oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Misykat Cahaya-cahaya
Pendahuluan
Sahabat-sahabat sekalian, Insya Allah materi yang akan kita ulas kali ini adalah adalah Paper “Misykat Cahaya-Cahaya”, yang disusun dengan meminjam dari karya Al-Ghazali, “Misykatu-l-Anwar (fii Tauhid-l-Jabbaar)”, yang sebagiannya saya kembangkan lebih jauh. Tulisan yang saya buat adalah esensinya, rangkuman dari semua persoalan, sehingga jangan dipaksakan dalam membacanya jika mungkin agak susah dipahami.
Dalam pembahasan terdahulu kita telah mengkaji konsepsi shirath-al-mustaqim dan Ad-Diin dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala. Untuk memahami lebih jauh konsepsi tersebut perlu dipahami ihwal struktur insan. Paper “Misykat Cahaya-Cahaya” yang akan diurai dalam pembahasan berikut menjelaskan tentang bagaimana struktur insan sebagaimana yang diwartakan-Nya melalui Al-Qur’an, terutama surah An-Nuur (24) ayat 35.
Ayat Cahaya
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS An-Nuur (24) : 35]
Berikut ini akan diurai satu per satu berbagai perkara struktur insan yang terpendam dalam “ayat cahaya” di atas.
(1) (Allah cahaya petala langit dan bumi)
Terseratkan di atas bahwa “Allah cahaya lelangit dan bumi”. Karakteristik mendasar dari cahaya adalah kemampuannya dalam menampakkan sesuatu. Tanpa cahaya, ruangan gelap tak kan teramati segenap isinya, tak kan nampak segala sesuatu yang tegak di atas permukaan bumi. Dengan kata lain sesuatu tidak akan hadir tanpa cahaya (itu).
Allah punya “sesuatu” di tangannya yang dengan “sesuatu” tersebut semesta alam-alam (al-‘aalamiin: lelangit dan bumi) menjadi tampak. “Sesuatu” itu disebut dengan “Nur Muhammadiyyah”, Nur-nya Rasulullah Muhammad saw. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda,
“Hal pertama yang dicipta Tuhanku adalah Nur Nabimu (yaa Jabir)”
[disebut dalam Schimmel 1994:177, silakan diverifikasi lebih lanjut atau lihat Furuzanfar 1955 No. 342]
“Aku telah menjadi Nabi, sementara Adam masih berwujud antara air dan lempung” [dikutip dari Schimmel, 1994:183, lihat Furuzanfar 1955 No. 301]
Allah mencipta “Nur Muhammadiyya” yang dengan Nur ini ditampakkan semesta alam. Semesta alam yang dicipta-Nya dalam kegelapan, tanpa asma, diberikan pakaian wujud dengan ditampakkan melalui Nur Muhammad, cahaya-Nya. Semesta alam terdiri dari alam malakut (bathin) dan alam mulk/syahadah (zhahir).
Penghuni alam malakut antara lain adalah para malaikat dan jiwa-jiwa manusia (nafs) termasuk alam barzakh. Penghuni alam mulk/syahadah pada lapisan fisik/material di antaranya adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan materi-materi lainnya sedangkan pada lapisan non-fisik di antaranya adalah alam jin. Semuanya hadir dari status awalnya yang berada dalam kegelapan. Rasulullah saw pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” [Imam Al-Ghazali, 1999:47]
“Lawlaka maa khalaqtu-l-aflaka”
“Jika engkau tidak ada” (dengan kata lain, jika bukan karena engkau), “Aku tidak akan menciptakan alam semesta” [Schimmel, 1994:183]
“Dia yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi, kemudian menata/ membentuk (istawaa) menuju langit, maka dibentuknya (fa sawwaahunna) tujuh langit (sab’a samaawaat). Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al Baqarah (2): 29]
(lihat gambar 1 dan 2 dibawah)
Kehadiran Rasulullah saw dalam pra-keabadian ini ditunjukkan juga oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan-li-l-‘aalamiin
“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS Al-Anbiyaa’ (21) : 107]
Jika ditetapkannya Rasulullah Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam tidak dari pra-keabadian, tentunya sebelum kelahiran dan setelah wafatnya Rasulullah saw maka alam tidaklah terahmati. Tetapi rahmat-Nya meliputi alam semesta melintasi segenap masa, Nur Muhammadiyyah senantiasa mencahayai lelangit dan bumi, tak terputus sejak awal penciptaan hingga alam semesta digulung kembali.
(2)“(Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau”
Fragmen firman-Nya di atas menjelaskan tentang perumpamaan cahaya-Nya. Perlu digarisbawahi bahwa perumpamaan yang Allah berikan adalah perumpamaan tentang cahaya-Nya karena Allah tidak dapat diumpamakan dengan apapun, apalagi dibahas berstruktur dan berlapis-lapis. Dia itu ahad.
laisa kamitslihi syai-un
“Tiada permisalan/perumpamaan apapun juga bagi Dia”
[QS Asy-Syuura (42) : 11]
Cahaya-Nya yang menampakkan lelangit-bumi, semesta alam baik alam zhahir maupun bathin, diumpamakan dengan skema sebagai berikut:
(lihat gambar 3)
Perumpamaan ini menggambarkan sebuah struktur yang terbagi atas:
1. Misykat ‘Jasad’
2. Bola/lingkaran kaca {zujaajah} kaukab ‘Qalb’ di dalam ‘Nafs Muthma-innah’
3. Mishbah Ruh Al-Quds.
Misykat, fash, atau ceruk, melambangkan sebuah lubang yang tak tembus cahaya, sebuah benda gelap. Misykat ini melambangkan jasad insan yang bersifat kebumian, material, dan relatif gelap.
Di dalam misykat terdapat pelita (mishbah). Pelita bersifat memiliki cahaya sendiri, bahkan memancarkan cahayanya kepada benda-benda lain. Pelita ini melambangkan Ruh Al-Quds, kuasa Tuhan (bukan Tuhan itu sendiri), yang jika telah singgah dalam diri manusia maka manusia tersebut menjadi insan Ilahi, khalifah fi-l-ardh, yang mengejawantahkan kehendak Tuhan di muka bumi, memancarkan cahaya-Nya menerangi segenap penjuru alam semesta.
Di antara misykat dan mishbah terdapat bola kaca bening zujaajah yang berpendar dan berkilau seperti kaukab. Beningnya zujaajah tersebut memungkinkan kita menatap sesuatu yang ada di baliknya, ibarat menatap pemandangan di balik jendela kaca. Tidak demikian dengan misykat. Sesuatu yang ada di balik misykat tidak akan terlihat karena watak misykat yang kusam atau gelap.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa benda langit seperti buruuj, kawakib, najm, thariq, dan sebagainya, yang dalam peristilahan bahasa Indonesia hanya mampu diterjemahkan sebagai ‘bintang’. Padahal secara fisika amat berbeda antara bintang dengan planet. Bintang-gemintang (contohnya matahari) merupakan benda langit yang memiliki cahaya sendiri dan bercahayanya tidak bergantung kepada keberadaan benda lain atau cahaya lain. Sedangkan planet adalah benda langit yang nampak bercahaya tetapi cahayanya berasal dari benda lain, kemilaunya didapat dari cahaya bintang lain.
Beberapa planet seperti Merkurius dan Venus jika diamati dari bumi nampak seolah lebih terang daripada bintang-bintang lainnya; tetapi terangnya planet-planet ini bergantung kepada adanya bintang (dalam hal ini matahari) yang memancarkan cahayanya ke permukaan planet. Planet tidak punya cahaya sendiri tetapi meminjam cahaya bintang/matahari untuk kemudian dipancarkan kepada yang lain.
Trilogi misykat, kaukab qalb, dan Ruh Al-Quds ini sebenarnya merupakan perumpamaan bagi cahaya-Nya, Muhammad saw. Dengan QS An-Nuur: 35, Allah Ta’ala mengajarkan manusia untuk menyerupai kekasih-Nya Muhammad saw, Muhammad sebagai jasad, Muhammad sebagai jiwa, yang di dalamnya hadir Ruh Al-Quds.
“Sesungguhnya telah ada dalam (fii) (diri) Rasulullah itu suri teladan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir (yauma-l-akhir) dan banyak mengingat Allah.” [QS Al-Ahzab (33) : 21]
Kepaduan tiga entitas ini mengajarkan manusia untuk menyempurnakan dirinya. Setelah lahir dalam keadaan suci, manusia pada umumnya mengalami degradasi hingga kalbunya memburam bahkan gelap sama sekali sehingga manusia hanya memiliki jasad (misykat). Seiring dengan pertaubatan hamba dan pelimpahan rahmat-Nya, kaukab kalbu muncul bak bulan purnama yang berkilau. Pada akhirnya Kuasa Tuhan akan hadir dalam kaukab qalb berupa mishbah yang akan menjadikan struktur ini memiliki nyalanya sendiri.
(lihat gambar 4 & 5)
(3)
“kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api.”
Bagaimana kaukab qalb yang tak memiliki cahaya sendiri dapat berpendar memancarkan cahaya? Siapakah yang menyalakannya? Diseratkan dalam ayat di atas bahwa kilauan kaukab berasal dari pohon yang banyak berkahnya.
(lihat gambar 6)
Sebuah pohon yang tumbuh tidak di ufuk barat dan tidak pula di ufuk timur. Tertanam tidak di tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq dan tidak pula di tempat terbitnya mentari Al-Haqq. Jika tidak berada di kedua titik penghujung maka tentu pohon-yang-banyak-berkah berada di antara keduanya. Tempat terbitnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian menyala dengan terang, inilah lokus keberadaan Ruh Al-Quds.
Tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian nampak padam, terang cahaya Yang Satu seolah sirna tersembunyi di balik lengkung gelap permukaan bumi, carut marut panggung dunia. Inilah lokus keberadaan raga atau jasad manusia. Pohon yang banyak berkahnya – yang minyaknya menyalakan kaukab qalb – tak tumbuh di lapis terluar struktur insan (misykat jasad) dan tak pula tumbuh pada titik api struktur (mishbah Ruh Al-Quds), tetapi pada jiwa manusia.
(lihat gambar 7)
Karena posisinya yang berada di antara tempat terbit dan tenggelamnya aspek Ilahiah maka jiwa manusia memiliki aroma Ilahiah yang lebih tinggi dibandingkan raga, jiwa mendekati citra batin Tuhan. Ia bisa pergi dengan sekejap, memandang terang ke penjuru mana pun juga, bisa mengenal kebenaran, melihat malaikat, melihat dosa manusia, dan sebagainya. Semakin ke atas—semakin mendekati api Ruh Al-Quds yang merupakan kuasa Allah dan merupakan bagian dari martabat Ilahi—tentu akan semakin terang.
Sebelum hadirnya pelita Ruh Al-Quds dalam diri manusia, kaukab qalb sudah berkilauan karena sesuatu yaitu pohon zaitun (yang banyak berkahnya). Suatu pohon dinamakan pohon mangga karena berbuah mangga, dinamakan pohon apel karena berbuah apel, dinamakan pohon jati karena manfaat kayu jatinya, dinamakan pohon kina karena manfaat kulit kinanya. Suatu pohon dinamakan karena keutamaannya.
Pohon yang menyenangkan pemiliknya adalah pohon yang tumbuh sesuai dengan bibit yang ditanam. Pohon semangka tak berbuah tetapi berdaun sirih tentu tidak akan membahagiakan petani semangka. Pohon mangga yang tumbuh tapi tak berbuah mangga rasanya tak pantas menyandang nama pohon mangga.
Dalam “ayat cahaya” diambil perumpamaan “pohon zaitun” yang mana keutamaannya adalah minyaknya yang digunakan oleh manusia untuk menerangi rumah (baitu) di malam gelap-gulita. Bibit pohon zaitun yang tumbuh menjulang ke atas menjadi batang pohon yang subur, berbuah zaitun, dan dari buahnya didapatkan minyak yang kilau minyaknya akan memendarkan kaukab qalb. Pohon ini dinamakan “pohon taqwa” atau “kalimah taqwa” atau “kalimah thayyibah”, pohon yang bertumbuh sesuai dengan ketetapan-Nya dan berbuah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, sesuai dengan kalimah-Nya.
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan (matsalan) bagi kalimah yang baik (kalimah thayyibah) adalah bagaikan sebuah pohon yang baik (syajarah thayyibah); akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seijin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat (tadzakkaruun).” [QS Ibrahim (14) : 24]
(lihat gambar 8)
Permisalan “pohon taqwa” atau “kalimah thayyibah” yang Allah buat merupakan gambaran bagi manusia bagaimana mengenal Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah menetapkan bibit apa yang harus ditumbuhkan oleh tiap jiwa [QS 17:13] dan setiap jiwa telah menyaksikannya di alam alastu [QS 7:172].
Bibit itu ditanam di permukaan lahan, permukaan bumi diri, di garis persentuhan urusan bumi raga dengan langit jiwa. Hamba yang berharap kembali kepada Allah Ta’ala dengan bersungguh-sungguh akan diteranginya dengan Nur Iman yang diperlambangkan-Nya dengan akar yang menghujam ke dalam bumi.
Kuatnya cahaya iman yang identik dengan besarnya akar pohon dikuantifikasi (diukur) dan dikategorisasi (dikelompokkan) dengan maqamat. Akar yang besar—setara dengan iman atau maqam yang tinggi—tak bermakna apa-apa jika tidak menumbuhkan batang ketakwaan hingga menjulang tinggi ke langit. Hal ini seiring dengan ujaran bahwa iman tak berarti tanpa amal shalih (yang akan membuahkan ketakwaan).
Menumbuhkan pohon taqwa merupakan suatu persoalan penting, yang mana bibit dan akar yang tumbuh merupakan bahan identifikasi batang apa yang harus tumbuh. Namun hanya dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya maka amal shalih—yang menumbuhkan dan menguatkan batang ketaqwaan—dapat mengalir. Tak seperti maqamat yang dapat dikuantifikasi, amal shalih sulit diukur kecuali dengan perangkat “rasa jati”. Iman-lah yang akan membantu membuka dan menumbuhkan rasa jati. Yang dengan rasa jati akan diketahui apa yang Allah kehendaki, apa yang harus dilakukan oleh sang hamba untuk membuahkan amal shalih—amal yang terhubung kepada Allah Ta’ala.
Jika sang hamba mengerjakan amalnya dengan benar—dengan penuh sabar, syukur, ridha, ikhlas—maka Allah Ta’ala akan memberikan hadiah yang dinamakan al-hasanah, buah dari ketakwaan. Minyak zaitun yang diperas dari buah pohon zaitunlah yang menyalakan kaukab. Maka minyak al-hasanah dari pohon taqwa yang akan menyalakan kaukab kalbu manusia, yang membuat qalb berkilauan bak mutiara. Kilau terang yang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.
“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, dan hiasannya malu.”
[Al-Hadits]
“… Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu…”
[QS Al-Baqarah (2) : 282]
Hati yang jernih berkilau menyala-nyala oleh kilap minyak al-hasanah akan mengundang api Ruh Al-Quds dan kemudian menjadi singgasana bagi kuasa-Nya.
“... yaitu (Dia) yang menjadikan bagimu api dari pohon (syajarah) yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” [QS Yaasiin (36) : 80]
Pohon taqwa yang hijau segar yang tumbuh dalam jiwa muthma-innah, yang kesegaran buahnya akan melumuri kalbu dengan minyak al-hasanah, akan membuat-Nya terpikat untuk menyalakan pohon itu, mengkuduskan pohon itu dengan medan cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds. Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya. Kalbu suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman dan dari dalamnya Dia cahayai dengan pelita-Nya, Ruh Al-Quds utusan-Nya bagi jiwa.
Allah Ta’ala tidak ber-tajalli¬ di segala tempat. Telah ditegaskan-Nya bahwa tempat kehadiran (kuasa)-Nya hanyalah di dalam qalb hamba yang al-mu’min.
“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang al-mu’min” [Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”]
Sungguh menakjubkan bahwa Tuhan tidak ber-tajalli di atas sebuah gunung yang demikian tegar, samudera yang luas, dinosaurus yang besar dan kuat, atau malaikat yang suci. Bahkan baru Al-Qur’an yang turun maka gunung sudah terpecah belah.
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini ke atas sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut (khaasyi’an) kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir (yatafakkaruun).” [QS Al-Hasyr (59) : 21]
Ketika Rasulullah saw menerima wahyu di atas unta, tubuh beliau bergetar dan kaki unta melesak ke dalam gurun pasir. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Jibril a.s. yang mengantarkan Rasulullah saw menghadap Allah mengatakan “Yaa Muhammad, selangkah lagi sayapku terbakar”.
Allah Ta’ala memiliki dua aspek: bathin (awwaal) dan zhahir (aakhir). Aspek bathin adalah Dzat-Nya dan aspek zhahir meliputi shifat, asma, hingga af’al (tindakan)-Nya. Pada semesta alam, aspek bathin-Nya dilambangkan oleh alam malakut dan aspek zhahir-Nya dilambangkan oleh alam mulk/syahadah. Masing-masing alam terpisah secara tegas, mutually exclusive, masing-masingnya tidak memiliki aspek masing-masing yang lain. Oleh karenanya masing-masing alam tidak dapat “memuat” Allah – yang memiliki dua aspek zhahir dan bathin. Perlu ada sebuah “wadah” yang dapat memuat kedua aspek Allah.
(lihat gambar 9)
Qalb merupakan barzakh antara jiwa dan raga, antara alam malakut dan alam mulk, menghubungkan kedua alam yang berbeda aspeknya. Karenanya qalb merupakan entitas yang berpotensi “memuat” kuasa Allah-Yang-Maha-bathin-Maha-zhahir. Qalb jernih dan suci dari seorang al-mu’min yang disaput oleh minyak al-hasanah yang berkilau merupakan singgasana Allah, ‘arsy Allah, yang tegak di atas kursiy-Nya yang berupa kekuasaan atas dua kerajaan: kerajaan petala langit nafsiyyah (malakut) dan bumi jism (mulk).
Wasi’a kursiyyu-Hu-s-samaawaati wa-l-‘ardh
“…Kursiy-Nya meliputi petala langit dan bumi …”
[Ayat Kursiy, Al-Baqarah (2) : 255]
(lihat gambar 10)
Insan yang telah memiliki struktur yang sempurna (insan kamil) akan menampakkan semesta alam, mencahayai petala langit dan bumi, menarik segenap ciptaan dalam malakut dan mulk untuk mengenal Allah Ta’ala. Mekanisme perahmatan berlangsung dengan mengalirkan kehendak-Nya (kuasa-Nya) yang duduk di singgasana qalb ke segenap penjuru alam melalui amal shalih—amal yang terhubung dengan-Nya, tindakan yang sejalan dengan kehendak-Nya saat itu.
Berdasarkan uraian di atas, salah satu karakteristik qalb adalah taqallub (berbolak-balik). Apakah bolak-baliknya qalb merupakan masalah besar bagi manusia? Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa kepada umatnya
Yaa muqalliba-l-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa Diinika
“Wahai yang membalik-balikkan kalbu, teguhkan kalbuku di atas Diin-mu.”
Masalahnya bukanlah qalb harus berpaling dari alam mulk yang rendah dan senantiasa menghadap ke alam jabarut yang tinggi karena memang dari berbolak-baliknya kalbulah semesta alam ini tercahayai. Masalah utama adalah bagaimana dalam bolak-baliknya kalbu, sang kalbu tetap berada dalam kehendak-Nya, mengalirkan karsa-Nya. Sehingga kita harus bermohon kepada Allah agar ke manapun qalb kita mengarah, Sang Pembolak-balik Kalbu senantiasa menetapkan kalbu kita dalam Diin-Nya.
Jabal Nur, Madinatu-l-Mukarromah, Ka’bah, menjadi tempat yang lebih bercahaya dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya karena mereka pernah menjadi saksi atas hadirnya utusan teragung dan termulia. Mereka lebih tercahayai, lebih mengenal Allah Ta’ala, karena Rasulullah saw memantulkan cahaya-Nya melalui amaliah beliau.
Semua yang dipancarkannya adalah wahyu, apakah itu tampak sebagai suatu kebaikan atau tampak sebagai suatu kesalahan. Seorang insan kamil adalah seseorang yang telah mengemban urusan-(amr)-Nya dan merupakan cermin-Nya, sehingga semua yang dilakukannya sudah diatur apakah itu baik atau buruk (di mata manusia). Seorang insan yang telah hadir di dalam dirinya Ruh Al-Quds adalah insan yang telah mengenal (‘arafa)-Nya, menjadi saksi-Nya yang sejati, yang dari amal shalih-Nya segenap ciptaan mencapai tujuannya: mengenal Allah Ta’ala dan menjadi dekat (qarib) dengan-Nya..
Kuntu kanzan makhfiyyan, ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu-l-khalqa li’u’raf
“Aku adalah khazanah tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan Aku membuat diriku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenalku.” [Terjemahan Hadits Qudsy, dikutip dari Alfathri Adlin, 2001]
Mekanisme perahmatan alam semesta ini senantiasa muncul dengan hadirnya orang-orang terang di setiap jaman yang kebanyakan dari mereka bahkan tidak dikenal oleh kebanyakan orang (namun semesta alam mengenalnya dan mencintainya). Dalam salah satu hadits Rasulullah saw pernah berkata bahwa ketika seorang ‘ulama wafat maka ia akan ditangisi ikan di laut dan gunung-gunung. Sebatang pohon kurma di jaman Rasulullah saw pernah menangis karena Rasulullah mengubah kebiasaan beliau dan tidak lagi bersandar pada pohon itu ketika berbicara, karena para sahabat telah membuatkan beliau sebuah mimbar sebagai penggantinya.
Karena itu iman tak berarti tanpa amal shalih. Lebih tegas lagi dalam Injil disebutkan bahwa “Jika kamu beriman tanpa beramal, pada hakikatnya kamu tidak beriman”. Manusia merupakan cermin Tuhan, sehingga manusia harus mengintegrasikan antara yang lahir dan yang batin, menyinambungkan antara rasa hingga tindakan.
Kataba fii quluubihimu-l-iimaan
“...Kami tuliskan dalam qalb mereka al-iman...”(QS Al-Mujaadilah [58] : 22)
Di dalam Injil disebutkan bahwa “iman itu tulisan Tuhan di hatimu”. Tujuan dipercikkannya iman kepada seseorang adalah untuk beramal shalih, sehingga jika amanat iman tidak dimanfaatkan untuk beramal maka iman tersebut tidaklah berguna.
(4)
“Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Diseratkan bahwa Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia agar manusia berfikir (QS 59: 21) dan ber-dzikr (QS 14: 24-25) kepada-Nya. “Perumpamaan” yang dimaksud pada fragmen terakhir ‘ayat cahaya’ di sini bukanlah perumpamaan tentang Allah (karena Allah tidak bisa dibahas dengan cara bertruktur dan berlapis-lapis) tetapi perumpamaan tentang cahaya-Nya: manusia. Manusia harus berjalan dan menjadi insan kamil, yang berstruktur seperti para syuhada, shiddiqin, dan Nabi-nabi. Sesempurna-sempurnanya insan adalah Rasulullah Muhammad saw. Sehingga tindakan manusia harus mengikuti Rasulullah sebagai uswatun hasanah, seperti juga jiwa Rasullah yang di dalamnya hadir kuasa Allah Ta’ala, Ruh Al-Quds.
Agar manusia menjadi insan sempurna diciptakanlah alam semesta untuk membelajarkan manusia. Dengan membaca ayat-Nya hingga ke ufuk, ke ujung alam semesta (malakut dan mulk) dan membaca ayat-Nya yang ada di dalam nafs maka akan terlihat bahwa segala yang ada di balik itu (ayat-ayat-Nya) semua adalah Al-Haqq.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami dalam (fii) ufuk dan dalam jiwa-jiwa (fii anfusihim) mereka sendiri sehingga nyatalah bagi mereka itu (ayat-ayat tersebut) adalah Al-Haqq. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”
(QS Fushshilat [41] : 53)
Tanpa tujuan pembelajaran manusia agar mengenal Allah Ta’ala maka tidak akan dicipta alam semesta yang mencakup mulk dan malakut. Jika jiwa semua orang diwafatkan termasuk hingga sang penggenggam segel langit ke tujuh, Rasulullah Muhammad saw dan Nur-Nya, maka tidak ada lagi yang menjadi target pembelajaran Ilahi. Sehingga alam semesta akan digulung dan runtuh.
Manusia harus “belajar” dengan “berjalan” di muka bumi hingga terbentuk lingkaran kalbunya, berakal qalb-nya, dan hadir Ruh Al-Quds sebagai tanda bahwa sang hamba telah mengenal nafs-nya.
Afalam yasiiruu fi-l-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa ...
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengannya (qalb itu) mereka berakal ... “ (QS Al-Hajj [22] : 46)
Berjalan di muka bumi dalam era sekarang ini bisa saja dengan membuka situs internet, mempelajari jatuh bangunnya peradaban masa lalu, dan sebagainya. Begitulah berjalan, merenungkan segenap ciptaan-Nya. Kalau kita tidak membaca Al-Qur’an maka kita akan cenderung berpikir, “ah ... itukan urusan orang lain, bukan urusan saya, yang penting kan dapur ngebul!”. Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita semua berjalan di muka bumi hingga kita memiliki kalbu (hingga berakal dengan kalbu itu).
Anjuran ini tidak terbatas pada suatu kalangan tertentu. Para ibu rumah tangga pun tetap bisa “berjalan” dengan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca buku; melihat TV jangan hanya menonton sinetron saja tapi coba lihat kanal discovery yang bercerita tentang alam semesta, binatang liar, tumbuh-tumbuhan; cobalah direnungkan. Kita bisa datang ke Borobodur dan menyaksikan bagaimana peradaban di jaman itu bangun, pesan apa yang ada dibalik ayat-Nya ini. Dengan demikian kita benar-benar berjalan, bukan sekadar jalan-jalan.
Mari kita bermohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menarik kita menuju-Nya dan menjadikan kita hamba-Nya yang bersungguh-sungguh belajar mengenal-Nya. Memberikan kita Nur Iman sebagai piranti kita berkomunikasi dengan-Nya dan belajar mengenali apa yang Dia kehendaki. Karena manusia yang dalam kalbunya tidak menyala Nur Iman maka tidak akan dapat menyala zujajah kalbunya, sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri (apalagi khalifah fi-l-‘ardh). Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita—karena karena kusam tubuhnya dan padam lampunya—yang tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi hawa nafsu dan jejak syaithan. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan:
“Mereka-mereka yang belum pernah pergi ke alam malakut, dan hanya duduk manis di atas kursi kelemahan alam syahadah, maka dia tidak ubahnya seperti binatang yang tidak memiliki ciri khas kemanusiaan. Bahkan lebih sesat dan lebih hina dari binatang, mengingat binatang tidak diberi sarana untuk terbang ke alam malakut.” [Imam Al-Ghazali, 1999:46]
Na’udzu biLlaahi min dzaalik. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah gelap kita kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.
Daftar Pustaka
1. Imam Al-Ghazali, “Tafsir Ayat Cahaya” yang diterjemahkan dari “Misykatu-l-Anwar Fii Tauhidi-l-Jabbar”, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999
2. Alfathri Adlin, “Serambi Suluk”, belum dipublikasikan, Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS), 2001
3. Schimmel, Annemarie, “Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan Nabi saw. dalam Islam”, Mizan, Bandung, 1994.
4. Furuzanfar, Badi’uzzaman, “Ahadits-i Matsnawi”, Teheran University, Teheran, 1334 H/1955.
Misykat Cahaya-cahaya
Pendahuluan
Sahabat-sahabat sekalian, Insya Allah materi yang akan kita ulas kali ini adalah adalah Paper “Misykat Cahaya-Cahaya”, yang disusun dengan meminjam dari karya Al-Ghazali, “Misykatu-l-Anwar (fii Tauhid-l-Jabbaar)”, yang sebagiannya saya kembangkan lebih jauh. Tulisan yang saya buat adalah esensinya, rangkuman dari semua persoalan, sehingga jangan dipaksakan dalam membacanya jika mungkin agak susah dipahami.
Dalam pembahasan terdahulu kita telah mengkaji konsepsi shirath-al-mustaqim dan Ad-Diin dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala. Untuk memahami lebih jauh konsepsi tersebut perlu dipahami ihwal struktur insan. Paper “Misykat Cahaya-Cahaya” yang akan diurai dalam pembahasan berikut menjelaskan tentang bagaimana struktur insan sebagaimana yang diwartakan-Nya melalui Al-Qur’an, terutama surah An-Nuur (24) ayat 35.
Ayat Cahaya
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS An-Nuur (24) : 35]
Berikut ini akan diurai satu per satu berbagai perkara struktur insan yang terpendam dalam “ayat cahaya” di atas.
(1) (Allah cahaya petala langit dan bumi)
Terseratkan di atas bahwa “Allah cahaya lelangit dan bumi”. Karakteristik mendasar dari cahaya adalah kemampuannya dalam menampakkan sesuatu. Tanpa cahaya, ruangan gelap tak kan teramati segenap isinya, tak kan nampak segala sesuatu yang tegak di atas permukaan bumi. Dengan kata lain sesuatu tidak akan hadir tanpa cahaya (itu).
Allah punya “sesuatu” di tangannya yang dengan “sesuatu” tersebut semesta alam-alam (al-‘aalamiin: lelangit dan bumi) menjadi tampak. “Sesuatu” itu disebut dengan “Nur Muhammadiyyah”, Nur-nya Rasulullah Muhammad saw. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda,
“Hal pertama yang dicipta Tuhanku adalah Nur Nabimu (yaa Jabir)”
[disebut dalam Schimmel 1994:177, silakan diverifikasi lebih lanjut atau lihat Furuzanfar 1955 No. 342]
“Aku telah menjadi Nabi, sementara Adam masih berwujud antara air dan lempung” [dikutip dari Schimmel, 1994:183, lihat Furuzanfar 1955 No. 301]
Allah mencipta “Nur Muhammadiyya” yang dengan Nur ini ditampakkan semesta alam. Semesta alam yang dicipta-Nya dalam kegelapan, tanpa asma, diberikan pakaian wujud dengan ditampakkan melalui Nur Muhammad, cahaya-Nya. Semesta alam terdiri dari alam malakut (bathin) dan alam mulk/syahadah (zhahir).
Penghuni alam malakut antara lain adalah para malaikat dan jiwa-jiwa manusia (nafs) termasuk alam barzakh. Penghuni alam mulk/syahadah pada lapisan fisik/material di antaranya adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan materi-materi lainnya sedangkan pada lapisan non-fisik di antaranya adalah alam jin. Semuanya hadir dari status awalnya yang berada dalam kegelapan. Rasulullah saw pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” [Imam Al-Ghazali, 1999:47]
“Lawlaka maa khalaqtu-l-aflaka”
“Jika engkau tidak ada” (dengan kata lain, jika bukan karena engkau), “Aku tidak akan menciptakan alam semesta” [Schimmel, 1994:183]
“Dia yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi, kemudian menata/ membentuk (istawaa) menuju langit, maka dibentuknya (fa sawwaahunna) tujuh langit (sab’a samaawaat). Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al Baqarah (2): 29]
(lihat gambar 1 dan 2 dibawah)
Kehadiran Rasulullah saw dalam pra-keabadian ini ditunjukkan juga oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan-li-l-‘aalamiin
“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS Al-Anbiyaa’ (21) : 107]
Jika ditetapkannya Rasulullah Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam tidak dari pra-keabadian, tentunya sebelum kelahiran dan setelah wafatnya Rasulullah saw maka alam tidaklah terahmati. Tetapi rahmat-Nya meliputi alam semesta melintasi segenap masa, Nur Muhammadiyyah senantiasa mencahayai lelangit dan bumi, tak terputus sejak awal penciptaan hingga alam semesta digulung kembali.
(2)“(Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita (mishbaah). Pelita itu di dalam kaca (zujaajah), kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau”
Fragmen firman-Nya di atas menjelaskan tentang perumpamaan cahaya-Nya. Perlu digarisbawahi bahwa perumpamaan yang Allah berikan adalah perumpamaan tentang cahaya-Nya karena Allah tidak dapat diumpamakan dengan apapun, apalagi dibahas berstruktur dan berlapis-lapis. Dia itu ahad.
laisa kamitslihi syai-un
“Tiada permisalan/perumpamaan apapun juga bagi Dia”
[QS Asy-Syuura (42) : 11]
Cahaya-Nya yang menampakkan lelangit-bumi, semesta alam baik alam zhahir maupun bathin, diumpamakan dengan skema sebagai berikut:
(lihat gambar 3)
Perumpamaan ini menggambarkan sebuah struktur yang terbagi atas:
1. Misykat ‘Jasad’
2. Bola/lingkaran kaca {zujaajah} kaukab ‘Qalb’ di dalam ‘Nafs Muthma-innah’
3. Mishbah Ruh Al-Quds.
Misykat, fash, atau ceruk, melambangkan sebuah lubang yang tak tembus cahaya, sebuah benda gelap. Misykat ini melambangkan jasad insan yang bersifat kebumian, material, dan relatif gelap.
Di dalam misykat terdapat pelita (mishbah). Pelita bersifat memiliki cahaya sendiri, bahkan memancarkan cahayanya kepada benda-benda lain. Pelita ini melambangkan Ruh Al-Quds, kuasa Tuhan (bukan Tuhan itu sendiri), yang jika telah singgah dalam diri manusia maka manusia tersebut menjadi insan Ilahi, khalifah fi-l-ardh, yang mengejawantahkan kehendak Tuhan di muka bumi, memancarkan cahaya-Nya menerangi segenap penjuru alam semesta.
Di antara misykat dan mishbah terdapat bola kaca bening zujaajah yang berpendar dan berkilau seperti kaukab. Beningnya zujaajah tersebut memungkinkan kita menatap sesuatu yang ada di baliknya, ibarat menatap pemandangan di balik jendela kaca. Tidak demikian dengan misykat. Sesuatu yang ada di balik misykat tidak akan terlihat karena watak misykat yang kusam atau gelap.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa benda langit seperti buruuj, kawakib, najm, thariq, dan sebagainya, yang dalam peristilahan bahasa Indonesia hanya mampu diterjemahkan sebagai ‘bintang’. Padahal secara fisika amat berbeda antara bintang dengan planet. Bintang-gemintang (contohnya matahari) merupakan benda langit yang memiliki cahaya sendiri dan bercahayanya tidak bergantung kepada keberadaan benda lain atau cahaya lain. Sedangkan planet adalah benda langit yang nampak bercahaya tetapi cahayanya berasal dari benda lain, kemilaunya didapat dari cahaya bintang lain.
Beberapa planet seperti Merkurius dan Venus jika diamati dari bumi nampak seolah lebih terang daripada bintang-bintang lainnya; tetapi terangnya planet-planet ini bergantung kepada adanya bintang (dalam hal ini matahari) yang memancarkan cahayanya ke permukaan planet. Planet tidak punya cahaya sendiri tetapi meminjam cahaya bintang/matahari untuk kemudian dipancarkan kepada yang lain.
Trilogi misykat, kaukab qalb, dan Ruh Al-Quds ini sebenarnya merupakan perumpamaan bagi cahaya-Nya, Muhammad saw. Dengan QS An-Nuur: 35, Allah Ta’ala mengajarkan manusia untuk menyerupai kekasih-Nya Muhammad saw, Muhammad sebagai jasad, Muhammad sebagai jiwa, yang di dalamnya hadir Ruh Al-Quds.
“Sesungguhnya telah ada dalam (fii) (diri) Rasulullah itu suri teladan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir (yauma-l-akhir) dan banyak mengingat Allah.” [QS Al-Ahzab (33) : 21]
Kepaduan tiga entitas ini mengajarkan manusia untuk menyempurnakan dirinya. Setelah lahir dalam keadaan suci, manusia pada umumnya mengalami degradasi hingga kalbunya memburam bahkan gelap sama sekali sehingga manusia hanya memiliki jasad (misykat). Seiring dengan pertaubatan hamba dan pelimpahan rahmat-Nya, kaukab kalbu muncul bak bulan purnama yang berkilau. Pada akhirnya Kuasa Tuhan akan hadir dalam kaukab qalb berupa mishbah yang akan menjadikan struktur ini memiliki nyalanya sendiri.
(lihat gambar 4 & 5)
(3)
“kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tanpa disentuh api.”
Bagaimana kaukab qalb yang tak memiliki cahaya sendiri dapat berpendar memancarkan cahaya? Siapakah yang menyalakannya? Diseratkan dalam ayat di atas bahwa kilauan kaukab berasal dari pohon yang banyak berkahnya.
(lihat gambar 6)
Sebuah pohon yang tumbuh tidak di ufuk barat dan tidak pula di ufuk timur. Tertanam tidak di tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq dan tidak pula di tempat terbitnya mentari Al-Haqq. Jika tidak berada di kedua titik penghujung maka tentu pohon-yang-banyak-berkah berada di antara keduanya. Tempat terbitnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian menyala dengan terang, inilah lokus keberadaan Ruh Al-Quds.
Tempat tenggelamnya mentari Al-Haqq menandakan tempat di mana aspek keIlahian nampak padam, terang cahaya Yang Satu seolah sirna tersembunyi di balik lengkung gelap permukaan bumi, carut marut panggung dunia. Inilah lokus keberadaan raga atau jasad manusia. Pohon yang banyak berkahnya – yang minyaknya menyalakan kaukab qalb – tak tumbuh di lapis terluar struktur insan (misykat jasad) dan tak pula tumbuh pada titik api struktur (mishbah Ruh Al-Quds), tetapi pada jiwa manusia.
(lihat gambar 7)
Karena posisinya yang berada di antara tempat terbit dan tenggelamnya aspek Ilahiah maka jiwa manusia memiliki aroma Ilahiah yang lebih tinggi dibandingkan raga, jiwa mendekati citra batin Tuhan. Ia bisa pergi dengan sekejap, memandang terang ke penjuru mana pun juga, bisa mengenal kebenaran, melihat malaikat, melihat dosa manusia, dan sebagainya. Semakin ke atas—semakin mendekati api Ruh Al-Quds yang merupakan kuasa Allah dan merupakan bagian dari martabat Ilahi—tentu akan semakin terang.
Sebelum hadirnya pelita Ruh Al-Quds dalam diri manusia, kaukab qalb sudah berkilauan karena sesuatu yaitu pohon zaitun (yang banyak berkahnya). Suatu pohon dinamakan pohon mangga karena berbuah mangga, dinamakan pohon apel karena berbuah apel, dinamakan pohon jati karena manfaat kayu jatinya, dinamakan pohon kina karena manfaat kulit kinanya. Suatu pohon dinamakan karena keutamaannya.
Pohon yang menyenangkan pemiliknya adalah pohon yang tumbuh sesuai dengan bibit yang ditanam. Pohon semangka tak berbuah tetapi berdaun sirih tentu tidak akan membahagiakan petani semangka. Pohon mangga yang tumbuh tapi tak berbuah mangga rasanya tak pantas menyandang nama pohon mangga.
Dalam “ayat cahaya” diambil perumpamaan “pohon zaitun” yang mana keutamaannya adalah minyaknya yang digunakan oleh manusia untuk menerangi rumah (baitu) di malam gelap-gulita. Bibit pohon zaitun yang tumbuh menjulang ke atas menjadi batang pohon yang subur, berbuah zaitun, dan dari buahnya didapatkan minyak yang kilau minyaknya akan memendarkan kaukab qalb. Pohon ini dinamakan “pohon taqwa” atau “kalimah taqwa” atau “kalimah thayyibah”, pohon yang bertumbuh sesuai dengan ketetapan-Nya dan berbuah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, sesuai dengan kalimah-Nya.
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan (matsalan) bagi kalimah yang baik (kalimah thayyibah) adalah bagaikan sebuah pohon yang baik (syajarah thayyibah); akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seijin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat (tadzakkaruun).” [QS Ibrahim (14) : 24]
(lihat gambar 8)
Permisalan “pohon taqwa” atau “kalimah thayyibah” yang Allah buat merupakan gambaran bagi manusia bagaimana mengenal Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah menetapkan bibit apa yang harus ditumbuhkan oleh tiap jiwa [QS 17:13] dan setiap jiwa telah menyaksikannya di alam alastu [QS 7:172].
Bibit itu ditanam di permukaan lahan, permukaan bumi diri, di garis persentuhan urusan bumi raga dengan langit jiwa. Hamba yang berharap kembali kepada Allah Ta’ala dengan bersungguh-sungguh akan diteranginya dengan Nur Iman yang diperlambangkan-Nya dengan akar yang menghujam ke dalam bumi.
Kuatnya cahaya iman yang identik dengan besarnya akar pohon dikuantifikasi (diukur) dan dikategorisasi (dikelompokkan) dengan maqamat. Akar yang besar—setara dengan iman atau maqam yang tinggi—tak bermakna apa-apa jika tidak menumbuhkan batang ketakwaan hingga menjulang tinggi ke langit. Hal ini seiring dengan ujaran bahwa iman tak berarti tanpa amal shalih (yang akan membuahkan ketakwaan).
Menumbuhkan pohon taqwa merupakan suatu persoalan penting, yang mana bibit dan akar yang tumbuh merupakan bahan identifikasi batang apa yang harus tumbuh. Namun hanya dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya maka amal shalih—yang menumbuhkan dan menguatkan batang ketaqwaan—dapat mengalir. Tak seperti maqamat yang dapat dikuantifikasi, amal shalih sulit diukur kecuali dengan perangkat “rasa jati”. Iman-lah yang akan membantu membuka dan menumbuhkan rasa jati. Yang dengan rasa jati akan diketahui apa yang Allah kehendaki, apa yang harus dilakukan oleh sang hamba untuk membuahkan amal shalih—amal yang terhubung kepada Allah Ta’ala.
Jika sang hamba mengerjakan amalnya dengan benar—dengan penuh sabar, syukur, ridha, ikhlas—maka Allah Ta’ala akan memberikan hadiah yang dinamakan al-hasanah, buah dari ketakwaan. Minyak zaitun yang diperas dari buah pohon zaitunlah yang menyalakan kaukab. Maka minyak al-hasanah dari pohon taqwa yang akan menyalakan kaukab kalbu manusia, yang membuat qalb berkilauan bak mutiara. Kilau terang yang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.
“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, dan hiasannya malu.”
[Al-Hadits]
“… Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu…”
[QS Al-Baqarah (2) : 282]
Hati yang jernih berkilau menyala-nyala oleh kilap minyak al-hasanah akan mengundang api Ruh Al-Quds dan kemudian menjadi singgasana bagi kuasa-Nya.
“... yaitu (Dia) yang menjadikan bagimu api dari pohon (syajarah) yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” [QS Yaasiin (36) : 80]
Pohon taqwa yang hijau segar yang tumbuh dalam jiwa muthma-innah, yang kesegaran buahnya akan melumuri kalbu dengan minyak al-hasanah, akan membuat-Nya terpikat untuk menyalakan pohon itu, mengkuduskan pohon itu dengan medan cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds. Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya. Kalbu suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman dan dari dalamnya Dia cahayai dengan pelita-Nya, Ruh Al-Quds utusan-Nya bagi jiwa.
Allah Ta’ala tidak ber-tajalli¬ di segala tempat. Telah ditegaskan-Nya bahwa tempat kehadiran (kuasa)-Nya hanyalah di dalam qalb hamba yang al-mu’min.
“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang al-mu’min” [Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”]
Sungguh menakjubkan bahwa Tuhan tidak ber-tajalli di atas sebuah gunung yang demikian tegar, samudera yang luas, dinosaurus yang besar dan kuat, atau malaikat yang suci. Bahkan baru Al-Qur’an yang turun maka gunung sudah terpecah belah.
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini ke atas sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut (khaasyi’an) kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir (yatafakkaruun).” [QS Al-Hasyr (59) : 21]
Ketika Rasulullah saw menerima wahyu di atas unta, tubuh beliau bergetar dan kaki unta melesak ke dalam gurun pasir. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Jibril a.s. yang mengantarkan Rasulullah saw menghadap Allah mengatakan “Yaa Muhammad, selangkah lagi sayapku terbakar”.
Allah Ta’ala memiliki dua aspek: bathin (awwaal) dan zhahir (aakhir). Aspek bathin adalah Dzat-Nya dan aspek zhahir meliputi shifat, asma, hingga af’al (tindakan)-Nya. Pada semesta alam, aspek bathin-Nya dilambangkan oleh alam malakut dan aspek zhahir-Nya dilambangkan oleh alam mulk/syahadah. Masing-masing alam terpisah secara tegas, mutually exclusive, masing-masingnya tidak memiliki aspek masing-masing yang lain. Oleh karenanya masing-masing alam tidak dapat “memuat” Allah – yang memiliki dua aspek zhahir dan bathin. Perlu ada sebuah “wadah” yang dapat memuat kedua aspek Allah.
(lihat gambar 9)
Qalb merupakan barzakh antara jiwa dan raga, antara alam malakut dan alam mulk, menghubungkan kedua alam yang berbeda aspeknya. Karenanya qalb merupakan entitas yang berpotensi “memuat” kuasa Allah-Yang-Maha-bathin-Maha-zhahir. Qalb jernih dan suci dari seorang al-mu’min yang disaput oleh minyak al-hasanah yang berkilau merupakan singgasana Allah, ‘arsy Allah, yang tegak di atas kursiy-Nya yang berupa kekuasaan atas dua kerajaan: kerajaan petala langit nafsiyyah (malakut) dan bumi jism (mulk).
Wasi’a kursiyyu-Hu-s-samaawaati wa-l-‘ardh
“…Kursiy-Nya meliputi petala langit dan bumi …”
[Ayat Kursiy, Al-Baqarah (2) : 255]
(lihat gambar 10)
Insan yang telah memiliki struktur yang sempurna (insan kamil) akan menampakkan semesta alam, mencahayai petala langit dan bumi, menarik segenap ciptaan dalam malakut dan mulk untuk mengenal Allah Ta’ala. Mekanisme perahmatan berlangsung dengan mengalirkan kehendak-Nya (kuasa-Nya) yang duduk di singgasana qalb ke segenap penjuru alam melalui amal shalih—amal yang terhubung dengan-Nya, tindakan yang sejalan dengan kehendak-Nya saat itu.
Berdasarkan uraian di atas, salah satu karakteristik qalb adalah taqallub (berbolak-balik). Apakah bolak-baliknya qalb merupakan masalah besar bagi manusia? Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa kepada umatnya
Yaa muqalliba-l-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa Diinika
“Wahai yang membalik-balikkan kalbu, teguhkan kalbuku di atas Diin-mu.”
Masalahnya bukanlah qalb harus berpaling dari alam mulk yang rendah dan senantiasa menghadap ke alam jabarut yang tinggi karena memang dari berbolak-baliknya kalbulah semesta alam ini tercahayai. Masalah utama adalah bagaimana dalam bolak-baliknya kalbu, sang kalbu tetap berada dalam kehendak-Nya, mengalirkan karsa-Nya. Sehingga kita harus bermohon kepada Allah agar ke manapun qalb kita mengarah, Sang Pembolak-balik Kalbu senantiasa menetapkan kalbu kita dalam Diin-Nya.
Jabal Nur, Madinatu-l-Mukarromah, Ka’bah, menjadi tempat yang lebih bercahaya dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya karena mereka pernah menjadi saksi atas hadirnya utusan teragung dan termulia. Mereka lebih tercahayai, lebih mengenal Allah Ta’ala, karena Rasulullah saw memantulkan cahaya-Nya melalui amaliah beliau.
Semua yang dipancarkannya adalah wahyu, apakah itu tampak sebagai suatu kebaikan atau tampak sebagai suatu kesalahan. Seorang insan kamil adalah seseorang yang telah mengemban urusan-(amr)-Nya dan merupakan cermin-Nya, sehingga semua yang dilakukannya sudah diatur apakah itu baik atau buruk (di mata manusia). Seorang insan yang telah hadir di dalam dirinya Ruh Al-Quds adalah insan yang telah mengenal (‘arafa)-Nya, menjadi saksi-Nya yang sejati, yang dari amal shalih-Nya segenap ciptaan mencapai tujuannya: mengenal Allah Ta’ala dan menjadi dekat (qarib) dengan-Nya..
Kuntu kanzan makhfiyyan, ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu-l-khalqa li’u’raf
“Aku adalah khazanah tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan Aku membuat diriku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenalku.” [Terjemahan Hadits Qudsy, dikutip dari Alfathri Adlin, 2001]
Mekanisme perahmatan alam semesta ini senantiasa muncul dengan hadirnya orang-orang terang di setiap jaman yang kebanyakan dari mereka bahkan tidak dikenal oleh kebanyakan orang (namun semesta alam mengenalnya dan mencintainya). Dalam salah satu hadits Rasulullah saw pernah berkata bahwa ketika seorang ‘ulama wafat maka ia akan ditangisi ikan di laut dan gunung-gunung. Sebatang pohon kurma di jaman Rasulullah saw pernah menangis karena Rasulullah mengubah kebiasaan beliau dan tidak lagi bersandar pada pohon itu ketika berbicara, karena para sahabat telah membuatkan beliau sebuah mimbar sebagai penggantinya.
Karena itu iman tak berarti tanpa amal shalih. Lebih tegas lagi dalam Injil disebutkan bahwa “Jika kamu beriman tanpa beramal, pada hakikatnya kamu tidak beriman”. Manusia merupakan cermin Tuhan, sehingga manusia harus mengintegrasikan antara yang lahir dan yang batin, menyinambungkan antara rasa hingga tindakan.
Kataba fii quluubihimu-l-iimaan
“...Kami tuliskan dalam qalb mereka al-iman...”(QS Al-Mujaadilah [58] : 22)
Di dalam Injil disebutkan bahwa “iman itu tulisan Tuhan di hatimu”. Tujuan dipercikkannya iman kepada seseorang adalah untuk beramal shalih, sehingga jika amanat iman tidak dimanfaatkan untuk beramal maka iman tersebut tidaklah berguna.
(4)
“Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Diseratkan bahwa Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia agar manusia berfikir (QS 59: 21) dan ber-dzikr (QS 14: 24-25) kepada-Nya. “Perumpamaan” yang dimaksud pada fragmen terakhir ‘ayat cahaya’ di sini bukanlah perumpamaan tentang Allah (karena Allah tidak bisa dibahas dengan cara bertruktur dan berlapis-lapis) tetapi perumpamaan tentang cahaya-Nya: manusia. Manusia harus berjalan dan menjadi insan kamil, yang berstruktur seperti para syuhada, shiddiqin, dan Nabi-nabi. Sesempurna-sempurnanya insan adalah Rasulullah Muhammad saw. Sehingga tindakan manusia harus mengikuti Rasulullah sebagai uswatun hasanah, seperti juga jiwa Rasullah yang di dalamnya hadir kuasa Allah Ta’ala, Ruh Al-Quds.
Agar manusia menjadi insan sempurna diciptakanlah alam semesta untuk membelajarkan manusia. Dengan membaca ayat-Nya hingga ke ufuk, ke ujung alam semesta (malakut dan mulk) dan membaca ayat-Nya yang ada di dalam nafs maka akan terlihat bahwa segala yang ada di balik itu (ayat-ayat-Nya) semua adalah Al-Haqq.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami dalam (fii) ufuk dan dalam jiwa-jiwa (fii anfusihim) mereka sendiri sehingga nyatalah bagi mereka itu (ayat-ayat tersebut) adalah Al-Haqq. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”
(QS Fushshilat [41] : 53)
Tanpa tujuan pembelajaran manusia agar mengenal Allah Ta’ala maka tidak akan dicipta alam semesta yang mencakup mulk dan malakut. Jika jiwa semua orang diwafatkan termasuk hingga sang penggenggam segel langit ke tujuh, Rasulullah Muhammad saw dan Nur-Nya, maka tidak ada lagi yang menjadi target pembelajaran Ilahi. Sehingga alam semesta akan digulung dan runtuh.
Manusia harus “belajar” dengan “berjalan” di muka bumi hingga terbentuk lingkaran kalbunya, berakal qalb-nya, dan hadir Ruh Al-Quds sebagai tanda bahwa sang hamba telah mengenal nafs-nya.
Afalam yasiiruu fi-l-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa ...
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengannya (qalb itu) mereka berakal ... “ (QS Al-Hajj [22] : 46)
Berjalan di muka bumi dalam era sekarang ini bisa saja dengan membuka situs internet, mempelajari jatuh bangunnya peradaban masa lalu, dan sebagainya. Begitulah berjalan, merenungkan segenap ciptaan-Nya. Kalau kita tidak membaca Al-Qur’an maka kita akan cenderung berpikir, “ah ... itukan urusan orang lain, bukan urusan saya, yang penting kan dapur ngebul!”. Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita semua berjalan di muka bumi hingga kita memiliki kalbu (hingga berakal dengan kalbu itu).
Anjuran ini tidak terbatas pada suatu kalangan tertentu. Para ibu rumah tangga pun tetap bisa “berjalan” dengan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca buku; melihat TV jangan hanya menonton sinetron saja tapi coba lihat kanal discovery yang bercerita tentang alam semesta, binatang liar, tumbuh-tumbuhan; cobalah direnungkan. Kita bisa datang ke Borobodur dan menyaksikan bagaimana peradaban di jaman itu bangun, pesan apa yang ada dibalik ayat-Nya ini. Dengan demikian kita benar-benar berjalan, bukan sekadar jalan-jalan.
Mari kita bermohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menarik kita menuju-Nya dan menjadikan kita hamba-Nya yang bersungguh-sungguh belajar mengenal-Nya. Memberikan kita Nur Iman sebagai piranti kita berkomunikasi dengan-Nya dan belajar mengenali apa yang Dia kehendaki. Karena manusia yang dalam kalbunya tidak menyala Nur Iman maka tidak akan dapat menyala zujajah kalbunya, sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri (apalagi khalifah fi-l-‘ardh). Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita—karena karena kusam tubuhnya dan padam lampunya—yang tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi hawa nafsu dan jejak syaithan. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan:
“Mereka-mereka yang belum pernah pergi ke alam malakut, dan hanya duduk manis di atas kursi kelemahan alam syahadah, maka dia tidak ubahnya seperti binatang yang tidak memiliki ciri khas kemanusiaan. Bahkan lebih sesat dan lebih hina dari binatang, mengingat binatang tidak diberi sarana untuk terbang ke alam malakut.” [Imam Al-Ghazali, 1999:46]
Na’udzu biLlaahi min dzaalik. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah gelap kita kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.
Daftar Pustaka
1. Imam Al-Ghazali, “Tafsir Ayat Cahaya” yang diterjemahkan dari “Misykatu-l-Anwar Fii Tauhidi-l-Jabbar”, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999
2. Alfathri Adlin, “Serambi Suluk”, belum dipublikasikan, Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS), 2001
3. Schimmel, Annemarie, “Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan Nabi saw. dalam Islam”, Mizan, Bandung, 1994.
4. Furuzanfar, Badi’uzzaman, “Ahadits-i Matsnawi”, Teheran University, Teheran, 1334 H/1955.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar