oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Materi Bagian #12
Mencermati Skema Perjalanan dalam Tujuh Ayat yang Diulang-ulang
Pendahuluan
Ayat itu “tanda” atau “sign,” yang menunjuk kepada sesuatu. Ayat-ayat itu sendiri terdapat di balik bentuk, fenomena atau suatu kejadian. Ayat-ayat ditebarkan Tuhan di ufuk dan dalam diri manusia itu sendiri (QS Fushshilat [41]:53), yang dimanapun dijumpai yang menunjukkan bahwa ia merupakan al-Haqq.
Dilihat dati potensi dalam penciptaaannya, manusia itu berada dalam rentang kemungkinan yang paling lebar. Ia dapat, “dalam sebaik-baik penciptaan” (QS At-Tiin [95]: 4), sampai ke “yang rendah diantara yang rendah-rendah” (QS At-Tiin [95]: 5). Mentafakuri kemungkinan potensi yang luar biasa dari setiap manusia itu, dapat membantu seseorang untuk enggan bersikap takabur kepada orang lain (atau bahkan makhluk lain) siapapun ia. Sebab orang yang takabur atau kibr itu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad S.A.W. adalah, ”… man batharal-haqqa wa ghanishan-naasa ...” (“…orang yang benci atau mengabaikan kepada al-Haqq dan menghinakan manusia…”). Dengan bersikap demikian ia membenci kepada al-Haqq, atau menentang ayat Tuhan.
Agar dapat terhindar dari keadaan seperti itu, maka sangatlah penting bagi setiap orang untuk menyusun bagi dirinya masing-masing suatu susunan pengetahuan yang jelas sumbernya dari Dia, Al-Haqq. Oleh karena itu yang pertama-tama kita upayakan di sini adalah di seputar pengembalian arti kepada makna yang murni dari istilah-istilah agama, yang dalam pengertian umum telah banyak mengalami distorsi.
Ini merupakan sebuah upaya yang masing-masing kita mesti berjihad untuk melakukannya, karena tidak ada orang lain yang dapat melakukannya buat kita. Semua pihak di luar diri kita merupakan bantuan yang dihadirkan agar masing-masing kita menyeru langsung kepada-Nya: agar diri kita juga dirahmati-Nya untuk dapat memahami ayat-ayat-Nya, sehingga kita tidak menentang ayat-ayat itu, sehingga kita dapat terhindar dari penentangan kepada al-Haqq.
Tujuh Ayat yang Berulang
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur'an yang agung.”
(QS. Al-Hijr[15]: 87).
“Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” adalah salah satu julukan bagi Surat Al-Fathihah surat yang selalu dibaca berulang dalam Shalat. Surat ini adalah “Induk Kitab” yang meringkas keseluruhan Al-Qur'an, yang dirinci dalam “Kitab Penjelas” di surat-surat lainnya. Karena itu jelaslah maknanya “tidak terhingga dalamnya.” Kali ini kita akan sedikit berusaha menyimak tentang salah satu arti lain dari “tujuh ayat” itu, karena kita diperintahkan untuk “membacanya.” Tentu saja ini tidaklah mengurangi sedikit pun arti lahirnya, yaitu dibacanya Surat Al-Fathihah dalam setiap raka’at shalat.
Dalam berbagai ayatnya, Al-Qur'an berulang-kali mengetengahkan mengenai susunan berlapis tujuh di lelangit dan bumi. Dalam perspektif tashawuf, hal ini merupakan acuan bagi pemurnian nafs manusia—yang merupakan hakikatnya—dalam perjalanan kembali (taubat)-nya kepada Tuhannya.
Yang pertama-tama perlu ditinjau adalah kekhususan dalam penciptaan manusia—ia diciptakan setelah selesainya penciptaan semua makhluk yang lainnya. Apa-apa yang diciptakan secara terinci dalam bentuk-bentuk makhluk-makhluk lainnya, dihimpun secara global (mujmal) dalam diri manusia. Ia merupakan ciptaan yang menghimpun ciptaan-ciptaan lainnya. Ia merupakan satu-satunya yang diciptakan “dengan ke dua belah tangan-Nya.”
“Allah berfirman:"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".
Berlandaskan diskusi-diskusi sebelumnya, jelaslah diketahui bahwa dengan “ke dua belah tangan itu” berkaitan dengan aspek-aspek “langit” (= nafs, jiwa), dan “bumi” (= jasad, raga) dari manusia:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.
(QS. Az-Zumar [39]: 67) .
Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya.
“Dan di dalam dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.”
(QS Adz Dzaariyaat [51]: 21).
(Gambar 1)
Yang masing-masing aspeknya tersusun atas tujuh lapisan:
“Allah lah yang menciptakan tujuh lelangit (samawati) dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(QS Ath Thalaq [65]: 12).
Yang urutan pembentukannya adalah dari bumi—yang diperuntukkannya bagi sang jiwa, menuju langit, seperti ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh lelangit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS Al Baqarah [2]: 29).
Di sinilah para sebagian Guru Sufi meletakkan susunan komposisi tujuh lapis bumi:
(Gambar 2)
Karakter dasar dari aspek-aspek itu adalah keberserahan-diri:
”Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati.’”
(QS. Fushshilat [41]: 11)
Keberserahan-diri inilah yang merupakan faktor-kunci dalam transformasi langit menjadi tujuh lelangit. Keberserahan-diri inilah yang diperlihatkan oleh langit dan bumi ketika mereka dipanggil Sang Pencipta. Ini merupakan pelajaran fundamental dalam perjalanan pensucian, manakala seseorang yang bertaubat mengharapkan agar Allah menghujamkan akar-akar pohon taqwanya ke seluruh lapisan bumi-jasadnya, dan membina serta menyempurnakan langit-jiwanya agar menjadi tujuh lelangit. Dengan keberserahan-diri itulah ia dapat berkembang: sehingga ia semakin mampu menjadi kalbu dari semestanya. Seiring dengan semakin terbinanya langit-langit jiwa-nya, semakin berkembang pula urusan-urusan yang dapat ditampung nafs-nya: ini karena masing-masing langit memiliki urusannya sendiri-sendiri.
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fushshilat[41]:12).
Tujuh lapis lelangit (sab’a samaawati) yang Allah bina dari langit-jiwa (sama’i) yang berserah-diri inilah yang dikemukakan banyak Guru Sufi, manakala mereka menunjukkan berbagai skema kenaikan jiwa, yang salah satunya diperlihatkan berikut ini:
(Gambar 3)
Salah satu rumusan pokok Kaum Sufi: ”man a’rafa nafsahu, faqad a’rafa rabbahu,” tidaklah terlepas dari skema di atas. Karena bagi mereka kata dasar a’rafa (diterjemahkan dengan “mengenal”) itu berlangsung pada ke empat lapisan paling atas dari ilustrasi di atas. Perangkat yang digunakan di sini mereka istilahkan sebagai “dzawq.” Sedangkan subyek yang mengenal, yang a’rafa, disebut sebagai a’rif (jamak: a’rifin). [Pada lapisan-lapisan inilah dipakai istilah Ma’rifat.] Sedangkan yang mereka maksud dengan “’ilm” itu adalah sesuatu yang diketahui (‘alama) dengan lapisan-lapisan qalb-‘aql (sebagai perangkat bumi dan langitnya). [Disini dipakai istilah Haqiqat.] Jadi, sangatlah berbeda dengan “pengetahuan” yang ditangkap orang bukan-sufi yang perangkatnya adalah nalar yang merupakan instrumen jasad. [Pada tingkatan jasad inilah dipakai istilah Syariah, sedangkan untuk menyebut tahapan pensucian nafs menuju lapisan qalb-‘aql di atasnya, dilakukan dalam Thariqah]. Gerakan pensucian menuju kenaikan kepada lapisan demi lapisan di dalam dirinya itulah yang bagi mereka merupakan sesuatu yang diisyaratkan dalam hadits Rasulullah S.A.W, “Kita baru kembali dari jihad kecil dan memasuki jihad akbar.” Yakni, jihadun-nafs.
Bagi kaum Sufi, keseluruhan struktur di atas itulah yang merupakan salah satu makna dari istilah “al-Kursyi” yang merupakan pasangan dari “al-‘Arsy.” Dengan mencermati penjelasan mereka itu, kita dapat memiliki perspektif yang lain dalam menelaah hadits Rasulullah yang terkenal ini.
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah S.A.W. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang Mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’”
Kesempurnaan Manusia dalam Kata-kata Al-Ghazali
Dengan berlandaskan kepada uraian di atas, mungkin sekali kata-kata Al-Ghazali berikut ini, dari kitabnya, Keajaiban Hati, membawa suatu penyegaran bagi kita semua.
“Bahwa ia makan dan berketurunan, manusia itu sama dengan tumbuh-tubuhan,
Bahwa ia bisa merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, ia sama dengan binatang,
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui segala sesuatu.
Manusia yang mempergunakan segala instrumen yang ada padanya dan kekuatannya untuk mendapatkan ilmu dan mengamalkannya maka ia menyerupai malaikat.
Ia seorang Malak atau Rabbani,
Ilmu yang paling utama ialah mengenal akan Allah, Sifat- Sifat-Nya dan Perbuatan- Perbuatan (Af’al) – Nya,
Disinilah letak kesempurnaan manusia,
Yang menentukan kedudukannya dihadapan Penciptanya.“
Yang segera membawa kita kepada bunyi sebuah hadits qudsi mengenai Khasanah Tersembunyi, dimana Allah menyatakan melalui Rasulullah S.A.W., “Aku adalah khazanah tersembunyi, aku rindu untuk dikenal, lalu Aku menciptakan makhluk agar aku bisa dikenali” (kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf).
Dan dalam Kata-kata Maulana Rumi
Pengetahuan Langsung
(terjemahan dari Matsnawi vol I, #3445)
Mari, ketahuilah bahwa indera dan imajinasi serta pengetahuanmu
bagaikan batang bambu yang ditunggangi anak-anak.
Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas;
pengetahuan indrawi manusia adalah sebuah beban.
Tuhan telah berfirman: “seperti keledai yang membawa kitab-kitab
betapa berat pengetahuan yang tidak di ilhami oleh-Nya
Namun, apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri,
maka beban itu akan terangkat dan engkau akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas dari anggur-Nya,
Wahai, engkau yang puas dengan tandanya.
Apa yang lahir dari sifat dan nama ?
Khayalan, namun khayalan yang menunjukkan jalan menuju Kebenaran.
Tahukah kau nama tanpa hakikat ?
Ataukah pernah kau memetik mawar dari M . A . W . A . R
Engkau telah menyebutkan nama itu; Pergi, carilah sesuatu yang diberi nama,
Bulan itu di langit, bukan dalam air.
Sudilah engkau pergi ke balik nama dan huruf,
sucikanlah dirimu sepenuhnya.
Dan saksikan dalam lubuk-hatimu sendiri,
seluruh pengetahuan para Nabi, tanpa buku, tanpa belajar, tanpa pengajar.
Materi Bagian #12
Mencermati Skema Perjalanan dalam Tujuh Ayat yang Diulang-ulang
Pendahuluan
Ayat itu “tanda” atau “sign,” yang menunjuk kepada sesuatu. Ayat-ayat itu sendiri terdapat di balik bentuk, fenomena atau suatu kejadian. Ayat-ayat ditebarkan Tuhan di ufuk dan dalam diri manusia itu sendiri (QS Fushshilat [41]:53), yang dimanapun dijumpai yang menunjukkan bahwa ia merupakan al-Haqq.
Dilihat dati potensi dalam penciptaaannya, manusia itu berada dalam rentang kemungkinan yang paling lebar. Ia dapat, “dalam sebaik-baik penciptaan” (QS At-Tiin [95]: 4), sampai ke “yang rendah diantara yang rendah-rendah” (QS At-Tiin [95]: 5). Mentafakuri kemungkinan potensi yang luar biasa dari setiap manusia itu, dapat membantu seseorang untuk enggan bersikap takabur kepada orang lain (atau bahkan makhluk lain) siapapun ia. Sebab orang yang takabur atau kibr itu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad S.A.W. adalah, ”… man batharal-haqqa wa ghanishan-naasa ...” (“…orang yang benci atau mengabaikan kepada al-Haqq dan menghinakan manusia…”). Dengan bersikap demikian ia membenci kepada al-Haqq, atau menentang ayat Tuhan.
Agar dapat terhindar dari keadaan seperti itu, maka sangatlah penting bagi setiap orang untuk menyusun bagi dirinya masing-masing suatu susunan pengetahuan yang jelas sumbernya dari Dia, Al-Haqq. Oleh karena itu yang pertama-tama kita upayakan di sini adalah di seputar pengembalian arti kepada makna yang murni dari istilah-istilah agama, yang dalam pengertian umum telah banyak mengalami distorsi.
Ini merupakan sebuah upaya yang masing-masing kita mesti berjihad untuk melakukannya, karena tidak ada orang lain yang dapat melakukannya buat kita. Semua pihak di luar diri kita merupakan bantuan yang dihadirkan agar masing-masing kita menyeru langsung kepada-Nya: agar diri kita juga dirahmati-Nya untuk dapat memahami ayat-ayat-Nya, sehingga kita tidak menentang ayat-ayat itu, sehingga kita dapat terhindar dari penentangan kepada al-Haqq.
Tujuh Ayat yang Berulang
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur'an yang agung.”
(QS. Al-Hijr[15]: 87).
“Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” adalah salah satu julukan bagi Surat Al-Fathihah surat yang selalu dibaca berulang dalam Shalat. Surat ini adalah “Induk Kitab” yang meringkas keseluruhan Al-Qur'an, yang dirinci dalam “Kitab Penjelas” di surat-surat lainnya. Karena itu jelaslah maknanya “tidak terhingga dalamnya.” Kali ini kita akan sedikit berusaha menyimak tentang salah satu arti lain dari “tujuh ayat” itu, karena kita diperintahkan untuk “membacanya.” Tentu saja ini tidaklah mengurangi sedikit pun arti lahirnya, yaitu dibacanya Surat Al-Fathihah dalam setiap raka’at shalat.
Dalam berbagai ayatnya, Al-Qur'an berulang-kali mengetengahkan mengenai susunan berlapis tujuh di lelangit dan bumi. Dalam perspektif tashawuf, hal ini merupakan acuan bagi pemurnian nafs manusia—yang merupakan hakikatnya—dalam perjalanan kembali (taubat)-nya kepada Tuhannya.
Yang pertama-tama perlu ditinjau adalah kekhususan dalam penciptaan manusia—ia diciptakan setelah selesainya penciptaan semua makhluk yang lainnya. Apa-apa yang diciptakan secara terinci dalam bentuk-bentuk makhluk-makhluk lainnya, dihimpun secara global (mujmal) dalam diri manusia. Ia merupakan ciptaan yang menghimpun ciptaan-ciptaan lainnya. Ia merupakan satu-satunya yang diciptakan “dengan ke dua belah tangan-Nya.”
“Allah berfirman:"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".
Berlandaskan diskusi-diskusi sebelumnya, jelaslah diketahui bahwa dengan “ke dua belah tangan itu” berkaitan dengan aspek-aspek “langit” (= nafs, jiwa), dan “bumi” (= jasad, raga) dari manusia:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.
(QS. Az-Zumar [39]: 67) .
Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya.
“Dan di dalam dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.”
(QS Adz Dzaariyaat [51]: 21).
(Gambar 1)
Yang masing-masing aspeknya tersusun atas tujuh lapisan:
“Allah lah yang menciptakan tujuh lelangit (samawati) dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(QS Ath Thalaq [65]: 12).
Yang urutan pembentukannya adalah dari bumi—yang diperuntukkannya bagi sang jiwa, menuju langit, seperti ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh lelangit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS Al Baqarah [2]: 29).
Di sinilah para sebagian Guru Sufi meletakkan susunan komposisi tujuh lapis bumi:
(Gambar 2)
Karakter dasar dari aspek-aspek itu adalah keberserahan-diri:
”Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati.’”
(QS. Fushshilat [41]: 11)
Keberserahan-diri inilah yang merupakan faktor-kunci dalam transformasi langit menjadi tujuh lelangit. Keberserahan-diri inilah yang diperlihatkan oleh langit dan bumi ketika mereka dipanggil Sang Pencipta. Ini merupakan pelajaran fundamental dalam perjalanan pensucian, manakala seseorang yang bertaubat mengharapkan agar Allah menghujamkan akar-akar pohon taqwanya ke seluruh lapisan bumi-jasadnya, dan membina serta menyempurnakan langit-jiwanya agar menjadi tujuh lelangit. Dengan keberserahan-diri itulah ia dapat berkembang: sehingga ia semakin mampu menjadi kalbu dari semestanya. Seiring dengan semakin terbinanya langit-langit jiwa-nya, semakin berkembang pula urusan-urusan yang dapat ditampung nafs-nya: ini karena masing-masing langit memiliki urusannya sendiri-sendiri.
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fushshilat[41]:12).
Tujuh lapis lelangit (sab’a samaawati) yang Allah bina dari langit-jiwa (sama’i) yang berserah-diri inilah yang dikemukakan banyak Guru Sufi, manakala mereka menunjukkan berbagai skema kenaikan jiwa, yang salah satunya diperlihatkan berikut ini:
(Gambar 3)
Salah satu rumusan pokok Kaum Sufi: ”man a’rafa nafsahu, faqad a’rafa rabbahu,” tidaklah terlepas dari skema di atas. Karena bagi mereka kata dasar a’rafa (diterjemahkan dengan “mengenal”) itu berlangsung pada ke empat lapisan paling atas dari ilustrasi di atas. Perangkat yang digunakan di sini mereka istilahkan sebagai “dzawq.” Sedangkan subyek yang mengenal, yang a’rafa, disebut sebagai a’rif (jamak: a’rifin). [Pada lapisan-lapisan inilah dipakai istilah Ma’rifat.] Sedangkan yang mereka maksud dengan “’ilm” itu adalah sesuatu yang diketahui (‘alama) dengan lapisan-lapisan qalb-‘aql (sebagai perangkat bumi dan langitnya). [Disini dipakai istilah Haqiqat.] Jadi, sangatlah berbeda dengan “pengetahuan” yang ditangkap orang bukan-sufi yang perangkatnya adalah nalar yang merupakan instrumen jasad. [Pada tingkatan jasad inilah dipakai istilah Syariah, sedangkan untuk menyebut tahapan pensucian nafs menuju lapisan qalb-‘aql di atasnya, dilakukan dalam Thariqah]. Gerakan pensucian menuju kenaikan kepada lapisan demi lapisan di dalam dirinya itulah yang bagi mereka merupakan sesuatu yang diisyaratkan dalam hadits Rasulullah S.A.W, “Kita baru kembali dari jihad kecil dan memasuki jihad akbar.” Yakni, jihadun-nafs.
Bagi kaum Sufi, keseluruhan struktur di atas itulah yang merupakan salah satu makna dari istilah “al-Kursyi” yang merupakan pasangan dari “al-‘Arsy.” Dengan mencermati penjelasan mereka itu, kita dapat memiliki perspektif yang lain dalam menelaah hadits Rasulullah yang terkenal ini.
Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah S.A.W. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang Mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’”
Kesempurnaan Manusia dalam Kata-kata Al-Ghazali
Dengan berlandaskan kepada uraian di atas, mungkin sekali kata-kata Al-Ghazali berikut ini, dari kitabnya, Keajaiban Hati, membawa suatu penyegaran bagi kita semua.
“Bahwa ia makan dan berketurunan, manusia itu sama dengan tumbuh-tubuhan,
Bahwa ia bisa merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, ia sama dengan binatang,
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui segala sesuatu.
Manusia yang mempergunakan segala instrumen yang ada padanya dan kekuatannya untuk mendapatkan ilmu dan mengamalkannya maka ia menyerupai malaikat.
Ia seorang Malak atau Rabbani,
Ilmu yang paling utama ialah mengenal akan Allah, Sifat- Sifat-Nya dan Perbuatan- Perbuatan (Af’al) – Nya,
Disinilah letak kesempurnaan manusia,
Yang menentukan kedudukannya dihadapan Penciptanya.“
Yang segera membawa kita kepada bunyi sebuah hadits qudsi mengenai Khasanah Tersembunyi, dimana Allah menyatakan melalui Rasulullah S.A.W., “Aku adalah khazanah tersembunyi, aku rindu untuk dikenal, lalu Aku menciptakan makhluk agar aku bisa dikenali” (kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf).
Dan dalam Kata-kata Maulana Rumi
Pengetahuan Langsung
(terjemahan dari Matsnawi vol I, #3445)
Mari, ketahuilah bahwa indera dan imajinasi serta pengetahuanmu
bagaikan batang bambu yang ditunggangi anak-anak.
Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas;
pengetahuan indrawi manusia adalah sebuah beban.
Tuhan telah berfirman: “seperti keledai yang membawa kitab-kitab
betapa berat pengetahuan yang tidak di ilhami oleh-Nya
Namun, apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri,
maka beban itu akan terangkat dan engkau akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas dari anggur-Nya,
Wahai, engkau yang puas dengan tandanya.
Apa yang lahir dari sifat dan nama ?
Khayalan, namun khayalan yang menunjukkan jalan menuju Kebenaran.
Tahukah kau nama tanpa hakikat ?
Ataukah pernah kau memetik mawar dari M . A . W . A . R
Engkau telah menyebutkan nama itu; Pergi, carilah sesuatu yang diberi nama,
Bulan itu di langit, bukan dalam air.
Sudilah engkau pergi ke balik nama dan huruf,
sucikanlah dirimu sepenuhnya.
Dan saksikan dalam lubuk-hatimu sendiri,
seluruh pengetahuan para Nabi, tanpa buku, tanpa belajar, tanpa pengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar