Rabu, 24 Oktober 2012

Mengenai Hari Raya Yang Bertepatan Dengan Hari Jum'at




·        Menjawab Pertanyaa dari sahabat... Sri Kusmina


Jawaban...”
Mengenai" Shalat Jum’at yang bersamaan harinya dengan hari raya :

Apakah orang yang pagi harinya sudah melaksanakan Salat Hari Raya maka siangnya juga harus melaksanakan shalat jum’at ? atau sebaliknya dimana jika orang sudah melaksanakan shalat hari raya pada pagi harinya lalu siangnya tidak wajib untuk melaksanakan shalat jum’at ?

Agar tidak terjadi salah faham, maka disini perlu pemaparan berdasarkan penelitian dari berbagai dasar Al Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. yang tentunya juga perlu kita tuangkan pula pendapat-pendapat dari para ulama, agar persoalan yang menjadi polemik dimasyarakat ini menjadi jelas, karena masalah ini berhubungan dengan kepentingan orang banyak yang tentu berbeda-beda pemahamannya.

Tujuan dari pembahasan disini adalah agar supaya sesuatu amal ibadah itu berjalan menurut semestinya serta perbedaan pendapat dapat dihilangkan minimal dapat dikurangi.

PEMBAHASAN

Dalam membahas masalah ini, para ulama berbeda pendapat yaitu ada yang menetapkan wajibnya shalat jum’at sebagaimana biasa walaupun paginya sudah melaksanakan shalat hari raya idul fitri/adha. Ada yang menetapkan untuk tidak perlu shalat jum’at karena paginya sudah mendengarkan khutbah/shalat ied.

1. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.

Adapun dalil-dalail Naqli yang berhubungan dengan masalah ini adalah :

a). Dalil umum

1). Hadits dari Hafshah :

Artinya : “Dari Hafshah istri Rasulullah saw. berkata : Bahwa sesungguhnya Nabi bersabda : Shalat jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah dewasa”. (HR. Nasai dlm Sunan Nasai III hal. 79 )

2). Firman Allah dalam QS. Al Jumu’ah : 9

Artinya : “Apabila adzan telah dikumandangkan pada hari jum’at untuk memanggil shalat, maka berangkatlah pergi shalat dan tinggalkan jual beli”.

3). HR. Muslim dalam syarah muslim Juz VI hal. 152 dan Nasa’i

Artinya : “Rasulullah saw. bersabda : Hendak berhentilah orang-orang dari meninggalkan Jum’at atau maukah mereka di cap Tuhan hatinya, sesudah itu mereka tetap menjadi orang yang lalai selama-lamanya”.

4). HR. Muslim dalam syarah Muslim Juz VI hal 142-143

Artinya : “Rasulullah saw.bersabda : Kita adalah umat terkemudian tetapi kita adalah umat yang terdahulu pada hari kiamat, walaupun umat yang terdahulu diberi Kitab sebelum kita dan kita diberi dibelakang mereka. Kemudian Allah Azza wa Jalla memeberi hidayah kepada kita dengan memberi hari yang telah diwajibkan bagi kita. Maka semua orang mengikuti kita : orang yahudi besok (Sabtu) dan orang Nashara sesudah besok (Minggu)”.

Menurut Imam Nawawi dalam mensyarahi hadits ini adalah sebagai dalil tentang wajibnya shalat Jum’at ( Syarah Muslim VI hal. 142 )

5). Hadits dari Thariq bin Shihab

Artinya : “Dari Thariq bin Shihab dari Nabi saw.. beliau bersabda : Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah, kecuali 4 golongan yaitu : hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit” (HR. Abu Daud dalam sunan Abu Daud Juz I hal. 280)

b). Dalil Khusus

1). Hadits dari Abu Hurairah

Artinya : “Abu Hurairah berkata bahwa Nabi saw. bersabda : Telah terhimpun padahari ini dua hari raya ( hari raya dan hari jum’at ), maka barangsiapa mau, cukuplah shalat ini buat dia, tetapi kami akan dirikan jum’at”. (HR. Abu Daud dan Hakim)

2). Hadits dari Zaid bin Arqam

Artinya : “ Telah berkata Zaid bin Arqam : Bahwasanya Nabi saw. pernah shalat hari raya di hari jum’at, kemudian ia beri kelonggaran tentang shalat jum’at dengan bersabda : Barangsiapa yang mau melaksanakan shalat jum’at maka hendaknya ia kerjakan”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majjah).

3). Hadits dari umar bin Abdul Aziz dalam kitab Umm

Artinya : “Dari Umar bin Abdul Aziz berkata : Telah terhimpun dua hari raya pada masa Rasulullah saw., maka Beliau bersabda : Barangsiapa orang ‘Aliyah (pedesaan/pegunungan/pinggiran) yang suka melaksanakan shalat jum’at, maka tunggulah jum’at, boleh saja”. ( Kitab Umm hal 239)

4). Hadits Riwayat Nasa’i

Artinya : “Telah berkata Wahab bin Kaisan bahwa : Telah terhimpun dua hari raya dizaman pemerintahan Ibnu Zubair (sahabat Nabi dan juga penguasa saat itu), maka ia lambat keluar hingga matahari tinggi, kemudian ia keluar lalu berkhutbah, kemudian ia shalat, dan tidak ia dirikan shalat jum’at bagi orang ramai (pada hari itu), maka aku kabarkan yang demikian itu kepada Ibnu Abbas, maka Ia jawab : betul, ibnu zubair menurut sunnah”. (HR. Nasa’i)

Hadits serupa juga dikemukakan oleh Atho’ bin Rabbah.

5). Hadits dari Ibnu Umar

Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw., Abu Bakar dan Umar ra.adalah melaksanakan shalat hari raya dahulu sebelum khutbah”. (HR. Nasa’i III hal 183)

6). Hadits dari Ibnu Abbas

Artinya : “Ibnu Abbas berkata : Saya saksikan, bahwa saya menghadiri shalat hari raya bersama-sama Rasulullah saw, maka beliau memulai shalat sebelum khutbah. Sesudah shalat baru berkhutbah”. (Sunan Nasa’i III hal. 184)(HR. Bukhari Bab Kitabul Idain)

7). Hadits dari Nu’man bin Basyir

Artinya : “Dari Nu’man bin Basyir ra. Berkata : bahwasanya Rasulullah saw membaca ayat Surat al A’la dan Surat Al Ghasyiah dalam shalat hari raya dan jum’at. Kadang-kadang berhimpun hari raya dan Jum’at, maka dalam kedua shalat itu beliau membaca ayat-ayat ini juga”. ( HR. Nasaa’i dalam Sunan Nasa’i III hal 184)

8). Khutbah saidina Utsman sesudah shalat ied

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah terhimpun dua hari raya (hari raya dan hari jum’at), maka siapa-siapa diantara orang-orang ‘Aliyah (pedesaan/pegunungan/pinggiran), mau ikut shalat jum’at dengan kami silahkan ikut, dan siapa yang mau pulang disilahkan pulang”. ( Kitab Al-Muhadzdzab bab Shalat Jum’at) (HR. Malik dalam Al Muwatha’)

2. Pendapat para ulama

a). Imam Atha’ berpendapat bahwa jika terhimpun dua hari raya maka cukup shalat hari raya saja, tanpa shalat jum’at dan dhuhur berdasarkan riwayat dari Ibnu Zubair dan Ali

b). Imam Syafi’i, tidak wajib shalat Jum’at pada hari raya di hari Jum’at apabila sudah melaksanakan shalat hari raya adalah khusus bagi orang-orang yang tinggal terpencil di pegunungan/pedalaman, sedangkan shalat hari raya dan shalat Jum’at hanya dilaksanakan di perkotaan. Ini cocok dengan riwayat dari utsman yang di riwayatkan Malik dalam Kitab Hadits Al Muwatha’

Artinya : “Barang siapa dari penduduk ‘Aliyah ( pegunungan/pedalaman/ pinggiran) Madinah yang ingin menunggu shalat Jum’at, maka tunggulah dan barangsiapa yang ingin pulang maka pulanglah” (HR. Malik)

c). Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat : tidak ada perubahan hukum, tiap mukalaf tetap melaksanakan dua-duanya, karena shalat hari raya itu sunnah sedangkan shalat Jum’at itu wajib, maka tidak bisa shalat yang satu menggugurkan yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya.

Apabila pendapat utsman diatas diikuti, maka bukan sebagai dasar ijtihad, melainkan masalah tauqifi yang tidak menyimpang dari hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan dzuhur benar-benar menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali jika ada nash yang mendasari.

Penjelasan ini diambil dari kitab Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid Oleh Imamul Qadhi Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd/Ibnu Rusyd hal. 159 sbb :

واختلفوا اذا اجتمع فی یوم واحد عید وجمعة، هل یجزیء العید عن الجمعة ؟ فقال قوم : یجزیء العید عن الجمعة ولیس علیه فی ذلك الیوم ال العصر فقط، وبه قال عطاء، وروی ذلك عن ابن الزبیر وعلی. وقال قوم : هذه رخصة لاهل البوادی الذین یردون الامصار للعید والجمعة خاصة كما روی عن عٽمان انه خطب فی یوم عید وجمعة فقال : من احب من اهل العالیة ان ینتنظر ، ومن احب ان یرجع فلیرجع، رواه مالك فی الموطاء ،وروی نحوه عن عمر بن عبد العزیز وبه قال الشافعی، وقال مالك وابو حنیفة : اذااجتمع عید و جمعة فالمكلف مخاطب بهما جمیعا ، العید انه سنة، والجمعة علی انها فرض، ولا ینوب احدهما عن الاخر، وهذا هو الاصل الا ان یٽبت فی ذلك شرع یجب المصیر الیه، ومن تمسیك بقول عٽمان ، فلانه راءی ان مٽل ذلك لیس هو بتلراءی وانما هو توقف، ولیس هو یخارج عن الاصول كل الخروج. واما اسقاط فرض الظهر والجمعة التی هی بدله لمكان صلاة العید فخارج عن الاصول جدا، ال ان یٽبت فی ذلك شرع یجب المصیر الیه

penjelasan lain :

-Imam syafi’i dalam kitab Umm, juz I hal. 239 sbb:

Artinya : “Tidak boleh bagi penduduk kota meninggalkan shalat jum’at, walaupun pada hari raya sekalipun, kecuali ada udzur yang membolehkan meninggalkan jum’at”.

Yang dimaksud dengan Kota disini adalah suatu daerah yang punya syarat yang cukup untuk mendirikan jum’at yang biasanya shalat jum’at didirikan disitu.

Fatwa ini juga terdapat dalam Qoul Qodim Syarah Al Muhadzab Juz IV hal. 491 yang mengambil pendapat dari Imam syafi’i dan shabat-sahabatnya dalam kitab Umm diatas.

- Dalam Kitab Nailul Author jilid III hal. 347 Cet. Darul Jail Beirut tahun 1973 M menjelaskan bahwa : Imam Ahmad dan Imam Daru Quthni mengatakan bahwa : hadits dari Abu Hurairah diatas adalah hadits mursal. Dan ada hadits yang tidak mursal yang di riwayatkan oleh Imam Baihaqi tetapi sanadnya dzoif. Hadits dari Zaid bin Arqam juga hadits dzaif karena dalam sanadnya ada seorang yang tidak dikenal yaitu Iyas bin Abi Ramlah, seorang yang sama sekali tidak dikenal (Majhul).

- Dalam Kitab Syarah Muhadzab Juz IV hal. 492, Imam Nawawi menjelaskan bahwa Hadits Abu Hurairah yang di Rawikan oleh Abu Daud tentang terhimpun dua hari raya adalah hadits dzaif.

- Andaikata hadits dhaif tetap dijadikan hujjah sesuai dengan madzhab hambali, maka kata “MAN SYA-A” ( barangsiapa yang mau ) adalah kata “Aam” atau kata umum yang sudah di takhshish dengan kata khusus yaitu “MIN AHLIL ‘ALIYAH” (penduduk pegunungan/pinggiran) yang diberi rukhshoh untuk tidak shalat jum’at jika mereka mau.

- Dalam mengomentari hadits dari Wahab bin Kaisan yang diriwayatkan oleh Nasa’i adalah sbb : hadits tsb. adalah amalan dari ibnu zubair dan bisa menimbulkan pertanyaan : Shalat apakah yang dilakukan oleh ibnu Zubair tsb. Karena ibnu zubair langsung melaksanakan khutbah terlebih dahulu baru melaksanakan shalat. Padahal yang dilakukan Nabi saw. untuk shalat ied adalah shalat dahulu baru khutbah. Apalagi yang disampaikan oleh Wahab ibnu Kaisan itu bahwa Ibnu Zubair lambat keluar sehingga matahari sudah tinggi sehingga bisa-bisa yang dimaksud shalat tersebut adalah shalat Jum’at dan bukan shalat hari raya karena khutbah dahulu baru melaksanakan shalat. Bahkaan ada juga ulama yang mengatakan bahwa cerita wahab bin kaisan tsb. Campur aduk (mudh tharib) shg tidak bisa dijadikan dalil.

- Pendapat ulama lain bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan shalat jum’at walaupun bersamaan dengan hari raya dimana Rasulullah saw. selalu membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan sbb :

1). Shalat Jum’at itu wajib dikerjakan kecuali 4 golongan yaitu : hamba sahaya, wanita,anak-anak dan orang sakit.

2). Shalat jum’at tetap wajib dikerjakan walaupun bertepatan dengan hari raya.

3). Bagi orang pedusunan/pinggiran/pegunungan/terpencil yang disitu tidak diadakan shalat jum’at/hari raya dan harus ke kota jika melaksanakannya, maka boleh melaksanakan shalat jum’at juga boleh tidak melaksanakannya tetapi harus diganti dg shalat dhuhur. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

~* Kisah ;”Ashabul Kahfi, Secara Lengkap *~



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Saudaraku...”
Dalam surah al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS serta kisah Dzulqarnain.

Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata-mata, tetapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya. Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya:

Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi: "(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a:

"Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)" (QS al-Kahfi:10) Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Sayidina Umar Al-Khattab r.a. memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar.

Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu batil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.

"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!

Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau!

Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah batil!"

Salman Al-Farisi yang ketika itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!" Ia segera pergi ke rumah Sayidina Ali bin Abi Thalib .Setelah bertemu beliau, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!" Sayidina Ali bingung, lalu bertanya: "Mengapa?" Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.

Sayidina Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Talib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata: "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib. Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?" Jawab Ali bin Abi Thalib: "Induk kunci itu ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pemuda maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!" Jawab Ali: "Kuburan itu ialah ikan hiu yang menelan Nabi Yunus putera Matta. Nabi Yunus AS dibawa keliling ke tujuh samudra!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!" Ali bin Abi Thalib menjawab:

"Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!" Ali bin Abi Thalib menjawab:
"Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Saleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda." "Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Sayidina Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Bottom of Form

Top of Form

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi. Ali bin Abi Thalib menjawab:

"Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada RasulNya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Quran kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.

Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius.

Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibu kota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Sayidina Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Tiang-tiangnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak.

Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.

Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para patih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.

Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.

Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan mentri-mentri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka.

Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Bottom of Form

Top of Form
Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung.

Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke sekitarnya.

Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sihat, ia mulai bongkak, durhaka dan zalim. Ia mengaku dirinya sebagai "tuhan" dan tidak mahu lagi mengakui adanya Allah SWT.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh.

Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiyakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.

Pada suatu hari perayaan ulang tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.

Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran.

Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar Tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.

Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mahu minum?"

"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya bertanya: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: "Siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang sentiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian ku fikirkan juga bumi ini:

"Siapakah yang membentang dan menghamparkannya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring ?" Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: "Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha dicium sambil berkata: "Hai Tamlikha, dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang zalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"
"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian disematkan dalam baju. Lalu berangkat menunggangi kuda bersama-sama dengan lima orang temannya. Setelah berjalan 3 batu jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:

"Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka.
"Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil mencium kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.

Kalian berhenti sajalah dulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Saat Imam Ali bercerita sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
Bottom of Form

Top of Form
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW. menceritakan kepadaku, bahawa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qitmir.

Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: "Kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita!" Mereka meminta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada Tuhan selain Allah, yang tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.

Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku dapat mendekatkan diriku kepada Allah SWT." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!" Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya:
"Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancurkan mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua.

Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat Maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membolak-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.

Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri."

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Lalu bersama 80,000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua.

Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan untuk menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan seperti semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:

"Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu." Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu berlalu, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar.

Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!" Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota.

Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!"(maksudnya mimpi) Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota.

Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berjalan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"

"Aphesus," sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi.
"Abdurrahman," jawab penjual roti.

"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "Urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!" Melihat uang itu, penjual roti keheranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Kemudian "Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Bottom of Form

Top of Form
Sayidina Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Sayidina Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan semua itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!"

"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai Tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"

"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."

Tamlikha menjawab: "Tuanku, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheranan: "Engkau penduduk kota ini?"
"Ya. Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.
"Ya, ada," jawab Tamlikha.
"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1,000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"

"Ya, tuanku," jawab Tamlikha.
"Utuslah seorang menyertai aku!" Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengiringnya: "Inilah rumahku!"

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!" Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati, ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah Tuan saya ! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."

Kemudian diteruskannya dengan suara terharu: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera berangkat menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda.

Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai mencium tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?" Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Sayidina Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau bunyi senjata.

Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka akan mati semua. Oleh kerana itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"

Tamlikha bertanya: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.

"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"

Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh dunia?"

"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha kembali bertanya.
"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka. Lalu mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa:

"Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa pengetahuan orang lain!"

Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat Maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas.

Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berkeliling selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.

Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

"Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan;

Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."

Sampai di situ Sayidina Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"

Demikianlah Saudaraku hikayat tentang para penghuni gua (Ashabul Kahfi), yang dapat aku sampaikan Di kutip dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Sayidina Ali bin Abi Thalib dari Rasulullah SAW. semoga saja bermanfaat. Aamiin Wassalam
Bottom of Form