oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Belajar Membaca Mengenai Al-Haqq, Shirath al-Mustaqiim, dan Ad-Diin di dalam Kitab Suci
Pendahuluan
Sebelum melanjutkan perbicangan, kiranya perlu dicatat bahwa pembahasan Materi Bagian #8 menggunakan rujukan “Misykat Cahaya-cahaya” atau “Misykatul-Anwar,” karya Imam Al-Ghazali; sedangkan Materi Bagian #9 telah dipindahkan ke muka pembahasannya, sebagai Materi Bagian #5 (lanjutan #2), “Orang-orang yang Diberi Nikmat.” Dengan menggunakan pengertian dari bahasan-bahasan sebelumnya, kali ini akan dilanjutkan perbincangan di seputar konsep Shirath al-Mustaqiim, dengan melihat hubungannya dengan dua konsep lainnya yang sangat terkait dengannya yaitu Al-Haqq dan Ad-Diin. Sebelum itu, perlu kembali diingatkan bahwa sahabat-sahabat hendaknya menguji secara kritis semua konstruk yang dikaji di sini. Karena ini akan menyangkut sesuatu yang masing-masing dari kita akan pegang dalam kehidupan. Bukan sekadar mencari pencaharian, tetapi sesuatu yang akan dipertaruhkan bahkan hingga hari perhitungan, perihal kebenaran sejati/ hakiki (Al-Haqq ).
“Dan timbangan pada hari itu adalah Al-Haqq” (QS Al-A’raf [7] : 8)
Konstruk pemahaman yang didapat hendaknya diuji, tidak hanya percaya begitu saja. Al-Haqq mustahil ditemui tanpa ikhtiar menerjuni Al-Qur’an langsung dan tanpa bermohon kepada Allah Ta’ala agar yang haqq tampak haqq-nya dan yang bathil tampak bathilnya.
“Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Kitab dengan Al-Haqq”
(QS Al-Maidah [5] : 48)
“Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada Al-Haqq”
(QS Yunus [10] : 35)
Pengenalan Kepada-Nya itu Karena Tarikan-Nya
Selama ini kita telah mencoba untuk bersama-sama menelaah tentang Al-Haqq—bukan sembarang kebenaran—tetapi sesuatu yang, insya Allah, datang dari Allah Ta’ala.
Dan katakanlah: “Al-Haqq dari Rabb-mu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS Al-Kahfi [18]: 29)
Al-Haqq terlampau halus untuk dilihat, diraba, digenggam, dan dipahami; kendati pun demikian kita harus berupaya membuka hati untuk mencari apa itu yang disebut Al-Haqq. Saat ini kita tidak tahu apakah itu Al-Haqq. Ini persis seperti Shirath Al-Mustaqiim, dalam pembahasan yang lalu, yang juga bukan merupakan sebuah definisi formal dan gamblang.
Tentang pengertian Shirath Al-Mustaqiim itu sendiri, Al-Qur’an tidak pernah mendefinisikannya secara formal; namun hanya memberikan beberapa titik masuk: “Ia adalah agama yang teguh, ‘qayiman’” (QS 6:161); dan “Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS 11:56). Shirath Al-Mustaqiim adalah sesuatu yang ‘samar’. Seandainya secara fisik kelihatan, atau sebuah aturan hukum yang tegas, atau sebuah definisi kategoris yang formal, maka Shirath Al-Mustaqiim mudah ditemukan bahkan mungkin tak perlu dicari.
Al-Haqq pun tersamar, walau Al-Haqq merupakan hakikat dari segala sesuatu, entah itu tebaran gunung, taburan bintang dan galaksi, nyamuk; bahkan yang ada di dalam diri kita sendiri juga Al-Haqq.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) kami di dalam (fii) segenap ufuk dan dalam (fii) diri mereka sehingga nyatalah bagi mereka bahwa itulah Al-Haqq” (QS Fushshilat [41]: 53)
Ketika seorang Manshur Al-Hallaj mengaku “Ana al-Haqq” apakah serupa atau setara dengan pengakuan: “Saya adalah Allah?” Banyak orang yang tidak memahami konteks permasalahan terutama bagaimana posisi antara Al-Haqq dengan martabat Ilahiah. Kesembronoan menghukumi sesuatu yang tidak diketahui hakikatnya justru menutupi pesan-Nya akan martabat Ilahiah yang perlu dikenali. Sepanjang masa seorang Al-Hallaj yang waliyullah tidak pernah mengaku jadi Allah, juga seorang waliyullah rabbani seperti Abu Yazid.
Penghakiman itu terjadi karena sedikitnya pengetahuan orang tentang Martabat Ilahiah. Mengapa sedikit sekali pengetahuan yang dimiliki? Tentunya karena tak hendak belajar. Mengapa tak hendak belajar? Karena sudah merelakan saja dirinya taqlid pada sebuah konstruk, suatu paradigma, suatu mazhab, sebuah pendapat, tanpa diuji. Kita harus bebas dari itu.
Pada dasarnya kita tidak mampu untuk memahami Allah Ta’ala kecuali seperti yang diutarakan Suhrawardi Al-Maqtul: “kita mempercantik diri.” Kita hanya berupaya agar ditarik oleh Allah Ta’ala. Allah mendengar suara kita, jeritan batin kita, sekecil apapun itu, tapi tidak semua orang bisa memahami khazanah-Nya karena hanya mereka yang ditarik, yang dipanggil, yang bisa datang kehadapan-Nya. Rasanya sulit membayangkan bahwa jeritan tanpa ikhtiar ‘mempercantik’ diri akan mengundang-Nya yang Maha Indah dan Maha Qudus membelai dan menarik hamba-Nya.
Dalam proses penarikan seorang hamba ke sisi Allah Ta’ala yang Qudus tentu perlu penanggalan sekian lapis hijab dalam diri hamba tersebut yang merintangi perjumpaannya dengan Sang Pencipta. Apakah itu hijab waham, hijab mazhab, hijab pemikiran, apalagi yang jauh lebih kasar: hijab dosa dan hijab cinta dunia. Mekanisme penanggalan hijab ini perlu kita pahami agar kita mulai mengenali bagaimana mengurangi rentang jarak kita dengan Allah Ta’ala
Membedah Hijab Pemikiran dalam Menatap Al-Haqq
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS Huud [11]: 56).
Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa menatap Al-Haqq sebagai salah satu asma Allah, Rabb yang berada di atas Shirath Al-Mustaqiim, amatlah sulit. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah belajar dari kisah para rasul. Para utusan-Nya tentu membawa Al-Haqq.
“Dan Kami ceritakan kepadamu semua kisah dari rasul-rasul, yang dengannya Kami teguhkan fu-ad (pikiran/mind)-mu; dan di dalam surat ini telah datang kepadamu Al-Haqq serta pengajaran (maw’izhah) dan peringatan (dzikr) bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud [11]: 120)
Karena itu dalam Al-Qur’an karakter dan kisah para rasul amat bervariasi. Seorang pembawa kebenaran kadang-kadang nampak jamal, hadir dengan akhlak yang baik, tutur kata yang halus dan sopan, dan nampak memang selayaknya pembawa kebenaran. Tapi seorang pembawa kebenaran terkadang juga membawa sifat jalal yang menjadikannya gelap dan rumit sehingga sulit ditembus dan seolah sulit untuk dipahami.
Cukup mudah mengenali seorang Rasulullah Muhammad S.A.W. yang amat sempurna dan jamal. Pantaslah beliau seorang pembawa kebenaran jika tutur katanya lembut dan sopan, senantiasa ramah dan tersenyum, amat pemaaf dan pemurah, penyayang pada setiap orang, dan kata-katanya mudah dipahami (bahkan hingga kita sering tidak menduga pesan yang luar biasa dalam dari ajaran beliau yang nampak sederhana dan praktis).
Bandingkan dengan seseorang seperti Nabi Khidr a.s. yang membunuh anak kecil, melubangi perahu milik rakyat, dan mendirikan tembok kaum yang tidak menjamu mereka, hingga bahkan Nabi Musa a.s. pun tidak memahaminya. Tetapi Khidr a.s. seorang yang benar, seorang nabi, meskipun tindakannya tak terpahami. Seorang Nabi Ayub a.s. tiba-tiba dihancurkan harta bendanya, dimatikan anak-anaknya, dan diserang penyakit yang amat busuk hingga kemudian tinggal di gua.
Jika kita hidup sezaman dengann Nabi Ayub a.s. dan kemudian mengetahui di gua sana ada seseorang yang mengaku Nabi padahal kita tahu bahwa musibah beruntun menimpanya maka mungkin kita akan bertanya-tanya: jika dia seorang Nabi mengapa Allah tidak melindungi. Lebih pantas jika dia itu seorang yang mengaku-aku dirinya seorang Nabi tanpa haqq, dan karenanya Allah mengazabnya. Demikian komentar umat pada zamannya. Dan mungkin pula senada dengan komentar kita, jika kebetulan kita hidup pada zaman tersebut. Singkat kata, amatlah sulit bagi kita mengenal kebenaran jika hanya berlandaskan bentuk lahiriahnya.
Kalau kita mengenal tentara Rasulullah S.A.W. yang sedemikian jamalnya, yang patuh pada pesan Rasulullah S.A.W. agar jika memasuki suatu wilayah tidak boleh membunuh orang tua, anak kecil, perempuan, tidak boleh menginjak rumputnya; nampak indah sekali. Seakan kebenaran sejalan dengan keindahan yang diejawantahkan oleh umat Rasulullah. Pantas mereka orang-orang yang benar.
Tetapi kalau sahabat melihat seorang nabi Bani Israil, Yussa bin Nun a.s. ketika menyerbu benteng Jericho maka benteng tersebut dihancurkan, semua penghuninya dibunuh, tua-muda-anak-anak, lelaki-perempuan, bahkan hingga ternak dan harta bendanya. Yang disisakan hanya seorang pelacur dan orang-orang yang besertanya.
Kalau perspektif kita sempit dan penuh waham, “wah, Rasulullah S.A.W. nampaknya tidak seperti itu;” sehingga karenanya kita berkesimpulan bahwa Yussa bin Nun bukan seorang Nabi karena pembantaian besar yang dilakukannya terhadap sebuah negeri kaum Filistin waktu itu, maka kita telah terjebak dalam penghakiman atas dasar perilaku lahiriyah. Padahal Allah Ta’ala telah menyerahkan seluruh isi negeri tersebut kepadanya, dan semua tindakan Yussa bin Nun a.s. dan tentara Bani Israil dalam menghancurleburkan kota Jericho tidak keluar dari kehendak Allah Ta’ala.
Kita dapat belajar dari Iskandar Dzulqarnain yang dalam opini orang Barat merupakan pembantai kelas wahid yang melakukan genocide tanpa perikemanusiaan. Kalau kita mau studi lebih jauh dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala telah mempersilakan Dzulqarnain untuk melakukan tindakan apapun: menyiksa (menghabisi) atau berbuat kebaikan (QS 18:86). Orang suci seperti Iskandar Dzulqarnain mustahil akan memanfaatkan ‘hak’-nya dengan mengeksplorasi hawa nafsunya, tetapi sebaliknya akan merasakan dan memikirkan apa yang sebenarnya Dia kehendaki terhadap suatu kaum.
Bagaimana seorang Nabi Nuh a.s. yang telah beratus tahun berdakwah di hadapan kaumnya kelak hanya diimani oleh beberapa gelintir orang. Bahkan kaumnya hanya memandangnya sebagai orang biasa, membuat-buat nasehat, bahkan dipandang sesat dan gila. Nuh a.s. dipandang demikian oleh kaumnya yang ‘pandai’ dan ‘cendekia’ karena yang mengimaninya dianggap orang-orang yang bodoh dan hina.
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS Huud [11]: 27).
Pendustaan terjadi hingga kaumnya menantang adzab dan mengancam akan merajam Nuh a.s. Apakah pendustaan semakin reda setelah Allah memerintahkan Nuh a.s. membuat kapal di puncak bukit yang jauh dari lautan dan sungai? Rahmat Allah Ta’ala disamarkan atas kaum Nuh a.s. (QS 11: 28) yang buta hatinya (QS 7: 64). Dibutuhkan hati yang tidak buta (QS 22: 46) dan ‘berakal’ ‘ya’qilun’ (QS 22: 46) untuk berjalan menuju-Nya.
Kebenaran pun tidak sekadar bisa ditinjau dari keajaiban apa yang muncul dari seseorang. Jika seseorang bisa ‘mendatangkan’ rizqi, ‘menurunkan’ hujan, bahkan menghidupkan sesuatu maka apakah berarti ia orang suci dan orang benar. Kita dapat membuka kisah umat Musa a.s. yang menyembah sapi emas yang dihidupkan Samiri ketika umat Musa ditinggal Nabinya mengambil kitab Taurat. Jika hanya nalar yang bermain, manakah yang lebih pantas jadi Nabi: Musa a.s. yang sekadar menjadikan ular besar dari tongkatnya atau Samiri yang bisa ‘memberi kehidupan’ pada sapi emas. Ternyata perkara menghidupkan benda mati bukan hanya pada kisah Nabi Isa a.s. tetapi juga Samiri yang dajjal.
Jikalau hanya berpegang pada bentuk lahiriah maka manifestasi dari Al-Haqq tidak akan terpahami. Kita harus mengerti hakikat kebenaran yang dapat diperoleh dari sekian banyak contoh semacam itu. Yang perlu dikenali adalah Al-Haqq yang hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Kalau kita tidak mencari Allah, kita akan terperangkap oleh kaidah, hukum, dan aturan yang kita konstruk dalam pikiran kita sendiri. Kita lebih dahulu terjerat oleh aturan—sementara Tuhan ada di balik aturan itu. Tetapi praktis kalbu kita tidak menyeru Dia. Kalbu kita terhijab oleh pikiran kita yang membuat kurungan bagi diri kita sendiri dari Tuhan Yang Maha Kaya akan khazanah dan Tanpa Batas.
Mungkin kita patut bersyukur bahwa kita lahir di zaman ini, bukan di zaman Nabi S.A.W.. Andai kita hidup di zaman itu dengan bergelimang keduniaan dan penyembahan pada berhala, kemudian berjumpa seseorang pemuda yang setelah cukup lama menjadi orang yang dipercaya ‘Al-Amin’ kemudian menikah dengan seorang janda kaya, menyepi sejenak, lantas mengaku Nabi dan menghalangi kepercayaan dan asyiknya tradisi; apakah kita akan mempercayainya? Apakah kita akan mempercayai orang yang harta istrinya yang kaya habis untuk sebuah pandangan yang ‘janggal’ menurut tradisi yang ada, mengaku pernah naik ke langit, dan setelah istrinya wafat ia menikahi lebih dari satu wanita? Andai ada orang seperti itu di zaman ini pun hanya akan jadi gunjingan tetangga dari rumah ke rumah.
Jika kita cerdik-pandai mungkin kita akan risih mengikuti orang yang menyampaikan sesuatu tetapi tak dapat membaca apa lagi menulis, bahkan kita tentu akan meragukan bagaimana orang itu menyampaikan firman “alif laam miim”, “tha haa”, “yaa siin” yang merupakan aksara arab yang selayaknya dipahami oleh orang yang tidak ummi. Bisa jadi jika kita lahir di zaman itu tanpa sebuah kerinduan akan kebenaran-Nya justru kita akan berada pada pihak yang berseberangan dengan Rasulullah Muhammad S.A.W. yang sangat kita cintai. Na’udzu billahi min dzalik.
Kita tidak bisa mengenal Al-Haqq dari semua penampakan lahiriyah yang sering kali merupakan ilusi. Seorang pencari Allah Ta’ala akan sangat takut menghakimi sesuatu. Sang pejalan tak akan membiarkan kepalanya menjadi hakim yang sembrono atas sesuatu yang tak terjangkau oleh nalar tetapi hanya termuat oleh qalb yang suci.
“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang Al-Mu’min” (Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”)
Sayyidina ‘Ali k.w. pernah berkata bahwa janganlah mencari kebenaran (al-Haqq) dari orang, carilah kebenaran terlebih dahulu baru akan terlihat siapa-siapa yang berjalan di atasnya.
Shirath Al-Mustaqiim dan Ad-Diin (‘agama’)
Shirath Al-Mustaqiim paralel dengan Ad-Diin, ‘agama’ (QS 6: 161) dan kedua konsep tersebut sama-sama halus dan rumit. Untuk membedah apa itu Ad-Diin kiranya kita perlu mulai menilik kembali pemahaman lama kita tentang istilah agama yang semata-mata merupakan pelembagaan aturan-aturan sakral yang dipegang seseorang sejak dewasa hingga meninggal. Pemahaman seperti itu sedemikian sempitnya hingga agama sekadar menjadi pakaian atau aksesoris yang secara ringan dipakai oleh seseorang selama hidup di dunia. Pemahaman ala-kadarnya tentang pakaian tak menjelaskan siapa yang memakai pakaian tersebut dan mau kemana ia, bahkan sering menjadi wahana pertarungan antara pemilik pakaian yang terlihat berbeda.
Jadi sebenarnya kalimat Ad-Diin bukan sekadar ‘agama’ dalam terminologi kontemporer karena jika diterjemahkan sebagai ‘agama’ akan tampil agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, dan sebagainya tetapi kita hanya akan memperbandingkan pakaian-pakaian sembari tak paham hakikat dari Islam itu. Ada sebuah hadits dari Rasulullah S.A.W. bahwa Allah mengampuni kaum Yahudi, tapi tidak mengampuni Yahudi daripada umat Rasulullah. Muncul kata-kata ke-Yahudi-an, ke-Nasrani-an, yang semuanya berkaitan dengan sikap mental. Tidak mungkin ada orang Islam yang mendidik anaknya sebagai nasrani atau yahudi, tetapi seringkali ia mengajarkan keras kepalanya Yahudi atau mengajarkan ke-Nasrani-an secara tidak sadar walaupun dia tidak mengajarkan ‘agama’ nasrani atau yahudi.
“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman dengan Allah (billah), dan hari akhir, dan beramal shalih, maka bagi mereka pahala disisi Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
(QS Al-Baqarah [2]: 62, juga QS Al-Maidah [5] : 69).
Dalam Al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa:
“ ... dan telah Ku-ridhai Al-Islam jadi agama (Ad-Diin) bagimu”
(QS Al-Maidah [5]: 3).
“Sesungguhnya agama (Ad-Diin) (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam” (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
Islam ditinjau dari akar katanya ‘aslama’ berarti keberserahdirian kepada Allah Ta’ala. Bahwa agama-agama yang diturunkan dari Allah Ta’ala esensinya semua itu Islam. Secara syariat agama Yahudi, Nasrani, Budha, bentuknya berbeda-beda karena kultur masyarakatnya berbeda. Tapi jika itu adalah agama yang Allah turunkan maka aspek batiniahnya, targetnya, skemanya, pasti akan sama, tidak akan berbeda. Semua akan bergerak dalam term keberserahan diri. Semua ‘agama’ akan bermanfaat bagi orang yang mencari dan menuju Allah, sedangkan bagi yang tidak hanya akan jadi hiasan semata.
Banyak hal yang harus kita renungkan secara mendalam. Kita patut bersyukur karena kita menjadi umat Nabi S.A.W. yang teragung, sangat jamal, yang sangat sempurna. Tapi perlu diingat bahwa representasi kebenaran mencakup juga yang jalal, bukan hanya yang jamal. Ada sejumlah nabi-nabi yang dalam tindakannya nampak aneh, representasi tak terpahami, namun tidak pernah menyimpang dari kehendak-Nya.
Agama Hindu lahir 1000 tahun sebelum Nabi Isa lahir, tepatnya sezaman dengan Nabi Daud. Agama Budha lahir 500 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Agama Nasrani saja sudah kehilangan bentuk syariatnya seperti shalat dan shaum. Islam yang masih terjaga hingga kini. Apalagi kalau kita menilai agama Buddha dan Hindu yang lebih tua dari agama Kristen. Seandainya kita melihat kitab-kitabnya maka esensi ke-Islam-an, keberserahan diri kepada Allah Ta’ala, terlihat masih kuat.
Jika suatu saat sahabat-sahabat dapat bertemu dengan Buddha Gautama maka sahabat-sahabat akan tahu apakah dia seorang nabi atau atau seorang yang terazab di alam barzakh. Dengan terbukanya kalbu maka hal itu akan nampak jelas. Jika hanya mengandalkan bukti-bukti tertulis dengan distorsi opini dari imam, kyai, atau ustadz, maka penghakiman yang muncul dapat berbeda dengan kebenaran. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan terbukanya qalb. Dengan terbukanya mata hati kelak kita akan terkaget-kaget bahwa orang yang kita hujat, kita benci, dan kita persalahkan ternyata membawa atribut kenabian atau kewalian.
Dahulu agama Hindu mengajarkan empat pengklasifikasian jiwa: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Setelah nabi dan para shiddiqin-nya meninggal tiba-tiba kasta jiwa tersebut berubah menjadi kasta sosial. Terjadilah suatu penyimpangan. Kemudian muncul Buddha Gautama yang menghapus tata sosial berbasis kasta itu semua. Alangkah aneh bukan bahwa ada Nabi yang menghapuskan ajaran Nabi sebelumnya. Yang perlu dicermati adalah bahwa esensi keberserahdiriannya tidak dihapuskan. Tapi apa yang kemudian menjadi thaghut-lah yang dihancurkan.
Dalam tradisi Islam pun terjadi hal demikian. Seorang Waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami pernah berujar “barangsiapa yang tidak bermursyid maka mursyidnya adalah iblis”. Pernyataan tersebut adalah urusan kewalian yang dihadapi oleh Abu Yazid di masanya dan bersifat temporer. Perihal demikian bersifat kasuistis dan tidak bersifat qur’aniyyah (yang abadi tak lekang sepanjang zaman). Urusan yang terejawantahkan secara lahiriyah dan bersifat temporer sering tak terpahami di zaman berikutnya dan syaithan sering mendompleng di sana. Kalimat tersebut dapat menjadi thaghut di zaman yang lain dan akan Allah Ta’ala patahkan.
Uwais Al-Qarni adalah seorang umat Rasulullah S.A.W. yang tak pernah bertemu Rasulullah sama sekali. Beliau pernah menggendong ibundanya dari tempatnya yang berjarak ± 400 km dari tempat Rasulullah S.A.W. dan tak bertemu Rasulullah lalu pulang kembali ke kediamannya. Nabi S.A.W. mengatakan, “Yaa Umar, jika engkau suatu waktu bertemu dengan Uwais Al-Qarni, sampaikan salam saya”, dan dinyatakan bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Terlalu mudah jika kita kemudian menghakimi bahwa Uwais Al-Qarni bukanlah penghuni langit hanya karena beliau tidak pernah bertemu Rasulullah S.A.W., apalagi berbai’at kepada Rasul, atau beliau tidak bermursyid. Apakah berarti Uwais Al-Qarni bermursyid kepada Iblis? Betapa susahnya kita menebak sebuah kebenaran jika kita tidak mencari Allah Ta’ala. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka Dia akan menunjukkan kepada kita apa itu kebenaran dan pemikiran yang salah akan dipatahkan.
Setelah menyimak uraian di atas semoga kita makin mawas diri bahwa menyentuh Ad-Diin itu perkara yang teramat besar. Akan sangat mengerikan jika kita sudah cukup merasa aman dengan status formal ke-Islam-an kita saat ini sedemikian rupa sehingga Allah Ta’ala tersembunyi dan terhijab dari kita. Semoga Dia Ta’ala menarik kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.
Menguak Makna “Keberserah-dirian” dalam Ad-Diin Al-Islam
Agama, ’Ad-Diin’ yang diridhai, yang ada di sisi Allah Ta’ala adalah ’Al-Islam’. Menarik sekali “istilah yang Dia pilihkan” untuk sebuah state (keadaan) di mana Dia sebagai sang pemelihara (Rabb) tepat berada di atas keadaan tersebut, keadaan berserah diri atau Al-Islam. Mengapa Dia tidak pilihkan istilah-istilah seperti agama kecerdasan, agama kehormatan, agama kekuasaan, agama kebesaran, dan berbagai keadaan yang saat ini senantiasa manusia anggap baik bahkan disandingkan dalam pemahaman dan praktek beragama. Mari kita gali apakah itu “berserah diri kepada Allah Ta’ala”.
Apakah “berserah diri” identik dengan “pasrah”, tak berbuat apa-apa, diam di dalam gua atau atau tempat menyepi atau mengurung diri dalam rumah, menjauh dari keramaian, dan oleh karenanya akan dekat dengan Tuhan? Antara istilah tasbih, tawakkal, dan Islam terdapat keserupaan arti yaitu “berserah diri”.
Tawakkal terkait dengan ‘keberserahdirian’. Mereka yang bertaqwa kepada Allah akan diberikan rejeki yang tanpa hisab (laa yahtasib) dan mereka yang bertawakkal kepada-Nya akan dicukupi (QS Ath-Thalaaq [65]: 2 – 3). Jika kita sekarang ingin mencari rejeki maka setiap karsa kita akan kena hisab (perhitungan). Hendak berjualan sesuatu, buat apa?
Mau ke suatu kota, apa alasannya? Punya uang banyak, untuk keperluan apa? Apapun yang kemudian ditemukan sebagai sebuah kasab (pekerjaan yang menghasilkan uang, penghidupan) akan dihisab. Nabi S.A.W. bersabda bahwa seseorang akan ditanya ihwal pasir yang dihancurkan dengan dua jarinya. Bahkan seseorang yang sedang memegang sejumput pasir dan iseng menghancurkannya pun akan ditanyakan mengenai perilaku tersebut. Hal itu adalah sebuah metafora atau perumpamaan bagi orang awam bahwa sampai hal sekecil-kecilnya Allah lihat.
Maksud “berserah diri” adalah “bekerja keras menemukan kehendak-Nya” kemudian mengalir (ber-tasbih) dalam kehendak-Nya. Jika kita pasrah dan tak berbuat apa-apa, sebenarnya kita hanya berserah diri pada kehendak syahwat saja yaitu syahwat, berserah kepada kemalasan. Hanya ada dua kemungkinan dalam berserah diri: berserah diri kepada kehendak-Nya atau selain dari kehendak-Nya (lebih tepatnya kehendak hawa nafsu dan syahwat kita). Sangatlah berbeda antara pasrah dengan berserah diri.
Dalam konteks suluk orang tidak akan menemukan Ruh Al-Quds dan menjadi saksi-Nya yang benar kalau hanya membuat sebuah gua, tempat kerahiban, mengurung diri di kamar, karena dengan mengurung di kamar justru dia terikat dengan syahwat dan hawa nafsunya.
Mungkin seseorang berpikir “Ah, kan Rasulullah S.A.W. juga ke Gua Hira, pasti yang terbaik seperti itu”. Belum tentu, orang itu sudah terkena waham tersebut. Konsepsi “zuhud” itu bukan meninggalkan dunia, tapi tidak mencintai dunia. Masuk ke dalam gua meninggalkan seluruh kemewahan tetapi kalbunya berharap kemewahan itu tidaklah zuhud. Bahkan jika kita tengah memegang emas seberat satu ton tapi dipandang sebagai sebuah titipan, dimiliki tidak dicintai, itu zuhud.
Dunia sufi itu sudah terburamkan oleh satu pemikiran yang kurang tepat. Ada sufi-sufi yang Allah perintahkan untuk hidup compang-camping. Tapi sufi tersebut memang mandiri, tidak minta-minta, bahagia seperti itu, tidak pernah menyesali diri menjadi seperti itu. Bagi sang sufi itulah jalannya: menjauh dari keramaian, memisahkan diri.
Tetapi kalau seseorang menyendiri, menjauh dari keramaian, karena karsa hawa nafsunya maka itu bukanlah amal shalih dan tidak akan menemukan Tuhan sama sekali karena ia diikat oleh sebuah waham spiritual, bukan Tuhan yang dicari. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka kita bergerak dari apa yang ditangan kita saat ini. Kita tidak akan meninggalkan yang sekarang dan mencari sebuah bentuk peribadatan yang belum tentu baik.
Sebagai contoh seorang Sulaiman a.s. adalah orang yang harus kaya, demikian pula seorang Daud a.s. yang merupakan seorang raja. Mereka adalah Nabi dan Rasul yang tentunya kita imani. Tetapi bagi Daud dan Sulaiman, kehidupan yang sangat mewah itu tentu amat menggusarkan hatinya, tidak membuat mereka senang, tetapi karena amanatnya memang harus menjadi simbol kerajaan maka mereka harus menjadi raja.
Jika suatu ketika sahabat-sahabat bersua dengan kedua nabi itu akan nampak bahwa mereka sangat sederhana dan bersahaja. Seperti juga Umar bin Khatthab r.a. yang seorang sahabat dekat Rasulullah pula seorang waliyullah. Walaupun ia seorang khalifah besar, tapi di manakah istana seorang Umar. Mencari kebesaran tentu bukan hal yang sulit baginya. Sahabat Abu Bakar r.a. menghidupi keluarganya dengan menganyam. Ada manusia yang bertugas kaya dan ada juga yang bertugas miskin, dalam kaca mata manusia, tapi mereka-mereka yang menjalankan tugas dari-Nya tidak pernah miskin. Mereka tetap qanaah (merasa cukup) dan orang kaya sejati adalah orang yang qanaah. Orang kaya kalau tetap merasa kekurangan maka itu bukanlah orang kaya meskipun representasinya dalam kacamata kebanyakan manusia adalah bergelimang kemewahan.
Seorang Daud a.s. jika kemudian meninggalkan kerajaannya maka itu bukanlah amal shalih karena ia mengkhianati apa yang Allah kehendaki. Jadi amal shalih itu sebuah tindakan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sekarang bagaimana mungkin seseorang akan mengenal Tuhan dan segenap kehendak-Nya kalau qalb-nya tidak terhubung kepada Allah Ta’ala ?
Dalam konteks agama sebenarnya Allah akan melihat hati. Kemana bergeraknya qalb kita: mencari Allah kah, kehebatankah, harga diri kah, Dia Mahatahu. Dia Mahatahu siapa-siapa yang mencari dia; juga siapa-siapa yang tidak mencari dia. Setiap orang yang mencari Dia akan ditransformasi, dan setiap orang yang tidak mencari dia tidak akan ditransformasi. Jadi jangan pernah takut karena jika kita memang mencari Dia, mengharapkan ridha-Nya, maka kita akan Dia transformasi dan ditarik menuju-Nya. Lain halnya kalau kita menggunakan agama seperti mencari Allah padahal hanya menjual Agama. Na’udzu billahi min dzalik.
Gagasan suluk adalah menghidupkan qalb baru kemudian mengerti sebenarnya apa yang Dia kehendaki terhadap kita, terhadap semua urusan yang menimpa kita. Kita betul-betul berangkat dari state (keadaan) yang kita miliki hari ini. Apapun problem kita, itulah jalan menuju Allah Ta’ala. Jangan coba berpikir “andai kalau saya berada di sana saya akan lebih baik”. Menuju Allah adalah dari hari ini, dari apa yang Allah anugerahkan kepada tangan kita entah itu pahit atau manis. Tidak boleh kita menolak sesuatu dari Allah Ta’ala yang seolah nampak buruk.
Periksa hati kita apakah kita mau mencari Dia atau tidak. Allah hanya akan melihat, membuka kuasa, menurunkan kuasa, memberikan sebuah proses pendidikan kepada orang yang mencari dia. Apapun keadaannya, seorang perampok-kah, seorang bajingan-kah, seorang kiai-kah. Allah tidak melihat sejauh mana kah agama, ilmu yang dibawa seseorang hari ini. Yang penting dia berjalan mencari Allah Ta’ala, berangkat dari manapun dia. Allah siap dikontak setiap saat, pintu-Nya terbuka kapan pun bagi hamba-Nya yang ingin kembali, seburuk apapun kondisi sang hamba.
Paparan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa sebelum kita menangkap apa itu karsa-Nya maka perlu dikenali apa kehendak yang Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Masing-masing kita diciptakan seorang diri, keluar dari perut ibu tanpa teman; membawa apakah kita? Padahal menurut Al-Qur’an setiap manusia nafs-nya dipanggil Allah Ta’ala sebelum masuk ke dalam rahim ibu dan diberi mandat atau amanah untuk mengerjakan sesuatu.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap nafs mereka: ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai/ lengah terhadap ini.’” (QS Al-A’raf [7]: 172).
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.”
(QS Al-Isra’ [17] : 13).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa pemanggilan nafs tersebut adalah persaksian awal nafs akan keberadaan Rabb semesta alam sekaligus menjelaskan kemisian yang diemban manusia ketika akan berangkat menjalankan tugasnya di bumi. Drama persaksian dilakukan agar manusia kelak tidak mengingkari persaksian akan Rabb semesta alam jika kemudian lalai terjerembab dalam dunia bahkan melupakan misinya. Melupakan amanat yang diemban nafs yang jika dilakukan akan merupakan sarana untuk meneropong Dia, mengenali kehendak-Nya dalam diri dan melaju untuk mengenal Allah Ta’ala dan menjadi saksi-Nya yang sejati.
Hari ini kita lupa masa pertemuan dengan Allah di ‘Alam Alastu’. Lupanya kita akan apa yang dibincangkan saat itu praktis membuat kita tidak pernah tahu apa yang seharusnya kita kerjakan. Alpanya kita adalah karena tertutup oleh hijab waham, hawa nafsu, syahwat, dan dosa. Bongkar dan buang dulu semua tabir itu maka kelak semua peristiwa di ‘Alam Alastu’ itu akan terbuka lagi, terjadinya peristiwa penemuan diri, tujuan sejati dari sebuah proses suluk, kembali melihat drama ketika Allah memanggil jiwa kita.
Dengan penemuan diri maka akan terbuka kotak kemisian yang jika manusia menitinya maka akan dapat menatap Rabb yang tepat berada di atasnya, tepat di atas Shirath Al-Mustaqiim. Sebuah kemisian yang amat berat yang bahkan tak sanggup disangga oleh gunung, amanat yang jika dilakukan akan mengantar sang hamba bersua Rabb-nya.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS Al-Ahzab [33]: 72).
“Katakanlah: ’Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa.’ ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhan-nya.’”
(QS Al-Kahfi [18]: 110)
Iman, Sarana Keterhubungan Hamba dengan Tuhannya
Dalam konteks suluk yang disebut dengan Shirath Al-Mustaqiim berkaitan dengan orbit diri kita masing-masing. Tiap orang punya shirath masing-masing, punya cara hidup masing-masing, sesuatu yang mesti dia tuntut dalam kehidupan. Dalam suluk akan mulai terbuka sebenarnya siapa jiwa kita ini dan apa yang harus dikerjakannya. Amal apa yang harus dilakukan yang dengan itu ia akan berjumpa Rabb-nya. Tentunya amal itu adalah amal shalih, amal yang terhubung ke Allah Ta’ala. Amal yang merupakan kehendak-Nya bagi diri kita yang telah Dia tetapkan di ‘Alam Alastu’.
Karena yang disebut dengan amal shalih itu adalah amal yang terhubung ke Allah Ta’ala maka tidak semua pekerjaan yang baik (di mata manusia) itu amal shalih. Mungkin ada manusia yang cukup puas dengan: “Saya mau infaq saja, atau shadaqah saja, atau shalat saja”. Kapan pun manusia hidup, manusia tinggal, ia dapat mengerjakan berbagai macam kebaikan, entah itu haji, infaq, mencari nafkah, tapi tidak semua yang baik-baik itu amal shalih. Diantara sekian peluang kebaikan pada suatu titik waktu maka hanya ada satu yang merupakan amal shalih.
Sebelumnya telah kita bahas bahwa diperlukan qalb untuk menghubungkan diri dengan-Nya, dengan petunjuk-Nya (ke Shirath Al-Mustaqiim). Diperlukan sarana yang dengan itu maka amal yang terhubung dengan Allah Ta’ala terejawantahkan. Apakah sarana yang menghubungkan qalb dengan Allah Ta’ala?
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh ni’mat.”
(QS Yunus [10]: 9).
Dan barangsiapa yang beriman dengan Allah (yu’min billah) niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (QS At-Taghabun [64]: 11).
Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada (bi = dengan) ayat-ayat Allah, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka ...”
(QS An-Nahl [16]: 104).
Diperlukan iman agar petunjuk-Nya jatuh ke dalam qalb. Amal shalih tak mungkin muncul tanpa iman. Gabungan antara iman dan amal shalih ini membuahkan taqwa. Maka dari itu iman tanpa amal shalih tidak ada gunanya, tidak ada proses melaju menuju Shirath Al-Mustaqiim.
Definisi yang kita kenal sejak kecil tentang ‘iman’ itu adalah ma’rifatu-l-qalb atau tashdiq (pembenaran) bi-l-qalb, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh (arkan). Namun yang pertama ada di tingkat qalb, bukan di nalar. “Ah, saya percaya pada Tuhan karena sekian bukti empirik menyatakan bahwa Tuhan itu ada”. Itu belum iman yang sejati karena masih sekadar di kepala, belum berupa cahaya Sang Al-Mu’min yang dipancarkan ke dalam qalb. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa keimanan kepada Allah itu memiliki tiga tingkatan , yaitu:
1. Iman orang Awam, yaitu iman dengan taqlid semata
2. Iman mutakallimin, yang bercampur baur dengan pembuktian {istidlal}. Derajat iman ini dekat dengan derajat iman orang awam
3. Iman ‘arifin, yaitu iman yang dibuktikan dengan cahaya
Definisi iman itu mencakup dari qalb sampai ke anggota. Dari tingkat jiwa merembes ke mata, lidah, tangan, hingga kaki. Kadang-kadang yang kita rasakan hanya jasadiah semata, yang di luar saja. Ketika cahaya itu mengumpul di qalb maka semua kehendak-Nya tersampaikan, itulah yu’min “bi”-llah. “Bi” itu sebuah ‘penyertaan’, bukan sekadar ‘atas nama’ Allah atau ‘dengan’ nama Allah. Serupa dengan kata fii (“dalam”) pada kalimat jahadu fii naa “berjihad dalam kami” (QS Al-Ankabut [29]: 69) yang menyatakan ketenggelaman dalam kehendak-Nya. “Dan yang bersungguh-sungguh berjihad di dalam Kami, maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami ...”.
Maksud kata “bi”-llah bukan sekadar “atas nama Tuhan” yang “tidak bersama Tuhan”. Meliankan ada keterhubungan antara apa yang Allah kehendaki dengan tindakan lahiriah. Karena kalau terputus, maka yang akan memilih adalah hawa nafsu, syahwat, atau waham agama; Kehendak-Nya tidak ada. Tetapi kita dalam konteks yu’min billah, beriman beserta Allah, tenggelam ke dalam Tuhan, maka segala yang selain wajah-Nya fana’ (tiada) semata. Tiada karsa, tiada nilai, yang berasal dari pendapat nalar, atau syahwat, atau waham agama sekalipun. Yang menentukan adalah apa yang Allah kehendaki.
(Lihat gambar 1 dan 2)
Seorang hamba kadang risau apakah yang Allah kehendaki telah saya kerjakan. Sampai ke sebuah titik resah meresahkan ihwal apa yang Allah kehendaki merupakan awal hidayah. Dan menangkap karsanya Gusti (Allah Ta’ala) bukan hal yang mudah, perlu sekian syarat dalam Al-Qur’an. Bukan sesuatu yang mudah diterobos, akan teruji jihad dan kesungguhan kita dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala. Apakah layak seseorang bisa menyentuh karsa-Nya, kehendak-Nya, jatinya kehidupan. Hal ini merupakan proses yang panjang. Awalnya belajar terjun ke dalam kehendak-Nya (fana’ filllah), nanti beserta dengan Allah ta’ala (fana’ billah), baru kemudian bertemu dengan-Nya (liqa Allah).
Jika, misalkan, kita kemudian mengetahui apa karsa-Nya maka kita secara praktis tidak akan terguncangkan oleh apapun yang terjadi di muka bumi ini. Karena semua yang hadir akan terbaca sebagai kehendak-Nya. Apa pun yang manifest di bumi ini adalah kehendak-Nya. Apakah Iblis muncul dengan tidak Allah kehendaki? Tentu tidak bukan. Allah menciptakan makhluk bernama Azazil dari kalangan jin yang karena pengabdian dan keunggulannya diangkat segolongan dengan para malaikat. Tiada tempat di alam semesta di mana Azazil belum pernah bersujud di dalamnya.
Ketika Allah Ta’ala mencipta Adam tiba-tiba Azazil membangkang kepada Allah Ta’ala dan tidak mau menyembah kepada Adam. Apakah Allah kecolongan? Semua sudah tertulis bahwa makhluk itu akan membangkang ketika diciptakan Adam. Dalam Al-Qur’an dicatat bahwa sesungguhnya Iblis tidak melihat penciptaan manusia. Apa yang dilihat iblis adalah hanya ketika dirinya dibuat dari api dan melihat Adam dibuat dari tanah.
Tanah dikalahkan api. Proses penciptaan jiwa tidak dilihat oleh Iblis. Ia merasa lebih tinggi karena api seolah-olah lebih tinggi dari tanah, padahal di dalam tanah itu ada yang lebih tinggi dari api: cahaya (nafs). Itu yang tidak disaksikan iblis. Itu sebuah takdir yang kalau dibaca dengan akal sekarang akan membingungkan. Tapi apapun yang terjadi di muka bumi adalah dalam kehendak-Nya, tinggal bagaimana kita mengalir bersama-Nya dalam arus besar kehidupan ini. Mengerjakan peran yang Dia kehendaki dalam peradaban yang bergerak.
(Bersambung)
Belajar Membaca Mengenai Al-Haqq, Shirath al-Mustaqiim, dan Ad-Diin di dalam Kitab Suci
Pendahuluan
Sebelum melanjutkan perbicangan, kiranya perlu dicatat bahwa pembahasan Materi Bagian #8 menggunakan rujukan “Misykat Cahaya-cahaya” atau “Misykatul-Anwar,” karya Imam Al-Ghazali; sedangkan Materi Bagian #9 telah dipindahkan ke muka pembahasannya, sebagai Materi Bagian #5 (lanjutan #2), “Orang-orang yang Diberi Nikmat.” Dengan menggunakan pengertian dari bahasan-bahasan sebelumnya, kali ini akan dilanjutkan perbincangan di seputar konsep Shirath al-Mustaqiim, dengan melihat hubungannya dengan dua konsep lainnya yang sangat terkait dengannya yaitu Al-Haqq dan Ad-Diin. Sebelum itu, perlu kembali diingatkan bahwa sahabat-sahabat hendaknya menguji secara kritis semua konstruk yang dikaji di sini. Karena ini akan menyangkut sesuatu yang masing-masing dari kita akan pegang dalam kehidupan. Bukan sekadar mencari pencaharian, tetapi sesuatu yang akan dipertaruhkan bahkan hingga hari perhitungan, perihal kebenaran sejati/ hakiki (Al-Haqq ).
“Dan timbangan pada hari itu adalah Al-Haqq” (QS Al-A’raf [7] : 8)
Konstruk pemahaman yang didapat hendaknya diuji, tidak hanya percaya begitu saja. Al-Haqq mustahil ditemui tanpa ikhtiar menerjuni Al-Qur’an langsung dan tanpa bermohon kepada Allah Ta’ala agar yang haqq tampak haqq-nya dan yang bathil tampak bathilnya.
“Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Kitab dengan Al-Haqq”
(QS Al-Maidah [5] : 48)
“Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada Al-Haqq”
(QS Yunus [10] : 35)
Pengenalan Kepada-Nya itu Karena Tarikan-Nya
Selama ini kita telah mencoba untuk bersama-sama menelaah tentang Al-Haqq—bukan sembarang kebenaran—tetapi sesuatu yang, insya Allah, datang dari Allah Ta’ala.
Dan katakanlah: “Al-Haqq dari Rabb-mu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS Al-Kahfi [18]: 29)
Al-Haqq terlampau halus untuk dilihat, diraba, digenggam, dan dipahami; kendati pun demikian kita harus berupaya membuka hati untuk mencari apa itu yang disebut Al-Haqq. Saat ini kita tidak tahu apakah itu Al-Haqq. Ini persis seperti Shirath Al-Mustaqiim, dalam pembahasan yang lalu, yang juga bukan merupakan sebuah definisi formal dan gamblang.
Tentang pengertian Shirath Al-Mustaqiim itu sendiri, Al-Qur’an tidak pernah mendefinisikannya secara formal; namun hanya memberikan beberapa titik masuk: “Ia adalah agama yang teguh, ‘qayiman’” (QS 6:161); dan “Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS 11:56). Shirath Al-Mustaqiim adalah sesuatu yang ‘samar’. Seandainya secara fisik kelihatan, atau sebuah aturan hukum yang tegas, atau sebuah definisi kategoris yang formal, maka Shirath Al-Mustaqiim mudah ditemukan bahkan mungkin tak perlu dicari.
Al-Haqq pun tersamar, walau Al-Haqq merupakan hakikat dari segala sesuatu, entah itu tebaran gunung, taburan bintang dan galaksi, nyamuk; bahkan yang ada di dalam diri kita sendiri juga Al-Haqq.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) kami di dalam (fii) segenap ufuk dan dalam (fii) diri mereka sehingga nyatalah bagi mereka bahwa itulah Al-Haqq” (QS Fushshilat [41]: 53)
Ketika seorang Manshur Al-Hallaj mengaku “Ana al-Haqq” apakah serupa atau setara dengan pengakuan: “Saya adalah Allah?” Banyak orang yang tidak memahami konteks permasalahan terutama bagaimana posisi antara Al-Haqq dengan martabat Ilahiah. Kesembronoan menghukumi sesuatu yang tidak diketahui hakikatnya justru menutupi pesan-Nya akan martabat Ilahiah yang perlu dikenali. Sepanjang masa seorang Al-Hallaj yang waliyullah tidak pernah mengaku jadi Allah, juga seorang waliyullah rabbani seperti Abu Yazid.
Penghakiman itu terjadi karena sedikitnya pengetahuan orang tentang Martabat Ilahiah. Mengapa sedikit sekali pengetahuan yang dimiliki? Tentunya karena tak hendak belajar. Mengapa tak hendak belajar? Karena sudah merelakan saja dirinya taqlid pada sebuah konstruk, suatu paradigma, suatu mazhab, sebuah pendapat, tanpa diuji. Kita harus bebas dari itu.
Pada dasarnya kita tidak mampu untuk memahami Allah Ta’ala kecuali seperti yang diutarakan Suhrawardi Al-Maqtul: “kita mempercantik diri.” Kita hanya berupaya agar ditarik oleh Allah Ta’ala. Allah mendengar suara kita, jeritan batin kita, sekecil apapun itu, tapi tidak semua orang bisa memahami khazanah-Nya karena hanya mereka yang ditarik, yang dipanggil, yang bisa datang kehadapan-Nya. Rasanya sulit membayangkan bahwa jeritan tanpa ikhtiar ‘mempercantik’ diri akan mengundang-Nya yang Maha Indah dan Maha Qudus membelai dan menarik hamba-Nya.
Dalam proses penarikan seorang hamba ke sisi Allah Ta’ala yang Qudus tentu perlu penanggalan sekian lapis hijab dalam diri hamba tersebut yang merintangi perjumpaannya dengan Sang Pencipta. Apakah itu hijab waham, hijab mazhab, hijab pemikiran, apalagi yang jauh lebih kasar: hijab dosa dan hijab cinta dunia. Mekanisme penanggalan hijab ini perlu kita pahami agar kita mulai mengenali bagaimana mengurangi rentang jarak kita dengan Allah Ta’ala
Membedah Hijab Pemikiran dalam Menatap Al-Haqq
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath Al-Mustaqiim” (QS Huud [11]: 56).
Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa menatap Al-Haqq sebagai salah satu asma Allah, Rabb yang berada di atas Shirath Al-Mustaqiim, amatlah sulit. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah belajar dari kisah para rasul. Para utusan-Nya tentu membawa Al-Haqq.
“Dan Kami ceritakan kepadamu semua kisah dari rasul-rasul, yang dengannya Kami teguhkan fu-ad (pikiran/mind)-mu; dan di dalam surat ini telah datang kepadamu Al-Haqq serta pengajaran (maw’izhah) dan peringatan (dzikr) bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud [11]: 120)
Karena itu dalam Al-Qur’an karakter dan kisah para rasul amat bervariasi. Seorang pembawa kebenaran kadang-kadang nampak jamal, hadir dengan akhlak yang baik, tutur kata yang halus dan sopan, dan nampak memang selayaknya pembawa kebenaran. Tapi seorang pembawa kebenaran terkadang juga membawa sifat jalal yang menjadikannya gelap dan rumit sehingga sulit ditembus dan seolah sulit untuk dipahami.
Cukup mudah mengenali seorang Rasulullah Muhammad S.A.W. yang amat sempurna dan jamal. Pantaslah beliau seorang pembawa kebenaran jika tutur katanya lembut dan sopan, senantiasa ramah dan tersenyum, amat pemaaf dan pemurah, penyayang pada setiap orang, dan kata-katanya mudah dipahami (bahkan hingga kita sering tidak menduga pesan yang luar biasa dalam dari ajaran beliau yang nampak sederhana dan praktis).
Bandingkan dengan seseorang seperti Nabi Khidr a.s. yang membunuh anak kecil, melubangi perahu milik rakyat, dan mendirikan tembok kaum yang tidak menjamu mereka, hingga bahkan Nabi Musa a.s. pun tidak memahaminya. Tetapi Khidr a.s. seorang yang benar, seorang nabi, meskipun tindakannya tak terpahami. Seorang Nabi Ayub a.s. tiba-tiba dihancurkan harta bendanya, dimatikan anak-anaknya, dan diserang penyakit yang amat busuk hingga kemudian tinggal di gua.
Jika kita hidup sezaman dengann Nabi Ayub a.s. dan kemudian mengetahui di gua sana ada seseorang yang mengaku Nabi padahal kita tahu bahwa musibah beruntun menimpanya maka mungkin kita akan bertanya-tanya: jika dia seorang Nabi mengapa Allah tidak melindungi. Lebih pantas jika dia itu seorang yang mengaku-aku dirinya seorang Nabi tanpa haqq, dan karenanya Allah mengazabnya. Demikian komentar umat pada zamannya. Dan mungkin pula senada dengan komentar kita, jika kebetulan kita hidup pada zaman tersebut. Singkat kata, amatlah sulit bagi kita mengenal kebenaran jika hanya berlandaskan bentuk lahiriahnya.
Kalau kita mengenal tentara Rasulullah S.A.W. yang sedemikian jamalnya, yang patuh pada pesan Rasulullah S.A.W. agar jika memasuki suatu wilayah tidak boleh membunuh orang tua, anak kecil, perempuan, tidak boleh menginjak rumputnya; nampak indah sekali. Seakan kebenaran sejalan dengan keindahan yang diejawantahkan oleh umat Rasulullah. Pantas mereka orang-orang yang benar.
Tetapi kalau sahabat melihat seorang nabi Bani Israil, Yussa bin Nun a.s. ketika menyerbu benteng Jericho maka benteng tersebut dihancurkan, semua penghuninya dibunuh, tua-muda-anak-anak, lelaki-perempuan, bahkan hingga ternak dan harta bendanya. Yang disisakan hanya seorang pelacur dan orang-orang yang besertanya.
Kalau perspektif kita sempit dan penuh waham, “wah, Rasulullah S.A.W. nampaknya tidak seperti itu;” sehingga karenanya kita berkesimpulan bahwa Yussa bin Nun bukan seorang Nabi karena pembantaian besar yang dilakukannya terhadap sebuah negeri kaum Filistin waktu itu, maka kita telah terjebak dalam penghakiman atas dasar perilaku lahiriyah. Padahal Allah Ta’ala telah menyerahkan seluruh isi negeri tersebut kepadanya, dan semua tindakan Yussa bin Nun a.s. dan tentara Bani Israil dalam menghancurleburkan kota Jericho tidak keluar dari kehendak Allah Ta’ala.
Kita dapat belajar dari Iskandar Dzulqarnain yang dalam opini orang Barat merupakan pembantai kelas wahid yang melakukan genocide tanpa perikemanusiaan. Kalau kita mau studi lebih jauh dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala telah mempersilakan Dzulqarnain untuk melakukan tindakan apapun: menyiksa (menghabisi) atau berbuat kebaikan (QS 18:86). Orang suci seperti Iskandar Dzulqarnain mustahil akan memanfaatkan ‘hak’-nya dengan mengeksplorasi hawa nafsunya, tetapi sebaliknya akan merasakan dan memikirkan apa yang sebenarnya Dia kehendaki terhadap suatu kaum.
Bagaimana seorang Nabi Nuh a.s. yang telah beratus tahun berdakwah di hadapan kaumnya kelak hanya diimani oleh beberapa gelintir orang. Bahkan kaumnya hanya memandangnya sebagai orang biasa, membuat-buat nasehat, bahkan dipandang sesat dan gila. Nuh a.s. dipandang demikian oleh kaumnya yang ‘pandai’ dan ‘cendekia’ karena yang mengimaninya dianggap orang-orang yang bodoh dan hina.
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS Huud [11]: 27).
Pendustaan terjadi hingga kaumnya menantang adzab dan mengancam akan merajam Nuh a.s. Apakah pendustaan semakin reda setelah Allah memerintahkan Nuh a.s. membuat kapal di puncak bukit yang jauh dari lautan dan sungai? Rahmat Allah Ta’ala disamarkan atas kaum Nuh a.s. (QS 11: 28) yang buta hatinya (QS 7: 64). Dibutuhkan hati yang tidak buta (QS 22: 46) dan ‘berakal’ ‘ya’qilun’ (QS 22: 46) untuk berjalan menuju-Nya.
Kebenaran pun tidak sekadar bisa ditinjau dari keajaiban apa yang muncul dari seseorang. Jika seseorang bisa ‘mendatangkan’ rizqi, ‘menurunkan’ hujan, bahkan menghidupkan sesuatu maka apakah berarti ia orang suci dan orang benar. Kita dapat membuka kisah umat Musa a.s. yang menyembah sapi emas yang dihidupkan Samiri ketika umat Musa ditinggal Nabinya mengambil kitab Taurat. Jika hanya nalar yang bermain, manakah yang lebih pantas jadi Nabi: Musa a.s. yang sekadar menjadikan ular besar dari tongkatnya atau Samiri yang bisa ‘memberi kehidupan’ pada sapi emas. Ternyata perkara menghidupkan benda mati bukan hanya pada kisah Nabi Isa a.s. tetapi juga Samiri yang dajjal.
Jikalau hanya berpegang pada bentuk lahiriah maka manifestasi dari Al-Haqq tidak akan terpahami. Kita harus mengerti hakikat kebenaran yang dapat diperoleh dari sekian banyak contoh semacam itu. Yang perlu dikenali adalah Al-Haqq yang hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Kalau kita tidak mencari Allah, kita akan terperangkap oleh kaidah, hukum, dan aturan yang kita konstruk dalam pikiran kita sendiri. Kita lebih dahulu terjerat oleh aturan—sementara Tuhan ada di balik aturan itu. Tetapi praktis kalbu kita tidak menyeru Dia. Kalbu kita terhijab oleh pikiran kita yang membuat kurungan bagi diri kita sendiri dari Tuhan Yang Maha Kaya akan khazanah dan Tanpa Batas.
Mungkin kita patut bersyukur bahwa kita lahir di zaman ini, bukan di zaman Nabi S.A.W.. Andai kita hidup di zaman itu dengan bergelimang keduniaan dan penyembahan pada berhala, kemudian berjumpa seseorang pemuda yang setelah cukup lama menjadi orang yang dipercaya ‘Al-Amin’ kemudian menikah dengan seorang janda kaya, menyepi sejenak, lantas mengaku Nabi dan menghalangi kepercayaan dan asyiknya tradisi; apakah kita akan mempercayainya? Apakah kita akan mempercayai orang yang harta istrinya yang kaya habis untuk sebuah pandangan yang ‘janggal’ menurut tradisi yang ada, mengaku pernah naik ke langit, dan setelah istrinya wafat ia menikahi lebih dari satu wanita? Andai ada orang seperti itu di zaman ini pun hanya akan jadi gunjingan tetangga dari rumah ke rumah.
Jika kita cerdik-pandai mungkin kita akan risih mengikuti orang yang menyampaikan sesuatu tetapi tak dapat membaca apa lagi menulis, bahkan kita tentu akan meragukan bagaimana orang itu menyampaikan firman “alif laam miim”, “tha haa”, “yaa siin” yang merupakan aksara arab yang selayaknya dipahami oleh orang yang tidak ummi. Bisa jadi jika kita lahir di zaman itu tanpa sebuah kerinduan akan kebenaran-Nya justru kita akan berada pada pihak yang berseberangan dengan Rasulullah Muhammad S.A.W. yang sangat kita cintai. Na’udzu billahi min dzalik.
Kita tidak bisa mengenal Al-Haqq dari semua penampakan lahiriyah yang sering kali merupakan ilusi. Seorang pencari Allah Ta’ala akan sangat takut menghakimi sesuatu. Sang pejalan tak akan membiarkan kepalanya menjadi hakim yang sembrono atas sesuatu yang tak terjangkau oleh nalar tetapi hanya termuat oleh qalb yang suci.
“Tidak memuat-Ku bumiku dan langitku, yang memuat-Ku qalb hamba-Ku yang Al-Mu’min” (Hadits Qudsy dikutip dari Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”)
Sayyidina ‘Ali k.w. pernah berkata bahwa janganlah mencari kebenaran (al-Haqq) dari orang, carilah kebenaran terlebih dahulu baru akan terlihat siapa-siapa yang berjalan di atasnya.
Shirath Al-Mustaqiim dan Ad-Diin (‘agama’)
Shirath Al-Mustaqiim paralel dengan Ad-Diin, ‘agama’ (QS 6: 161) dan kedua konsep tersebut sama-sama halus dan rumit. Untuk membedah apa itu Ad-Diin kiranya kita perlu mulai menilik kembali pemahaman lama kita tentang istilah agama yang semata-mata merupakan pelembagaan aturan-aturan sakral yang dipegang seseorang sejak dewasa hingga meninggal. Pemahaman seperti itu sedemikian sempitnya hingga agama sekadar menjadi pakaian atau aksesoris yang secara ringan dipakai oleh seseorang selama hidup di dunia. Pemahaman ala-kadarnya tentang pakaian tak menjelaskan siapa yang memakai pakaian tersebut dan mau kemana ia, bahkan sering menjadi wahana pertarungan antara pemilik pakaian yang terlihat berbeda.
Jadi sebenarnya kalimat Ad-Diin bukan sekadar ‘agama’ dalam terminologi kontemporer karena jika diterjemahkan sebagai ‘agama’ akan tampil agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, dan sebagainya tetapi kita hanya akan memperbandingkan pakaian-pakaian sembari tak paham hakikat dari Islam itu. Ada sebuah hadits dari Rasulullah S.A.W. bahwa Allah mengampuni kaum Yahudi, tapi tidak mengampuni Yahudi daripada umat Rasulullah. Muncul kata-kata ke-Yahudi-an, ke-Nasrani-an, yang semuanya berkaitan dengan sikap mental. Tidak mungkin ada orang Islam yang mendidik anaknya sebagai nasrani atau yahudi, tetapi seringkali ia mengajarkan keras kepalanya Yahudi atau mengajarkan ke-Nasrani-an secara tidak sadar walaupun dia tidak mengajarkan ‘agama’ nasrani atau yahudi.
“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman dengan Allah (billah), dan hari akhir, dan beramal shalih, maka bagi mereka pahala disisi Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
(QS Al-Baqarah [2]: 62, juga QS Al-Maidah [5] : 69).
Dalam Al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa:
“ ... dan telah Ku-ridhai Al-Islam jadi agama (Ad-Diin) bagimu”
(QS Al-Maidah [5]: 3).
“Sesungguhnya agama (Ad-Diin) (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam” (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
Islam ditinjau dari akar katanya ‘aslama’ berarti keberserahdirian kepada Allah Ta’ala. Bahwa agama-agama yang diturunkan dari Allah Ta’ala esensinya semua itu Islam. Secara syariat agama Yahudi, Nasrani, Budha, bentuknya berbeda-beda karena kultur masyarakatnya berbeda. Tapi jika itu adalah agama yang Allah turunkan maka aspek batiniahnya, targetnya, skemanya, pasti akan sama, tidak akan berbeda. Semua akan bergerak dalam term keberserahan diri. Semua ‘agama’ akan bermanfaat bagi orang yang mencari dan menuju Allah, sedangkan bagi yang tidak hanya akan jadi hiasan semata.
Banyak hal yang harus kita renungkan secara mendalam. Kita patut bersyukur karena kita menjadi umat Nabi S.A.W. yang teragung, sangat jamal, yang sangat sempurna. Tapi perlu diingat bahwa representasi kebenaran mencakup juga yang jalal, bukan hanya yang jamal. Ada sejumlah nabi-nabi yang dalam tindakannya nampak aneh, representasi tak terpahami, namun tidak pernah menyimpang dari kehendak-Nya.
Agama Hindu lahir 1000 tahun sebelum Nabi Isa lahir, tepatnya sezaman dengan Nabi Daud. Agama Budha lahir 500 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Agama Nasrani saja sudah kehilangan bentuk syariatnya seperti shalat dan shaum. Islam yang masih terjaga hingga kini. Apalagi kalau kita menilai agama Buddha dan Hindu yang lebih tua dari agama Kristen. Seandainya kita melihat kitab-kitabnya maka esensi ke-Islam-an, keberserahan diri kepada Allah Ta’ala, terlihat masih kuat.
Jika suatu saat sahabat-sahabat dapat bertemu dengan Buddha Gautama maka sahabat-sahabat akan tahu apakah dia seorang nabi atau atau seorang yang terazab di alam barzakh. Dengan terbukanya kalbu maka hal itu akan nampak jelas. Jika hanya mengandalkan bukti-bukti tertulis dengan distorsi opini dari imam, kyai, atau ustadz, maka penghakiman yang muncul dapat berbeda dengan kebenaran. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan terbukanya qalb. Dengan terbukanya mata hati kelak kita akan terkaget-kaget bahwa orang yang kita hujat, kita benci, dan kita persalahkan ternyata membawa atribut kenabian atau kewalian.
Dahulu agama Hindu mengajarkan empat pengklasifikasian jiwa: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Setelah nabi dan para shiddiqin-nya meninggal tiba-tiba kasta jiwa tersebut berubah menjadi kasta sosial. Terjadilah suatu penyimpangan. Kemudian muncul Buddha Gautama yang menghapus tata sosial berbasis kasta itu semua. Alangkah aneh bukan bahwa ada Nabi yang menghapuskan ajaran Nabi sebelumnya. Yang perlu dicermati adalah bahwa esensi keberserahdiriannya tidak dihapuskan. Tapi apa yang kemudian menjadi thaghut-lah yang dihancurkan.
Dalam tradisi Islam pun terjadi hal demikian. Seorang Waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami pernah berujar “barangsiapa yang tidak bermursyid maka mursyidnya adalah iblis”. Pernyataan tersebut adalah urusan kewalian yang dihadapi oleh Abu Yazid di masanya dan bersifat temporer. Perihal demikian bersifat kasuistis dan tidak bersifat qur’aniyyah (yang abadi tak lekang sepanjang zaman). Urusan yang terejawantahkan secara lahiriyah dan bersifat temporer sering tak terpahami di zaman berikutnya dan syaithan sering mendompleng di sana. Kalimat tersebut dapat menjadi thaghut di zaman yang lain dan akan Allah Ta’ala patahkan.
Uwais Al-Qarni adalah seorang umat Rasulullah S.A.W. yang tak pernah bertemu Rasulullah sama sekali. Beliau pernah menggendong ibundanya dari tempatnya yang berjarak ± 400 km dari tempat Rasulullah S.A.W. dan tak bertemu Rasulullah lalu pulang kembali ke kediamannya. Nabi S.A.W. mengatakan, “Yaa Umar, jika engkau suatu waktu bertemu dengan Uwais Al-Qarni, sampaikan salam saya”, dan dinyatakan bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Terlalu mudah jika kita kemudian menghakimi bahwa Uwais Al-Qarni bukanlah penghuni langit hanya karena beliau tidak pernah bertemu Rasulullah S.A.W., apalagi berbai’at kepada Rasul, atau beliau tidak bermursyid. Apakah berarti Uwais Al-Qarni bermursyid kepada Iblis? Betapa susahnya kita menebak sebuah kebenaran jika kita tidak mencari Allah Ta’ala. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka Dia akan menunjukkan kepada kita apa itu kebenaran dan pemikiran yang salah akan dipatahkan.
Setelah menyimak uraian di atas semoga kita makin mawas diri bahwa menyentuh Ad-Diin itu perkara yang teramat besar. Akan sangat mengerikan jika kita sudah cukup merasa aman dengan status formal ke-Islam-an kita saat ini sedemikian rupa sehingga Allah Ta’ala tersembunyi dan terhijab dari kita. Semoga Dia Ta’ala menarik kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.
Menguak Makna “Keberserah-dirian” dalam Ad-Diin Al-Islam
Agama, ’Ad-Diin’ yang diridhai, yang ada di sisi Allah Ta’ala adalah ’Al-Islam’. Menarik sekali “istilah yang Dia pilihkan” untuk sebuah state (keadaan) di mana Dia sebagai sang pemelihara (Rabb) tepat berada di atas keadaan tersebut, keadaan berserah diri atau Al-Islam. Mengapa Dia tidak pilihkan istilah-istilah seperti agama kecerdasan, agama kehormatan, agama kekuasaan, agama kebesaran, dan berbagai keadaan yang saat ini senantiasa manusia anggap baik bahkan disandingkan dalam pemahaman dan praktek beragama. Mari kita gali apakah itu “berserah diri kepada Allah Ta’ala”.
Apakah “berserah diri” identik dengan “pasrah”, tak berbuat apa-apa, diam di dalam gua atau atau tempat menyepi atau mengurung diri dalam rumah, menjauh dari keramaian, dan oleh karenanya akan dekat dengan Tuhan? Antara istilah tasbih, tawakkal, dan Islam terdapat keserupaan arti yaitu “berserah diri”.
Tawakkal terkait dengan ‘keberserahdirian’. Mereka yang bertaqwa kepada Allah akan diberikan rejeki yang tanpa hisab (laa yahtasib) dan mereka yang bertawakkal kepada-Nya akan dicukupi (QS Ath-Thalaaq [65]: 2 – 3). Jika kita sekarang ingin mencari rejeki maka setiap karsa kita akan kena hisab (perhitungan). Hendak berjualan sesuatu, buat apa?
Mau ke suatu kota, apa alasannya? Punya uang banyak, untuk keperluan apa? Apapun yang kemudian ditemukan sebagai sebuah kasab (pekerjaan yang menghasilkan uang, penghidupan) akan dihisab. Nabi S.A.W. bersabda bahwa seseorang akan ditanya ihwal pasir yang dihancurkan dengan dua jarinya. Bahkan seseorang yang sedang memegang sejumput pasir dan iseng menghancurkannya pun akan ditanyakan mengenai perilaku tersebut. Hal itu adalah sebuah metafora atau perumpamaan bagi orang awam bahwa sampai hal sekecil-kecilnya Allah lihat.
Maksud “berserah diri” adalah “bekerja keras menemukan kehendak-Nya” kemudian mengalir (ber-tasbih) dalam kehendak-Nya. Jika kita pasrah dan tak berbuat apa-apa, sebenarnya kita hanya berserah diri pada kehendak syahwat saja yaitu syahwat, berserah kepada kemalasan. Hanya ada dua kemungkinan dalam berserah diri: berserah diri kepada kehendak-Nya atau selain dari kehendak-Nya (lebih tepatnya kehendak hawa nafsu dan syahwat kita). Sangatlah berbeda antara pasrah dengan berserah diri.
Dalam konteks suluk orang tidak akan menemukan Ruh Al-Quds dan menjadi saksi-Nya yang benar kalau hanya membuat sebuah gua, tempat kerahiban, mengurung diri di kamar, karena dengan mengurung di kamar justru dia terikat dengan syahwat dan hawa nafsunya.
Mungkin seseorang berpikir “Ah, kan Rasulullah S.A.W. juga ke Gua Hira, pasti yang terbaik seperti itu”. Belum tentu, orang itu sudah terkena waham tersebut. Konsepsi “zuhud” itu bukan meninggalkan dunia, tapi tidak mencintai dunia. Masuk ke dalam gua meninggalkan seluruh kemewahan tetapi kalbunya berharap kemewahan itu tidaklah zuhud. Bahkan jika kita tengah memegang emas seberat satu ton tapi dipandang sebagai sebuah titipan, dimiliki tidak dicintai, itu zuhud.
Dunia sufi itu sudah terburamkan oleh satu pemikiran yang kurang tepat. Ada sufi-sufi yang Allah perintahkan untuk hidup compang-camping. Tapi sufi tersebut memang mandiri, tidak minta-minta, bahagia seperti itu, tidak pernah menyesali diri menjadi seperti itu. Bagi sang sufi itulah jalannya: menjauh dari keramaian, memisahkan diri.
Tetapi kalau seseorang menyendiri, menjauh dari keramaian, karena karsa hawa nafsunya maka itu bukanlah amal shalih dan tidak akan menemukan Tuhan sama sekali karena ia diikat oleh sebuah waham spiritual, bukan Tuhan yang dicari. Jika kita mencari Allah Ta’ala maka kita bergerak dari apa yang ditangan kita saat ini. Kita tidak akan meninggalkan yang sekarang dan mencari sebuah bentuk peribadatan yang belum tentu baik.
Sebagai contoh seorang Sulaiman a.s. adalah orang yang harus kaya, demikian pula seorang Daud a.s. yang merupakan seorang raja. Mereka adalah Nabi dan Rasul yang tentunya kita imani. Tetapi bagi Daud dan Sulaiman, kehidupan yang sangat mewah itu tentu amat menggusarkan hatinya, tidak membuat mereka senang, tetapi karena amanatnya memang harus menjadi simbol kerajaan maka mereka harus menjadi raja.
Jika suatu ketika sahabat-sahabat bersua dengan kedua nabi itu akan nampak bahwa mereka sangat sederhana dan bersahaja. Seperti juga Umar bin Khatthab r.a. yang seorang sahabat dekat Rasulullah pula seorang waliyullah. Walaupun ia seorang khalifah besar, tapi di manakah istana seorang Umar. Mencari kebesaran tentu bukan hal yang sulit baginya. Sahabat Abu Bakar r.a. menghidupi keluarganya dengan menganyam. Ada manusia yang bertugas kaya dan ada juga yang bertugas miskin, dalam kaca mata manusia, tapi mereka-mereka yang menjalankan tugas dari-Nya tidak pernah miskin. Mereka tetap qanaah (merasa cukup) dan orang kaya sejati adalah orang yang qanaah. Orang kaya kalau tetap merasa kekurangan maka itu bukanlah orang kaya meskipun representasinya dalam kacamata kebanyakan manusia adalah bergelimang kemewahan.
Seorang Daud a.s. jika kemudian meninggalkan kerajaannya maka itu bukanlah amal shalih karena ia mengkhianati apa yang Allah kehendaki. Jadi amal shalih itu sebuah tindakan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sekarang bagaimana mungkin seseorang akan mengenal Tuhan dan segenap kehendak-Nya kalau qalb-nya tidak terhubung kepada Allah Ta’ala ?
Dalam konteks agama sebenarnya Allah akan melihat hati. Kemana bergeraknya qalb kita: mencari Allah kah, kehebatankah, harga diri kah, Dia Mahatahu. Dia Mahatahu siapa-siapa yang mencari dia; juga siapa-siapa yang tidak mencari dia. Setiap orang yang mencari Dia akan ditransformasi, dan setiap orang yang tidak mencari dia tidak akan ditransformasi. Jadi jangan pernah takut karena jika kita memang mencari Dia, mengharapkan ridha-Nya, maka kita akan Dia transformasi dan ditarik menuju-Nya. Lain halnya kalau kita menggunakan agama seperti mencari Allah padahal hanya menjual Agama. Na’udzu billahi min dzalik.
Gagasan suluk adalah menghidupkan qalb baru kemudian mengerti sebenarnya apa yang Dia kehendaki terhadap kita, terhadap semua urusan yang menimpa kita. Kita betul-betul berangkat dari state (keadaan) yang kita miliki hari ini. Apapun problem kita, itulah jalan menuju Allah Ta’ala. Jangan coba berpikir “andai kalau saya berada di sana saya akan lebih baik”. Menuju Allah adalah dari hari ini, dari apa yang Allah anugerahkan kepada tangan kita entah itu pahit atau manis. Tidak boleh kita menolak sesuatu dari Allah Ta’ala yang seolah nampak buruk.
Periksa hati kita apakah kita mau mencari Dia atau tidak. Allah hanya akan melihat, membuka kuasa, menurunkan kuasa, memberikan sebuah proses pendidikan kepada orang yang mencari dia. Apapun keadaannya, seorang perampok-kah, seorang bajingan-kah, seorang kiai-kah. Allah tidak melihat sejauh mana kah agama, ilmu yang dibawa seseorang hari ini. Yang penting dia berjalan mencari Allah Ta’ala, berangkat dari manapun dia. Allah siap dikontak setiap saat, pintu-Nya terbuka kapan pun bagi hamba-Nya yang ingin kembali, seburuk apapun kondisi sang hamba.
Paparan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa sebelum kita menangkap apa itu karsa-Nya maka perlu dikenali apa kehendak yang Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Masing-masing kita diciptakan seorang diri, keluar dari perut ibu tanpa teman; membawa apakah kita? Padahal menurut Al-Qur’an setiap manusia nafs-nya dipanggil Allah Ta’ala sebelum masuk ke dalam rahim ibu dan diberi mandat atau amanah untuk mengerjakan sesuatu.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap nafs mereka: ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai/ lengah terhadap ini.’” (QS Al-A’raf [7]: 172).
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.”
(QS Al-Isra’ [17] : 13).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa pemanggilan nafs tersebut adalah persaksian awal nafs akan keberadaan Rabb semesta alam sekaligus menjelaskan kemisian yang diemban manusia ketika akan berangkat menjalankan tugasnya di bumi. Drama persaksian dilakukan agar manusia kelak tidak mengingkari persaksian akan Rabb semesta alam jika kemudian lalai terjerembab dalam dunia bahkan melupakan misinya. Melupakan amanat yang diemban nafs yang jika dilakukan akan merupakan sarana untuk meneropong Dia, mengenali kehendak-Nya dalam diri dan melaju untuk mengenal Allah Ta’ala dan menjadi saksi-Nya yang sejati.
Hari ini kita lupa masa pertemuan dengan Allah di ‘Alam Alastu’. Lupanya kita akan apa yang dibincangkan saat itu praktis membuat kita tidak pernah tahu apa yang seharusnya kita kerjakan. Alpanya kita adalah karena tertutup oleh hijab waham, hawa nafsu, syahwat, dan dosa. Bongkar dan buang dulu semua tabir itu maka kelak semua peristiwa di ‘Alam Alastu’ itu akan terbuka lagi, terjadinya peristiwa penemuan diri, tujuan sejati dari sebuah proses suluk, kembali melihat drama ketika Allah memanggil jiwa kita.
Dengan penemuan diri maka akan terbuka kotak kemisian yang jika manusia menitinya maka akan dapat menatap Rabb yang tepat berada di atasnya, tepat di atas Shirath Al-Mustaqiim. Sebuah kemisian yang amat berat yang bahkan tak sanggup disangga oleh gunung, amanat yang jika dilakukan akan mengantar sang hamba bersua Rabb-nya.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS Al-Ahzab [33]: 72).
“Katakanlah: ’Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa.’ ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhan-nya.’”
(QS Al-Kahfi [18]: 110)
Iman, Sarana Keterhubungan Hamba dengan Tuhannya
Dalam konteks suluk yang disebut dengan Shirath Al-Mustaqiim berkaitan dengan orbit diri kita masing-masing. Tiap orang punya shirath masing-masing, punya cara hidup masing-masing, sesuatu yang mesti dia tuntut dalam kehidupan. Dalam suluk akan mulai terbuka sebenarnya siapa jiwa kita ini dan apa yang harus dikerjakannya. Amal apa yang harus dilakukan yang dengan itu ia akan berjumpa Rabb-nya. Tentunya amal itu adalah amal shalih, amal yang terhubung ke Allah Ta’ala. Amal yang merupakan kehendak-Nya bagi diri kita yang telah Dia tetapkan di ‘Alam Alastu’.
Karena yang disebut dengan amal shalih itu adalah amal yang terhubung ke Allah Ta’ala maka tidak semua pekerjaan yang baik (di mata manusia) itu amal shalih. Mungkin ada manusia yang cukup puas dengan: “Saya mau infaq saja, atau shadaqah saja, atau shalat saja”. Kapan pun manusia hidup, manusia tinggal, ia dapat mengerjakan berbagai macam kebaikan, entah itu haji, infaq, mencari nafkah, tapi tidak semua yang baik-baik itu amal shalih. Diantara sekian peluang kebaikan pada suatu titik waktu maka hanya ada satu yang merupakan amal shalih.
Sebelumnya telah kita bahas bahwa diperlukan qalb untuk menghubungkan diri dengan-Nya, dengan petunjuk-Nya (ke Shirath Al-Mustaqiim). Diperlukan sarana yang dengan itu maka amal yang terhubung dengan Allah Ta’ala terejawantahkan. Apakah sarana yang menghubungkan qalb dengan Allah Ta’ala?
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh ni’mat.”
(QS Yunus [10]: 9).
Dan barangsiapa yang beriman dengan Allah (yu’min billah) niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (QS At-Taghabun [64]: 11).
Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada (bi = dengan) ayat-ayat Allah, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka ...”
(QS An-Nahl [16]: 104).
Diperlukan iman agar petunjuk-Nya jatuh ke dalam qalb. Amal shalih tak mungkin muncul tanpa iman. Gabungan antara iman dan amal shalih ini membuahkan taqwa. Maka dari itu iman tanpa amal shalih tidak ada gunanya, tidak ada proses melaju menuju Shirath Al-Mustaqiim.
Definisi yang kita kenal sejak kecil tentang ‘iman’ itu adalah ma’rifatu-l-qalb atau tashdiq (pembenaran) bi-l-qalb, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh (arkan). Namun yang pertama ada di tingkat qalb, bukan di nalar. “Ah, saya percaya pada Tuhan karena sekian bukti empirik menyatakan bahwa Tuhan itu ada”. Itu belum iman yang sejati karena masih sekadar di kepala, belum berupa cahaya Sang Al-Mu’min yang dipancarkan ke dalam qalb. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa keimanan kepada Allah itu memiliki tiga tingkatan , yaitu:
1. Iman orang Awam, yaitu iman dengan taqlid semata
2. Iman mutakallimin, yang bercampur baur dengan pembuktian {istidlal}. Derajat iman ini dekat dengan derajat iman orang awam
3. Iman ‘arifin, yaitu iman yang dibuktikan dengan cahaya
Definisi iman itu mencakup dari qalb sampai ke anggota. Dari tingkat jiwa merembes ke mata, lidah, tangan, hingga kaki. Kadang-kadang yang kita rasakan hanya jasadiah semata, yang di luar saja. Ketika cahaya itu mengumpul di qalb maka semua kehendak-Nya tersampaikan, itulah yu’min “bi”-llah. “Bi” itu sebuah ‘penyertaan’, bukan sekadar ‘atas nama’ Allah atau ‘dengan’ nama Allah. Serupa dengan kata fii (“dalam”) pada kalimat jahadu fii naa “berjihad dalam kami” (QS Al-Ankabut [29]: 69) yang menyatakan ketenggelaman dalam kehendak-Nya. “Dan yang bersungguh-sungguh berjihad di dalam Kami, maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami ...”.
Maksud kata “bi”-llah bukan sekadar “atas nama Tuhan” yang “tidak bersama Tuhan”. Meliankan ada keterhubungan antara apa yang Allah kehendaki dengan tindakan lahiriah. Karena kalau terputus, maka yang akan memilih adalah hawa nafsu, syahwat, atau waham agama; Kehendak-Nya tidak ada. Tetapi kita dalam konteks yu’min billah, beriman beserta Allah, tenggelam ke dalam Tuhan, maka segala yang selain wajah-Nya fana’ (tiada) semata. Tiada karsa, tiada nilai, yang berasal dari pendapat nalar, atau syahwat, atau waham agama sekalipun. Yang menentukan adalah apa yang Allah kehendaki.
(Lihat gambar 1 dan 2)
Seorang hamba kadang risau apakah yang Allah kehendaki telah saya kerjakan. Sampai ke sebuah titik resah meresahkan ihwal apa yang Allah kehendaki merupakan awal hidayah. Dan menangkap karsanya Gusti (Allah Ta’ala) bukan hal yang mudah, perlu sekian syarat dalam Al-Qur’an. Bukan sesuatu yang mudah diterobos, akan teruji jihad dan kesungguhan kita dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala. Apakah layak seseorang bisa menyentuh karsa-Nya, kehendak-Nya, jatinya kehidupan. Hal ini merupakan proses yang panjang. Awalnya belajar terjun ke dalam kehendak-Nya (fana’ filllah), nanti beserta dengan Allah ta’ala (fana’ billah), baru kemudian bertemu dengan-Nya (liqa Allah).
Jika, misalkan, kita kemudian mengetahui apa karsa-Nya maka kita secara praktis tidak akan terguncangkan oleh apapun yang terjadi di muka bumi ini. Karena semua yang hadir akan terbaca sebagai kehendak-Nya. Apa pun yang manifest di bumi ini adalah kehendak-Nya. Apakah Iblis muncul dengan tidak Allah kehendaki? Tentu tidak bukan. Allah menciptakan makhluk bernama Azazil dari kalangan jin yang karena pengabdian dan keunggulannya diangkat segolongan dengan para malaikat. Tiada tempat di alam semesta di mana Azazil belum pernah bersujud di dalamnya.
Ketika Allah Ta’ala mencipta Adam tiba-tiba Azazil membangkang kepada Allah Ta’ala dan tidak mau menyembah kepada Adam. Apakah Allah kecolongan? Semua sudah tertulis bahwa makhluk itu akan membangkang ketika diciptakan Adam. Dalam Al-Qur’an dicatat bahwa sesungguhnya Iblis tidak melihat penciptaan manusia. Apa yang dilihat iblis adalah hanya ketika dirinya dibuat dari api dan melihat Adam dibuat dari tanah.
Tanah dikalahkan api. Proses penciptaan jiwa tidak dilihat oleh Iblis. Ia merasa lebih tinggi karena api seolah-olah lebih tinggi dari tanah, padahal di dalam tanah itu ada yang lebih tinggi dari api: cahaya (nafs). Itu yang tidak disaksikan iblis. Itu sebuah takdir yang kalau dibaca dengan akal sekarang akan membingungkan. Tapi apapun yang terjadi di muka bumi adalah dalam kehendak-Nya, tinggal bagaimana kita mengalir bersama-Nya dalam arus besar kehidupan ini. Mengerjakan peran yang Dia kehendaki dalam peradaban yang bergerak.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar