Sabtu, 15 Januari 2011

Kajian Al Qur’an-materi-ke 14

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 
Materi Bagian #11

Ad-Diin Al-Islam: Sebuah Skema Perjalanan

Pendahuluan

Thaha (20:82):
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.

Allah menjadi Maha-Pengampun kepada yang:
(1) taubat
(2) iman
(3) beramal shaleh

kemudian terpimpin ke Shirath al-Mustaqim

Kalau diperhatikan, maka ayat diatas merupakan rute perjalanan hamba Allah untuk menuju-Nya, untuk mendapatkan petunjuk, untuk menuju shirath al-mustaqiim.

Dari diagram disamping ini dapatlah dikatakan secara sederhana bahwa tugas-tugas dasar dari seseorang yang berkehendak menuju Allah adalah:

a. membongkar waham,
b. membuka pintu taubat,
c. mencari misi-hidup

(Lihat Gambar 1)
Al Qur’an mengajarkan kepada kita melalui ayat tersebut, yang dengan kriteria yang jelas menunjukkan siapa saja yang akan mendapat ampunan-Nya. Ayat tersebut menyebutkan bahwa yang mendapat ampunan hanyalah orang-orang yang berTaubat, berIman dan berAmal Shaleh, lalu kemudian Diberi Petunjuk.

T a u b a t

Taubat bermakna kembali atau mendekat kepada Al-Khaliq. Jelaslah bahwa taubat merupakan langkah awal bagi pejalan. Yang dapat melakukan taubat adalah orang-orang pilihan-Nya yaitu orang yang benar-benar merindukan-Nya, seperti dijelaskan dalam Thaahaa[20]: 122,
“Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk yang tetap/kekal [‘ala hudan]”.

Jadi ayat ini menjelaskan bahwa:
a. Allah memilih orang yang akan taubat,
b. Allah menerima taubatnya,
c. Kemudian Allah memberinya petunjuk.

Taubat yang akan diterima Allah adalah taubat-nasuha, yaitu taubat diri seseorang secara keseluruhan atau paripurna. Hal ini dilukiskan dalam QS At-Tahrim [66]: 8, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:"Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Catatan:
Cahaya yang tampak dihadapan adalah nur-iman, sedangkan yang tampak di sebelah kanan adalah nur-ilmu.

I m a n

Salah satu fungsi iman adalah agar mendapat petunjuk dari-Nya (QS Yunus [10]: 9), juga dijelaskan dalam QS Surat Yunus [10]: 100, bahwa:

a. sesorang beriman atas izin Allah,
b. Allah murka kepada yang tidak menggunakan ‘aql.

(sedangkan QS 22: 46 jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘aql itu dari qalb atau ber-‘aql dengan menggunakan perangkat qalb. Pernyataan diatas merupakan suatu keterkaitan, antara iman dan qalb dengan menyebut iman berarti dengan sendirinya menyebut pula qalb. Jadi, qalb mati karena tidak ada iman. Matinya qalb karena tiadanya iman menyebabkan ‘aql menjadi lemah, padahal ‘aql merupakan alat untuk mengenal agama).

Perwujudan iman atau pembuktian iman melalui:
o Iqrar dengan Qalb,
o Ucapan melalui lisan, dan
o Amal dengan anggota badan (Perbuatan, Amal Shalih).

Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya pernah disampaikan bahwa aura itu merupakan cahaya-jasad sedangkan cahaya iman merupakan cahaya dari nafs-nya. Seorang yang telah Allah sucikan dan Allah anugerahi bashirah dapat melihat intensitas “nur-iman” seseorang.

Adanya cahaya iman itu maksudnya agar dapat dimanifestasikan dengan amal shalih. Ini merupakan tanda yang tampak (lahiriah) dari keimanan seseorang.

Tanda yang lain adalah keluar “hasanah” (buah dari taqwa).
Ciri-ciri dari keluarnya hasanah adalah mendapat ilmu langsung dari Allah tanpa melalui pembelajaran.

Qalb

Qalb memuat antara lain:
• qudrah manusia,
• urusan yang harus manusia bangun,
• nur–iman

Dalam pertemuan sebelumnya telah dibahas mengenai Pohon Thayyibah yang tumbuh di qalb dari nafs ini.

(Lihat Gambar 2)
Peran Qalb bagi diri seseorang sangalah besar, yang paling utama adalah sebagai pengendali. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits, dalam diri ini ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh, bila ia rusak (fasad) maka rusaklah keseluruhan tubuh. Yang dimaksud dengan segumpal daging ini adalah qalb.

Kalau melihat begitu pentingnya peranan qalb bagi diri manusia dalam mengemban tugas sebagai hamba-Nya, maka harus ekstra hati-hati dalam memelihara dan menjaga qalb.

Harus dijaga jangan sampai qalb sakit (Al-Baqarah [2]:10) atau dikunci oleh Allah (Al-Baqarah [2]:7). Bila dikunci maka akan kehilangan fungsinya sebagai pengendali. Pengendali indra, pengendali jasad, serta pengendali aktifitas jasadiah maupun jiwa.

Gambar 3 dibawah melukiskan Qalb yang terselubung atau terlindung oleh PENUTUP, sehingga mata-jasad melihat hanya dikendalikan oleh hawa dan syahwat,

Telinga jasad mendengar juga hanya dikontrol oleh hawa dan syahwat,

Sedang gambar 4 berikut disamping ini, melukiskan qalb yang yang bersih (tidak ada penutupnya).

Sehingga ALUR-MELIHAT, adalah qalb – mata-bathin – mata jasad. Disini Mata-Jasad dikenda-likan oleh qalb.

Demikian juga ALUR-MENDENGAR adalah qalb – telinga bathin – telinga jasad.
Disinipun Telinga-Jasad dikenda-likan oleh qalb.

Mata dan telinga merupakan alat akal, maka kalau mata dan telinga terkendali oleh qalb, maka akal pun akan terkendali juga.

Oleh sebab itulah Allah memberikan Al-Abshar, As-Sama’, Al-Af’idah (akal qalb), untuk melihat dan mendengar Al-Haqq pada ufuk dan anfus (jiwa-jiwa mereka) (QS Fushilat[42]: 53) yang akan menghantarkan menuju-Nya. Orang butapun kalau Al-Af’idah-nya terbuka masih dapat melihat Al-Haqq.

Bila qalb terselubung, berarti ruh tidak dapat memberikan energi kepada nafs, akibatnya nafs lumpuh yang membuat seluruh indra-nafs lumpuh juga, sehingga tidak dapat membaca al-Haqq di balik ufuk, fenomena alam, apalagi dalam anfus.

Pernah disampaikan bahwa alam ini dan semua kejadian di alam merupakan hudan, merupakan petunjuk menuju-Nya.

Bila menerima ujian atau mendengar musibah, gempa bumi, banjir, tanah longsor, huru-hara ……….dst, dibalik itu ada rahasia Allah, tapi tidak akan tampak bagi insan yang qalb-nya tertutup.

Bila menjumpai semua itu janganlah mencaci zaman, karena Allah adalah Zaman-itu (Sang Waktu/ as-sa’ah). Semua yang terjadi sudah direncanakan Allah. Semua fenomena merupakan rahasia untuk mengenal-Nya.

Ali ra: Janganlah mencari al-Haqq kepada manusia, tapi temukan dulu al-Haqq itu, maka baru engkau akan mengetahui siapa-siapa yang mengikuti al-Haqq itu.

Amal Shalih

Amal itu dapat dibagi menjadi Amal-Salah dan Amal-Baik.
Amal-Shaleh merupakan bagian dari Amal-Baik.
Jadi belum tentu setiap amal-baik merupakan amal-shalih.

(Lihat Gambar 5)
Amal Shalih adalah amal yang dikehendaki Allah agar dikerjakan orang tersebut pada waktu itu, jadi amal itu terhubung kepada Allah.

Amal Shalih dapat mempertemu-kan dunia dan akhirat. (Dunia bagaikan Barat dan Akhirat ibarat Timur, kalau menuju dunia maka akhirat akan tertinggal, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi dengan AMAL-SHALIH dapat memperte-mukan pada dirinya Barat dengan Timur sekaligus). Ini merupakan ciri dari orang yang sudah “bertemu-diri”, karena yang dilakukannya sudah sesuai dengan yang diperjanjikannya dahulu (QS Al Araaf [7]: 172).

Saat ini perlulah kita memperbanyak AMAL-BAIK semata-mata dengan mengharap kepada-Nya, agar kemudian kita ditarik kepada-Nya dan ditransformasi-Nya ke Shirath al-Mustaqiim. Sebab jika hanya melakukan AMAL-BAIK dengan maksud mengharapkan DUNIA, maka hanya akan mendapat DUNIA saja.

Mendapat Petunjuk

Siapa saja yang dipilih untuk mendapat petunjuk?
Menurut QS Yunus [10]: 9, yang dipilih untuk mendapat petunjuk adalah yang memiliki keimanan.

Hasil dari Mendapat-Petunjuk dijelaskan dalam QS Al-Baqarah [2]: 5 dan Luqman [31]: 5,

”Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".

yaitu Orang-orang Muflihun (orang-orang yang beruntung) yang akan mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah secara kontinyu (terus-menerus) sampai nanti.

Golongan inilah yang dinamakan HIZBULLAH [= Golongan Allah] (Al-Mujadilah [58]: 22) atau dengan istilah lainnya mereka yang Allah tempatkan di Shirath al-Mustaqiim.

Dapat disimpulkan bahwa “tsummahtada” = kemudian ditunjuki ke shirath al-mustaqiim.

Jihad

Adalah berupaya dengan segenap daya dalam jalan-Nya dan berpindah menuju pengamalan dari urusan yang yang diridhai-Nya. Dijelaskan dalam QS Al-Ankabut [29]: 69, yang artinya:
“Dan orang-orang yang berjihad di dalam Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang mendapatkan hasanah (buah taqwa)”.

Ayat ini menjelaskan tentang alur untuk meraih muhsinin, yaitu Jihad → ditunjuki → jalan-jalan Allah → menjadi orang yang muhsinin → (orang-orang yang punya hasanah).

Andaikan ada 3-orang berjalan (berjihad) maka ada 3-jalan menuju-Nya yang setiap orang memiliki satu jalan tersebut, serta setiap orang tidak ada yang sama jalannya. Ini sesuai dengan hadits yang bermakna bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak nafs hamba-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah wasilah (untuk mendekatkan diri kepada-Nya), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS Al-Ma’idah [5]: 35)

Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum berjihad, carilah wasilah-wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan tujuan agar menjadi orang beruntung yaitu orang yang mendapat petunjuk terus-menerus.

Sebelum melakukan jihad, terlebih dahulu harus hijrah, sesuai urutan yang dituturkan dalam At-Taubah [9]:20:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. “

Jadi setelah beriman, cari wasilah lalu hijrah (secara maknawi) baru jihad maka akan lahir sebagai orang yang menang/ beruntung.

Jenjang Menuju Pemahaman tentang Ad-Diin

Pernyataan Ali r.a. bahwa awal dari beragama itu adalah menegenal Allah. (“Awaluddiina ma’rifatullah”).

(Lihat Gambar 6)
Jadi menurut beliau, bila tidak mengenal Allah, maka tidak akan beragama. Oleh sebab itu Ma’rifatullah itu penting. Prosesnya dilukiskan sebagai berikut:

(Lihat Gambar 7):
Ada sebuah Syair Sufi, menggambarkan perjalanan panjang manusia menuju Tuhannya dengan sangat indahnya. Dilukiskan sebagai perjalanan seorang pejalan (salik) mengarungi samudra. Salik berangkat dari Asal mengarungi Samudera Syari’at yang luas untuk menuju tujuan Ma’rifat. Dalam mengarungi samudera dia menggunakan kapal Thariqat. Untuk mengarungi samudera dalam menempuh perjalanan yang jauh dibutuhkan modal, begitu juga untuk bekal setelah mendaratpun membutuhkan perbekalan yang cukup banyak.
Mengarungi samudera luas, dapat merupakan suatu rekreasi yang menarik tapi terkadang banyak hambatan menghadang. Badai yang datang tiba-tiba, hujan yang dapat menutup pandangan, petir, awan gelap mengaburkan, malah mungkin kerusakan kapal itu sendiri. Untuk inilah dibutuhkan tekad yang bulat, pasrah-berserah diri, sahabat-sahabat untuk saling membantu dan koordinasi. Yang lebih utama harus memiliki peta-tujuan dan kompas.
Dalam perjalanan inilah Salik dengan kapal Thariqatnya, harus mencari/ menemukan mutiara Haqiqat dari dasar samudera untuk modal dan bekal. Semakin banyak mutiara didapat semakin baik, dan semakin membuatnya berserah-diri.

Salah satu penggambaran saling-terkaitnya diantara Syari’at—Thariqat—Haqiqat—Ma’rifat, adalah seperti gambar 8 dibawah ini:

“Syari’at” diibaratkan jalan raya/ umum
“Thariqat” (Suluk) adalah jalan-jalan kecil yang menuju Haqiqat.
Thariqat yang berhasil akan meningkat ke jenjang Haqiqat, senantiasa dapat melihat Al-Haqq. Untuk dapat naik ke jenjang Haqiqat tergantung dari IKHLAS kepada Allah.
“Haqiqat” adalah pengetahuan manusia tentang aspek haqq dari ciptaan Allah (mengerti kebijakan Allah).
Di dalam jenjang Haqiqat ini sudah tidak ada pertentangan lagi.
“Ma’rifat” adalah pemahaman manusia tentang Allah.

Syari’at dikiaskan dengan pagar, yang merupakan batas dari halamannya Islam. Kita tidak boleh keluar pagar dan meninggalkan pagar.

Thariqat diwakili panah yang menggambarkan jalan. Jalan ini banyak sekali, hampir dari tiap sudut pagar terdapat jalan yang menuju ke-tengah halaman, bermuara ke-satu titik tujuan.

Haqiqat digambarkan sebagai sebuah Titik/Noktah besar yang berada ditengah-tengah halaman, yang merupakan muara atau tujuan seluruh Thariqat.

Ma’rifat digambarkan dengan Garis lurus keatas menuju Allah.

Teladan / Panutan bagi Pejalan

Nabi Ibrahim a.s.
Dalam Al-Qur'an terdapat kisah-kisah tentang nabi-nabi, misalnya tentang Nabi Daud a.s., Sulaiman a.s., Ibrahim a.s., dan nabi-nabi lainnya. Mereka semua merupakan suri-tauladan dan perumpamaan bagi pejalan.

Nabi Ibrahim a.s. adalah seseorang yang tidak memiliki kerajaan di Bumi (karena menjadi perlambang dari warga Kerajaan Langit = Nafs), beliau hanya disuruh menuju ke suatu tempat (tidak jelas dimana letaknya) untuk menemukan tanah-harapan. Beliau patuh (tasbih), tidak banyak menyanggah, tidak pernah protes, walaupun sampai akhir hayat, beliau tidak menemukan tanah harapan tersebut.

Petunjuk apapun yang datangnya dari Allah, perintah apapun yang diperintahkan Allah, beliau a.s. selalu patuh.

Bagaimana beratnya, sewaktu beliau disuruh meninggal Siti-Hajar dan putranya Isma’il ditengah padang-pasir yang tak berpenghuni, tapi karena perintah Allah, beliau laksanakan dan pasrah. Bagaimana pula sewaktu beliau diperintahkan menyembeli putranya Isma’il.

Beliau ini melambangkan pejalan (salik). Seorang Salik harus mencontoh Nabi Ibrahim a.s. dalam pasrah dan berserah diri kepada Allah.

Lebih-kurang 500 tahun kemudian, Tanah harapan yang dijanjikan tersebut baru ditemukan oleh keturunan beliau yaitu Nabi Sulaiman a.s. Pada masa Nabi Sulaiman a.s, Jerusalem dikuasai dan mendirikan ba’it (pusat peribadatan) bagi Bani Isra’il.
Nabi Daud a.s. dan Sulaiman a.s. terkenal sebagai seorang Raja yang memiliki kerajaan, maka beliau disebut Raja-Dunia yang melukiskan tentang Kerajaan-Jasad. Rakyat yang mereka pimpin adalah Bani Isra’il yang terkenal dengan pembangkangannya. Ini melukiskan jasad yang cenderung seenaknya sendiri.

Semut dan Lebah
Sabda Ilahi dalam Al-Qur'an memuat banyak sekali panduan bagi mereka yang kembali kepada-Nya, salah satunya dalam penamaan surat-surat. Yang kali iniingin diketengahkan adalah penamaan surat ke 27, yaitu An-Naml, dan surat ke 16, yaitu An-Nahl.

Kedua surat ini diambil dari nama serangga (semut dan lebah-madu), keduanya mempunyai kemiripan dalam berkoloni, punya susunan masyarakat yang jelas, ada Ratu, pekerja, penjaga.

Selain memiliki persamaan, ke duanya juga memiliki perbedaan. Perbedaannya antara lain pada makanan, produknya dan cara bersarangnya.

An-Naml bersarang dibumi, semua kegiatannya melukiskan bumi jasad, sedangkan An-Nahl bersarang diudara, langit melukiskan langit nafs.

Semut dan lebah tersebut memperlihatkan perbedaan karakteristik jasad dan jiwa, dan karenanya menjadi cerminan seorang yang berjalan kembali kepada Tuhan-Nya, tentang perbedaan cara bersyukur dari jasad dan jiwa-nya.

Perhatikanlah bahwa semua kegiatan lebah atas wahyu dari Allah (An-Nahl [16]: 68 – 69):

• Allah menyampaikan wahyu,
• Makanlah bermacam-macam buah-buahan,
• Berjalanlah pada Jalan-Allah, yang pada jalannya masing-masing Allah mudahkan semua makhluk (sesuai swa-bhawa, sesuai misi-hidup).

Jadi, sewaktu seseorang—semata-mata karena Rahmat-Nya—akhirnya menemukan misi-hidupnya maka amal yang dikerjakannya sesuai dengan misi-hidupnya itu sama sekali tidak akan mengganggu agamanya, melainkan semata-mata merupakan salah satu manifestasi dari ketaqwannya, sesuatu yang shaleh dan diridhai-Nya

Siapapun yang berjalan kembali kepada Tuhannya dapat mencontoh lebah: nafs harus mengalir terbang bagaikan lebah dengan memakan sari bunga yang baik dan tepat maka akan menghasilkan madu yang dapat digunakan sebagai obat oleh orang lain maupun diri sendiri—terutama penyakit hati. Demikian gambaran hasil dari amal yang tepat, yang shaleh, yang tidak hanya menjawab persoalan-persoalan di Bumi; tetapi juga—lebih penting lagi—menghasilkan hasanah yang mengganti sayyiah, yang semakin membuka jalan yang kemudahan dari sisi-Nya.

Gambar-1
Gambar-2
Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Gambar-6
Gambar-7
Gambar-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar