi-ke 5
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Hijab Qalb
Sebab-sebab Qalb Terhijab
Qalb yang bersih jarang terdapat. Kebanyakan qalb dalam keadaan terkotori oleh tapak-tapak dosa. Karenanya, ia tidak dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya; ia dalam keadaan terhijab. Terdapat dua sebab utama dari keadaan ini, yaitu:
1. Mencintai kehidupan dunia.
2. Mempertuhankan hawa-nafsu.
Akibatnya…
Pada al-Hadits tentang 4 jenis qalb yang telah dibahas sebelumnya, maka tentulah jenis yang pertama dan yang ke dua tidak perlu dibicarakan lagi di sini. Jenis yang ke tiga adalah qalb al-Munafiq; yang disebut demikian sebab ia menyatakan dengan lisannya bahwa Allah merupakan Tuhannya, tetapi ia mempertuhankan hawa-nafsu dan mencintai dunia.
Sedangkan untuk jenis yang ke empat, yakni yang tercampur-aduk di-qalb-nya antara iman dan nifaq, maka ia kesulitan dalam memastikan petunjuk dalam kehidupannya. Jika petunjuk itu datang ke bagian qalb-nya yang sudah diimankan maka tentulah ia benar. Sebaliknya jika petunjuk itu ditangkap oleh bagian qalb-nya yang lain maka kebalikannya lah yang terjadi.
… orang-orang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan merekalah yang mendapat petunjuk (muhtaduun).
1-Pada keadaan yang parah, yaitu akibat lama terliputi oleh hijab yang tebal, maka qalb mengeras seperti batu. Akibatnya, syaithan—yang bekerja melalui syahwat dan hawa-nafsu dari orang itu sendiri—dapat mengendalikan sang pemilik qalb.
… bahkan qalb mereka telah menjadi keras dan syaithan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang mereka perbuat.
2… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan.
3-Istilah-istilah lain yang digunakan di dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan qalb yang terhijab sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya ialah dinding,
4 terkunci-mati, 5 atau tutup; 6 semuanya menggambarkan keterputusan komunikasi antara pemiliknya dengan Penciptanya.
Jika keadaan qalb seperti itu menyebabkan pemiliknya hidup di alam dunia ini bagaikan perahu tersesat kehilangan kemudi, maka pada alam-alam berikutnya yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan alam-dunia ini ia akan berada dalam keadaan yang lebih buruk lagi.
Dan barangsiapa buta di dunia ini, niscaya di akhirat buta dan lebih tersesat lagi dari jalan.
7-Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Ia berkata): Yaa, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah seorang yang melihat?
8-Al-Qur'an sendiri menerangkan bahwa kebutaan yang dikeluhkan dalam ayat di atas bukanlah suatu cacat yang terdapat pada jasad sang manusia, yang kebanyakan sempurna seluruhnya, melainkan yang terdapat di dalam jasad manusia. Hakikat manusia adalah pada jiwanya. Aspek inilah yang akan terus berjalan menelusuri alam-alam berikutnya.
Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam dada (shudur).
9-Harus Dikembalikan kepada Allah…
Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup atas qalb-mu siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?
10-Hal pertama yang mesti dilakukan adalah bertaubat (= kembali) kepada Allah. Melakukan yang sebaliknya berarti merugikan diri sendiri.… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun).
11-Mencari Jalan…Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah cara (wasiilah) dan berjihadlah dalam jalan (sabiil)-Nya, supaya kamu beruntung.
12-Dan barangsiapa berjihad di dalam Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulana), …
13-Berupaya Menjadi Golongan yang Ditunjuki. Keterbukaan qalb merupakan syarat agar dapat termasuk golongan yang ditunjuki atau dipandu oleh Sang Pencipta. Mekanisme pemanduan ini mempergunakan perangkat qalb.
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu orang-orang yang beriman billah, dan hari akhirat, dan menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, dan tidak takut (yakhsya) kepada selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang ditunjuki (al-muhtadiin).
14-Wahai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap mereka yang gugur dalam sabiil Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kegembiraan kepada mereka yang sabar. Yaitu, mereka yang jika ditimpa musibah mengatakan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang atas mereka shalawat dari Rabb mereka dan rahmat, dan merekalah yang mendapat petunjuk (al-muhtaduun).
15… Sekiranya tidak karena fadhilah Allah atasmu dan rahmat-Nya kepadamu, tiada seorang pun dari kamu bersih selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.
16…Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
17…dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang dzaliim.
18… dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqiin).
19-Barangsiapa diberi petunjuk Allah maka dialah al-muhtad, dan barangsiapa disesatkan maka dialah golongan yang merugi (al-khasiruun).
20-Tujuan Tunggal: Mencari Allah Jalan kembali merupakan sesuatu al-‘Aqabah (mendaki lagi sukar, QS Al Balad [90]: 11), yang sebelum memasuki pembicaraan lebih teknikalnya, pada tahap ini yang perlu terlebih dahulu dimantapkan di dalam hati adalah penunggalan akan apa yang dicari—yaitu apakah kita mencari Allah. Kesadaran pencarian Allah itulah yang sulit terdapat pada kebanyakan orang; sebab: Manusia itu tidur, maka apabila mereka telah mati niscaya mereka terbangun
21-Pencarian Tuhan, pengharapan untuk bertemu dengan Allah merupakan hal yang pertama dan utama ada terlebih dahulu, jauh sebelum semua upaya untuk mencari jalannya; karena: Siapa yang mencintai bertemu dengan Allah, niscaya Allah mencintai bertemu dengan dia.
22-Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya ajal dari Allah itu pasti datang, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
23-Barangsiapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal-amal shalih dan janganlah mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadat kepada-Nya.
24-Telah lama lah rindunya orang-orang yang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka.
25-Sebaliknya …Barangsiapa tiada menyukai menemui Allah, niscaya Allah tidak menyukai menemuinya.
26… Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami bergelimang dalam kesesatan mereka.
27-Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada orang-orang yang beriman: ‘Adakah kamu menyukai bertemu dengan Aku?’ Mereka lalu menjawab: ‘Ya, Wahai Tuhan kami.” Maka Dia berfirman:’Mengapa?’ Maka mereka menjawab: ‘Kami mengharap kema’afan Engkau dan ampunan Engkau.’ Allah lalu berfirman: ‘Telah Aku haruskan bagimu akan ampunan-Ku’
28- CATATAN
1. QS Al An’aam [6]: 82.
2. QS Al An’aam [6]: 43.
3. QS Al Anfaal [8]: 24.
4. QS Yaasin [36]: 9.
5. QS Al-Baqarah [2]: 7, QS An-Nahl [16]: 107-108
6. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
7. QS Al Israa’ [17]: 72.
8. QS Thaahaa [20] 124 – 125.
9. QS Al-Hajj [22]: 46
10. QS Al An’aam [6]: 46.
11. QS Al-Hujurat [49]: 11
12. QS Al Maa-idah [5]: 35.
13. QS Al ‘Ankabuut [29]: 69.
14. QS At-Taubah [9]: 18.
15. QS Al Baqarah [2]: 153 – 157.
16. QS An Nuur [24]: 21.
17. QS An Nuur [24]: 31.
18. QS At-Taubah [9]: 19.
19. QS At-Taubah [9]: 24.
20. QS Al A’Raaf [7]: 178.
21. Hadits Nabi s.a.w., ‘Ihya Buku VI, h. 160.
22. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 506.
23. QS Al ‘Ankabuut [29]: 5.
24. QS Al Kahfi [18]: 110.
25. Al-Hadits al-Qudsi, ‘Ihya II, h. 913.
26. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 844
27. QS Yunus [10]: 11.
28. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Ahmad dan Thabrani, ‘Ihya Buku 4, h. 1101.
Kajian Al Qur’an-materi-ke 6
Hijab Qalb
Sebab-sebab Qalb Terhijab
Qalb yang bersih jarang terdapat. Kebanyakan qalb dalam keadaan terkotori oleh tapak-tapak dosa. Karenanya, ia tidak dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya; ia dalam keadaan terhijab. Terdapat dua sebab utama dari keadaan ini, yaitu:
1. Mencintai kehidupan dunia.
2. Mempertuhankan hawa-nafsu.
Akibatnya…
Pada al-Hadits tentang 4 jenis qalb yang telah dibahas sebelumnya, maka tentulah jenis yang pertama dan yang ke dua tidak perlu dibicarakan lagi di sini. Jenis yang ke tiga adalah qalb al-Munafiq; yang disebut demikian sebab ia menyatakan dengan lisannya bahwa Allah merupakan Tuhannya, tetapi ia mempertuhankan hawa-nafsu dan mencintai dunia.
Sedangkan untuk jenis yang ke empat, yakni yang tercampur-aduk di-qalb-nya antara iman dan nifaq, maka ia kesulitan dalam memastikan petunjuk dalam kehidupannya. Jika petunjuk itu datang ke bagian qalb-nya yang sudah diimankan maka tentulah ia benar. Sebaliknya jika petunjuk itu ditangkap oleh bagian qalb-nya yang lain maka kebalikannya lah yang terjadi.
… orang-orang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan merekalah yang mendapat petunjuk (muhtaduun).
1-Pada keadaan yang parah, yaitu akibat lama terliputi oleh hijab yang tebal, maka qalb mengeras seperti batu. Akibatnya, syaithan—yang bekerja melalui syahwat dan hawa-nafsu dari orang itu sendiri—dapat mengendalikan sang pemilik qalb.
… bahkan qalb mereka telah menjadi keras dan syaithan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang mereka perbuat.
2… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan.
3-Istilah-istilah lain yang digunakan di dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan qalb yang terhijab sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya ialah dinding,
4 terkunci-mati, 5 atau tutup; 6 semuanya menggambarkan keterputusan komunikasi antara pemiliknya dengan Penciptanya.
Jika keadaan qalb seperti itu menyebabkan pemiliknya hidup di alam dunia ini bagaikan perahu tersesat kehilangan kemudi, maka pada alam-alam berikutnya yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan alam-dunia ini ia akan berada dalam keadaan yang lebih buruk lagi.
Dan barangsiapa buta di dunia ini, niscaya di akhirat buta dan lebih tersesat lagi dari jalan.
7-Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Ia berkata): Yaa, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah seorang yang melihat?
8-Al-Qur'an sendiri menerangkan bahwa kebutaan yang dikeluhkan dalam ayat di atas bukanlah suatu cacat yang terdapat pada jasad sang manusia, yang kebanyakan sempurna seluruhnya, melainkan yang terdapat di dalam jasad manusia. Hakikat manusia adalah pada jiwanya. Aspek inilah yang akan terus berjalan menelusuri alam-alam berikutnya.
Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam dada (shudur).
9-Harus Dikembalikan kepada Allah…
Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup atas qalb-mu siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?
10-Hal pertama yang mesti dilakukan adalah bertaubat (= kembali) kepada Allah. Melakukan yang sebaliknya berarti merugikan diri sendiri.… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun).
11-Mencari Jalan…Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah cara (wasiilah) dan berjihadlah dalam jalan (sabiil)-Nya, supaya kamu beruntung.
12-Dan barangsiapa berjihad di dalam Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulana), …
13-Berupaya Menjadi Golongan yang Ditunjuki. Keterbukaan qalb merupakan syarat agar dapat termasuk golongan yang ditunjuki atau dipandu oleh Sang Pencipta. Mekanisme pemanduan ini mempergunakan perangkat qalb.
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu orang-orang yang beriman billah, dan hari akhirat, dan menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, dan tidak takut (yakhsya) kepada selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang ditunjuki (al-muhtadiin).
14-Wahai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap mereka yang gugur dalam sabiil Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kegembiraan kepada mereka yang sabar. Yaitu, mereka yang jika ditimpa musibah mengatakan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang atas mereka shalawat dari Rabb mereka dan rahmat, dan merekalah yang mendapat petunjuk (al-muhtaduun).
15… Sekiranya tidak karena fadhilah Allah atasmu dan rahmat-Nya kepadamu, tiada seorang pun dari kamu bersih selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.
16…Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
17…dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang dzaliim.
18… dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqiin).
19-Barangsiapa diberi petunjuk Allah maka dialah al-muhtad, dan barangsiapa disesatkan maka dialah golongan yang merugi (al-khasiruun).
20-Tujuan Tunggal: Mencari Allah Jalan kembali merupakan sesuatu al-‘Aqabah (mendaki lagi sukar, QS Al Balad [90]: 11), yang sebelum memasuki pembicaraan lebih teknikalnya, pada tahap ini yang perlu terlebih dahulu dimantapkan di dalam hati adalah penunggalan akan apa yang dicari—yaitu apakah kita mencari Allah. Kesadaran pencarian Allah itulah yang sulit terdapat pada kebanyakan orang; sebab: Manusia itu tidur, maka apabila mereka telah mati niscaya mereka terbangun
21-Pencarian Tuhan, pengharapan untuk bertemu dengan Allah merupakan hal yang pertama dan utama ada terlebih dahulu, jauh sebelum semua upaya untuk mencari jalannya; karena: Siapa yang mencintai bertemu dengan Allah, niscaya Allah mencintai bertemu dengan dia.
22-Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya ajal dari Allah itu pasti datang, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
23-Barangsiapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal-amal shalih dan janganlah mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadat kepada-Nya.
24-Telah lama lah rindunya orang-orang yang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka.
25-Sebaliknya …Barangsiapa tiada menyukai menemui Allah, niscaya Allah tidak menyukai menemuinya.
26… Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami bergelimang dalam kesesatan mereka.
27-Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada orang-orang yang beriman: ‘Adakah kamu menyukai bertemu dengan Aku?’ Mereka lalu menjawab: ‘Ya, Wahai Tuhan kami.” Maka Dia berfirman:’Mengapa?’ Maka mereka menjawab: ‘Kami mengharap kema’afan Engkau dan ampunan Engkau.’ Allah lalu berfirman: ‘Telah Aku haruskan bagimu akan ampunan-Ku’
28- CATATAN
1. QS Al An’aam [6]: 82.
2. QS Al An’aam [6]: 43.
3. QS Al Anfaal [8]: 24.
4. QS Yaasin [36]: 9.
5. QS Al-Baqarah [2]: 7, QS An-Nahl [16]: 107-108
6. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
7. QS Al Israa’ [17]: 72.
8. QS Thaahaa [20] 124 – 125.
9. QS Al-Hajj [22]: 46
10. QS Al An’aam [6]: 46.
11. QS Al-Hujurat [49]: 11
12. QS Al Maa-idah [5]: 35.
13. QS Al ‘Ankabuut [29]: 69.
14. QS At-Taubah [9]: 18.
15. QS Al Baqarah [2]: 153 – 157.
16. QS An Nuur [24]: 21.
17. QS An Nuur [24]: 31.
18. QS At-Taubah [9]: 19.
19. QS At-Taubah [9]: 24.
20. QS Al A’Raaf [7]: 178.
21. Hadits Nabi s.a.w., ‘Ihya Buku VI, h. 160.
22. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 506.
23. QS Al ‘Ankabuut [29]: 5.
24. QS Al Kahfi [18]: 110.
25. Al-Hadits al-Qudsi, ‘Ihya II, h. 913.
26. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Bukhari-Muslim, ‘Ihya Buku 4, h. 844
27. QS Yunus [10]: 11.
28. Hadits Nabi s.a.w., riwayat Ahmad dan Thabrani, ‘Ihya Buku 4, h. 1101.
Kajian Al Qur’an-materi-ke 6
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Kalimah Taqwa: Cahaya ‘Iman
Tingkat-tingkat Iman (Imam Al-Ghazali):
• Iman Awami: letaknya di lisan.
• Iman Mutakalimin: didukung dengan hujjah.
• Iman ‘Arifin (Nur Iman): Cahaya Allah yang memancar di qalb orang yang Allah kehendaki bersih dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya (dosa).
Jenis iman berupa cahaya Allah inilah hakikat iman yang sebenarnya. Dan hanya iman jenis ini saja yang akan dibicarakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Asma dari Allah yang segera dapat terlihat di sini, antara lain, adalah: al-Ghafur (Maha-Pengampun), al-Rahiim (Maha-Rahim), al-Rahman (Maha-Rahman), al-Nuur (Maha-Cahaya), al-Mu’miin (Maha-Memiliki-Keimanan).
Iman Cahaya
Allah menyatakan bahwa Dia merupakan Wali (pengayom, pelindung) bagi mereka yang beriman:
“Allah wali orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, …”
1"Cahaya merupakan lawan dari kegelapan:
“… dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka kepada shirath al-mustaqiim”
2“… supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya …”
3“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki …”
4"Adalah Allah, An-Nuur yang merupakan Cahaya bagi lelangit dan bumi, tiada sumber cahaya lain:
“… barangsiapa tidak diciptakan baginya cahaya oleh Allah maka tiada baginya cahaya sedikitpun.”
5"Cahaya keimanan merupakan sesuatu yang terus dibawa ketika nafs melakukan perjalanan menembus berbagai alam. Inilah cahaya yang “bersinar di hadapan mereka”:
“… pada hari ketika kamu melihat orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”
6“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang al-kafiriin itu memandang baik apa yang mereka lakukan.”
7"Pada sebuah haditsnya dengan seorang sahabat anshar, Haritsah r.a., Rasulullah s.a.w. menerangkan tentang keimanan berupa cahaya atau ‘iman billah ini:
Suatu ketika Rasulullah s.a.w. sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah s.a.w. bertanya, “Bagaimana keadaanmu, yaa Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mukmin billah.” Rasulullah menjawab, “Yaa Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan …!” Haritsah menjawab, “Yaa Rasulullah, hawa-nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang-hari hamba berpuasa… Sekarang ini hamba dapat melihat al-‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba… Hamba dapat melihat orang-orang di al-Jannah saling kunjung-mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni an-Naar berteriak-teriak …” Maka Rasulullah s.a.w. berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di-qalb-mu.”
8"Tempat Iman Cahaya itu di Qalb
Ayat berikut ini menjelaskan bahwa iman itu bukan sekedar pernyataan di lisan seseorang, melainkan apa yang Allah berkenan untuk dilimpahkan-Nya kepada qalb seseorang.
Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’ (aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
9"Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nuur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
10"Pembukaan dada untuk berserah diri yang kemudiaan diikuti dengan pencahayaan oleh Allah An-Nuur itu memperlihatkan proses pengimanan awal, yang dijelaskan tanda-tandanya oleh Rasulullah s.a.w. berikut ini:
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
11"Lalu bertanya seseorang kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima cahaya tersebut dengan seluas-luasnya.” Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?” Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
12"Keberhasilan proses pensucian nafs pada tingkatan-tingkatan berikutnya kemudian diikuti dengan pelimpahan-pelimpahan cahaya keimanan yang lebih lanjut:“… Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu …”
13“… agar bertambah keimanan mereka bersama keimanan yang telah ada …”
14"Pengimanan paripurna yang Allah anugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tergolong mereka yang dikasihi-Nya, ditandai dengan ayat berikut:
“… mereka itulah orang-orang yang telah dituliskan dalam qulub mereka al-‘Iman.”
15"Hanya qalb-lah satu-satunya perangkat pada manusia yang dapat menerima pencahayaan pengimanan, sebagaimana dirumuskan dalan Hadits Qudsi yang terkenal ini: “… tidak cukup untuk-Ku bumi-Ku dan langit-Ku, tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah qalb hamba-Ku yang mukmin.”
16"Qalb yang diterangi cahaya iman itu terang bagaikan rembulan. Sehingga mulai tampaklah langit (samaai’ = nafs = jiwa), dan permukaan bumi (ardh = jasad).
Fungsi Iman
• Sebagai sarana diturunkannya petunjuk (hudan).
“… dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya …”
17“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka …”
18“… dan sesungguhnya Allah Pemberi-petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada shiraath al-mustaqiim.”
19• Melalui iman cahaya Allah mengajarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (baik yang qur’aniyah maupun yang kauniyah) kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat menyaksikan kerajaan langit (alam malakut atau alam jiwa), menyaksikan ayat-ayat Allah tanpa terbatasi ruang dan waktu, dengan seizin-Nya; serta dapat memahami pelik-pelik dan hakikat-hakikat agama dengan penuh keyakinan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dalam segenap ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-Haqq.”
20“Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu …”
21“Tidak menyentuhnya melainkan yang disucikan (al-muthaharuun)”
22• Dengan bantuan cahaya-cahaya-Nya Allah memperkenalkan Diri-Nya, dan memperlihatkan cahaya-cahaya kesucian, sehingga seorang mukmin dapat ma’rifat kepada-Nya serta beriman kepada utusan-utusan (rasul-rasul)-Nya.
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqiin dan syuhada di sisi Rabb mereka …”
23"Bagaimana peran iman cahaya ini dalam menerima dan menyikapi apa-apa yang Allah turunkan dilukiskan dalam uraian seorang sahabat, Ibnu Umar r.a., berikut ini:
“Kita telah hidup sekejap mata. Ada diantara kita memperoleh iman sebelum Al-Qur'an, lalu turunlah surat Al-Qur'an itu. Maka dipelajarinya lah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang, dan apa yang dia harus berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang diantara mereka didatangkan Al-Qur'an sebelum iman, maka dibacanya lah semuanya, dari permulaan sampai ke penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogyanya dia berhenti padanya. Maka dihamburkannya apa yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk.”
“Adalah kami para sahabat Nabi s.a.w. diberikan kepada kami iman sebelum Al-Qur'an. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Qur'an sebelum iman. Mereka menegakkan huruf-huruf Al-Qur'an dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Qur'an, dengan mengatakan: ‘Kami sudah baca, siapakah yang lebih banyak membaca daripada kami? Kami sudah tahu, siapakah yang lebih tahu daripada kami?’ Maka begitulah nasib mereka.”
24"Sekilas Mengenai Petunjuk. Salah satu asma Allah adalah Al-Hadi (Yang Maha Menunjuki). Petunjuk ini merupakan faktor yang memilah manusia menjadi golongan yang beruntung dan yang merugi.
“Barangsiapa mendapat petunjuk Allah maka dialah yang menerima petunjuk (al-muhtadi), dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka merekalah orang-orang yang merugi (al-khasiruun).”
25“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya …”
26“… sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar …”
27“…barangsiapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya itu bagi kebaikan diri (nafs)-nya sendiri, dan barangsiapa sesat maka itu mencelakakan dirinya sendiri …”
28“Dan barangsiapa ditunjuki Allah maka dialah al-muhtadi, dan barangsiapa Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong bagi mereka selain dari Dia …”
29"Persoalan petunjuk ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan diwartakan untuk menjadi pegangan sedari awal sejarah manusia di Bumi, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang turun kepada penghulu manusia, Adam a.s. ini:
“Katakanlah, turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
30“… barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih-hati.”
31“Mereka itulah yang tetap atasnya mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
32"CATATAN
1. QS Al Baqarah [2]: 257.
2. QS Al Maai-dah [5]: 16.
3. QS Al Ahzab [33]: 43.
4. QS An Nuur [24]: 35.
5. QS An Nuur [24]: 40.
6. QS Al Hadiid [57]: 22.
7. QS Al An’aam [6]: 122.
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. QS Al-Hujurat[49]: 14.
10. QS Az-Zumar [39]: 22.
11. QS Al-An’am[6]: 125.
12. Hadits Nabi s.a.w. Ihya’ Ulumiddin jilid I hal. 287.
13. QS Al-Hujurat [49]: 7.
14. QS Al-Fat-h [48]: 4.
15. QS Al Mujaadilah [58]: 22.
16. Hadits Qudsi.
17. QS At Taghaabun [64]: 11.
18. QS Yunus [10]: 9.
19. QS Al Hajj [22]: 54.
20. QS Fushshilat [41]: 53.
21. QS Al Ankabuut [29]: 49.
22. QS Al Waaqi’ah [56]: 79.
23. QS Al Hadiid [57]: 19.
24. Ihya ‘Ulumiddin jilid I, h. 285 – 286.
25. Al A’raaf [7]: 178.
26. QS Al Baqarah [2]: 272.
27. QS Al Baqarah [2]: 120.
28. QS Yunus [10]: 108.
29. QS Al Israa’ [17]: 97.
30. QS Thaahaa [20]: 123.
31. QS Al Baqarah [2]: 38.
32. QS Al Baqarah [2]: 5.
Kalimah Taqwa: Cahaya ‘Iman
Tingkat-tingkat Iman (Imam Al-Ghazali):
• Iman Awami: letaknya di lisan.
• Iman Mutakalimin: didukung dengan hujjah.
• Iman ‘Arifin (Nur Iman): Cahaya Allah yang memancar di qalb orang yang Allah kehendaki bersih dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya (dosa).
Jenis iman berupa cahaya Allah inilah hakikat iman yang sebenarnya. Dan hanya iman jenis ini saja yang akan dibicarakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Asma dari Allah yang segera dapat terlihat di sini, antara lain, adalah: al-Ghafur (Maha-Pengampun), al-Rahiim (Maha-Rahim), al-Rahman (Maha-Rahman), al-Nuur (Maha-Cahaya), al-Mu’miin (Maha-Memiliki-Keimanan).
Iman Cahaya
Allah menyatakan bahwa Dia merupakan Wali (pengayom, pelindung) bagi mereka yang beriman:
“Allah wali orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, …”
1"Cahaya merupakan lawan dari kegelapan:
“… dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka kepada shirath al-mustaqiim”
2“… supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya …”
3“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki …”
4"Adalah Allah, An-Nuur yang merupakan Cahaya bagi lelangit dan bumi, tiada sumber cahaya lain:
“… barangsiapa tidak diciptakan baginya cahaya oleh Allah maka tiada baginya cahaya sedikitpun.”
5"Cahaya keimanan merupakan sesuatu yang terus dibawa ketika nafs melakukan perjalanan menembus berbagai alam. Inilah cahaya yang “bersinar di hadapan mereka”:
“… pada hari ketika kamu melihat orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”
6“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang al-kafiriin itu memandang baik apa yang mereka lakukan.”
7"Pada sebuah haditsnya dengan seorang sahabat anshar, Haritsah r.a., Rasulullah s.a.w. menerangkan tentang keimanan berupa cahaya atau ‘iman billah ini:
Suatu ketika Rasulullah s.a.w. sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah s.a.w. bertanya, “Bagaimana keadaanmu, yaa Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mukmin billah.” Rasulullah menjawab, “Yaa Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan …!” Haritsah menjawab, “Yaa Rasulullah, hawa-nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang-hari hamba berpuasa… Sekarang ini hamba dapat melihat al-‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba… Hamba dapat melihat orang-orang di al-Jannah saling kunjung-mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni an-Naar berteriak-teriak …” Maka Rasulullah s.a.w. berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di-qalb-mu.”
8"Tempat Iman Cahaya itu di Qalb
Ayat berikut ini menjelaskan bahwa iman itu bukan sekedar pernyataan di lisan seseorang, melainkan apa yang Allah berkenan untuk dilimpahkan-Nya kepada qalb seseorang.
Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’ (aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
9"Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nuur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
10"Pembukaan dada untuk berserah diri yang kemudiaan diikuti dengan pencahayaan oleh Allah An-Nuur itu memperlihatkan proses pengimanan awal, yang dijelaskan tanda-tandanya oleh Rasulullah s.a.w. berikut ini:
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
11"Lalu bertanya seseorang kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima cahaya tersebut dengan seluas-luasnya.” Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?” Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
12"Keberhasilan proses pensucian nafs pada tingkatan-tingkatan berikutnya kemudian diikuti dengan pelimpahan-pelimpahan cahaya keimanan yang lebih lanjut:“… Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu …”
13“… agar bertambah keimanan mereka bersama keimanan yang telah ada …”
14"Pengimanan paripurna yang Allah anugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tergolong mereka yang dikasihi-Nya, ditandai dengan ayat berikut:
“… mereka itulah orang-orang yang telah dituliskan dalam qulub mereka al-‘Iman.”
15"Hanya qalb-lah satu-satunya perangkat pada manusia yang dapat menerima pencahayaan pengimanan, sebagaimana dirumuskan dalan Hadits Qudsi yang terkenal ini: “… tidak cukup untuk-Ku bumi-Ku dan langit-Ku, tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah qalb hamba-Ku yang mukmin.”
16"Qalb yang diterangi cahaya iman itu terang bagaikan rembulan. Sehingga mulai tampaklah langit (samaai’ = nafs = jiwa), dan permukaan bumi (ardh = jasad).
Fungsi Iman
• Sebagai sarana diturunkannya petunjuk (hudan).
“… dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya …”
17“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka …”
18“… dan sesungguhnya Allah Pemberi-petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada shiraath al-mustaqiim.”
19• Melalui iman cahaya Allah mengajarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (baik yang qur’aniyah maupun yang kauniyah) kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat menyaksikan kerajaan langit (alam malakut atau alam jiwa), menyaksikan ayat-ayat Allah tanpa terbatasi ruang dan waktu, dengan seizin-Nya; serta dapat memahami pelik-pelik dan hakikat-hakikat agama dengan penuh keyakinan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dalam segenap ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-Haqq.”
20“Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu …”
21“Tidak menyentuhnya melainkan yang disucikan (al-muthaharuun)”
22• Dengan bantuan cahaya-cahaya-Nya Allah memperkenalkan Diri-Nya, dan memperlihatkan cahaya-cahaya kesucian, sehingga seorang mukmin dapat ma’rifat kepada-Nya serta beriman kepada utusan-utusan (rasul-rasul)-Nya.
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqiin dan syuhada di sisi Rabb mereka …”
23"Bagaimana peran iman cahaya ini dalam menerima dan menyikapi apa-apa yang Allah turunkan dilukiskan dalam uraian seorang sahabat, Ibnu Umar r.a., berikut ini:
“Kita telah hidup sekejap mata. Ada diantara kita memperoleh iman sebelum Al-Qur'an, lalu turunlah surat Al-Qur'an itu. Maka dipelajarinya lah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang, dan apa yang dia harus berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang diantara mereka didatangkan Al-Qur'an sebelum iman, maka dibacanya lah semuanya, dari permulaan sampai ke penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogyanya dia berhenti padanya. Maka dihamburkannya apa yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk.”
“Adalah kami para sahabat Nabi s.a.w. diberikan kepada kami iman sebelum Al-Qur'an. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Qur'an sebelum iman. Mereka menegakkan huruf-huruf Al-Qur'an dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Qur'an, dengan mengatakan: ‘Kami sudah baca, siapakah yang lebih banyak membaca daripada kami? Kami sudah tahu, siapakah yang lebih tahu daripada kami?’ Maka begitulah nasib mereka.”
24"Sekilas Mengenai Petunjuk. Salah satu asma Allah adalah Al-Hadi (Yang Maha Menunjuki). Petunjuk ini merupakan faktor yang memilah manusia menjadi golongan yang beruntung dan yang merugi.
“Barangsiapa mendapat petunjuk Allah maka dialah yang menerima petunjuk (al-muhtadi), dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka merekalah orang-orang yang merugi (al-khasiruun).”
25“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya …”
26“… sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar …”
27“…barangsiapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya itu bagi kebaikan diri (nafs)-nya sendiri, dan barangsiapa sesat maka itu mencelakakan dirinya sendiri …”
28“Dan barangsiapa ditunjuki Allah maka dialah al-muhtadi, dan barangsiapa Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong bagi mereka selain dari Dia …”
29"Persoalan petunjuk ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan diwartakan untuk menjadi pegangan sedari awal sejarah manusia di Bumi, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang turun kepada penghulu manusia, Adam a.s. ini:
“Katakanlah, turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
30“… barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih-hati.”
31“Mereka itulah yang tetap atasnya mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
32"CATATAN
1. QS Al Baqarah [2]: 257.
2. QS Al Maai-dah [5]: 16.
3. QS Al Ahzab [33]: 43.
4. QS An Nuur [24]: 35.
5. QS An Nuur [24]: 40.
6. QS Al Hadiid [57]: 22.
7. QS Al An’aam [6]: 122.
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. QS Al-Hujurat[49]: 14.
10. QS Az-Zumar [39]: 22.
11. QS Al-An’am[6]: 125.
12. Hadits Nabi s.a.w. Ihya’ Ulumiddin jilid I hal. 287.
13. QS Al-Hujurat [49]: 7.
14. QS Al-Fat-h [48]: 4.
15. QS Al Mujaadilah [58]: 22.
16. Hadits Qudsi.
17. QS At Taghaabun [64]: 11.
18. QS Yunus [10]: 9.
19. QS Al Hajj [22]: 54.
20. QS Fushshilat [41]: 53.
21. QS Al Ankabuut [29]: 49.
22. QS Al Waaqi’ah [56]: 79.
23. QS Al Hadiid [57]: 19.
24. Ihya ‘Ulumiddin jilid I, h. 285 – 286.
25. Al A’raaf [7]: 178.
26. QS Al Baqarah [2]: 272.
27. QS Al Baqarah [2]: 120.
28. QS Yunus [10]: 108.
29. QS Al Israa’ [17]: 97.
30. QS Thaahaa [20]: 123.
31. QS Al Baqarah [2]: 38.
32. QS Al Baqarah [2]: 5.
Kajian Al Qur’an-materi-ke 7
oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Sekilas tentang Al-Fatihah dan Perjalanan Jiwa Melintas Alam-alam
Mengenai Penciptaan dan Cara Ciptaan Mendekat
Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi
Allah SWT bersabda dalam sebuah Hadits Qudsi mengenai sebab diciptakannya makhluk: ”Aku adalah sebuah khasanah tersembunyi (kanzun makhfi), Aku rindu (hubb) untuk dikenali, karena itu Aku ciptakan makhluk-makhluk agar Aku dikenali.”
Insan sebagai ciptaan terakhir, setelah semuanya selesai diciptakan merupakan locus terlengkap bagi manifestasi khasanah tersembunyi ilahiah tersebut. Jadi tujuan penciptaan insan adalah semata-mata untuk mengejawantahkan khasanah tersembunyi itu—untuk mengenal Penciptanya.
Penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan kata “kenal” (berasal dari ‘arafa) dalam dunia tashawuf memiliki aturan dan persyaratan khusus yang ketat, yang menunjukkan perangkat-perangkat apa saja dalam diri insan yang dapat menggunakan istilah ‘arafa itu. Pentingnya urusan ini ditunjukkan oleh sabda Sayidina ‘Ali k.w., “Awwaludiina ma’rifatullah”. (ini akan dibahas lebih lanjut belakangan). Rumusan dari Sayidina Ali k.w. ini dijadikan rujukan bagi semua pencari Tuhan mengingat sentralnya kedudukan beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah sabda Rasulullah s.a.w.: “Aku adalah kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya, maka masukilah kota itu melalui pintunya.”
Hadits Qudsi Mengenai Cara Mendekat
Pada dasarnya cara pendekatan yang Sang Pencipta inginkan dirumuskan dalam Hadits Qudsi berikut ini, yang memperlihatkan kedudukan amal yang fardhu dan yang nawafil.
“Tiada yang paling sempurna seorang hamba mendekat (taqarrub) kepada-Ku kecuali dengan jalan menunaikan fardlu-fardlu yang telah Kutetapkan. Dan ia akan lebih berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan berbagai amalan nawafil (sunnah), sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah cinta kepadanya, Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan, tangannya yang dengan itu ia pergunakan, lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan albnya yang dengan itu ia ber’aql. Jika ia minta kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan do’anya.”
Mencari jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan insan itulah yang peta, rute, tahap-tahapan dan rincian segala sesuatu yang berkenaan dengannya dikandung dalam Al-Qur'an yang merupakan SABDA ILAHI. Inilah sarana untuk transformasi jiwa agar pada akhirnya jiwa tersebut dapat mengerti tugasnya, memahami mengapa ia diciptakan. Ini merupakan sesuatu yang dalam zaman ini sulit ditemukan, karena dibutuhkan kesucian, mengingat “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS Al-Waqi’ah [56]:79). Singkat kata, dibutuhkan jihad untuk memperoleh kesucian, yang jika kemudian berbuah rahmat keimanan cahaya akan memungkinkan dimulainya pemahaman Al-Qur'an, sekaligus tersedianya sarana panduan pencarian.
Bila pertemuan sebelumnya menggaris-bawahi perlunya ketunggalan tujuan dalam mencari Allah, maka akan dilanjutkan dengan pengenalan struktur panduan Al-Qur'an. Mulai pula diperkenalkan bagaimana karakteristik dominan dari Tuhan –yang dituju semua makhluk—agar timbul visi yang dapat memandu pencarian. Kemudian disampaikan sekilas tentang kedudukan alam kita sekarang ini diantara alam-alam lainnya.
Dari orang-orang suci yang kepada mereka telah dibukakan Al-Qur'an, kita dapat mulai mempelajari sekilas tentang Induk Kitab (Umm al-Kitab), Al Fatihah berikut ini:
Al Fatihah Ayat – 1 (Bismillaahirrahmaanirrahiim)
• Umm al-Kitab dan Kitab al-Mubin Ummul Kitab: Kitab Induk, Kitab al-Mubin: Kitab Penjelas atau Kitab yang menjelaskan. Konfigurasi ayat-ayat Allah, termasuk di dalam Al-Qur'an, selalu terdiri dari Ummul Kitab dan Kitab Al-Mubin, yang digelar secara bertingkat. Misalnya, seperti pada contoh berikut ini:
Al-Fatihah sebagai Umm al-Kitab,
Surat Al-Baqarah s/d An-Nas sebagai Kitab al-Mubin.
Bismillah ar Rahman ar Rahim sebagai Umm al-Kitab; sedangkan ayat-ayat lainnya dari surat ini merupakan Kitab al-Mubin.
Kalau melihat keterkaitan diatas maka Bismillah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Al-fatihah, dengan kata lain, Bismillah merupakan Ayat dari Surat al-Fatihah.
Bismillah sebagai Ummul-Kitab,
Ar Rahman Ar Rahim sebagai Kitab al-Mubin.
Bi sebagai Ummul-Kitab,
Ismillah sebagai Kitab Al-Mubin
Huruf Alif di depan “BA” dari “Bi” sebagai Ummul-Kitab,
Titik di bawah “BA” dari “Bi” sebagai Kitab Al-Mubin
(Gambar-1)
• Titik di bawah huruf “Ba” Sebelum segala sesuatu diciptakan, yang ada hanya DIA, bahkan istilah RABB, Allah dan Asma-Asma lainnya belum ada. Kondisi ini dilukiskan dalam QS Al-Qalam [68]:1, yaitu “nuun”.
Kenapa huruf ”nuun”? Karena huruf ini menggambar titik yang dilingkupi oleh suatu tangkup. Menggambarkan ketersembunyian, inilah aspek Bathinnya Allah.
Kemudian, turunlah “titik” di atas huruf “nuun”, kebawahnya, sehingga menjadi “titik huruf ba”. Proses penurunan ini menggambarkan Penciptaan Alam Semesta. “Titik” dibawah huruf “ba” merupakan simbol dari seluruh alam semesta.
• Alif di depan huruf “Ba”
Karena titik-nun keluar (tercipta alam semesta), maka RABB (Pemelihara) pun dibutuhkan. Maka muncullah ALIF dikanan BA, yang merupakan perlambang dari RABB, disebut juga Alif Rububiyyah. Rabb itu berperan sebagai pengayom, pelindung, pemelihara, pendidik, pengatur. Pengertian ini yang mesti melandasi semua permohonan yang mengunakan istilah “Rabb”. Ini merupakan pasangan dari adanya titik di bawah huruf Ba, yang memerlukan Rabb. (Gambar-2)
• Titik “Ba” merupakan simbol alam dan Asma Allah Bila mengamati lafadz Bismillah yang maknanya: ” Dengan Asma Allah “
Timbullah pertanyaan: Asma Allah yang mana?
Asma Allah yang dinyatakan oleh TITIK BA.
Jadi “Titik” dibawah huruf ba merupakan:
a. Asma Allah dan
b. Simbol dari seluruh alam semesta.
• Penulisan Bismillah
Penulisan (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) menyalahi kaedah penulisan Arab, seharusnya adalah (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi). Berdasarkan penjelasan diatas, karena ada ALIF di depan BA yang menjaga, maka menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi), selanjutnya menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) seperti yang tampak ini. (dg huruf ba yang awal garisnya lebih tinggi, pencerminan Alif di awalnya yg tersembunyi) *) mohon ma'af, huruf arabnya tdk bisa di tampilkan di notes ini.
• Mengapa Asma Ar-Rahman dan Ar-Rahim Diletakkan pada Ayat Pertama Asma Allah sangat banyak, tapi yang diketahui sebanyak 99 Asma. Mengapakah dari 99 Asma, hanya Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang dicamtumkan dalam ayat pertama al-Fatihah?
Di sini kepada kita diberitahukan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan watak dasar/ dominan Allah. Sang Pencipta memberitahukan bahwa yang sifat paling utama-Nya yang mesti diketahui makhluk-makhluk-Nya adalah Maha-Rahman dan Maha-Rahim. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah tercipta alam semesta. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah terjaga, dan terpelihara semesta alam. Jadi Ar-Rahman Ar-Rahim tercantum dalam al-Fatihah untuk menunjukkan watak dasar Allah. Dengan demikian kita mengetahui bahwa karakteristik dasar seperti inilah yang diminta untuk ditampilkan oleh seluruh makhluk-makhluk-Nya yang ingin disenangi-Nya.
• Sifat Rahmaniah (Pemurah) Ar-Rahman berarti menyayangi, mengasihi, memelihara, mengayomi, menjaga kepada seluruh makhluk, sedangkan Ar-Rahim merupakan bagian khusus dari Ar-Rahmaan yang dianugerahkannya kepada makhluk yang disayangi-Nya. Kasih-sayang Allah kepadanya, misalnya berbentuk penjagaan-Nya, diingatkan oleh Allah kalau dia salah, diberi teguran. Ragam dari bentuk kasih-sayang Allah kepada makhluk yang dicintai-Nya tentulah tidak terhingga.
Makhluk-makhluk selain dari manusia lebih parsial atau spesifik dalam potensinya untuk mengejawantahkan asma-asma-Nya. Karena itu asma-asma yang mereka tampilkan lebih terbatas. Insan lah, yang diciptakan terakhir, yang berpotensi untuk mengejawantahkan asma Allah secara paling lengkap. Ini merupakan jalan untuk menuju, atau meningkatkan kedekatan, kepada Allah.
Pada dasarnya, tuntunan agama memberikan panduan agar insan berjuang sedemikian rupa, sampai Allah menghiasi diriNya dengan akhlak yang bersumber dari asma-asma Allah yang bersifat jamaliyah. Takhalluq bi akhlaq Allah.
Kita dapat secara sederhana mulai belajar kepada makhluk lain mengenai manifestasi sifat ini. Sebagai contoh, kita dapat memperhatikan sebatang pohon. Katakanlah, itu adalah sebatang pohon mangga. Jika pohon mangga berbuah, maka dia tidak pernah makan buahnya sendiri. Buahnya diberikan kepada makhluk lain. Pohon mangga ini beramal shaleh dengan mengeluarkan buahnya tanpa-pamrih. Pohon ini mengejawantahkan sifat atau asma Allah yang Pemurah (Rahmaniah).
Dari sini pula kita mengetahui bahwa sebatang pohon dinamai sesuai dengan buah yang dihasilkannya: jika dia berbuah mangga, maka namanya adalah “Pohon Mangga”; jika dia berbuah Jeruk, maka namanya “Pohon Jeruk.” Ini kemudian menuntun kita kepada pertanyaan penting: sewaktu diri (nafs) kita ditanam Tuhan ke bumi diri, amal-shaleh apa yang tersembunyi dalam bibit diri kita yang dikehendaki-Nya untuk dihasilkan dalam buah amal-shaleh? Apa buah dari pohon diri yang dapat membuat diri kita dikenal di langit?
Dalam memulai menelusuri jalan panjang untuk mencari jawab dari pertanyaan dasar seperti di atas, beberapa hal berikut ini bisa dijadikan pijakan untuk mengawalinya:
• Pendekatan diri kepada Allah dengan sifat pemurah Seseorang harus menjadi indah akhlaknya agar yang Maha-Indah menarik dirinya mendekat kepada-Nya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah, hal yang paling effektif untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan memiliki sifat Pemurah.
Singkatnya sifat pemurah (rahmaniah) ini merupakan cara untuk:
➢ mendekatkan diri kepada Allah.
➢ mengundang perhatian Allah, sehingga Dia berkenan memperhatikan diri pemiliknya.
➢ mengundang turunnya rahmat dari Allah.
➢ meruntuhkan hijab-hijabnya (antara sang makhluk dengan Allah).
➢ ditarik lebih dekat kepada Allah.
• Setiap orang bisa memiliki sifat pemurah. Sifat pemurah pada diri manusia adalah sifat-sifat baik dan memperbaiki. Cerminan dari sifat pemurah, antara lain adalah terbuka, jujur, penolong, gemar membantu, berzakat (mensucikan diri dan milik), sedekah, dst. Dan ini bisa dilakukan setiap orang dengan segera, tidak usah menunggu suatu keadaan tertentu
• Jangan menganggap remeh suatu perbuatan. Dalam melihat suatu amal/ perbuatan jangan lihat siapa pelakunya, jangan lihat amalnya. Tidak boleh suatu perbuatan dianggap remeh. Ada pekerjaan, dimata manusia tidak ada nilainya tapi di hadapan Allah memiliki nilai yang tinggi sekali, tetapi sebaliknya ada pekerjaan yang tampak agung, tapi dihadapan Allah tidak ada nilainya, yaitu perbuatan baik yang tidak ikhlas atau ada pamrih.
Perbuatan baik yang ada pamrihnya kepada selain Allah, tidak ada artinya, karena pahalanya terletak pada pamrih tersebut.
Ada contoh dari suatu perbuatan remeh yang menyebabkan pelakunya diterima Allah, yaitu amal dari Imam al-Ghazali seorang sufi yang terkenal dengan kitab-kitab karangannya (a.l ‘Ihya). Suatu malam, muridnya bertemu dengan jiwa beliau (sewaktu beliau sudah meninggal) dalam mimpi, kemudian muridnya bertanya kepada beliau tentang amal beliau yang paling besar nilainya dihadapan Allah. Menurut beliau, amal yang paling besar nilainya disisi Allah, adalah ketika beliau membiarkan lalat meminum tinta pada kalam beliau sewaktu beliau sedang menulis buku. Beliau tidak mengusir lalat tersebut, tapi beliau menunggu sampai lalat itu kenyang, dan pergi dengan sendirinya. Dari beraneka-macam pengabdian beliau, yang Allah terima adalah perbuatannya yang rahmaniyyah tersebut.
• Beberapa landasan akan terpujinya sifat-sifat rahmaniyah:
“Sifat pemurah itu sepohon kayu dari kayu surga, dahan-dahannya terkulai ke bumi. Maka siapa yang mengambil sedahan daripadanya niscaya dahan itu membawanya ke surga.” (HR Ibnu Hibban) (IU 3/ 383)
“Sesungguhnya ini adalah diin yang Aku ridhai bagi diri-Ku sendiri. Dan tidak akan pernah ada yang bisa memperbaikinya melainkan oleh mereka yang memiliki sifat pemurah dan berakhlak baik. Maka muliakanlah diin ini dengan dua sifat tersebut menurut kesanggupanmu.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)
“Allah Ta’ala tidak membuat karakter wali-Nya selain di atas karakter baik akhlak dan pemurah.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)
“Sesungguhnya orang-orang mulia dari umatku tidak akan masuk surga dengan shalat dan puasa. Tetapi mereka masuk surga dengan jiwa yang pemurah, dada yang sejahtera dan karena nasehat kepada orang-orang muslim.” (HR. Daruquthni) (IU3/387)
“Pemurah itu sepohon kayu dalam surga, maka siapa yang pemurah niscaya ia akan mengambil sedahan dari pohon itu. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehinga dimasukkannya ke surga. Dan kikir itu sepohon kayu dalam nereka, maka siapa yang kikir, niscaya ia mengambil sedahan dari dahan-dahannya. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehingga dimasukkannya ke nereka.” (HR. Daruquthni) (IU3/ 385)
“Dua perangai yang disukai oleh Allah Azza wa jalla dan dua perangai yang dimarahi oleh Allah Azza wa jalla. Adapun dua perangai yang disukai Allah Ta’ala adalah bagus akhlak dan pemurah. Adapun dua perangai yang dimarahi oleh Allah adalah jahat akhlak dan kikir. Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seseorang hamba niscaya dipakai-Nya hamba itu pada menunaikan hajat manusia.” (HR. Ad-Dailami)(IU3/ 384)
“Orang-orang penyayang akan disayang Tuhan Yang Maha Penyayang, maka sayangilah semua yang ada di bumi, maka yang ada di langit pun akan menyayangimu.”
“Tidak akan masuk surga kecuali orang penyayang.”
[Ayat 2 s/d 4 al Fatihah akan dibahas pada kesempatan lain]
Ayat – 5 (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in)
• Mengenai mengabdi atau beribadah Kalau melihat susunan dari ayat ke 5, maka prasyarat sebelum meminta pertolongan kepada Yang Maha Rahman adalah harus terlebih dahulu mengabdi kepada-Nya. Seperti apa dan bagaimanakah yang dimaksudkan dengan mengabdi itu?
Untuk dapat berbakti, beribadah, mengabdi kepada Allah dengan benar, kita harus memiliki pengetahuan tentang sifat-Nya, tindakan-Nya; sehingga mengetahui kelebihan-Nya, kemudian bangga kepada-Nya, dan karenanya membutuhkan-Nya. Ilmu mengenai Allah adalah amal paling utama. Jika ini dimiliki maka barulah seorang dapat mengabdikan dirinya, dengan:
➢ beribadah dengan khusuk.
➢ meminta hanya kepada Nya.
➢ mohon perlindungan/ bantuan hanya kepada Nya.
➢ mohon petunjuk kepada Nya.
Hal-hal di atas tadi dilakukan secara lahiriah, sedangkan perwujudan yang lebih sejati dengan bathin, yakni:
➢ merasakan sebagai abdi Allah.
➢ bangga ber-Tuhankan kepada Allah.
Untuk dapat merasakannya, mengabdi dulu pada Nya, berbakti dulu pada Nya, berbuat baik kepada sesama makhluk. Barulah nantinya Allah akan mulai memperhatikan pelakunya, lalu sang hamba akan tahu kelebihan Allah yang harus dibanggakan, yaitu Allah mulai menolongnya dengan petunjuk Nya.
• Pertolongan berupa Petunjuk
Pertolongan atau petunjuk apa yang seyogyanya diharapkan seorang makhluk dari Allah? Semua jenis pertolongan dan petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Cara yang dapat ditempuh agar pertolongan/ petunjuk Allah datang:
➢ berwatak pemurah.
➢ berbuat baik.
➢ Wirid (bukan hanya persoalan lafadz lisan, melainkan harus pula diejawantahkan).
Dari semua jenis petunjuk mengenai aneka-macam persoalan yang dihadapi seseorang, maka yang paling bernilai dan diharapkan adalah petunjuk untuk menuju ke Shirat al- Mustaqiem di alam dunia ini. Saking sulit dan rumit serta halusnya, jalan ini dilukiskan sehalus rambut dibelah tujuh, setajam mata pedang. Jadi untuk berjalan disini harus hati-hati dan memiliki fondasi yang tangguh.
Ayat 6 – 7 (Ihdinash-shiraathal-mustaqiim, shiraathalladziina an’amta alaihim ghoiril maghdhubi alaihim wa ladh-dholliin)
Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, sedikitnya sebanyak 17 x sehari dalam shalat wajib. Berarti kita berdoa “Ihdinash shirath al-mustaqiim“, dimohonkan kepada-Nya paling sedikit sebanyak 17 kali pula. Sedangkan Allah melarang memohon kepadaNya yang kita tidak tahu ilmunya (QS. 11:46, periksa pula ayat 45 dan 47). Oleh sebab itu kita perlu memahami tentang Shirath al-Mustaqiim, agar dapat menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menempuhnya.
Shirath al-Mustaqiim dapat kita periksa, antara lain berarti:
• Agama Allah (ad-diin) (QS Al-An’am [6]: 161). Sedang agama disisi Allah adalah al-Islam (Ali-Imran [3]: 19).
• Jalan dari orang-orang yang telah diberi ni’mat (QS al-Fatihah [1]: 7). Kata ni’mat dirumuskan dalam QS An-Niisa [4]: 69. Pada ayat itu diterangkan bahwa orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah adalah:
1) Nabi (QS 33: 45–7)
2) Shiddiqiin (QS 57: 19)
3) Syuhada (QS 57: 19)
4) Shalihin (QS 29: 9)
Sehingga insan yang berada di Shirath al-Mustaqiim adalah:
o orang yang diberi nikmat, dan
o al-mukhlisun
Orang yang tidak dapat berada di Shirath al-Mustaqiim (QS al-Fatihah [1]: 7) adalah:
a. Yang di murkai, insya Allah kita semua terhindar dan tidak termasuk golongan ini;
b. Yang tersesat, harus hati-hati, siapapun dapat berada dalam golongan ini karena hawa-nafsu, syahwat, perangkap syaithan dan tidak mendapat petunjuk dari Nya. Untuk menghindar dari golongan ini harus beriman, sesuai dengan QS At-Taghabun [64] : 11.
Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika menggoreskankan kayu ke pasir membuat garis lurus, kemudian di sisi garis lurus tsb, ada cabang-cabang lagi.
(Gambar-3)
Garis lurus itu melambangkan Shirath al-Mustaqiim, dan pada garis cabang terdapat perangkap syaithan. Tugas syaithan, melalui syahwat dan hawa-nafsu membelokkan ke kiri atau ke kanan agar masuk perangkap syaithan. Kalau sudah masuk perangkap sulit keluar.
Nur Iman
Peringkat ke tiga keimanan menurut Imam al-Ghazali, yaitu iman ‘Arifin atau iman cahaya merupakan iman yang dimaksud dalam Al-Qur'an, yang diagramnya dapat digambarkan di bawah ini: (gambar-4))
Sumber cahaya dapat bersifat eksternal (Rahmat Pertama), dan juga internal (Rahmat ke Dua).
Cahaya Eksternal = Sumber-Cahaya = Al-Mukmin (tunggal)
Cahaya Internal = Cahaya dari dalam Qalbu = Ruh al-Quds
Disebut Al-Mukminun karena dari dalam kalbu terpantulkan cahaya Al-Mukmin.
Seorang bayi dibekali Cahaya Eksternal awal/ Cahaya Iman awal.
(at-Taghabun [64]:11)
Bila beriman billah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada qalbunya.
(Yunus [10]:99-100
Beriman itu atas izin Allah, oleh sebab itu kita tidak dapat memaksa seseorang agar beriman
(Gambar-5)
Yang menyebabkan Qalbu tidak dapat menerima cahaya-iman karena terhalangi oleh awan-dosa. Oleh sebab itu awan-dosa harus dihapus.
Proses penghapusan dosa itu seperti bertambahnya cahaya dari bulan sabit menuju bulan purnama.
Qalb yang suci-bersih dapat menerima Nur-Iman, yang kemudian berperan sebagai media komunikasi, sehingga qalbu seperti itu dapat diterima petunjuk, yang menyebabkan pemiliknya hidup dengan terpandu.
Perjalanan Nafs Melintas Alam-alam
Alam Nur (Lautan Cahaya)
Alam Nur merupakan Lautan Cahaya dekat Hadirat Allah, disinilah berkumpul al-anfus. Alam Nur dapat dimisalkan dengan “Bank Nafs.” Nafs ini berbagai macam jenisnya, misalnya tipe emas, tipe perak dst. Nafs yang akan masuk ke janin menunggu kesiapan jasad janin. Manakala janin telah siap dan telah sampai waktunya (setelah 120 hari), maka siaplah dia sebagai wadah dari nafs yang sesuai dengan janin tersebut. Nafs yang bersedia datangpun sesuai dengan bahan janin (wadah nafs). Nafs dengan yang type perak akan menempati wadah dari perak, nafs emas akan menempati wadah dari emas …dst.
Alam Alastu (Perjanjian)
Nafs yang akan menempati janin tersebut, dipanggil menghadap Allah ke Alam-Alastu. Di alam ini, Nafs mengikrarkan janji; antara lain “mengakui Allah sebagai Rabbnya“ (lihat QS Al-A’raf [7]: 172).
Juga di alam inilah Allah menetapkan Qadha dan Qadar dari ajal, rezeki, musibah dan keberuntungan baginya selama perjalanan di dunia, serta Maqam Akhirnya. Perjanjian ini direkam oleh Ruh. Lalu Ruh dimasukkan ke dalam Nafs, dan ke duanya dimasukkan ke dalam jasad.
Alam Rahim Setelah janin berumur 120 hari atau telah disempurnakan oleh-Nya, maka ditiupkanlah Ruh-Nya ke janin dan dianugerahkan modal-dasar penglihatan, pendengaran dan af'’idah (As-Sajdah [32]:9). Dimulailah pendidikan nafs oleh orangtua dan lingkungan.
Alam Dunia
• Lahir ke dunia
Setelah janin berumur 9 bulan 10 hari, lahirlah bayi ke dunia. Turun ke dunia dengan suara tangisan karena dia cinta alam-rahim. Alam ini merupakan Surga bagi janin, disini ia hanya diam, tidur, belajar. Itulah sebabnya ia menangis sewaktu turun ke dunia, karena harus meninggalkan surga menuju ke alam yang penuh tanda tanya.
• Ingkar Janji
Sewaktu bayi lahir:
* punya FUAD (titik A)
* modal dasar I,7
Jika normal:
* perkembangan AKAL dari 0 mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Akal.
* perkembangan NAFS dari FUAD (titik A) mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Nafs.
* (Gambar-6 )
Dalam perjalanan hidupnya, akal-jasad berkembang sesuai pola grafik pertumbuhan akal, sedangkan kepada nafs pada masa BALITA, PEMUDA menuju DEWASA, seringkali megalami pengerdilan karena hadirnya penyakit hati, seperti takabbur, riya’ iri-dengki, dst. sehingga memadamkan fu’ad, menuju NOL (lihat grafik Y).
Dengan padamnya fu’ad, berarti yang berkuasa jasad, sedangkan nafs lumpuh, buta, dan tuli. Sehingga jasad bergerak tanpa kendali nafs.
Sewaktu di alam alastu, yang melakukan perjanjian adalah sang nafs, bukan jasad; manakala nafs lumpuh, maka jasad tidak akan pernah mengetahui isi perjanjian yang dulu pernah diikrarkan nafs, dan memang jasad tidak pernah mengikrarkan janji.
Taubat yang sejati mestilah yang memang membersihkan dosa, yang dapat kembali menyegarkan fu’ad, dan kemudian mengembangkannya menuju terbukanya ‘aql dalam atau lubb.
Alam Barzakh (Kubur)
Jika tiba-tiba saja seseorang disuruh pergi ke Alam Barzakh, maka boleh-jadi itu merupakan hal yang menakutkannya, karena tidak faham keadaan disana dan terlanjur cinta kepada dunia. Kasusnya sama sewaktu diperintah turun dari Alam Rahim ke Alam Dunia. Hanya pada waktu itu disambut dengan tawa-riang oleh sanak-keluarga, tapi diri ini terjun dengan jeritan tangis. Sedangkan sewaktu pergi ke Alam Barzakh, biasanya seseorang diiringi tangis oleh sanak keluarga. Bagaimana sikap seseorang sewaktu menerima perintah untuk segera berangkat ke Alam Barzakh sangat ditentukan keberhasilan memanfaatkan kehiduoannya di alam dunia.
• Suasana di Alam Barzakh
Alam-Barzakh masih berhimpitan dengan alam-dunia. Di Alam-Barzakh, yang ada hanya nafs, syahwat tidak ada, syaithan tidak ada.
Tugas setiap insan berupaya agar nafs bisa hidup penuh dengan kemaslahatan di alam barzakh, dapat melihat dan mendengar dan belajar, sebagaimana setiap orang mendambakan kemaslahatan di alam dunia sebelumnya. (Gambar-7)
al Anam 6:122:
Raga dan Ruh kembali ke asalnya masing2
Nafs melanjutkan perjalanan sampai ajal ke dua; ada yg bebas dan ada yang terpenjara
Ajal pertama: raga
Ajal ke dua: nafs (bersama seluruh makhluk, kiamat)
Lihat Ali–Imran [3]:185, semua nafs akan mati.
Di alam-Barzakh: Nafs yang tidak perlu lagi dibersihkan dengan api alam ini, akan terus belajar tentang kebenaran.
Di Alam-Barzakh, dilakukan penyucian/pembersihan hawa-nafsu yang cinta dunia. Di Alam-Barzakh, dilakukan peleburan logam-dosa yang menyelubungi Qalbu. Logam-logam tersebut dilebur dengan api yang dibuat atau disediakan oleh diri sendiri. Kalau peleburan berhasil, maka selamatlah di Hari Perhitungan (yaum al-Hisab) nanti. Tapi tidak semua logam tersebut dapat lebur dengan apinya alam-Barzakh, kalau terjadi hal demikian maka akan dilebur dengan api neraka.
Alam-Barzakh, merupakan alam asing yang harus ditempuh oleh semua insan. Kalau kita terdampar disuatu tempat yang asing bagi kita, maka kita akan bingung manakala kita tidak mengetahui tanda-tanda yang ada di sana. Mau bertanya kita tidak faham bahasanya. Tak terbayangkan bingung serta gundah gulana hati ini, mau pulang tidak dapat. Oleh sebab itu kita harus bersiap menghadap alam-Barzakh, dengan berupaya mengenal alam-Barzakh, berupaya memahami tulisan disana, berupaya mengerti tanda-tanda di sana. Dan panduan itu dimulai dicari di sini, di alam dunia ini, sekarang ini.
Kalau didunia seorang hamba selalu dekat dengan Dia yang merupakan Penguasa semesta alam, maka alam-Barzakh dari hamba tersebut akan terang-benderang.
• Harapan Nafs di Alam Barzakh
Sekalian nafs di alam Barzakh, akan merasa senang dan gembira serta merasa bangga, bila mendengar dari keturunannya ada yang tergolong mereka yang memperoleh ni’mat. Dan ini menjadi berita yang menyenangkan dan disampaikan dari warga ke warga alam barzakh. Andaikan nafs tersebut, yang sedang dibakar, dilebur dosa-dosanya mendengar berita ini, tentu akan merasakan kesejukan.
Bagi Nafs yang hidup merdeka di alam ini karena telah bebas dari dosa, maka dapat memantau keturunannya di dunia dan dapat bersilahturrahmi dengan mereka. Bila melihat ada keturunannya yang melakukan maksiat, nafs akan sedih.
Anfus yang terpenjara dialam ini, sangat merindukan do’a dan permohonan ampunan dari keturunannya. Do’a anak Shaleh akan mengurangi derajat siksaan orangtuanya atau leluhurnya secara permanen. Sedangkan do’a dari orang-orang yang tidak ada pertalian darah hanya akan mengurangi siksaan sejenak, selesai do’a, siksaan kembali ke tingkat semula.
• Keadaan Nafs yang tak-Berdaya di Alam Barzakh
Gambaran tentang nafs yang yang buta-tuli-lumpuh dinyatakan antara lain dalam Al-Baqarah [2]: 171, dan Ar-Rum [30]: 52. Tutuplah mata yang erat, tutuplah telinga, maka akan merasakan kesepian yang mencekam. Apalagi bila disaat itu terikat, kesunyian dan kesepian semakin mencekam, rasa takut dan ngerikan menghantui. Ini di dunia dan sebentar. Bayangkan, nafs akan mengalaminya dalam masa yang sangat panjang.
Alam Mahsyar
Alam mahsyar adalah alam di mana semua manusia dikumpulkan dari manusia yang paling awal hingga manusia yang paling akhir untuk menjalani berbagai proses selanjutnya, seperti dihisab amalnya.
Alam Akhirat
Alam inilah yang digambarkan sebagai akhir dari warta yang disampaikan kepada makhluk, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci.
Lihat Gambar-8 (rangkuman)
Sekilas tentang Al-Fatihah dan Perjalanan Jiwa Melintas Alam-alam
Mengenai Penciptaan dan Cara Ciptaan Mendekat
Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi
Allah SWT bersabda dalam sebuah Hadits Qudsi mengenai sebab diciptakannya makhluk: ”Aku adalah sebuah khasanah tersembunyi (kanzun makhfi), Aku rindu (hubb) untuk dikenali, karena itu Aku ciptakan makhluk-makhluk agar Aku dikenali.”
Insan sebagai ciptaan terakhir, setelah semuanya selesai diciptakan merupakan locus terlengkap bagi manifestasi khasanah tersembunyi ilahiah tersebut. Jadi tujuan penciptaan insan adalah semata-mata untuk mengejawantahkan khasanah tersembunyi itu—untuk mengenal Penciptanya.
Penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan kata “kenal” (berasal dari ‘arafa) dalam dunia tashawuf memiliki aturan dan persyaratan khusus yang ketat, yang menunjukkan perangkat-perangkat apa saja dalam diri insan yang dapat menggunakan istilah ‘arafa itu. Pentingnya urusan ini ditunjukkan oleh sabda Sayidina ‘Ali k.w., “Awwaludiina ma’rifatullah”. (ini akan dibahas lebih lanjut belakangan). Rumusan dari Sayidina Ali k.w. ini dijadikan rujukan bagi semua pencari Tuhan mengingat sentralnya kedudukan beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah sabda Rasulullah s.a.w.: “Aku adalah kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya, maka masukilah kota itu melalui pintunya.”
Hadits Qudsi Mengenai Cara Mendekat
Pada dasarnya cara pendekatan yang Sang Pencipta inginkan dirumuskan dalam Hadits Qudsi berikut ini, yang memperlihatkan kedudukan amal yang fardhu dan yang nawafil.
“Tiada yang paling sempurna seorang hamba mendekat (taqarrub) kepada-Ku kecuali dengan jalan menunaikan fardlu-fardlu yang telah Kutetapkan. Dan ia akan lebih berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan berbagai amalan nawafil (sunnah), sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah cinta kepadanya, Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan, tangannya yang dengan itu ia pergunakan, lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan albnya yang dengan itu ia ber’aql. Jika ia minta kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan do’anya.”
Mencari jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan insan itulah yang peta, rute, tahap-tahapan dan rincian segala sesuatu yang berkenaan dengannya dikandung dalam Al-Qur'an yang merupakan SABDA ILAHI. Inilah sarana untuk transformasi jiwa agar pada akhirnya jiwa tersebut dapat mengerti tugasnya, memahami mengapa ia diciptakan. Ini merupakan sesuatu yang dalam zaman ini sulit ditemukan, karena dibutuhkan kesucian, mengingat “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS Al-Waqi’ah [56]:79). Singkat kata, dibutuhkan jihad untuk memperoleh kesucian, yang jika kemudian berbuah rahmat keimanan cahaya akan memungkinkan dimulainya pemahaman Al-Qur'an, sekaligus tersedianya sarana panduan pencarian.
Bila pertemuan sebelumnya menggaris-bawahi perlunya ketunggalan tujuan dalam mencari Allah, maka akan dilanjutkan dengan pengenalan struktur panduan Al-Qur'an. Mulai pula diperkenalkan bagaimana karakteristik dominan dari Tuhan –yang dituju semua makhluk—agar timbul visi yang dapat memandu pencarian. Kemudian disampaikan sekilas tentang kedudukan alam kita sekarang ini diantara alam-alam lainnya.
Dari orang-orang suci yang kepada mereka telah dibukakan Al-Qur'an, kita dapat mulai mempelajari sekilas tentang Induk Kitab (Umm al-Kitab), Al Fatihah berikut ini:
Al Fatihah Ayat – 1 (Bismillaahirrahmaanirrahiim)
• Umm al-Kitab dan Kitab al-Mubin Ummul Kitab: Kitab Induk, Kitab al-Mubin: Kitab Penjelas atau Kitab yang menjelaskan. Konfigurasi ayat-ayat Allah, termasuk di dalam Al-Qur'an, selalu terdiri dari Ummul Kitab dan Kitab Al-Mubin, yang digelar secara bertingkat. Misalnya, seperti pada contoh berikut ini:
Al-Fatihah sebagai Umm al-Kitab,
Surat Al-Baqarah s/d An-Nas sebagai Kitab al-Mubin.
Bismillah ar Rahman ar Rahim sebagai Umm al-Kitab; sedangkan ayat-ayat lainnya dari surat ini merupakan Kitab al-Mubin.
Kalau melihat keterkaitan diatas maka Bismillah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Al-fatihah, dengan kata lain, Bismillah merupakan Ayat dari Surat al-Fatihah.
Bismillah sebagai Ummul-Kitab,
Ar Rahman Ar Rahim sebagai Kitab al-Mubin.
Bi sebagai Ummul-Kitab,
Ismillah sebagai Kitab Al-Mubin
Huruf Alif di depan “BA” dari “Bi” sebagai Ummul-Kitab,
Titik di bawah “BA” dari “Bi” sebagai Kitab Al-Mubin
(Gambar-1)
• Titik di bawah huruf “Ba” Sebelum segala sesuatu diciptakan, yang ada hanya DIA, bahkan istilah RABB, Allah dan Asma-Asma lainnya belum ada. Kondisi ini dilukiskan dalam QS Al-Qalam [68]:1, yaitu “nuun”.
Kenapa huruf ”nuun”? Karena huruf ini menggambar titik yang dilingkupi oleh suatu tangkup. Menggambarkan ketersembunyian, inilah aspek Bathinnya Allah.
Kemudian, turunlah “titik” di atas huruf “nuun”, kebawahnya, sehingga menjadi “titik huruf ba”. Proses penurunan ini menggambarkan Penciptaan Alam Semesta. “Titik” dibawah huruf “ba” merupakan simbol dari seluruh alam semesta.
• Alif di depan huruf “Ba”
Karena titik-nun keluar (tercipta alam semesta), maka RABB (Pemelihara) pun dibutuhkan. Maka muncullah ALIF dikanan BA, yang merupakan perlambang dari RABB, disebut juga Alif Rububiyyah. Rabb itu berperan sebagai pengayom, pelindung, pemelihara, pendidik, pengatur. Pengertian ini yang mesti melandasi semua permohonan yang mengunakan istilah “Rabb”. Ini merupakan pasangan dari adanya titik di bawah huruf Ba, yang memerlukan Rabb. (Gambar-2)
• Titik “Ba” merupakan simbol alam dan Asma Allah Bila mengamati lafadz Bismillah yang maknanya: ” Dengan Asma Allah “
Timbullah pertanyaan: Asma Allah yang mana?
Asma Allah yang dinyatakan oleh TITIK BA.
Jadi “Titik” dibawah huruf ba merupakan:
a. Asma Allah dan
b. Simbol dari seluruh alam semesta.
• Penulisan Bismillah
Penulisan (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) menyalahi kaedah penulisan Arab, seharusnya adalah (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi). Berdasarkan penjelasan diatas, karena ada ALIF di depan BA yang menjaga, maka menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, alif-ba = bi asmi allahi), selanjutnya menjadi (Ha, lam, lam, alif, mim, sin, ba = bismillahi) seperti yang tampak ini. (dg huruf ba yang awal garisnya lebih tinggi, pencerminan Alif di awalnya yg tersembunyi) *) mohon ma'af, huruf arabnya tdk bisa di tampilkan di notes ini.
• Mengapa Asma Ar-Rahman dan Ar-Rahim Diletakkan pada Ayat Pertama Asma Allah sangat banyak, tapi yang diketahui sebanyak 99 Asma. Mengapakah dari 99 Asma, hanya Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang dicamtumkan dalam ayat pertama al-Fatihah?
Di sini kepada kita diberitahukan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan watak dasar/ dominan Allah. Sang Pencipta memberitahukan bahwa yang sifat paling utama-Nya yang mesti diketahui makhluk-makhluk-Nya adalah Maha-Rahman dan Maha-Rahim. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah tercipta alam semesta. Dengan asma Ar-Rahman Ar-Rahimlah terjaga, dan terpelihara semesta alam. Jadi Ar-Rahman Ar-Rahim tercantum dalam al-Fatihah untuk menunjukkan watak dasar Allah. Dengan demikian kita mengetahui bahwa karakteristik dasar seperti inilah yang diminta untuk ditampilkan oleh seluruh makhluk-makhluk-Nya yang ingin disenangi-Nya.
• Sifat Rahmaniah (Pemurah) Ar-Rahman berarti menyayangi, mengasihi, memelihara, mengayomi, menjaga kepada seluruh makhluk, sedangkan Ar-Rahim merupakan bagian khusus dari Ar-Rahmaan yang dianugerahkannya kepada makhluk yang disayangi-Nya. Kasih-sayang Allah kepadanya, misalnya berbentuk penjagaan-Nya, diingatkan oleh Allah kalau dia salah, diberi teguran. Ragam dari bentuk kasih-sayang Allah kepada makhluk yang dicintai-Nya tentulah tidak terhingga.
Makhluk-makhluk selain dari manusia lebih parsial atau spesifik dalam potensinya untuk mengejawantahkan asma-asma-Nya. Karena itu asma-asma yang mereka tampilkan lebih terbatas. Insan lah, yang diciptakan terakhir, yang berpotensi untuk mengejawantahkan asma Allah secara paling lengkap. Ini merupakan jalan untuk menuju, atau meningkatkan kedekatan, kepada Allah.
Pada dasarnya, tuntunan agama memberikan panduan agar insan berjuang sedemikian rupa, sampai Allah menghiasi diriNya dengan akhlak yang bersumber dari asma-asma Allah yang bersifat jamaliyah. Takhalluq bi akhlaq Allah.
Kita dapat secara sederhana mulai belajar kepada makhluk lain mengenai manifestasi sifat ini. Sebagai contoh, kita dapat memperhatikan sebatang pohon. Katakanlah, itu adalah sebatang pohon mangga. Jika pohon mangga berbuah, maka dia tidak pernah makan buahnya sendiri. Buahnya diberikan kepada makhluk lain. Pohon mangga ini beramal shaleh dengan mengeluarkan buahnya tanpa-pamrih. Pohon ini mengejawantahkan sifat atau asma Allah yang Pemurah (Rahmaniah).
Dari sini pula kita mengetahui bahwa sebatang pohon dinamai sesuai dengan buah yang dihasilkannya: jika dia berbuah mangga, maka namanya adalah “Pohon Mangga”; jika dia berbuah Jeruk, maka namanya “Pohon Jeruk.” Ini kemudian menuntun kita kepada pertanyaan penting: sewaktu diri (nafs) kita ditanam Tuhan ke bumi diri, amal-shaleh apa yang tersembunyi dalam bibit diri kita yang dikehendaki-Nya untuk dihasilkan dalam buah amal-shaleh? Apa buah dari pohon diri yang dapat membuat diri kita dikenal di langit?
Dalam memulai menelusuri jalan panjang untuk mencari jawab dari pertanyaan dasar seperti di atas, beberapa hal berikut ini bisa dijadikan pijakan untuk mengawalinya:
• Pendekatan diri kepada Allah dengan sifat pemurah Seseorang harus menjadi indah akhlaknya agar yang Maha-Indah menarik dirinya mendekat kepada-Nya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah, hal yang paling effektif untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan memiliki sifat Pemurah.
Singkatnya sifat pemurah (rahmaniah) ini merupakan cara untuk:
➢ mendekatkan diri kepada Allah.
➢ mengundang perhatian Allah, sehingga Dia berkenan memperhatikan diri pemiliknya.
➢ mengundang turunnya rahmat dari Allah.
➢ meruntuhkan hijab-hijabnya (antara sang makhluk dengan Allah).
➢ ditarik lebih dekat kepada Allah.
• Setiap orang bisa memiliki sifat pemurah. Sifat pemurah pada diri manusia adalah sifat-sifat baik dan memperbaiki. Cerminan dari sifat pemurah, antara lain adalah terbuka, jujur, penolong, gemar membantu, berzakat (mensucikan diri dan milik), sedekah, dst. Dan ini bisa dilakukan setiap orang dengan segera, tidak usah menunggu suatu keadaan tertentu
• Jangan menganggap remeh suatu perbuatan. Dalam melihat suatu amal/ perbuatan jangan lihat siapa pelakunya, jangan lihat amalnya. Tidak boleh suatu perbuatan dianggap remeh. Ada pekerjaan, dimata manusia tidak ada nilainya tapi di hadapan Allah memiliki nilai yang tinggi sekali, tetapi sebaliknya ada pekerjaan yang tampak agung, tapi dihadapan Allah tidak ada nilainya, yaitu perbuatan baik yang tidak ikhlas atau ada pamrih.
Perbuatan baik yang ada pamrihnya kepada selain Allah, tidak ada artinya, karena pahalanya terletak pada pamrih tersebut.
Ada contoh dari suatu perbuatan remeh yang menyebabkan pelakunya diterima Allah, yaitu amal dari Imam al-Ghazali seorang sufi yang terkenal dengan kitab-kitab karangannya (a.l ‘Ihya). Suatu malam, muridnya bertemu dengan jiwa beliau (sewaktu beliau sudah meninggal) dalam mimpi, kemudian muridnya bertanya kepada beliau tentang amal beliau yang paling besar nilainya dihadapan Allah. Menurut beliau, amal yang paling besar nilainya disisi Allah, adalah ketika beliau membiarkan lalat meminum tinta pada kalam beliau sewaktu beliau sedang menulis buku. Beliau tidak mengusir lalat tersebut, tapi beliau menunggu sampai lalat itu kenyang, dan pergi dengan sendirinya. Dari beraneka-macam pengabdian beliau, yang Allah terima adalah perbuatannya yang rahmaniyyah tersebut.
• Beberapa landasan akan terpujinya sifat-sifat rahmaniyah:
“Sifat pemurah itu sepohon kayu dari kayu surga, dahan-dahannya terkulai ke bumi. Maka siapa yang mengambil sedahan daripadanya niscaya dahan itu membawanya ke surga.” (HR Ibnu Hibban) (IU 3/ 383)
“Sesungguhnya ini adalah diin yang Aku ridhai bagi diri-Ku sendiri. Dan tidak akan pernah ada yang bisa memperbaikinya melainkan oleh mereka yang memiliki sifat pemurah dan berakhlak baik. Maka muliakanlah diin ini dengan dua sifat tersebut menurut kesanggupanmu.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)
“Allah Ta’ala tidak membuat karakter wali-Nya selain di atas karakter baik akhlak dan pemurah.” (HR. Daruquthni) (IU3/383)
“Sesungguhnya orang-orang mulia dari umatku tidak akan masuk surga dengan shalat dan puasa. Tetapi mereka masuk surga dengan jiwa yang pemurah, dada yang sejahtera dan karena nasehat kepada orang-orang muslim.” (HR. Daruquthni) (IU3/387)
“Pemurah itu sepohon kayu dalam surga, maka siapa yang pemurah niscaya ia akan mengambil sedahan dari pohon itu. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehinga dimasukkannya ke surga. Dan kikir itu sepohon kayu dalam nereka, maka siapa yang kikir, niscaya ia mengambil sedahan dari dahan-dahannya. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehingga dimasukkannya ke nereka.” (HR. Daruquthni) (IU3/ 385)
“Dua perangai yang disukai oleh Allah Azza wa jalla dan dua perangai yang dimarahi oleh Allah Azza wa jalla. Adapun dua perangai yang disukai Allah Ta’ala adalah bagus akhlak dan pemurah. Adapun dua perangai yang dimarahi oleh Allah adalah jahat akhlak dan kikir. Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seseorang hamba niscaya dipakai-Nya hamba itu pada menunaikan hajat manusia.” (HR. Ad-Dailami)(IU3/ 384)
“Orang-orang penyayang akan disayang Tuhan Yang Maha Penyayang, maka sayangilah semua yang ada di bumi, maka yang ada di langit pun akan menyayangimu.”
“Tidak akan masuk surga kecuali orang penyayang.”
[Ayat 2 s/d 4 al Fatihah akan dibahas pada kesempatan lain]
Ayat – 5 (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in)
• Mengenai mengabdi atau beribadah Kalau melihat susunan dari ayat ke 5, maka prasyarat sebelum meminta pertolongan kepada Yang Maha Rahman adalah harus terlebih dahulu mengabdi kepada-Nya. Seperti apa dan bagaimanakah yang dimaksudkan dengan mengabdi itu?
Untuk dapat berbakti, beribadah, mengabdi kepada Allah dengan benar, kita harus memiliki pengetahuan tentang sifat-Nya, tindakan-Nya; sehingga mengetahui kelebihan-Nya, kemudian bangga kepada-Nya, dan karenanya membutuhkan-Nya. Ilmu mengenai Allah adalah amal paling utama. Jika ini dimiliki maka barulah seorang dapat mengabdikan dirinya, dengan:
➢ beribadah dengan khusuk.
➢ meminta hanya kepada Nya.
➢ mohon perlindungan/ bantuan hanya kepada Nya.
➢ mohon petunjuk kepada Nya.
Hal-hal di atas tadi dilakukan secara lahiriah, sedangkan perwujudan yang lebih sejati dengan bathin, yakni:
➢ merasakan sebagai abdi Allah.
➢ bangga ber-Tuhankan kepada Allah.
Untuk dapat merasakannya, mengabdi dulu pada Nya, berbakti dulu pada Nya, berbuat baik kepada sesama makhluk. Barulah nantinya Allah akan mulai memperhatikan pelakunya, lalu sang hamba akan tahu kelebihan Allah yang harus dibanggakan, yaitu Allah mulai menolongnya dengan petunjuk Nya.
• Pertolongan berupa Petunjuk
Pertolongan atau petunjuk apa yang seyogyanya diharapkan seorang makhluk dari Allah? Semua jenis pertolongan dan petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Cara yang dapat ditempuh agar pertolongan/ petunjuk Allah datang:
➢ berwatak pemurah.
➢ berbuat baik.
➢ Wirid (bukan hanya persoalan lafadz lisan, melainkan harus pula diejawantahkan).
Dari semua jenis petunjuk mengenai aneka-macam persoalan yang dihadapi seseorang, maka yang paling bernilai dan diharapkan adalah petunjuk untuk menuju ke Shirat al- Mustaqiem di alam dunia ini. Saking sulit dan rumit serta halusnya, jalan ini dilukiskan sehalus rambut dibelah tujuh, setajam mata pedang. Jadi untuk berjalan disini harus hati-hati dan memiliki fondasi yang tangguh.
Ayat 6 – 7 (Ihdinash-shiraathal-mustaqiim, shiraathalladziina an’amta alaihim ghoiril maghdhubi alaihim wa ladh-dholliin)
Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, sedikitnya sebanyak 17 x sehari dalam shalat wajib. Berarti kita berdoa “Ihdinash shirath al-mustaqiim“, dimohonkan kepada-Nya paling sedikit sebanyak 17 kali pula. Sedangkan Allah melarang memohon kepadaNya yang kita tidak tahu ilmunya (QS. 11:46, periksa pula ayat 45 dan 47). Oleh sebab itu kita perlu memahami tentang Shirath al-Mustaqiim, agar dapat menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menempuhnya.
Shirath al-Mustaqiim dapat kita periksa, antara lain berarti:
• Agama Allah (ad-diin) (QS Al-An’am [6]: 161). Sedang agama disisi Allah adalah al-Islam (Ali-Imran [3]: 19).
• Jalan dari orang-orang yang telah diberi ni’mat (QS al-Fatihah [1]: 7). Kata ni’mat dirumuskan dalam QS An-Niisa [4]: 69. Pada ayat itu diterangkan bahwa orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah adalah:
1) Nabi (QS 33: 45–7)
2) Shiddiqiin (QS 57: 19)
3) Syuhada (QS 57: 19)
4) Shalihin (QS 29: 9)
Sehingga insan yang berada di Shirath al-Mustaqiim adalah:
o orang yang diberi nikmat, dan
o al-mukhlisun
Orang yang tidak dapat berada di Shirath al-Mustaqiim (QS al-Fatihah [1]: 7) adalah:
a. Yang di murkai, insya Allah kita semua terhindar dan tidak termasuk golongan ini;
b. Yang tersesat, harus hati-hati, siapapun dapat berada dalam golongan ini karena hawa-nafsu, syahwat, perangkap syaithan dan tidak mendapat petunjuk dari Nya. Untuk menghindar dari golongan ini harus beriman, sesuai dengan QS At-Taghabun [64] : 11.
Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika menggoreskankan kayu ke pasir membuat garis lurus, kemudian di sisi garis lurus tsb, ada cabang-cabang lagi.
(Gambar-3)
Garis lurus itu melambangkan Shirath al-Mustaqiim, dan pada garis cabang terdapat perangkap syaithan. Tugas syaithan, melalui syahwat dan hawa-nafsu membelokkan ke kiri atau ke kanan agar masuk perangkap syaithan. Kalau sudah masuk perangkap sulit keluar.
Nur Iman
Peringkat ke tiga keimanan menurut Imam al-Ghazali, yaitu iman ‘Arifin atau iman cahaya merupakan iman yang dimaksud dalam Al-Qur'an, yang diagramnya dapat digambarkan di bawah ini: (gambar-4))
Sumber cahaya dapat bersifat eksternal (Rahmat Pertama), dan juga internal (Rahmat ke Dua).
Cahaya Eksternal = Sumber-Cahaya = Al-Mukmin (tunggal)
Cahaya Internal = Cahaya dari dalam Qalbu = Ruh al-Quds
Disebut Al-Mukminun karena dari dalam kalbu terpantulkan cahaya Al-Mukmin.
Seorang bayi dibekali Cahaya Eksternal awal/ Cahaya Iman awal.
(at-Taghabun [64]:11)
Bila beriman billah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada qalbunya.
(Yunus [10]:99-100
Beriman itu atas izin Allah, oleh sebab itu kita tidak dapat memaksa seseorang agar beriman
(Gambar-5)
Yang menyebabkan Qalbu tidak dapat menerima cahaya-iman karena terhalangi oleh awan-dosa. Oleh sebab itu awan-dosa harus dihapus.
Proses penghapusan dosa itu seperti bertambahnya cahaya dari bulan sabit menuju bulan purnama.
Qalb yang suci-bersih dapat menerima Nur-Iman, yang kemudian berperan sebagai media komunikasi, sehingga qalbu seperti itu dapat diterima petunjuk, yang menyebabkan pemiliknya hidup dengan terpandu.
Perjalanan Nafs Melintas Alam-alam
Alam Nur (Lautan Cahaya)
Alam Nur merupakan Lautan Cahaya dekat Hadirat Allah, disinilah berkumpul al-anfus. Alam Nur dapat dimisalkan dengan “Bank Nafs.” Nafs ini berbagai macam jenisnya, misalnya tipe emas, tipe perak dst. Nafs yang akan masuk ke janin menunggu kesiapan jasad janin. Manakala janin telah siap dan telah sampai waktunya (setelah 120 hari), maka siaplah dia sebagai wadah dari nafs yang sesuai dengan janin tersebut. Nafs yang bersedia datangpun sesuai dengan bahan janin (wadah nafs). Nafs dengan yang type perak akan menempati wadah dari perak, nafs emas akan menempati wadah dari emas …dst.
Alam Alastu (Perjanjian)
Nafs yang akan menempati janin tersebut, dipanggil menghadap Allah ke Alam-Alastu. Di alam ini, Nafs mengikrarkan janji; antara lain “mengakui Allah sebagai Rabbnya“ (lihat QS Al-A’raf [7]: 172).
Juga di alam inilah Allah menetapkan Qadha dan Qadar dari ajal, rezeki, musibah dan keberuntungan baginya selama perjalanan di dunia, serta Maqam Akhirnya. Perjanjian ini direkam oleh Ruh. Lalu Ruh dimasukkan ke dalam Nafs, dan ke duanya dimasukkan ke dalam jasad.
Alam Rahim Setelah janin berumur 120 hari atau telah disempurnakan oleh-Nya, maka ditiupkanlah Ruh-Nya ke janin dan dianugerahkan modal-dasar penglihatan, pendengaran dan af'’idah (As-Sajdah [32]:9). Dimulailah pendidikan nafs oleh orangtua dan lingkungan.
Alam Dunia
• Lahir ke dunia
Setelah janin berumur 9 bulan 10 hari, lahirlah bayi ke dunia. Turun ke dunia dengan suara tangisan karena dia cinta alam-rahim. Alam ini merupakan Surga bagi janin, disini ia hanya diam, tidur, belajar. Itulah sebabnya ia menangis sewaktu turun ke dunia, karena harus meninggalkan surga menuju ke alam yang penuh tanda tanya.
• Ingkar Janji
Sewaktu bayi lahir:
* punya FUAD (titik A)
* modal dasar I,7
Jika normal:
* perkembangan AKAL dari 0 mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Akal.
* perkembangan NAFS dari FUAD (titik A) mengikuti pola Grafik Pertumbuhan Nafs.
* (Gambar-6 )
Dalam perjalanan hidupnya, akal-jasad berkembang sesuai pola grafik pertumbuhan akal, sedangkan kepada nafs pada masa BALITA, PEMUDA menuju DEWASA, seringkali megalami pengerdilan karena hadirnya penyakit hati, seperti takabbur, riya’ iri-dengki, dst. sehingga memadamkan fu’ad, menuju NOL (lihat grafik Y).
Dengan padamnya fu’ad, berarti yang berkuasa jasad, sedangkan nafs lumpuh, buta, dan tuli. Sehingga jasad bergerak tanpa kendali nafs.
Sewaktu di alam alastu, yang melakukan perjanjian adalah sang nafs, bukan jasad; manakala nafs lumpuh, maka jasad tidak akan pernah mengetahui isi perjanjian yang dulu pernah diikrarkan nafs, dan memang jasad tidak pernah mengikrarkan janji.
Taubat yang sejati mestilah yang memang membersihkan dosa, yang dapat kembali menyegarkan fu’ad, dan kemudian mengembangkannya menuju terbukanya ‘aql dalam atau lubb.
Alam Barzakh (Kubur)
Jika tiba-tiba saja seseorang disuruh pergi ke Alam Barzakh, maka boleh-jadi itu merupakan hal yang menakutkannya, karena tidak faham keadaan disana dan terlanjur cinta kepada dunia. Kasusnya sama sewaktu diperintah turun dari Alam Rahim ke Alam Dunia. Hanya pada waktu itu disambut dengan tawa-riang oleh sanak-keluarga, tapi diri ini terjun dengan jeritan tangis. Sedangkan sewaktu pergi ke Alam Barzakh, biasanya seseorang diiringi tangis oleh sanak keluarga. Bagaimana sikap seseorang sewaktu menerima perintah untuk segera berangkat ke Alam Barzakh sangat ditentukan keberhasilan memanfaatkan kehiduoannya di alam dunia.
• Suasana di Alam Barzakh
Alam-Barzakh masih berhimpitan dengan alam-dunia. Di Alam-Barzakh, yang ada hanya nafs, syahwat tidak ada, syaithan tidak ada.
Tugas setiap insan berupaya agar nafs bisa hidup penuh dengan kemaslahatan di alam barzakh, dapat melihat dan mendengar dan belajar, sebagaimana setiap orang mendambakan kemaslahatan di alam dunia sebelumnya. (Gambar-7)
al Anam 6:122:
Raga dan Ruh kembali ke asalnya masing2
Nafs melanjutkan perjalanan sampai ajal ke dua; ada yg bebas dan ada yang terpenjara
Ajal pertama: raga
Ajal ke dua: nafs (bersama seluruh makhluk, kiamat)
Lihat Ali–Imran [3]:185, semua nafs akan mati.
Di alam-Barzakh: Nafs yang tidak perlu lagi dibersihkan dengan api alam ini, akan terus belajar tentang kebenaran.
Di Alam-Barzakh, dilakukan penyucian/pembersihan hawa-nafsu yang cinta dunia. Di Alam-Barzakh, dilakukan peleburan logam-dosa yang menyelubungi Qalbu. Logam-logam tersebut dilebur dengan api yang dibuat atau disediakan oleh diri sendiri. Kalau peleburan berhasil, maka selamatlah di Hari Perhitungan (yaum al-Hisab) nanti. Tapi tidak semua logam tersebut dapat lebur dengan apinya alam-Barzakh, kalau terjadi hal demikian maka akan dilebur dengan api neraka.
Alam-Barzakh, merupakan alam asing yang harus ditempuh oleh semua insan. Kalau kita terdampar disuatu tempat yang asing bagi kita, maka kita akan bingung manakala kita tidak mengetahui tanda-tanda yang ada di sana. Mau bertanya kita tidak faham bahasanya. Tak terbayangkan bingung serta gundah gulana hati ini, mau pulang tidak dapat. Oleh sebab itu kita harus bersiap menghadap alam-Barzakh, dengan berupaya mengenal alam-Barzakh, berupaya memahami tulisan disana, berupaya mengerti tanda-tanda di sana. Dan panduan itu dimulai dicari di sini, di alam dunia ini, sekarang ini.
Kalau didunia seorang hamba selalu dekat dengan Dia yang merupakan Penguasa semesta alam, maka alam-Barzakh dari hamba tersebut akan terang-benderang.
• Harapan Nafs di Alam Barzakh
Sekalian nafs di alam Barzakh, akan merasa senang dan gembira serta merasa bangga, bila mendengar dari keturunannya ada yang tergolong mereka yang memperoleh ni’mat. Dan ini menjadi berita yang menyenangkan dan disampaikan dari warga ke warga alam barzakh. Andaikan nafs tersebut, yang sedang dibakar, dilebur dosa-dosanya mendengar berita ini, tentu akan merasakan kesejukan.
Bagi Nafs yang hidup merdeka di alam ini karena telah bebas dari dosa, maka dapat memantau keturunannya di dunia dan dapat bersilahturrahmi dengan mereka. Bila melihat ada keturunannya yang melakukan maksiat, nafs akan sedih.
Anfus yang terpenjara dialam ini, sangat merindukan do’a dan permohonan ampunan dari keturunannya. Do’a anak Shaleh akan mengurangi derajat siksaan orangtuanya atau leluhurnya secara permanen. Sedangkan do’a dari orang-orang yang tidak ada pertalian darah hanya akan mengurangi siksaan sejenak, selesai do’a, siksaan kembali ke tingkat semula.
• Keadaan Nafs yang tak-Berdaya di Alam Barzakh
Gambaran tentang nafs yang yang buta-tuli-lumpuh dinyatakan antara lain dalam Al-Baqarah [2]: 171, dan Ar-Rum [30]: 52. Tutuplah mata yang erat, tutuplah telinga, maka akan merasakan kesepian yang mencekam. Apalagi bila disaat itu terikat, kesunyian dan kesepian semakin mencekam, rasa takut dan ngerikan menghantui. Ini di dunia dan sebentar. Bayangkan, nafs akan mengalaminya dalam masa yang sangat panjang.
Alam Mahsyar
Alam mahsyar adalah alam di mana semua manusia dikumpulkan dari manusia yang paling awal hingga manusia yang paling akhir untuk menjalani berbagai proses selanjutnya, seperti dihisab amalnya.
Alam Akhirat
Alam inilah yang digambarkan sebagai akhir dari warta yang disampaikan kepada makhluk, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci.
Lihat Gambar-8 (rangkuman)
Selamat Datang Saudara-Saudari-ku, Diblogku ini semoga Anda merasa puas dan merasa suka serta mendapatkan manpaatnya juga Mendapatkan Keridhaan Dari Pada-Nya Aamiin...Ttd...Nurassajati Purnama Alam. Dan Semua ini aku persemabahkan buat kalian namun jangan lupa ucapkan Salam persatuan Islam. Karena hal itu merupakan Do'a keselamatan bagi kita semua.Aamiin...Ya Robbal Alamin.Wassalam.
BalasHapusWATAWAA SHOWBIL HAQQI, WATAWAA SHOWBISHSHOBRI.
HapusWATAWAA SHOWBISHSHOBRI, WATAWAA SHOWBIL MARHAMAH.
SAlam Ukhuwah
Alhamdulillaah, tentara Allah semakin kuat.
BalasHapus