Sabtu, 15 Januari 2011

Kajian Al Qur’an-materi-ke 19

oleh Sabari Muhammad

Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha 

Keutamaan Penciptaan Manusia


Pendahuluan

Kita mulai dengan mendaftarkan berikut ini topik-topik yang telah dikaji sebelumnya, yang paling dekat kaitannya dengan pembahasan kali ini:

• Manusia sebagai ciptaan terakhir, yang diciptakan dengan ke dua belah tangan-Nya’.
• Pembahasan asma-asma Allah, ar-Rahman dan ar-Rahiim, dalam pembicaraan tentang makna Al-Fathihah.
• Hadits tentang Khasanah Tersembunyi (kanzhun makhfiy).
• Keutamaan manusia dalam mengetahui (‘alama) dan mengenali (‘arafa) akan Tuhan, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan (af’al)-Nya.
• Satu tugas atau misi-hidup bagi setiap manusia di alam dunia ini.

Kali ini kita akan ditambahkan beberapa butir pembahasan di seputar tujuan penciptaan manusia, dan pentingnya prinsip bahwa manusia itu diciptakan dalam citra ar-Rahman.

Tentang Citra (Shurah) ar-Rahman

Dalam sebuah hadits terkenal dikatakan bahwa “insan itu diciptakan dalam shurah (citra) ar-Rahman.” Versi lain menyebutkan dalam “citra (shurah) Allah.” Pada dasarnya pewartaan ini memberikan panduan kepada manusia tentang bagaimana cara terbaik agar Allah berkenan menarik manusia kepada-Nya. Sebuah panduan paling dasar untuk kembali secara ikhtiyari.

Kita sudah mengetahui bahwa asma “Allah” merupakan asma yang menghimpun seluruh asma-asma lainnya. Kita juga sudah mengetahui bahwa secara teologis asma-asma itu dapatlah dibagi menjadi dua kelompok: [1] Yang mendeklarasikan bahwa Tuhan itu ‘tanzih’ atau agung—dengan suatu perspektif yang memperlihatkan bahwa Tuhan itu ‘incomparable’ dari makhluk-makhluk-Nya; dan [2] Yang mendeklarasikan bahwa Tuhan itu ‘tasybih’ atau indah—dengan syatu perspektif yang memperlihatkan Tuhan memiliki ‘similarity’ dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan mengetahui sifat khusus dari asma “Allah” tadi, dan bahwa manusia merupakan satu-satunya yang diciptakan dengan ke dua belah tangan-Nya, maka dapatlah kita mulai meraba maksud dari ucapan para Sufi besar, seperti misalnya Abu Sa’id al-Kharraz, yang secara terus-menerus mengingatkan bahwa tawhid sejati, pengetahuan yang haqq tentang Tuhan dan makhluk hanya dapat diperolah dengan memadukan ke dua perspektif yang berlawanan ini.

Sufi besar lainnya, Ibnu al-'Arabi, mendefinisikan tasahwuf dengan ‘Berakhlak dengan akhlak Allah’ (takhalluq bi akhlaq Allah). Akhlak utama Allah itulah yang diwartakan-Nya kepada kita ciptaan (‘khuluq,’ satu akar kata dengan istilah ‘akhlaq’)-Nya dalam ayat: ar-Rahman ar-Rahiim. Hadits di atas memperlihatkan akhlak seperti apa yang mesti menghias qalb seseorang.

Dengan sangat elegan, Allah menghimbau kepada makhluk-makhluk-Nya agar berjuang menghiasi diri masing-masing dengan karakteristik-karakteristik yang bersifat rahmaniah. Surat ke 55 dari Al-Qur'an dinamai Ar-Rahman.

Dicantumkan berikut ini beberapa ayat dimana Allah secara langsung menisbatkan aspek ‘rahman’ ini kepada-Nya, sebagai tambahan bahan tafakur kita:

“… telah menetapkan Tuhanmu, atas diri-Nya, ar-rahmat …”
(QS Al An’aam [6]: 54).

Secara halus ini menunjukkan: jika Tuhan saja menetapkan atas Dirinya, rahmat; maka bagaimanakah seharusnya sikap makhluk-Nya …?

“… Rabbana, terliput segala sesuatu dalam ilmu-Mu dan rahmat-Mu, maka ampunilah mereka yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari adzab al-jahannam.”
(Qs Al Mu’min [40]: 7).

ar-Rahman dan al-‘ilm merupakan dua saja asma yang bersifat maha-meliputi segala sesuatu.

“Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Apa pun seruanmu, Dia-lah yang memiliki al-asma al-husna …”
(Qs Al israa’ [17]: 110).

“Dan demi Allah (lillah), al-asma al-husna, maka bermohonlah dengannya…”
(QS Al A’raaf [7]: 180).

Dua ayat di atas menunjukkan bagaimana seyogyanya seruan atau do’a kepada Tuhan itu dilakukan—yakni dengan menghiaskan asma tersebut kepada qalb.
“… Adzab-Ku akan Kutimpakan kepada yang Ku-kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Kutetapkan rahmat-Ku kepada mereka yang bertakwa dan menunaikan az-zakata dan mereka yang beriman dengan ayat-ayat Kami. (Yaitu) mereka yang mengikuti ar-Rasul an-Nabi al-Ummi, yang mereka dapatkan tertulis dalam Taurat dan dalam Injil di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan bi’l ma’ruf dan melarang dari al-munkar, yang menghiaskan kepada mereka ath-thayyibah yang mengharamkan dari mereka yang buruk-buruk (al-khaba’its), dan membuang dari mereka beban-beban mereka dan belengu-belengu yang ada pada mereka. Maka mereka yang beriman dengannya, dan memuliakannya, dan menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-Muflihuun).
(QS Al ‘raaf [7]: 156 – 157.

“Sesungguhnya Aku-lah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku. Rahmat-Ku mendahului murka (ghadhab)-Ku. Barangsiapa bersaksi (syahida) bahwa tiada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu abdi-Ku dan rasul-Ku, maka baginya al-Jannah.”
(HQR ad-Dailami dari Ibnu Abbas r.a.)

Terlihat bahwa rahmat meliputi segala sesuatu, sedangkan adzab adalah sesuatu yang sangat khusus dan merupakan cabang dari rahmat. Rincian di atas menerangkan panduan pelaksanaan ketakwaan dan pensucian.

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas anfus-mu, janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosamu, semuanya. Sesungguhnya Dia al-Ghafur ar-Rahiim.”
(QS Az-Zumar [39]: 53).

Yang mesti dibaca bersama dengan ayat ini:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni yang menyekutukan-Nya. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar.”
(QS An Nisaa’ [4]: 48)


Allah, Ar-Rahman, memudahkan semua yang berupaya menghadapkan wajah kepada-Nya, dengan menyandingkan secara kontras pewartaan-pewartaan di atas dengan peringatan-peringatan tentang akhlak-akhlak buruk yang mesti dimintakan pensuciannya kepada Dia Yang Maha Pengampun:

“Keperkasaan (al-Izzu) itu kain-Ku, keagungan (al-Kibr) itu selendang-Ku. Barangsiapa berusaha sedikit saja menyamai-Ku maka baginya azhab.”
(HQR Muslim dari Abu Sa’id, Samuwaih dari Abu Sa’id, Thabarani dari ‘Ali r.a.)

Tujuan Penciptaan Manusia

Jika kita sekarang menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka di seputar masalah penciptaan manusia dapatlah disarikan sebagai berikut:

• Menjadi Saksi Allah (asy-syuhada): sebagaimana yang telah disaksikan di alam alastu (QS Al-A’raaf [7]:172) yang berkaitan dengan amanah bagi setiap orang. Dicapainya tahapan “penyaksian” ini merupakan kunci bagi dicapainya tujuan-tujuan penciptaan manusia yang merupakan suatu kesatuan dengan dipenuhinya perjanjian tersebut, “dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu” (QS Al Baqarah [2]: 40).

• Menjadi abdi Allah (‘abd): sebagaimana difirmankan dalam ayat ini, “Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar menyembah-Ku semata” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 56). Sahabat Ibn ‘Abbas r.a. menjelaskan bahwa kata-kata “liya’budun,” agar menyembah-[Ku], berarti “li-ya’rifûn,” agar mengenal[-Ku]. Jadi, disini diperlihatkan bahwa ‘penghambaan’ itu memerlukan ‘pengenalan.’

• Menjadi wakil Allah (khalifah): Inilah persoalan awal diturunkannya manusia ke bumi, yang dalam penciptaan Adam a.s. membuat para malaikat bertanya (QS Al Baqarah [2]: 30 – 37.

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah fil-ardh. Maka berilah keputusan kepada mereka dengan adil; dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shaad [38]: 26).

Tidaklah mungkin merealisasikan peran sebagai khalifah di bumi tanpa terlebih dahulu menjadi seorang hamba, yang terakhir ini mensyaratkan pemenuhan persaksian. ‘Adil’ erat kaitannya dengan ‘takwa.’

“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu jadi orang-orang yang tegak karena Allah dan syuhada kepada al-qisti. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Maidah[5]: 8).

Sedangkan mengenai pengertian dari “mengikuti hawa-nafsu,” antara lain, dikemukakan oleh Ibnu al-'Arabi: “segala sesuatu yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah berarti mengikuti hawa-nafsu”.

• Pemakmur bumi: Sebagaimana difirmankan dalam ayat ini, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (ardh) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud [11]: 61). Dengan mengingat hakikat insan adalah jiwanya, maka nafs itu diturunkan kepada raganya—yang merupakan bumi pertamanya, lalu ke duanya diturunkan ke bumi tanah-airnya. Pemakmuran ini mempersyaratkan pelakunya adalah seorang ash-shalihin, karena, “… sesungguhnya al-ardh itu diwarisi oleh hamba-hamba-Ku (‘abd) ash-shalihin” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Karena, sebagaimana sebagaimana diperingatkan Al-Qur'an: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah membuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Ingatlah sesunguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah [2]: 11 – 12; periksa pula Al- Baqarah [2]: 27, tentang pelanggaran janji.

Mengemban Amanah Itu Dimulai dari Berjuang Menghadapi Kezhaliman dan Kebodohan

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesunguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.
QS. Al-Ahzab [33]: 72.

Dari sekian pembahasan kita tentang kata-kata kunci Al-Qur'an, jelaslah bahwa amanat ini dialamatkan kepada qalb, karena ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang Mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram’; yang merupakan perangkat yang serba meliputi dan bukannya perangkat-perangkat yang lain, seperti: langit (jiwa, nafs), bumi (jasad), atau gunung-gunung (nalar rasional). Hanya pada qalb-lah berlangsung pertemuan ke tiga alam dari aspek-aspek insan: alam nasut, malakut,dan jabarut. Terlihatlah bahwa amanat itu dapat mulai dipikul dengan bekerjanya ke tiga aspek tersebut secara lengkap pada diri sang insan.

Demikianlah para Sufi menekankan bahwa yang pertama-tama harus terbuka—sebelum pengetahuan sejati dapat dimengerti—adalah qalb.

Ayat tersebut menunjukkan pula dua hal pokok yang mesti dihadapi setiap individu dalam perjalanannya memenuhi perjanjian primordialnya di alam alastu persoalan kebodohan (jahl), dan kezhaliman diri. Kebodohan itu lawannya adalah berilmu. Khusnya di dalam tashawuf yang sedang dibahas ini, istilah berilmu atau mempunyai ilmu (‘ilm) inilah yang sebenarnya merupakan terjemahan yang tepat bagi kata ‘ulama. Kita sudah pernah membahas di seputar aspek ilmu ini, dan bagaimana Allah al-‘Alim mengajari hamba-hamba-Nya yang bertakwa:

“Sesungguhnya (kitab) itu adalah ayat-ayat yang nyata di dada orang-orang yang diberi ilmu (u’tuul ‘ilmi). Dan tidaklah mengingkari dengan ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”
(QS Al ‘Ankabuut [29]: 49).

“… Dan diangkat Allah mereka yang beriman diantaramu dan mereka yang ‘utul ‘ilma beberapa derajat …”
(QS Al Mujaadilah [58]: 11).

“… Sesungguhnya yang yakhsyallahu diantara hamba-hamba-Nya hanyalah al-‘ulama …”
(QS Faathir [35]: 28)

“… bertakwalah kepada Allah, Allah akan membuatmu ‘alim (wattaqullah wa yu’alllimukumullahu) …”
(QS Al Baqarah [2]: 282)

“… dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”
(QS Al Hujuraat [49]: 11) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar