Sabtu, 15 Januari 2011

Kajian Al Qur’an-materi-ke 17

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 

Materi Bagian #13

Dua Bagian Rahmat

Pendahuluan

Mengenai dua bagian rahmat, kita akan memulainya dengan memperhatikan ayat-ayat berikut ini:

”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Demikianlah agar ahli Kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan fadilah Allah, dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah, yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai al-Fadhlil’azhiim”.
(QS Al-Hadiid [57]: 28 – 29).

Taubat yang sejati adalah upaya memohonkan dari sisi-Nya, dua bagian rahmat, yaitu untuk:

1. Menjadi Muthahharun.
Yaitu diperolehnya kembali Nur–iman sebagaimana yang dibekalkan kepadanya sewaktu kelahirannya ke dunia (periksa QS Al Waqiah [56]: 79); yang kemudian dilanjutkan untuk,

2. Menjadi Syuhada.
Bertemu diri atau bertemu dengan ar-Ruh al-Quds (Al-Fadhlil-azhiim, QS. Al-Hadid [57]:29)

Pada rahmat pertama, status “muthahharun,” mulai menunjukkan kemampuan untuk ”menyentuh” Al-Qur'an. Sedangkan mengenai rahmat ke dua, status “Syuhada” itu sendiri telah mulai diperkenalkan dalam alur taubat pada QS 4: 64 – 70, yang ditandai dengan diutusnya ar-Ruh al-Quds sebagai Penasihat jiwa.

Ar-Ruh Al-Quds itu Sebuah Istilah Qur’ani

Ar-Ruh Al-Quds sebuah istilah Qur’ani yang sering disampaikan oleh para Ulama beberapa abad yang silam. Tidak sebagaimana dipahami hari ini, ia bukanlah sebuah istilah kristiani. Ar-Ruh Al-Quds, yang dalam Al-Qur’an juga disebut ar-Ruh min ‘amr itu merupakan oknum yang berbeda dengan Ar-Ruh Al-Amin (Jibril a.s.). Jika Jibril a.s. yang merupakan ketua dari para malaikat merupakan warga, utusan (rasul) dari alam malakut; maka ar-Ruh al-Quds merupakan warga, utusan, dari alam jabarut atau alam ‘amr.

Istilah ar-Ruh al-Quds dapat disimak, antara lain, dalam ayat-ayat berikut ini:

”Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu'jizat) kepada 'Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Quds…”.
QS Al-Baqarah[2]: 87.

”Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagaian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada 'Isa putera Maryam beberapa mu'jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds…”
QS. Al-Baqarah[2]: 253.

”(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai 'Isa putera Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada Ibumu diwaktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Quds…”
QS. Al-Ma’idah[5]: 110.

”Katakanlah:"Ruhul Qudus menurunkan itu dari Tuhanmu dengan Al-Haq, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimun.”
QS. An-Nahl [16]: 102.

Pada pertemuan terdahulu telah disampaikan, bahwa kisah–kisah para Nabi yang terdapat dalam Al-Qur’an menggambarkan tahapan-tahapan yang dilalui oleh mereka yang bertaubat secara paripurna. Kalau kita lihat ayat-ayat yang berkenaan dengan ar-Ruh al-Quds di atas hampir selalu berhubungan dengan tarikh Nabi Isa a.s. Ini menandakan bahwa fase Nabi Isa a.s. adalah tahapan yang menggelar pengetahuan ilahiah bahwa oknum yang menjadi penasehat dalam kalbu setiap nabi, shidiqqiin dan syuhada itu adalah oknum yang disebut ar-Ruh al-Quds. Sedangkan penggunaan istilah yang setara pengertiannya, ar-Ruh min ‘amr, terdapat pada banyak ayat-ayat lain dari Al-Qur’an.

Jelaslah bahwa tahapan ini merupakan fase yang sangat penting bagi mereka yang selalu bermohon: tunjuki kami ke shirath al-mustaqiim, karena QS 4: 69 menerangkan bahwa mereka itulah orang-orang yang mendapat nikmat.

As-Syuhada Identik dengan Diutusnya ar-Ruh al-Quds

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: ‘Bukankah aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Benar, kami menjadi saksi (syaahidnaa)’...”
QS. Al-A’raf [7]: 172

Demikianlah, semua manusia yang hadir ke alam dunia ini, jauh hari sebelumnya pernah bersaksi akan Tuhannya, yakni di alam nuur. Isi dari persaksian itu direkam oleh ar-Ruh al-Quds. Setelah manusia diberi pakaian jasad dan diturunkan ke alam dunia, maka peristiwa itu terlupakan. Sasaran ke dua dari taubat yang sejati adalah untuk ‘mengingat’ kembali (recollection) pertemuan persaksian itu. Di dalam persaksian itu, antara lain, manusia sepakat untuk mengemban amanat yang sebelumnya telah ditolak oleh makhluk-makhluk lain, sebagaimana dipaparkan dalam ayat berikut:

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesunguhnya manusia itu amat dzhalim dan amat bodoh”.
QS. Al-Ahzab [33]: 72.

Persaksian manusia di alam alastu diiringi oleh pemberian amanat yang kemudian dipikul oleh setiap jiwa sesuai kadarnya masing-masing. Amanat itulah yang dalam konteks suluk disebut sebagai misi-hidup, satu tugas spesifik yang menanti untuk dipahami dan dikerjakan oleh sanag penerima amanat di alam dunia ini. Hal ini disinggung oleh para utusan, para Nabiullah dan Waliullah dengan berbagai cara masing-masing. Salah satunya, seorang Waliullah pada zamannya, Maulana Jalaluddin Rumi, menyampaikan dalam uraiannya:

Yang Satu Itu …

Dan seseorang berkata, “Aku telah melupakan sesuatu.” Sesungguhya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan! Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu—maka tiada sesuatu pun telah engkau capai.
Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim sang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa.
Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun….

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada lelangit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi manusia mengambilnya: dan sungguh, ia itu zhalim dan bodoh.” (QS Al Ahzab [33]: 72)

Diperlukan transformasi diri dalam taubat yang mendalam untuk mengetahui apa yang pernah Allah amanatkan kepada kita. Perjalanan yang panjang tersebut tepat-arah jika bertujuan merecall pengetahuan tentang persaksian kita dengan-Nya, di alam alastu. Inilah jalan pengenalan nafs (mengenal-diri). Sebagaimana ungkapan Nabi s.a.w. dalam hadits beliau:

“Barangsiapa mengenal nafsnya, maka ia mengenal Rabb-nya”
Ar-Ruh al-Quds itulah yang akan mengingatkan kembali tentang persaksian yang pernah dilakukan jiwa. Persoalan yang dipersaksikan itulah yang merupakan “amanat” bagi jiwa. Di dalam menjalankan amanat tersebut ar-Ruh al-Quds akan bertindak sebagai penasehat bagi jiwa agar tindakannya senantiasa selaras dengan apa-apa yang dikehendaki Tuhan.

Sebagaimana dibahas dalam QS An-Nuur [24]: 35 (Misykat Cahaya-Cahaya), simbol ar-Ruh al-Quds adalah seumpama api yang menyala. Tanpanya, maka siapa diri kita yang sejati berada dalam kegelapan; dengannya, maka diri kita yang sejati akan kita kenali dan terproyeksikan. Hanya mereka yang sudah sampai/ atau melewati fase inilah yang disebut Al-Qur'an sebagai Asy-Syuhada di sisi Tuhan.

”Katakanlah:"Ruhul Qudus menurunkan itu dari Tuhanmu dengan Al-Haqq, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimun.”
QS. An-Nahl [16]: 102. (lihat juga ayat-ayat lainnya di atas)

(Lihat Gambar 1)

Qalbu Terbaik

Didalam “Keajaiban Qalbu” Imam al-Ghazali menuliskan hadits dari Nabi Muhammad s.a.w sebagai berikut :

“Allah ta’ala mempunyai wadah di Bumi-Nya, yakni diberbagai qalbu, maka (mana) wadah yang paling disukai Allah ? Yang paling kuat, paling bersih, paling lunak. (Rasullullah saw kemudian menjelaskan) Yang paling kuat dalam agamanya, paling bersih dalam keyakinannya, paling lunak kepada saudara-saudaranya (sesama muslim)”

Imam Al-Ghazali, menambahkan bahwa tidak akan mengenal Allah (ma’rifatullah) tanpa mengenal nafs, dan tidak akan mengenal nafs bila tidak mengenal qalb tanpa penyucian dalam pertaubatan.

(Lihat Gambar 2)

Al-Fadhlu ’al-Azhiim, Fadhilah yang Agung

Beraktifitas itu gampang, tapi beramal-shaleh itu sulit. Adapun kegelapan itu lawannya, atau yang akan mengusirnya, adalah cahaya; bukannya aktifitas. Cahaya diperoleh bukan dengan memperbanyak sembarang aktifitas, tetapi dengan peningkatan keimanan dari keimanan yang sudah ada, dan meningkatkan ketaqwaan. (Perhatikan kembali QS Al-Hadiid [57]: 28 –29 di atas). Untuk meraih cahaya maka dibutuhkan amal-shaleh—bukan semata-mata aktifitas, melainkan amal yang tercahayai. Perintah untuk meningkatkan keimanan dari keimanan yang sudah ada tersebar dalam berbagai ayat. Tingkatan pencapaian cahaya keimanan yang diperintahkan adalah sampai cahaya itu sedemikian kuatnya, sehingga dengan cahaya itu sang hamba yang bertaubat dapat secara sejati meng-imani para rasul. (Perhatikan Rukun Iman).

• Cahaya
Dengan cahaya, nafs dapat berjalan di shirath al-mustaqim nafs masing-masing. Digambarkan dalam QS. Al-An’am[6]: 122, dengan cahaya itu nafs dapat melihat dan berjalan di muka bumi.

• Taqwa
Taqwa = iman + amal yang shaleh. Keimanan yang menyala di qalb merupakan prasyarat sekaligus landasan untuk beramal shaleh. Di dalam beramal, maka keluasan ilmu—yang memimpin amal—sangatlah penting. Oleh karena itu, contoh sunnah Rasulullah s.a.w. yang menghidupkan Al Qur’an sangatlah sentral. Ketakwaan yang sejati akan memancing dianugerahkan-Nya ilmu-ilmu yang baru; yang kemudian dapat digunakan untuk membuat amal selanjutnya semakin bernilai. Allah bersabda dalam QS Al Baqarah [2]: 282, “… bertakwalah, maka Allah mengajarimu …”.

• Al-Fadh Al-Azhiim
Ayat di bagian awal tadi menyatakan bahwa Allah-lah pemilik “Fadhilah yang Agung”. Rahmat yang ke dua ini dipesankan dalam berbagai ayat, ternasuk yang umum dibaca dalam berdo’a: “… dan anugerahi kami dari sisi-Mu, rahmah …” (QS Ali ‘Imran [3]: 8).

Demikian pula Nabi Musa a.s. direkam dalam Al Qur’an (QS Thaahaa [20]: 25 – 28) memohon agar dianugerahi penasehat (wazir) dari keluarga (ahli) beliau; yang Allah kabulkan dengan menjadikan Nabi saudaranya, Harun a.s. Nabi Musa a.s. yang bertugas dengan nasehat dari Nabi Harun a.s. mengerjakan urusan (‘amr)-nya: Inilah personifikasi dari diri sang penyandang amanat yang bekerja dengan nasehat dari Ruh al-Quds.

Ash-Shiddiqiin

Ash-shiddiqin merupakan jenjang berikutnya dari asy-syuhada. Perbedaan diantara keduanya terletak pada aspek pelaksanaan dharma. Orang yang sudah mengenal-diri (asy-syuhada), sebagaimana telah dikemukakan di atas, mulai mengenal amanat atau misi-hidup (swa-bhawa) yang harus dipikul dan dikerjakannya. Untuk menjalankan misi-hidup tersebut, kepadanya dibekalkan berbagai perangkat pendukung, misalnya, berupa nuur-ilmu, yang sesuai dengan misinya.

Seorang shiddiqin adalah syuhada yang telah mengerjakan misi-hidupnya (berdharma), dengan menggunakan perangkat-perangkat yang telah dianugerahkan kepadanya.

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu ash-shiddiqiin dan asy-syuhadaa disisi Tuhannya. Bagi mereka ganjaran (ajran) dan cahaya mereka…”.
(QS Al-Hadiid [57]: 19).

Mereka yang tergolong shiddiqin dan syuhada itulah yang merupakan pengiring dan pembantu para Nabi. Mereka-lah orang-orang yang telah dianugerahi-Nya nikmat, mereka berada di atas Shirath al-Mustaqiim. Kepada mereka itulah semua yang bertaubat seyogyanya mencontoh. 

Gambar-1
Gambar-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar