oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
As-salaamu 'alaikum wr wb,
Terima kasih banyak kepada Kang Zamzam A J Tanuwijaya yang telah memberikan izin kepada kami untuk meng-upload pengetahuan yang sangat bermanfa'at bagi ummat di Notes FB dan Blog kami.
Notes2 ini adalah hasil dari mengikuti Kajian Al Qur'an di Yayasan Islam Paramartha yang pernah kami ikuti di Bintaro,
Semoga Bermanfa'at,
was-salaamu 'alaikum wr wb
A-'uudzubillaahis-samii-il 'aliim minasy-syaithaani-r-rajiim,
Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim,
Alhamdulillaahi-r-Rabbil 'aalamiin,
Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad,
Subhaanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa 'atuubu 'ilaik,
Sebuah Pengantar tentang Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Tinjauan Umum
1. Acuan pengajian ini
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadits
c. Karya para waliyullah, karena tertunjuki-Nya beliau-beliau oleh Allah Ta’ala sehingga akurasinya tidak diragukan dan bukan spekulasi rasio belaka
2. Tema Pengajian: Tashawwuf dalam Al-Qur’an
a. Perjalanan menuju-Nya membutuhkan kedewasaan dan kesungguhan
b. Al-Qur’an sebagai peta perjalanan transformasi diri hamba untuk kembali menuju Tuhannya
c. Mendasarkan pengabdian dan perjalanan pada Al-Qur’an
d. Al-Qur’an menuntun perjalanan agar hamba tidak salah dalam mencari Tuhan. Boleh jadi malah mempertuhankan selain-Nya, entah itu jabatan, kekayaan, keluarga, harga diri, atau ketakutan yang dipertuhankan.
3. Puncak permohonan menuju Tuhan: Ihdina-sh-shirath al-mustaqim
a. Amat penting memahami doa yang kita panjatkan setiap hari
b. Rabb ada di atas shirath al-mustaqim. Mencari Rabb melalui pencarian akan shirath al-mustaqim. Pengetahuan tentang shirath al-mustaqim akan membantu dalam meniti perjalanan
c. Menuju Allah Ta’ala hanyalah dengan “pengabdian”. “Mengabdi” menurut Abu Yazid Al-Bisthami adalah
Sabar dalam ujian-Nya
Syukur dengan ni’mat-Nya
Ridha dengan segala ketetapan-Nya
4. Mengenal struktur pesan-Nya dalam Al-Qur’an melalui konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin
a. Al-Fatihah sering disebut sebagai ummul-kitab (induk kitab)
b. Konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin paralel dengan konsep keturunan yang mana variasi karakter anak-anak yang dilahirkan menjelaskan orang tuanya.
c. Berbagai konsep dalam Al-Fatihah (sebagai ummul-kitab) seperti bismillahirrahmanirrahim, pengabdian, shirath al-mustaqim, dan sebagainya dirinci dalam surat-surat lainnya (sebagai kitabul-mubin atau kitab penjelas/pemerinci). Bismillahirrahmanirrahim sebagai ummul-kitab dalam Al-Fatihah dijelaskan oleh keenam ayat lainnya sebagai kitabul-mubin.
d. Dengan konsep ini maka seluruh kata dan huruf dan Al-Qur’an saling mengunci dan melengkapi (komplementer), tidak mungkin ditambah dan dikurangi
5. Mempraktekkan konsep ketertautan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mencari shirath al-mustaqim (SM)
a. SM adalah jalan di mana Rabb ada di atasnya (QS 11:56).
b. SM setara dengan agama (ad-diin) (QS 6: 161).
c. Agar ditunjuki ke SM maka harus berjuang mengalahkan hawa nafsu dan syahwat (QS 4: 66)
d. SM merupakan jalan orang-orang yang diberi ni’mat (QS 1: 7)
e. Siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya akan disertakan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang yang berada di SM) (QS 4:69)
Pendahuluan
Beberapa catatan dalam pengajian ini:
- Pelayanan pengajian ini tidak mengikat dan memungut biaya bagi para peserta
- Meskipun demikian diharapkan kehadirannya secara sinambung
- Diharapkan terjadi dialog dan diskusi di dalam forum
Selain mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, pengajian ini mengacu pada karya-karya orang suci seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Beberapa buku beliau-beliau sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti:
1. Al-Ghazali:
o Misykat Cahaya-cahaya (Al-Misykatul Anwar)
o Keajaiban Hati (‘Ajaib-ul-Qulub)
o Asma-ul-Husna
o Ihya ‘Ulumuddin (terjemahan Prof Isma’il Yakub)
o Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi (Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatus Salikin)
2. Ibnu al-‘Arabi:
o Pohon Kejadian (Syajaratul Kaun)
o Pohon Semesta
o Hakikat Lafadz Allah (Kalimatullah Kitab Al-Jalalah)
o Sufi-sufi Andalusia (Ruh-Al-Quds fi Munashahat-an-Nafs [Ruh Al-Quds sebagai penasihat jiwa] & Ad-Durrat-ul-Fakhirah)
3. Maulana Jalaluddin Rumi:
o Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya
o Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi (Reynold A. Nicholson)
Insan-insan tersebut di atas merupakan waliyullah oleh karena itu menjadi rujukan utama pengajian ini. Karena apapun yang dikerjakan para waliyullah akan tertunjuki sehingga tingkat akurasinya tak diragukan lagi. Beberapa kalangan memandang aneh terhadap karya dan tradisi tashawwuf para wali yang beberapanya disebut di atas.Selain itu masing-masing waliyullah mengurai khazanah yang seolah-olah berbeda jauh bahkan bertolak belakang.
Misalnya di dunia barat dikenal pembedaan antara path of knowledge (jalan/thariqah pengetahuan)—yang umumnya disandarkan pada Ibnu al-‘Arabi, dan path of love (jalan/thariqah cinta)—yang umumnya disandarkan pada Rumi. Bagi orang-orang yang menyenangi sajak-sajak bercita rasa tinggi mungkin sajak-sajak Maulana Rumi terasa lebih cocok untuk mengisi kekosongan hati. Sedangkan bagi orang-orang yang menyukai paparan yang falsafi (bercorak filsafat) sering kali memilih Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi.
Pada dasarnya bagi seorang pencari/pejalan pembedaan tersebut tidak berlaku karena kedua-duanya hadir secara bersamaan: cinta kepada Allah Ta’ala dan pengetahuan tentang kebenaran itu menyatu. Hanya mungkin Maulana Rumi dalam guratan kisah hidupnya banyak menghadirkan fenomena ‘mabuk’ karena cinta kepada Allah sedangkan Ibnu ‘Arabi banyak banyak menghadirkan karya pemikiran yang seolah merupakan pengetahuan yang ‘rumit’. Kedua jalan tersebut sebenarnya sama saja, bagai pisau bermata dua yang kedua matanya sama tajamnya.
Demikian pula, para pengamat melabeli Al-Ghazali dengan istilah tashawuf amaliah, artinya menekankan amalan-amalan sunah sebagai cara berjalan—yang ditentang-hadapkan dengan jalan bercorak cinta Maulana Rumi atau bercorak filsafatnya Ibnu al-‘Arabi. Tetapi, jika kita membandingkan buku-buku karya ke duanya, seperti “Pohon Kejadian” (Ibnu al-‘Arabi) dan “Misykat Cahaya-cahaya” (Al-Ghazali), maka akan kita dapati keserupaan: dimana buku pertama berbicara tentang ‘pohon semesta’ yang berfokus pada manusia paripurna atau insan kamil sebagai qalb semesta sedangkan ‘misykat cahaya-cahaya’ mengkaji rinci tentang struktur insan. Kedua buku tersebut pada dasarnya adalah identik.
Dalam menghayati sajak-sajak Maulana Rumi yang seolah sederhana pun jika tidak dipahami struktur permasalahannya maka masing-masingnya seakan tak berhubungan. Jika struktur permasalahannya terpahami maka sahabat-sahabat akan merasakan kekuatan sajak-sajak beliau. Oleh karena itu banyak buku para waliyullah yang terjemahannya cukup buruk karena sang penerjemah terseok-seok dalam menangkap aspirasi teks tersebut terutama kalau sang penerjemah bukan seorang pejalan.
Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Seringkali dalam proses menuju Allah Ta’ala manusia berfikir tentang Tuhan, bertafakkur, merenung. Terkadang manusia memikirkan nasib dirinya yang malang, “kenapa Tuhan memperlakukan saya demikian, kenapa Tuhan tidak adil kepada saya”. Tetapi mengapa manusia tidak pernah mencari kira-kira apa dasar policy/kebijakan Tuhan menciptakan alam semesta, menciptakan sebuah variasi sosial yang beragam, mengapa diberi bencana, mengapa diberi ni’mat, mengapa negeri ini hancur lebur seperti begini, yang semuanya tentu muncul dari ketetapan Allah Ta’ala. Apapun yang hadir dan terjadi di alam semesta pasti atas ijin Allah Ta’ala. Iblispun juga hadir dengan ijin Allah Ta’ala. Tidak ada yang bergerak tanpa diijinkan atau dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Yang baik maupun yang kita anggap buruk—semua saja yang hadir di alam semesta—hadir dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi kreasinya sendiri dan mandiri tanpa Allah kehendaki.
Sebenarnya di balik peristiwa yang mengguncangkan, menggelitik, menampar, memfrustasikan kita masing-masing itu tak ada yang tak datang dari Allah Ta’ala. “Jika Tuhanku mengijinkan sebuah petaka menimpa saya, pasti bukannya tak bertujuan”. Sayangnya cambuk tersebut tidak pernah membuat kita bertanya secara fundamental. Kita dibuat sibuk habis-habisan di dalam keseharian, persoalan yang hadir bak benang kusut yang sulit diurai; kita terjebak lemas dalam jeratan dan tak sanggup bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan sederhana. Bahkan mungkin sulit untuk sekedar bergumam: “harus menuju kemanakah kita?”.
Tema sentral pengajian ini adalah “Tashawwuf dalam Al-Qur’an”. Mengapa demikian? Seorang Muslim pada dasarnya tidak diperkenankan mengikuti sebuah persoalan yang tak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, terlebih bagi hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya, berjalan menuju Allah Ta’ala. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan-Nya, peta transformasi diri sang hamba untuk menuju Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS Al-Israa’ [17]: 36)
Bagaimanakah caranya menuju Allah Ta’ala? Hal ini bukanlah persoalan yang sederhana. Allah menuntut kedewasaan kita dalam menjawab persoalan besar ini. Jika perkara kembalinya sang hamba hanya merupakan sesuatu yang bersifat sampingan, dianggap sesuatu yang sambil lalu, maka kesungguhan dan kedewasaan kita dalam menuju-Nya patut dipertanyakan.
Dalam menemui kembali sesuatu yang kita cintai maka sepatutnya kita akan sangat respek dan amat perhatian pada informasi yang berkenaan dengan sesuatu tersebut. Sebagai hamba yang mau menuju Allah tentu kita akan sangat memperhatikan segala yang datang dari Sesuatu yang kita tuju. Apapun pesan yang datang dari-Nya akan dicari dengan amat kehausan. Sudah demikiankah kita? Lain halnya jika hati dan pikiran tidak menuju sesuatu; boleh jadi Al-Qur’an tidak pernah dibuka karena kurang mendesak dan kurang penting.
Kedewasaan kita akan sungguh-sungguh diuji dalam mencari-Nya. Dari hal yang paling sederhana, yaitu pengharapan harian kita, hingga jejak-jejak yang Ia tinggalkan dalam Al-Qur’an harus kita lacak dengan kesungguhan penuh. Jika sebelumnya kita biasa membuka Al-Qur’an, melafazhkan bacaannya, hingga berusaha membaca terjemahannya, maka pencarian lebih lanjut mendesak kita untuk mulai mengenali apakah gagasan Al-Qur’an. Apakah ide dasarnya, apa saja informasi yang terkandung di dalamnya, seperti apa format distribusi informasinya (yang memungkinkan kita memahami struktur gagasan Al-Qur’an). Lepas dari tepat atau tidaknya terjemahan Al-Qur’an, pernahkah kita menuntaskan seperempat atau paling tidak sepersepuluh Al-Qur’an?
Kita perlu studi tentang bagaimana cara berkomunikasi antara hamba dengan Tuhan, bagaimana perambatan/penjalaran (propagasi) informasinya. Al-Qur’an membicarakan semua informasi itu: perangkat apa yang dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana cara menggunakannya, seperti apa propagasi informasinya.
Hal demikian diurai Al-Qur’an agar hamba tak tersesat dalam perjalanan menuju Tuhannya. Seringkali hamba menyembah sesuatu yang dipersangkakan sebagai Tuhan padahal bukan. Seperti kambing yang berkaca di air dan melihat matahari di dalam telaga padahal tentunya matahari ada di atas. Seperti kabayan menganggap laut teramat dalam karena melihat bayangan langit di atas permukaan air sehingga ia takut menyeberang. Tuhan manakah yang kita cari? Tuhan (ilah) itu banyak, ada jabatan yang dipertuhankan, kekayaan yang dipertuhankan, perempuan yang dipertuhankan, harga diri yang dipertuhankan, lantas Tuhan manakah yang akan kita tuju?
Bagaimanapun hari ini kita diuji tentang Al-Qur’an. Awalnya mungkin kita tidak tertarik kepada Al-Qur’an karena kita tak paham bahasanya. Mungkin bahasanya terlalu rumit, aneh, tak runtut, melompat-lompat, membosankan, menjemukan, tidak rapi, dan sebagainya; memang begitulah desain Al-Qur’an. Tetapi kalau kita paham artinya, Insya Allah nanti setelah pengajian ini selesai, maka Al-Qur’an akan nampak lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Mulai saat ini perlu kita lebih sering menelaah Al-Qur’an, meskipun sekadar terjemahannya. Lebih baik lagi jika dapat memahami bahasa Arabnya; karena antara teks arab dengan terjemahan umum berjarak cukup jauh meskipun sekian puluh persen gagasan dasarnya terungkap oleh terjemahan.
Shirath al-Mustaqiim: Jalan Menuju Allah Ta’ala
Menuju Allah Ta’ala adalah perkara yang luar biasa besar sekaligus pelik. Kita akan mulai menelaahnya dari hal yang paling biasa kita temui: Shalat. Dalam keseharian kita sering melaksanakan shalat baik yang wajib maupun yang sunnah. Shalat itu pada prinsipnya merupakan rangkaian doa dari awal sampai akhir. Jika kita cukup memahami arti seluruh bacaan dan gerakan shalat maka kesemuanya merupakan panjatan doa. Berkaitan dengan doa sebagai permohonan dan pengharapan hamba kepada Tuhannya maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada Surah Al-Fatihah yang tentunya juga merupakan doa. Kita akan menyigi permohonan dan pengharapan harian kita tersebut dan menguji apakah ada yang tidak kita pahami.
Salah satu permohonan doa yang paling eksplisit terlihat dalam Al-Fatihah adalah:
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sh-Shirath al-Mustaqiim”.
“Kepadamu kami mengabdi dan kepadamu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami Shirath al-Mustaqiim (‘jalan yang lurus’)”. (QS Al-Fatihah [1]: 5 – 6).
Terdapat istilah ‘Shirath al-Mustaqiim’ dalam doa tersebut. Tapi apakah itu shirath al-mustaqim? Permohonan tersebut kita lantunkan saat shalat dalam hari-hari kita. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak kita apakah kita cukup paham akan permintaan dan pengharapan yang kita panjatkan pada-Nya. Allah Ta’ala telah mengingatkan
“... Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya …” (QS Huud [11] : 46).
Apakah yang diharapkan dari doa “tunjuki hamba, ke Shirath al-Mustaqiim”? Apakah itu Shirath al-Mustaqiim? Apakah serupa dengan jalan bebas-hambatan yang yang lurus; Apakah kelancaran dalam bisnis supaya selalu mulus jalannya; Apakah kerapihan dalam rumah tangga; Apakah jalan bebas-hambatan di surga nanti; Apakah jembatan di neraka supaya kita tidak terperosok ke dalam api neraka; Apakah sebuah jalan yang tajamnya seperti rambut dibelah tujuh? (‘Titian serambut dibelah tujuh’ yang tajam bagaikan pisau silet yang diujarkan para orang tua kita merupakan metafora atau perumpaan yang menggambarkan amat sulitnya sebuah perjalanan). Boleh jadi selama ini permintaan tersebut tidak kita rasakan urgensinya, karena kebuntuan kita memahami persoalannya.
Tentu saja Allah Ta’ala menuntut kedewasaan kita untuk memahami segala apa yang Ia maksud. Mungkin kita perlu merasa malu ketika kita terus meminta sesuatu yang Ia telah tuliskan, sembari terus melanggar kalimat-Nya yang lain—yang menuntut kita memahami pengharapan yang kita panjatkan. Ini semua membuat kita perlu studi lebih jauh apakah Shirath al-Mustaqiim itu.
Ia berfirman: “… Inna Rabbii ‘alaa shirathimmustaqiim”
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath al-Mustaqiim” (QS Huud [11]:56)
(Gambar-1)
Para pencari Allah yang sungguh-sungguh tentunya akan mencari tanda-tanda di mana Ia berada. Dan Allah Ta’ala memberikan kunci pembuka: Ia di atas Shirath al-Mustaqiim. Dengan demikian para pencari harus menemukan jalan tersebut. Seperti apakah ciri-ciri jalan tersebut.
Saat ini kita akan berusaha menjawab gagasan Shirath al-Mustaqiim hingga bagaimana mencarinya. Tanpa mengetahui do’a harian kita tersebut kita pun tidak paham apakah Tuhan menjawab permohonan kita atau tidak. Tanpa mengetahui di mana Shirath al-Mustaqiim berada maka wajar kita ragu-ragu sedang di manakah kita berada: di jalan sempit Shirath al-Mustaqiim-kah, jalan bebas-hambatan Shirath al-Mustaqiim-kah, atau sedang terperangkap di hutan antah berantah. Jika hal ini tidak terjawab sampai usai pengajian, maka boleh jadi pengajian ini gagal.
Singkat kata, tidak ada jalan lain menuju Allah Ta’ala selain melalui Shirath al-Mustaqiim, dan satu-satunya cara menempuhnya adalah dengan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Sesuai dengan QS Al-Fatihah [1] : 5), maka pengabdian harus dilakukan terlebih dahulu baru permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan dalam perjalanan. Kata ‘mengabdi’ merupakan kata yang kaya makna dan perspektif serta sering dirasa abstrak. Sebagai landasan bertolak, kita dapat menggunakan rumusan seorang waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami, yang telah memberikan penjelasan bahwa mengabdi adalah:
Sabar dalam ujian-Nya;
Syukur dengan ni’mat-Nya;
Ridha dengan ketetapan-Nya.
Ummul Kitab dan Kitabul Mubin: Struktur Pesan-Nya dalam Al-Qur’an
Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).
Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai.
Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).
(Gambar-2)
Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.
Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.
Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.
Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).
Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,
dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,
Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)
Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).
Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.
Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.
(Gambar-3)
Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”
(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)
(Gambar-4)
Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.
Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5). Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.
Was-salaamu 'alaikum wr wb
As-salaamu 'alaikum wr wb,
Terima kasih banyak kepada Kang Zamzam A J Tanuwijaya yang telah memberikan izin kepada kami untuk meng-upload pengetahuan yang sangat bermanfa'at bagi ummat di Notes FB dan Blog kami.
Notes2 ini adalah hasil dari mengikuti Kajian Al Qur'an di Yayasan Islam Paramartha yang pernah kami ikuti di Bintaro,
Semoga Bermanfa'at,
was-salaamu 'alaikum wr wb
A-'uudzubillaahis-samii-il 'aliim minasy-syaithaani-r-rajiim,
Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim,
Alhamdulillaahi-r-Rabbil 'aalamiin,
Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad,
Subhaanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa 'atuubu 'ilaik,
Sebuah Pengantar tentang Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Tinjauan Umum
1. Acuan pengajian ini
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadits
c. Karya para waliyullah, karena tertunjuki-Nya beliau-beliau oleh Allah Ta’ala sehingga akurasinya tidak diragukan dan bukan spekulasi rasio belaka
2. Tema Pengajian: Tashawwuf dalam Al-Qur’an
a. Perjalanan menuju-Nya membutuhkan kedewasaan dan kesungguhan
b. Al-Qur’an sebagai peta perjalanan transformasi diri hamba untuk kembali menuju Tuhannya
c. Mendasarkan pengabdian dan perjalanan pada Al-Qur’an
d. Al-Qur’an menuntun perjalanan agar hamba tidak salah dalam mencari Tuhan. Boleh jadi malah mempertuhankan selain-Nya, entah itu jabatan, kekayaan, keluarga, harga diri, atau ketakutan yang dipertuhankan.
3. Puncak permohonan menuju Tuhan: Ihdina-sh-shirath al-mustaqim
a. Amat penting memahami doa yang kita panjatkan setiap hari
b. Rabb ada di atas shirath al-mustaqim. Mencari Rabb melalui pencarian akan shirath al-mustaqim. Pengetahuan tentang shirath al-mustaqim akan membantu dalam meniti perjalanan
c. Menuju Allah Ta’ala hanyalah dengan “pengabdian”. “Mengabdi” menurut Abu Yazid Al-Bisthami adalah
Sabar dalam ujian-Nya
Syukur dengan ni’mat-Nya
Ridha dengan segala ketetapan-Nya
4. Mengenal struktur pesan-Nya dalam Al-Qur’an melalui konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin
a. Al-Fatihah sering disebut sebagai ummul-kitab (induk kitab)
b. Konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin paralel dengan konsep keturunan yang mana variasi karakter anak-anak yang dilahirkan menjelaskan orang tuanya.
c. Berbagai konsep dalam Al-Fatihah (sebagai ummul-kitab) seperti bismillahirrahmanirrahim, pengabdian, shirath al-mustaqim, dan sebagainya dirinci dalam surat-surat lainnya (sebagai kitabul-mubin atau kitab penjelas/pemerinci). Bismillahirrahmanirrahim sebagai ummul-kitab dalam Al-Fatihah dijelaskan oleh keenam ayat lainnya sebagai kitabul-mubin.
d. Dengan konsep ini maka seluruh kata dan huruf dan Al-Qur’an saling mengunci dan melengkapi (komplementer), tidak mungkin ditambah dan dikurangi
5. Mempraktekkan konsep ketertautan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mencari shirath al-mustaqim (SM)
a. SM adalah jalan di mana Rabb ada di atasnya (QS 11:56).
b. SM setara dengan agama (ad-diin) (QS 6: 161).
c. Agar ditunjuki ke SM maka harus berjuang mengalahkan hawa nafsu dan syahwat (QS 4: 66)
d. SM merupakan jalan orang-orang yang diberi ni’mat (QS 1: 7)
e. Siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya akan disertakan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang yang berada di SM) (QS 4:69)
Pendahuluan
Beberapa catatan dalam pengajian ini:
- Pelayanan pengajian ini tidak mengikat dan memungut biaya bagi para peserta
- Meskipun demikian diharapkan kehadirannya secara sinambung
- Diharapkan terjadi dialog dan diskusi di dalam forum
Selain mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, pengajian ini mengacu pada karya-karya orang suci seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Beberapa buku beliau-beliau sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti:
1. Al-Ghazali:
o Misykat Cahaya-cahaya (Al-Misykatul Anwar)
o Keajaiban Hati (‘Ajaib-ul-Qulub)
o Asma-ul-Husna
o Ihya ‘Ulumuddin (terjemahan Prof Isma’il Yakub)
o Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi (Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatus Salikin)
2. Ibnu al-‘Arabi:
o Pohon Kejadian (Syajaratul Kaun)
o Pohon Semesta
o Hakikat Lafadz Allah (Kalimatullah Kitab Al-Jalalah)
o Sufi-sufi Andalusia (Ruh-Al-Quds fi Munashahat-an-Nafs [Ruh Al-Quds sebagai penasihat jiwa] & Ad-Durrat-ul-Fakhirah)
3. Maulana Jalaluddin Rumi:
o Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya
o Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi (Reynold A. Nicholson)
Insan-insan tersebut di atas merupakan waliyullah oleh karena itu menjadi rujukan utama pengajian ini. Karena apapun yang dikerjakan para waliyullah akan tertunjuki sehingga tingkat akurasinya tak diragukan lagi. Beberapa kalangan memandang aneh terhadap karya dan tradisi tashawwuf para wali yang beberapanya disebut di atas.Selain itu masing-masing waliyullah mengurai khazanah yang seolah-olah berbeda jauh bahkan bertolak belakang.
Misalnya di dunia barat dikenal pembedaan antara path of knowledge (jalan/thariqah pengetahuan)—yang umumnya disandarkan pada Ibnu al-‘Arabi, dan path of love (jalan/thariqah cinta)—yang umumnya disandarkan pada Rumi. Bagi orang-orang yang menyenangi sajak-sajak bercita rasa tinggi mungkin sajak-sajak Maulana Rumi terasa lebih cocok untuk mengisi kekosongan hati. Sedangkan bagi orang-orang yang menyukai paparan yang falsafi (bercorak filsafat) sering kali memilih Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi.
Pada dasarnya bagi seorang pencari/pejalan pembedaan tersebut tidak berlaku karena kedua-duanya hadir secara bersamaan: cinta kepada Allah Ta’ala dan pengetahuan tentang kebenaran itu menyatu. Hanya mungkin Maulana Rumi dalam guratan kisah hidupnya banyak menghadirkan fenomena ‘mabuk’ karena cinta kepada Allah sedangkan Ibnu ‘Arabi banyak banyak menghadirkan karya pemikiran yang seolah merupakan pengetahuan yang ‘rumit’. Kedua jalan tersebut sebenarnya sama saja, bagai pisau bermata dua yang kedua matanya sama tajamnya.
Demikian pula, para pengamat melabeli Al-Ghazali dengan istilah tashawuf amaliah, artinya menekankan amalan-amalan sunah sebagai cara berjalan—yang ditentang-hadapkan dengan jalan bercorak cinta Maulana Rumi atau bercorak filsafatnya Ibnu al-‘Arabi. Tetapi, jika kita membandingkan buku-buku karya ke duanya, seperti “Pohon Kejadian” (Ibnu al-‘Arabi) dan “Misykat Cahaya-cahaya” (Al-Ghazali), maka akan kita dapati keserupaan: dimana buku pertama berbicara tentang ‘pohon semesta’ yang berfokus pada manusia paripurna atau insan kamil sebagai qalb semesta sedangkan ‘misykat cahaya-cahaya’ mengkaji rinci tentang struktur insan. Kedua buku tersebut pada dasarnya adalah identik.
Dalam menghayati sajak-sajak Maulana Rumi yang seolah sederhana pun jika tidak dipahami struktur permasalahannya maka masing-masingnya seakan tak berhubungan. Jika struktur permasalahannya terpahami maka sahabat-sahabat akan merasakan kekuatan sajak-sajak beliau. Oleh karena itu banyak buku para waliyullah yang terjemahannya cukup buruk karena sang penerjemah terseok-seok dalam menangkap aspirasi teks tersebut terutama kalau sang penerjemah bukan seorang pejalan.
Tashawwuf dalam Al-Qur’an
Seringkali dalam proses menuju Allah Ta’ala manusia berfikir tentang Tuhan, bertafakkur, merenung. Terkadang manusia memikirkan nasib dirinya yang malang, “kenapa Tuhan memperlakukan saya demikian, kenapa Tuhan tidak adil kepada saya”. Tetapi mengapa manusia tidak pernah mencari kira-kira apa dasar policy/kebijakan Tuhan menciptakan alam semesta, menciptakan sebuah variasi sosial yang beragam, mengapa diberi bencana, mengapa diberi ni’mat, mengapa negeri ini hancur lebur seperti begini, yang semuanya tentu muncul dari ketetapan Allah Ta’ala. Apapun yang hadir dan terjadi di alam semesta pasti atas ijin Allah Ta’ala. Iblispun juga hadir dengan ijin Allah Ta’ala. Tidak ada yang bergerak tanpa diijinkan atau dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Yang baik maupun yang kita anggap buruk—semua saja yang hadir di alam semesta—hadir dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi kreasinya sendiri dan mandiri tanpa Allah kehendaki.
Sebenarnya di balik peristiwa yang mengguncangkan, menggelitik, menampar, memfrustasikan kita masing-masing itu tak ada yang tak datang dari Allah Ta’ala. “Jika Tuhanku mengijinkan sebuah petaka menimpa saya, pasti bukannya tak bertujuan”. Sayangnya cambuk tersebut tidak pernah membuat kita bertanya secara fundamental. Kita dibuat sibuk habis-habisan di dalam keseharian, persoalan yang hadir bak benang kusut yang sulit diurai; kita terjebak lemas dalam jeratan dan tak sanggup bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan sederhana. Bahkan mungkin sulit untuk sekedar bergumam: “harus menuju kemanakah kita?”.
Tema sentral pengajian ini adalah “Tashawwuf dalam Al-Qur’an”. Mengapa demikian? Seorang Muslim pada dasarnya tidak diperkenankan mengikuti sebuah persoalan yang tak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, terlebih bagi hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya, berjalan menuju Allah Ta’ala. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan-Nya, peta transformasi diri sang hamba untuk menuju Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS Al-Israa’ [17]: 36)
Bagaimanakah caranya menuju Allah Ta’ala? Hal ini bukanlah persoalan yang sederhana. Allah menuntut kedewasaan kita dalam menjawab persoalan besar ini. Jika perkara kembalinya sang hamba hanya merupakan sesuatu yang bersifat sampingan, dianggap sesuatu yang sambil lalu, maka kesungguhan dan kedewasaan kita dalam menuju-Nya patut dipertanyakan.
Dalam menemui kembali sesuatu yang kita cintai maka sepatutnya kita akan sangat respek dan amat perhatian pada informasi yang berkenaan dengan sesuatu tersebut. Sebagai hamba yang mau menuju Allah tentu kita akan sangat memperhatikan segala yang datang dari Sesuatu yang kita tuju. Apapun pesan yang datang dari-Nya akan dicari dengan amat kehausan. Sudah demikiankah kita? Lain halnya jika hati dan pikiran tidak menuju sesuatu; boleh jadi Al-Qur’an tidak pernah dibuka karena kurang mendesak dan kurang penting.
Kedewasaan kita akan sungguh-sungguh diuji dalam mencari-Nya. Dari hal yang paling sederhana, yaitu pengharapan harian kita, hingga jejak-jejak yang Ia tinggalkan dalam Al-Qur’an harus kita lacak dengan kesungguhan penuh. Jika sebelumnya kita biasa membuka Al-Qur’an, melafazhkan bacaannya, hingga berusaha membaca terjemahannya, maka pencarian lebih lanjut mendesak kita untuk mulai mengenali apakah gagasan Al-Qur’an. Apakah ide dasarnya, apa saja informasi yang terkandung di dalamnya, seperti apa format distribusi informasinya (yang memungkinkan kita memahami struktur gagasan Al-Qur’an). Lepas dari tepat atau tidaknya terjemahan Al-Qur’an, pernahkah kita menuntaskan seperempat atau paling tidak sepersepuluh Al-Qur’an?
Kita perlu studi tentang bagaimana cara berkomunikasi antara hamba dengan Tuhan, bagaimana perambatan/penjalaran (propagasi) informasinya. Al-Qur’an membicarakan semua informasi itu: perangkat apa yang dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana cara menggunakannya, seperti apa propagasi informasinya.
Hal demikian diurai Al-Qur’an agar hamba tak tersesat dalam perjalanan menuju Tuhannya. Seringkali hamba menyembah sesuatu yang dipersangkakan sebagai Tuhan padahal bukan. Seperti kambing yang berkaca di air dan melihat matahari di dalam telaga padahal tentunya matahari ada di atas. Seperti kabayan menganggap laut teramat dalam karena melihat bayangan langit di atas permukaan air sehingga ia takut menyeberang. Tuhan manakah yang kita cari? Tuhan (ilah) itu banyak, ada jabatan yang dipertuhankan, kekayaan yang dipertuhankan, perempuan yang dipertuhankan, harga diri yang dipertuhankan, lantas Tuhan manakah yang akan kita tuju?
Bagaimanapun hari ini kita diuji tentang Al-Qur’an. Awalnya mungkin kita tidak tertarik kepada Al-Qur’an karena kita tak paham bahasanya. Mungkin bahasanya terlalu rumit, aneh, tak runtut, melompat-lompat, membosankan, menjemukan, tidak rapi, dan sebagainya; memang begitulah desain Al-Qur’an. Tetapi kalau kita paham artinya, Insya Allah nanti setelah pengajian ini selesai, maka Al-Qur’an akan nampak lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Mulai saat ini perlu kita lebih sering menelaah Al-Qur’an, meskipun sekadar terjemahannya. Lebih baik lagi jika dapat memahami bahasa Arabnya; karena antara teks arab dengan terjemahan umum berjarak cukup jauh meskipun sekian puluh persen gagasan dasarnya terungkap oleh terjemahan.
Shirath al-Mustaqiim: Jalan Menuju Allah Ta’ala
Menuju Allah Ta’ala adalah perkara yang luar biasa besar sekaligus pelik. Kita akan mulai menelaahnya dari hal yang paling biasa kita temui: Shalat. Dalam keseharian kita sering melaksanakan shalat baik yang wajib maupun yang sunnah. Shalat itu pada prinsipnya merupakan rangkaian doa dari awal sampai akhir. Jika kita cukup memahami arti seluruh bacaan dan gerakan shalat maka kesemuanya merupakan panjatan doa. Berkaitan dengan doa sebagai permohonan dan pengharapan hamba kepada Tuhannya maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada Surah Al-Fatihah yang tentunya juga merupakan doa. Kita akan menyigi permohonan dan pengharapan harian kita tersebut dan menguji apakah ada yang tidak kita pahami.
Salah satu permohonan doa yang paling eksplisit terlihat dalam Al-Fatihah adalah:
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sh-Shirath al-Mustaqiim”.
“Kepadamu kami mengabdi dan kepadamu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami Shirath al-Mustaqiim (‘jalan yang lurus’)”. (QS Al-Fatihah [1]: 5 – 6).
Terdapat istilah ‘Shirath al-Mustaqiim’ dalam doa tersebut. Tapi apakah itu shirath al-mustaqim? Permohonan tersebut kita lantunkan saat shalat dalam hari-hari kita. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak kita apakah kita cukup paham akan permintaan dan pengharapan yang kita panjatkan pada-Nya. Allah Ta’ala telah mengingatkan
“... Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya …” (QS Huud [11] : 46).
Apakah yang diharapkan dari doa “tunjuki hamba, ke Shirath al-Mustaqiim”? Apakah itu Shirath al-Mustaqiim? Apakah serupa dengan jalan bebas-hambatan yang yang lurus; Apakah kelancaran dalam bisnis supaya selalu mulus jalannya; Apakah kerapihan dalam rumah tangga; Apakah jalan bebas-hambatan di surga nanti; Apakah jembatan di neraka supaya kita tidak terperosok ke dalam api neraka; Apakah sebuah jalan yang tajamnya seperti rambut dibelah tujuh? (‘Titian serambut dibelah tujuh’ yang tajam bagaikan pisau silet yang diujarkan para orang tua kita merupakan metafora atau perumpaan yang menggambarkan amat sulitnya sebuah perjalanan). Boleh jadi selama ini permintaan tersebut tidak kita rasakan urgensinya, karena kebuntuan kita memahami persoalannya.
Tentu saja Allah Ta’ala menuntut kedewasaan kita untuk memahami segala apa yang Ia maksud. Mungkin kita perlu merasa malu ketika kita terus meminta sesuatu yang Ia telah tuliskan, sembari terus melanggar kalimat-Nya yang lain—yang menuntut kita memahami pengharapan yang kita panjatkan. Ini semua membuat kita perlu studi lebih jauh apakah Shirath al-Mustaqiim itu.
Ia berfirman: “… Inna Rabbii ‘alaa shirathimmustaqiim”
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath al-Mustaqiim” (QS Huud [11]:56)
(Gambar-1)
Para pencari Allah yang sungguh-sungguh tentunya akan mencari tanda-tanda di mana Ia berada. Dan Allah Ta’ala memberikan kunci pembuka: Ia di atas Shirath al-Mustaqiim. Dengan demikian para pencari harus menemukan jalan tersebut. Seperti apakah ciri-ciri jalan tersebut.
Saat ini kita akan berusaha menjawab gagasan Shirath al-Mustaqiim hingga bagaimana mencarinya. Tanpa mengetahui do’a harian kita tersebut kita pun tidak paham apakah Tuhan menjawab permohonan kita atau tidak. Tanpa mengetahui di mana Shirath al-Mustaqiim berada maka wajar kita ragu-ragu sedang di manakah kita berada: di jalan sempit Shirath al-Mustaqiim-kah, jalan bebas-hambatan Shirath al-Mustaqiim-kah, atau sedang terperangkap di hutan antah berantah. Jika hal ini tidak terjawab sampai usai pengajian, maka boleh jadi pengajian ini gagal.
Singkat kata, tidak ada jalan lain menuju Allah Ta’ala selain melalui Shirath al-Mustaqiim, dan satu-satunya cara menempuhnya adalah dengan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Sesuai dengan QS Al-Fatihah [1] : 5), maka pengabdian harus dilakukan terlebih dahulu baru permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan dalam perjalanan. Kata ‘mengabdi’ merupakan kata yang kaya makna dan perspektif serta sering dirasa abstrak. Sebagai landasan bertolak, kita dapat menggunakan rumusan seorang waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami, yang telah memberikan penjelasan bahwa mengabdi adalah:
Sabar dalam ujian-Nya;
Syukur dengan ni’mat-Nya;
Ridha dengan ketetapan-Nya.
Ummul Kitab dan Kitabul Mubin: Struktur Pesan-Nya dalam Al-Qur’an
Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).
Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai.
Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).
(Gambar-2)
Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.
Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.
Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.
Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).
Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,
dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,
Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)
Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).
Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.
Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.
(Gambar-3)
Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”
(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)
(Gambar-4)
Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.
Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5). Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.
Was-salaamu 'alaikum wr wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar