oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Lebih Lanjut Mengenai Kalimah Taqwa
Pendahuluan
Siapa saja yang membaca Al-Qur'an akan menemui ayat ke dua dari Surat Al Baqarah ini: “Inilah al-Kitab, tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang al-Mutaqiin.” Apakah yang disebut taqwa itu? Siapakah gerangan Al-Mutaqiin tersebut? Secara bahasa, istilah ini kurang-lebih artinya—mereka yang paripurna ketaqwaannya—yang kepada mereka diberikan petunjuk (huda) berupa al-Kitab. Ini tentu sangat menggelitik, karena kepada mereka itulah al-Kitab akan menjadi petunjuk, dan mereka saja lah yang tidak menemukan suatu keraguan di dalamnya, di dalam bagian yang mana saja dari isinya.
Penjelasan pertama tentang mereka segera dapat kita temui dicantumkan pada ayat-ayat selanjutnya, dan kemudian juga bertebaran di berbagai bagian Al-Qur'an yang menerangkan karakteristik dari kaum yang dimuliakan ini. Dari ayat ini saja, kita dapat mulai menangkap kompleksitas pemahaman yang harus dibangun, karena setidak-tidaknya, yang disebut dengan al-Mutaqiin tersebut—yaitu tidak ragu akan seluruh isi al-Kitab, dan dapat memperoleh petunjuk darinya—mestinya kaum yang sangat tinggi kedudukannya, mengingat untuk ‘menyentuh’ al-Kitab itu saja tidaklah sembarangan, “Tidak akan menyentuhnya, kecuali mereka yang disucikan (al-Muthahharuun)” (QS Al Waaqi’ah [56]: 79). Sementara ayat lain menyatakan, “… Sesungguhnya yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa…” (QS Al Hujuraat [49]: 13).
Taqwa merupakan salah satu persoalan utama yang sangat halus dan tersamar, yang untuk mulai memahaminya membutuhkan penelaahan yang menyeluruh dan mendalam kepada kandungan Al-Qur'an untuk menggali berbagai sisi dari persoalan ini. Mengingat untuk menyentuh Al-Qur'an itu saja mem-prasyaratkan kesucian, maka pembahasan ini, seperti juga pembahasan lainnya untuk forum ini, akan berlandaskan kepada sumber-sumber berupa apa-apa yang telah disampaikan oleh mereka yang memenuhi persyaratan di atas, dan cakupan dari amal-tugasnya memang dalam memberikan pengajaran.
Sebagai suatu istilah yang kompleks penjelasannya, sebagian dari aspek-aspek pengertian “taqwa” ini sebenarnya terliput di dalam berbagai istilah yang telah dikemukakan dalam beberapa pertemuan forum ini. Sebagian lainnya akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Kesemuanya diharapkan menjadi bahan-awal bagi semua peserta untuk membentuk pengertian yang terpadu.
Pembahasan kali ini akan berusaha menyampaikan beberapa aspek pokok persoalan taqwa ini, yang telah diawali pada pertemuan sebelumnya, dengan gambaran Pohon yang Baik (Syajarah Thayyibah), yang kembali dicantumkan di sini: (lihat gbr di materi no 6: Pohon Taqwa)
Locus-nya di Qalb
Taqwa itu tempatnya di qalb. Perlu diingatkan kembali, seperti pernah dibahas sebelumnya di dalam Skema Interaksi Qalb, bahwa bagian ini merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam dari insan, yakni: (1) alam Nasut, yaitu raga, jasad, atau ’al-ardh’; (2) alam Malakut, yaitu tempat dari jiwa, diri, ’an-nafs’, ‘as-sama’i ad-dunya’ atau ’as-sama’i’ yang “seandainya datang dengan suka-hati, dijadikan-Nya tujuh langit,” ‘sab’a samawati’ atau ‘as-samawati’ ; dan (3) alam Jabarut, yaitu alam dari al-Ruh al-Quds.
Oleh karena itu Hadits Qudsi dan Hadits berikut ini:
“Allah ta’ala mempunyai wadah di bumi–Nya yaitu diberbagai qalbu. Wadah yang paling disukai Allah, yang paling kuat, yang paling bersih dan yang paling lembut”; dan
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, dimanakah Allah? Di bumi atau di langit? Rasulullah s.a.w. menjawab: “Allah ta’ala bersabda: ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat aku oleh qalb hamba-Ku, yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram”; serta
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang taqwa, hatinya bersih, tidak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad,”
berkaitan dengan QS al Azhab [33]: 72, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah itu kepada lelangit (as-samawati), bumi (al-ardh), dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan jahil.” Dengan kata lain, locus-nya bukanlah di jiwa (as-samawati), jasad (al-ardh), dan bukan pula nalar (al-jibal), melainkan qalb yang merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam tersebut di atas, dan karenanya memiliki aspek-aspek dari ke tiga alam yang berbeda-beda itu.
Terlihat dari penggambaran di atas, cakupan dari Bumi-Diri yang di-imankan merupakan maqam (“akarnya teguh”); sedangkan batang pohonnya merupakan hal (“cabangnya di langit,” atau as-sama’i”) yang tegak di Langit-Diri atau an-nafs; dan (“berbuah sepanjang musim”), sepanjang jiwa itu ada, sementara kita mengetahui bahwa jiwa itu berjalan—dengan cahayanya—melintasi fase-fase hidup, dimana dunia kita saat ini hanyalah salah satu diantara yang harus dilewatinya.
Maqamat dan Ahwal
Persoalan maqamat dan ahwal (stations and states) memerlukan pembahasan yang panjang-lebar dan perlu diliput dalam suatu sesi tersendiri. Karena itu tidak akan dibahas dalam pertemuan kali ini. Sebagai suatu pengingat awal bagi kita semua mengenai tersusun-rapinya semesta alam dalam shaf-shaf, dicantumkan di sini ayat ke 164 dari QS Ash Shaaffaat [37], “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum),” untuk nanti kita tinjau kembali dalam pembahasan tersendiri.
Hasanah
Mengenai ke macam Buah Taqwa ini, akan terus dibahas dalam berbagai kesempatan. Kali ini ditambahkan beberapa contoh dialog berikut ini:
• Ilmu.o Di dalam kitab al-Hikam , tercantum dialog dua orang suci berkenaan dengan potongan ayat ini, “… bertaqwalah, Allah akan mengajarimu …” (QS Al Baqarah [2]: 282), sebagai berikut:
Ahmad bin Hambal bertemu dengan Ahmad bin Abil-Hawari, maka berkata Ahmad bin Hambal: “Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah kau dapat dari gurumu Abu Sulaiman.” Menjawab Ibn Hawari: “Bacalah Subhanallah, tetapi tanpa rasa kekaguman. Setelah Ahmad bin Hambal membaca ‘Subhanallah’ berkatalah Ibn Hawari: “Aku mendengar Abu Sulaiman berkata: ‘Apabila jiwa manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, niscaya akan terbang ia ke alam malakut, kemudian kembali membawa berbagai ilmu-hikmah tanpa berhajat kepada guru.’”
Ahmad bin Hambal setelah mendengar keterangan itu langsung bangun berdiri dan duduk kembali ke tempatnya sampai tiga kali, lalu ia berkata: “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk Islam.” Ia sungguh merasa puas dan gembira menerima keterangan itu, kemudian ia membaca hadits: “Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya’lam.” (Barangsipa yang mengamalkan apa-apa dalam ilmunya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui).
o Istilah “al-Jannah” di dalam banyak ayat Al-Qur'an adalah sesuatu “yang disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh” (= bertaqwa), “yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. Karakteristik orang-orang yang diberikan kepadanya al-Jannah ini adalah kaitannya dengan sungai, air, istilah Al-Qur'an untuk “’ilm” atau pengetahuan yang perangkatnya adalah ‘aql dengan qalb (QS al Hajj [22]: 46).
• Akhlak.o Insan lah yang diajari mengenai asma-asma Allah, agar kemudian mencari lalu berupaya untuk menjadi pengurai dari asma-asma yang terdapat di dalam dirinya. Ini berkaitan dengan persoalan “fithrah” (QS Ar Ruum [30]: 30 – 32); Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi (Kanzun Makhfiy); penggalian pengetahuan mengenai diri-sendiri; serta posisi seorang beriman diantara jama’ah kaum yang beriman yang sama-sama memandang Rasulullah Muhammad s.a.w. sebagai contoh-teladan terbaik.
o Salah satu pengajaran Al-Qur'an di dalam mengetengahkan Rasulullah s.a.w. sebagai teladan akhlak disampaikan dalam rangkaian QS Ali ‘Imran [3]: 132 – 136 berikut ini:
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya agar kamu diberi rahmat.”
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan jannah yang luasnya seluas lelangit dan bumi yang disediakan bagi al-Mutaqiin.”
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan dalam lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan manusia. Sesungguhnya Allah cinta kepada al-Muhsiniin.”
“Dan orang-orang yang jika mengerjakan perbuatan yang keji dan men-zalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapakah yang dapat mengampuni kecuali Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya.”
“Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Rabb mereka dan jannah yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan ni’ma ganjaran bagi al-‘Amaliin.”
• Amal.Sewaktu seorang beriman berusaha mengejawantahkan keimanannya dalam amal sesuai petunjuk yang diterimanya, pertama-tama ia akan mencermati apa-apa yang ada padanya untuk disyukurinya. Di dalam proses ini, seorang hamba yang belajar bersyukur akan menengok kepada mereka yang ditugasi Allah untuk menjadi panutan. Mereka itu lah para Nabi dan para Rasul Allah merupakan teladan bagi manusia—mengingat mereka lah diantara manusia yang paling mengenal-Nya—karenanya yang paling mampu mewartakan tentang Allah. Mereka memberikan pengajaran kepada manusia dengan menjadi teladan dalam berbagai persoalan, termasuk pula persoalan ini. Salah satunya terliput dalam satu nasihat Nabi Allah Isa a.s yang mengajari para muridnya tentang perlunya ‘menguji pikiran seperti menguji mata-uang.’ Petikan dari ajaran Beliau a.s. dikutip di sini: “Maka sudah barang tentu lebih wajib atasmu untuk tidak membiarkan syaithan itu memasuki hatimu atau meletakkan fikiran-fikiran di dalamnya. Karena Allah telah mengkaruniakan hatimu itu untuk kamu pelihara, dan ia tempat bersemayam-Nya. Jika demikian, maka harus kamu perhatikan bagaimana seorang penukar-uang meneliti mata-uang, apakah gambar Kaisar itu betul, apakah uang itu dari perak murni atau lancung, dan apakah ia dari ukuran yang biasa atau tidak. Dari itu ia banyak membolak-balikkan uang itu di tangannya. … Sesungguhnya perak yang murni di bidang pikiran hanyalah taqwa, karena tiap pikiran yang sunyi dari taqwa itu datangnya dari setan. Ada pun gambar yang benar (pada mata-uang) hanyalah suri-teladan dari orang-orang suci dan para nabi yang wajib kita mengikutinya. Dan timbangan di bidang pikiran adalah kecintaan kepada Allah, yang segala sesuatu itu harus dikerjakan sesuai dengannya.”
Mengenai Taqwa vs Zalim
Salah satu cara untuk mempertimbangkan istilah “taqwa” ini adalah dengan memperlawankannya dengan istilah “zalim,” sebagaimana dicantumkan dalam ayat ke 71 dan 72 dari QS Maryam [19]; yang jika sedikit kita telusuri membawa kita kepada rangkaian ayat-ayat dalam skema berikut ini: (lihat gambar dibawah)
Lebih Lanjut Mengenai Kalimah Taqwa
Pendahuluan
Siapa saja yang membaca Al-Qur'an akan menemui ayat ke dua dari Surat Al Baqarah ini: “Inilah al-Kitab, tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang al-Mutaqiin.” Apakah yang disebut taqwa itu? Siapakah gerangan Al-Mutaqiin tersebut? Secara bahasa, istilah ini kurang-lebih artinya—mereka yang paripurna ketaqwaannya—yang kepada mereka diberikan petunjuk (huda) berupa al-Kitab. Ini tentu sangat menggelitik, karena kepada mereka itulah al-Kitab akan menjadi petunjuk, dan mereka saja lah yang tidak menemukan suatu keraguan di dalamnya, di dalam bagian yang mana saja dari isinya.
Penjelasan pertama tentang mereka segera dapat kita temui dicantumkan pada ayat-ayat selanjutnya, dan kemudian juga bertebaran di berbagai bagian Al-Qur'an yang menerangkan karakteristik dari kaum yang dimuliakan ini. Dari ayat ini saja, kita dapat mulai menangkap kompleksitas pemahaman yang harus dibangun, karena setidak-tidaknya, yang disebut dengan al-Mutaqiin tersebut—yaitu tidak ragu akan seluruh isi al-Kitab, dan dapat memperoleh petunjuk darinya—mestinya kaum yang sangat tinggi kedudukannya, mengingat untuk ‘menyentuh’ al-Kitab itu saja tidaklah sembarangan, “Tidak akan menyentuhnya, kecuali mereka yang disucikan (al-Muthahharuun)” (QS Al Waaqi’ah [56]: 79). Sementara ayat lain menyatakan, “… Sesungguhnya yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa…” (QS Al Hujuraat [49]: 13).
Taqwa merupakan salah satu persoalan utama yang sangat halus dan tersamar, yang untuk mulai memahaminya membutuhkan penelaahan yang menyeluruh dan mendalam kepada kandungan Al-Qur'an untuk menggali berbagai sisi dari persoalan ini. Mengingat untuk menyentuh Al-Qur'an itu saja mem-prasyaratkan kesucian, maka pembahasan ini, seperti juga pembahasan lainnya untuk forum ini, akan berlandaskan kepada sumber-sumber berupa apa-apa yang telah disampaikan oleh mereka yang memenuhi persyaratan di atas, dan cakupan dari amal-tugasnya memang dalam memberikan pengajaran.
Sebagai suatu istilah yang kompleks penjelasannya, sebagian dari aspek-aspek pengertian “taqwa” ini sebenarnya terliput di dalam berbagai istilah yang telah dikemukakan dalam beberapa pertemuan forum ini. Sebagian lainnya akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Kesemuanya diharapkan menjadi bahan-awal bagi semua peserta untuk membentuk pengertian yang terpadu.
Pembahasan kali ini akan berusaha menyampaikan beberapa aspek pokok persoalan taqwa ini, yang telah diawali pada pertemuan sebelumnya, dengan gambaran Pohon yang Baik (Syajarah Thayyibah), yang kembali dicantumkan di sini: (lihat gbr di materi no 6: Pohon Taqwa)
Locus-nya di Qalb
Taqwa itu tempatnya di qalb. Perlu diingatkan kembali, seperti pernah dibahas sebelumnya di dalam Skema Interaksi Qalb, bahwa bagian ini merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam dari insan, yakni: (1) alam Nasut, yaitu raga, jasad, atau ’al-ardh’; (2) alam Malakut, yaitu tempat dari jiwa, diri, ’an-nafs’, ‘as-sama’i ad-dunya’ atau ’as-sama’i’ yang “seandainya datang dengan suka-hati, dijadikan-Nya tujuh langit,” ‘sab’a samawati’ atau ‘as-samawati’ ; dan (3) alam Jabarut, yaitu alam dari al-Ruh al-Quds.
Oleh karena itu Hadits Qudsi dan Hadits berikut ini:
“Allah ta’ala mempunyai wadah di bumi–Nya yaitu diberbagai qalbu. Wadah yang paling disukai Allah, yang paling kuat, yang paling bersih dan yang paling lembut”; dan
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, dimanakah Allah? Di bumi atau di langit? Rasulullah s.a.w. menjawab: “Allah ta’ala bersabda: ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat aku oleh qalb hamba-Ku, yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram”; serta
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang taqwa, hatinya bersih, tidak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad,”
berkaitan dengan QS al Azhab [33]: 72, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah itu kepada lelangit (as-samawati), bumi (al-ardh), dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan jahil.” Dengan kata lain, locus-nya bukanlah di jiwa (as-samawati), jasad (al-ardh), dan bukan pula nalar (al-jibal), melainkan qalb yang merupakan locus tempat bertemunya ke tiga alam tersebut di atas, dan karenanya memiliki aspek-aspek dari ke tiga alam yang berbeda-beda itu.
Terlihat dari penggambaran di atas, cakupan dari Bumi-Diri yang di-imankan merupakan maqam (“akarnya teguh”); sedangkan batang pohonnya merupakan hal (“cabangnya di langit,” atau as-sama’i”) yang tegak di Langit-Diri atau an-nafs; dan (“berbuah sepanjang musim”), sepanjang jiwa itu ada, sementara kita mengetahui bahwa jiwa itu berjalan—dengan cahayanya—melintasi fase-fase hidup, dimana dunia kita saat ini hanyalah salah satu diantara yang harus dilewatinya.
Maqamat dan Ahwal
Persoalan maqamat dan ahwal (stations and states) memerlukan pembahasan yang panjang-lebar dan perlu diliput dalam suatu sesi tersendiri. Karena itu tidak akan dibahas dalam pertemuan kali ini. Sebagai suatu pengingat awal bagi kita semua mengenai tersusun-rapinya semesta alam dalam shaf-shaf, dicantumkan di sini ayat ke 164 dari QS Ash Shaaffaat [37], “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum),” untuk nanti kita tinjau kembali dalam pembahasan tersendiri.
Hasanah
Mengenai ke macam Buah Taqwa ini, akan terus dibahas dalam berbagai kesempatan. Kali ini ditambahkan beberapa contoh dialog berikut ini:
• Ilmu.o Di dalam kitab al-Hikam , tercantum dialog dua orang suci berkenaan dengan potongan ayat ini, “… bertaqwalah, Allah akan mengajarimu …” (QS Al Baqarah [2]: 282), sebagai berikut:
Ahmad bin Hambal bertemu dengan Ahmad bin Abil-Hawari, maka berkata Ahmad bin Hambal: “Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah kau dapat dari gurumu Abu Sulaiman.” Menjawab Ibn Hawari: “Bacalah Subhanallah, tetapi tanpa rasa kekaguman. Setelah Ahmad bin Hambal membaca ‘Subhanallah’ berkatalah Ibn Hawari: “Aku mendengar Abu Sulaiman berkata: ‘Apabila jiwa manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, niscaya akan terbang ia ke alam malakut, kemudian kembali membawa berbagai ilmu-hikmah tanpa berhajat kepada guru.’”
Ahmad bin Hambal setelah mendengar keterangan itu langsung bangun berdiri dan duduk kembali ke tempatnya sampai tiga kali, lalu ia berkata: “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk Islam.” Ia sungguh merasa puas dan gembira menerima keterangan itu, kemudian ia membaca hadits: “Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya’lam.” (Barangsipa yang mengamalkan apa-apa dalam ilmunya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui).
o Istilah “al-Jannah” di dalam banyak ayat Al-Qur'an adalah sesuatu “yang disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal-shaleh” (= bertaqwa), “yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. Karakteristik orang-orang yang diberikan kepadanya al-Jannah ini adalah kaitannya dengan sungai, air, istilah Al-Qur'an untuk “’ilm” atau pengetahuan yang perangkatnya adalah ‘aql dengan qalb (QS al Hajj [22]: 46).
• Akhlak.o Insan lah yang diajari mengenai asma-asma Allah, agar kemudian mencari lalu berupaya untuk menjadi pengurai dari asma-asma yang terdapat di dalam dirinya. Ini berkaitan dengan persoalan “fithrah” (QS Ar Ruum [30]: 30 – 32); Hadits Qudsi tentang Khasanah Tersembunyi (Kanzun Makhfiy); penggalian pengetahuan mengenai diri-sendiri; serta posisi seorang beriman diantara jama’ah kaum yang beriman yang sama-sama memandang Rasulullah Muhammad s.a.w. sebagai contoh-teladan terbaik.
o Salah satu pengajaran Al-Qur'an di dalam mengetengahkan Rasulullah s.a.w. sebagai teladan akhlak disampaikan dalam rangkaian QS Ali ‘Imran [3]: 132 – 136 berikut ini:
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya agar kamu diberi rahmat.”
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan jannah yang luasnya seluas lelangit dan bumi yang disediakan bagi al-Mutaqiin.”
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan dalam lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan manusia. Sesungguhnya Allah cinta kepada al-Muhsiniin.”
“Dan orang-orang yang jika mengerjakan perbuatan yang keji dan men-zalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapakah yang dapat mengampuni kecuali Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya.”
“Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Rabb mereka dan jannah yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan ni’ma ganjaran bagi al-‘Amaliin.”
• Amal.Sewaktu seorang beriman berusaha mengejawantahkan keimanannya dalam amal sesuai petunjuk yang diterimanya, pertama-tama ia akan mencermati apa-apa yang ada padanya untuk disyukurinya. Di dalam proses ini, seorang hamba yang belajar bersyukur akan menengok kepada mereka yang ditugasi Allah untuk menjadi panutan. Mereka itu lah para Nabi dan para Rasul Allah merupakan teladan bagi manusia—mengingat mereka lah diantara manusia yang paling mengenal-Nya—karenanya yang paling mampu mewartakan tentang Allah. Mereka memberikan pengajaran kepada manusia dengan menjadi teladan dalam berbagai persoalan, termasuk pula persoalan ini. Salah satunya terliput dalam satu nasihat Nabi Allah Isa a.s yang mengajari para muridnya tentang perlunya ‘menguji pikiran seperti menguji mata-uang.’ Petikan dari ajaran Beliau a.s. dikutip di sini: “Maka sudah barang tentu lebih wajib atasmu untuk tidak membiarkan syaithan itu memasuki hatimu atau meletakkan fikiran-fikiran di dalamnya. Karena Allah telah mengkaruniakan hatimu itu untuk kamu pelihara, dan ia tempat bersemayam-Nya. Jika demikian, maka harus kamu perhatikan bagaimana seorang penukar-uang meneliti mata-uang, apakah gambar Kaisar itu betul, apakah uang itu dari perak murni atau lancung, dan apakah ia dari ukuran yang biasa atau tidak. Dari itu ia banyak membolak-balikkan uang itu di tangannya. … Sesungguhnya perak yang murni di bidang pikiran hanyalah taqwa, karena tiap pikiran yang sunyi dari taqwa itu datangnya dari setan. Ada pun gambar yang benar (pada mata-uang) hanyalah suri-teladan dari orang-orang suci dan para nabi yang wajib kita mengikutinya. Dan timbangan di bidang pikiran adalah kecintaan kepada Allah, yang segala sesuatu itu harus dikerjakan sesuai dengannya.”
Mengenai Taqwa vs Zalim
Salah satu cara untuk mempertimbangkan istilah “taqwa” ini adalah dengan memperlawankannya dengan istilah “zalim,” sebagaimana dicantumkan dalam ayat ke 71 dan 72 dari QS Maryam [19]; yang jika sedikit kita telusuri membawa kita kepada rangkaian ayat-ayat dalam skema berikut ini: (lihat gambar dibawah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar