oleh Sabari Muhammad
Kumpulan Kajian Al Qur’an - Yayasan Islam Paramartha
Keberserah-dirian
Pendahuluan
Keberserah-dirian adalah suatu prinsip yang paling mudah disebut, tetapi paling sulit disampaikan. Ia bukanlah sebuah pengertian yang dapat kita ambil dari orang lain, melainkan sesuatu yang harus dicari sendiri oleh setiap orang. Kitab-kitab suci memandu pembacanya dengan membentangkan contoh-contoh keberserah-dirian dari mereka yang dididik Allah. Para nabi dan orang-orang suci yang merupakan teladan bagi manusia itu—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.
Terdapat kaitan yang sangat erat antara istilah-istilah kunci dalam ayat ini:
“Dan siapakah yang lebih baik diin-nya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan ia seorang muhsinun dan mengikuti milah Ibrahim yang hanif, dan Allah telah mengambil Ibrahim sebagai khalil-Nya.”
(QS An Nisaa’ [4]: 125).
Sebagaimana dibahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, berserah-diri itu adalah bekerja-keras menemukan kehendak-Nya, dan kemudian mengalir (bertasbih) dalam kehendak-Nya. Berserah-diri adalah sendi agama. Ia adalah prinsip dasar yang di atasnya segala sesuatu yang lain ditegakkan. ‘Berserah-diri’ merupakan makna yang dicoba disampaikan dengan berbagai istilah penting, antara lain: aslama (dari akar ini istilah yang dipilih untuk menjadi nama agama yang diridhai, Al-Islam, berasal), sabaha (dari sini kita mendapatkan kata tasbih), na’budu (mengabdi), sujada (akar kata sujud). Istilah-istilah ini bertebaran di seantero Al-Qur’an. Kiprah berbagai nabi dan rasul memperlihatkan keberserahdirian mereka dalam jalan pendidikan Allah kepada diri mereka masing-masing. Keberserah-dirian adalah istilah dari ‘state’ yang dipilih Allah untuk nama agama-Nya. Setiap nabi—yang semuanya ber-ma’mum kepada Rasulullah Muhammad s.a.w.—membawakan tema keberserah-dirian sesuai dengan perintah Allah yang mereka terima. Inilah ‘nafas’ dari setiap syariah yang mereka bawakan. Baru pada fase kenabian Muhammad s.a.w. itulah tema-dasar dari semua kenabian sebelumnya itu diangkat menjadi nama dari agama (ad-Diin). Tiada tempat bagi kita untuk tidak berserah-diri, karena semua makhluk ciptaan yang lainnya—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.
Berserah-diri ... Sedari Awalnya
Semua makhluk adalah ciptaan, yang tidak pernah jeda bergantung dan membutuhkan Sang Pencipta. Sejak awalnya, yang diminta dari semua makhluk adalah keberserah-dirian kepada-Nya. Demikianlah, menurut sebuah Hadits Qudsi, yang pertama-tama tertulis di al-Lawh al-Mahfudz adalah Sabda Ilahi berikut ini:
“Bismillahir rahmanir rahiim. Barangsiapa yang taslama kepada qadha-Ku dan ridha dengan pengaturan (hukm)-Ku, dan sabar atas ujian (bala’)-Ku, niscaya Aku bangkitkan ia pada hari kiamat (al-yaum al-qiyamah) bersama para ash-shiddiqiin.”
(HQR Dailami dari Ibnu Abbas r.a.).
Banyak sekali ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa keberserah-dirian merupakan sikap dasar dari semua ciptaan di lelangit dan bumi.
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia bersabda kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kalian dengan suka-hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘kami datang dengan suka-hati.’”
(QS Fushshilat [41]: 11)
“Maka apakah mereka mencari selain diin Allah, padahal berserah-diri (aslama) segala sesuatu di lelangit dan bumi dengan suka-hati ataupun terpaksa, dan kepada Allahlah mereka dikembalikan.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 83).
Diajarkan Semua Nabi
Kepada nenek-moyang kita semua diturunkan firman ini:
“Allah bersabda: ‘Turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS Thaahaa [20]: 123).
Persoalan dasar bagi setiap jiwa adalah: apakah alam yang disini dan kini akan menjadi alam-dunia yang akan membuatnya terjebak dan menganggap bahwa disini dan kini itu merupakan keseluruhan perjalanannya; ataukah akan menjadi ‘mahdan’ suatu tempat petunjuk yang memang perlu dicari dan dikumpulkannya demi kemaslahatan jiwanya di alam-alam berikutnya. Kita telah mengetahui bahwa raga itu memang diciptakan dari unsur-unsur bumi, karenanya ia mencintai segala sesuatu dari alam ini, dan menganggap bahwa di sini dan kini adalah keseluruhan alam yang diperlukannya. Di dalam diri seseorang, hal ini berhadapan dengan kecenderungan jiwa yang menganggap bahwa semua yang dilakoninya di bumi ini merupakan tahap yang diperlukannya untuk mengumpulkan bekal dalam keseluruhan perjalanannya. Yang pertama-tama teramat penting baginya dalam fase kehidupan di Bumi ini adalah pemenuhan perjanjian primordial dengan Tuhannya. Amanah yang telah disepakatinya dalam perjanjian di alam alastu itulah yang merupakan perhatian utamanya, sedangkan semua yang lain merupakan penunjang yang mendukung pelaksanaan amanah tersebut. Karenanya, tidak ada satu hal pun yang dialaminya yang dianggapnya sebagai suatu kebetulan belaka. Baginya, Bumi ini tidaklah lain dari suatu mahdan: arena tempat Tuhan menaruh berbagai petunjuk yang dibutuhkannya untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Untuk melepaskan diri dari hanya sekedar memperturutkan kemauan ragawinya itulah maka setiap orang memerlukan ‘petunjuk’ bagi kemaslahatan jiwa-nya. Sewaktu seseorang berupaya patuh pada petenjuk yang memandu kepada kemaslahatan jiwanya, maka ia memerlukan jasa dari raganya. Tetapi raga di sini tidak lagi ditempatkannya sebagai ‘tuan besar’ yang harus dituruti semua kemauannya, akan tetapi akan ditempatkannya sebagai ‘tunggangan’ yang digembalakannya, dan dikendarainya kesana kemari sesuai keperluannya. Dan petunjuk itu membutuhkan kelapangan dada untuk berserah-diri. Antara lain, itulah signifikannya pelajaran dari hadits Rasulullah s.a.w. ini:
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya,
niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
‘Mati sebelum mati’ itulah yang dicari oleh mereka yang taubatnya sejati. Tentu saja artinya bukan bunuh-diri ragawi, melainkan suatu keadaan ideal dimana yang dikerjakan itu sepenuhnya merupakan petunjuk-Nya—penyerahan wajah sang hamba sepenuhnya kepada Sang Pencipta—bukan sesuatu yang berasal dari keinginannya sendiri. Barulah dikatakan seorang pencari itu menjadi ‘sufi’ jika ia telah sampai pada keadaan itu. Oleh karena itu, jelaslah panduan bagi semua orang yang mencari Allah adalah pelajaran Allah sendiri kepada para nabi: mereka itulah yang merupakan panutan dalam keberserah-dirian.
‘Dibukanya-dada’ untuk berserah-diri itulah yang akan membawa kepada pelimpahan cahaya dari Tuhan, yang tanpa cahaya itu manusia akan tersesat dalam kegelapannya sendiri.
“Maka apakah yang dibukakan Allah dadanya kepada keberserah-dirian lalu ia mendapatkan cahaya dari Rabb-nya ...”
(QS Az Zumar [39]: 22).
“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu ia berjalan diantara manusia serupa dengan yang dalam kegelapan yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya. Demikianlah al-kafirin memandang-baik apa yang mereka kerjakan.”
(QS Al An’aam [6]: 122).
Pendidikan Allah yang senada dengan hadits di atas juga disampaikan dalam awal risalah Nabi Ibrahim a.s. dalam persoalan pencarian Tuhan semesta alam yang harus dicari petunjuk-Nya, diantara belantara himbauan makhuk-makhluk lain:
“Maka kemanakah kalian akan pergi?”
“Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, kiranya Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Ibrahim, khalilullah a.s. sang Bapak bangsa-bangsa (abra arham) meneladankan dalam risalahnya pencarian akan Allah yang konsisten dalam keberserah-dirian. Tauhid sejati yang diamalkannya hanya mengenal satu obyektif dan satu sumber panduan saja: Allah, Sang Pencipta sendiri.
Bagi para nabi, tidaklah ada perbedaan diantara mereka, semuanya saja menyerukan keberserah-dirian dengan meneladakannya kepada umat mereka masing-masing.
“Katakanlah kami beriman billah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, dan Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan para nabi dari Tuhan mereka, tidaklah Kami membedak-bedakan seorang pun diantara mereka. Dan kepada-Nya lah kami berserah-diri.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 84).
Ad-Diin, Al-Islam
Simbol yang dipergunakan di alam jiwa bagi agama (ad-diin) adalah (buhul) tali yang terulur dari langit untuk berpegangannya jiwa kepadanya. Tali yang sangat halus ini mensyaratkan keberserahan-diri agar dapat terpegang. Tanpa kehalusan itu, manusia cenderung lebih memilih genggaman yang lebih ‘kuat-teraba’ dan ‘pasti.’
“Dan barangsiapa menyerahkan (yuslimu) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang kokoh.”
(QS Luqman [31]: 22).
Keseluruhan aspek diri seseorang, itulah yang diwakili oleh ‘wajah.’ Inilah yang dihimbau untuk diserahkan—seluruhnya—demi kebaikannya sendiri:
“Demikianlah, barangsiapa menyerahkan (aslama) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), maka ia memiliki ganjaran (ajran) di sisi Rabb-nya.”
(QS Al Baqarah [2]: 112)
Dan kita bisa merenungkan kembali ayat berikut ini, tentang lebah (an-nahl) yang merupakan simbol dari suatu kaum—yang melayang dalam perjalanannya di bumi ini:
“Dan Rabb-mu mewahyukan kepada seekor lebah (an-nahli): buatlah dari gunung (al-jibal) sarang-sarang, dan dari pohon (asy-syajari), dan dari apa-apa yang meng-‘arsy (ya’risyun).”
(An-Nahl [16]: 68).
Keberserah-dirian secara paripurna, itulah agama (ad-ddin):
“Barangsiapa mencari selain al-islam sebagai diin-nya, maka sekali-kali tidaklah itu dikabulkan darinya. Dan ia pada hari akhirat termasuk golongan yang merugi.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Tidak Ada Tempat bagi Ciptaan yang Tidak Berserah-diri
Tanpa keberserah-dirian itu, maka suatu ciptaan menjadi ‘asing’ diantara ciptaan-ciptaan lainnya. Dan posisinya menjadi tidak jelas: ia makhluk yang keberadaannya senantiasa bergantung kepada yang mengadakannya, tetapi kepada yang mengadakannya itu ia tidak mau berserah-diri. Sementara itu lelangit, bumi dan semua makhluk lainnya berserah-diri. Ini bertebaran dalam banyak sekali ayat yang menyatakan mereka itu bertasbih, bersujud, mengabdi, dan dengan istilah-istilah searti lainnya.
Allah memperingatkan dalam sebuah Hadist Qudsi berikut ini, yang mendeskripsikan pokok-pokok persoalan keberserah-dirian, dan juga dengan sangat keras menyatakan bahwa tiada tempat dalam ciptaan bagi makhluk yang tidak berserah-diri:
“Barangsiapa tidak ridha dengan qadha-Ku, dan tidak bersabar atas ujian (bala’)-Ku, tidak bersyukur atas ni’mat-Ku, dan tidak mau menerima apa yang Aku berikan, maka sembahlah Tuhan selain Aku.”
Note:Alhamdulillah wa Syukrulillah,
materi pengantar kajian Al Qur’an dari program Serambi Suluk - Yayasan Islam Paramartha, telah selesai kami upload di Notes FB kami.
Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing kami yang telah memberi izin utk memuatnya di Notes kami,
Semoga bermanfa'at bagi yang membacanya dan semoga Allah SWT berkenan utk membimbing kita bersama dalam memahami alur perjalanan menuju-Nya, aamiin
Subhaanakallaahumma wa bihamdika. Asyhadu an-laa ilaaha illaa Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.
(“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan segala pujian bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun kepadaMu dan aku bertaubat kepadaMu.” )
was-salaamu 'alaikum wr wb
Keberserah-dirian
Pendahuluan
Keberserah-dirian adalah suatu prinsip yang paling mudah disebut, tetapi paling sulit disampaikan. Ia bukanlah sebuah pengertian yang dapat kita ambil dari orang lain, melainkan sesuatu yang harus dicari sendiri oleh setiap orang. Kitab-kitab suci memandu pembacanya dengan membentangkan contoh-contoh keberserah-dirian dari mereka yang dididik Allah. Para nabi dan orang-orang suci yang merupakan teladan bagi manusia itu—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.
Terdapat kaitan yang sangat erat antara istilah-istilah kunci dalam ayat ini:
“Dan siapakah yang lebih baik diin-nya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan ia seorang muhsinun dan mengikuti milah Ibrahim yang hanif, dan Allah telah mengambil Ibrahim sebagai khalil-Nya.”
(QS An Nisaa’ [4]: 125).
Sebagaimana dibahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, berserah-diri itu adalah bekerja-keras menemukan kehendak-Nya, dan kemudian mengalir (bertasbih) dalam kehendak-Nya. Berserah-diri adalah sendi agama. Ia adalah prinsip dasar yang di atasnya segala sesuatu yang lain ditegakkan. ‘Berserah-diri’ merupakan makna yang dicoba disampaikan dengan berbagai istilah penting, antara lain: aslama (dari akar ini istilah yang dipilih untuk menjadi nama agama yang diridhai, Al-Islam, berasal), sabaha (dari sini kita mendapatkan kata tasbih), na’budu (mengabdi), sujada (akar kata sujud). Istilah-istilah ini bertebaran di seantero Al-Qur’an. Kiprah berbagai nabi dan rasul memperlihatkan keberserahdirian mereka dalam jalan pendidikan Allah kepada diri mereka masing-masing. Keberserah-dirian adalah istilah dari ‘state’ yang dipilih Allah untuk nama agama-Nya. Setiap nabi—yang semuanya ber-ma’mum kepada Rasulullah Muhammad s.a.w.—membawakan tema keberserah-dirian sesuai dengan perintah Allah yang mereka terima. Inilah ‘nafas’ dari setiap syariah yang mereka bawakan. Baru pada fase kenabian Muhammad s.a.w. itulah tema-dasar dari semua kenabian sebelumnya itu diangkat menjadi nama dari agama (ad-Diin). Tiada tempat bagi kita untuk tidak berserah-diri, karena semua makhluk ciptaan yang lainnya—tanpa kecuali—semuanya berserah-diri.
Berserah-diri ... Sedari Awalnya
Semua makhluk adalah ciptaan, yang tidak pernah jeda bergantung dan membutuhkan Sang Pencipta. Sejak awalnya, yang diminta dari semua makhluk adalah keberserah-dirian kepada-Nya. Demikianlah, menurut sebuah Hadits Qudsi, yang pertama-tama tertulis di al-Lawh al-Mahfudz adalah Sabda Ilahi berikut ini:
“Bismillahir rahmanir rahiim. Barangsiapa yang taslama kepada qadha-Ku dan ridha dengan pengaturan (hukm)-Ku, dan sabar atas ujian (bala’)-Ku, niscaya Aku bangkitkan ia pada hari kiamat (al-yaum al-qiyamah) bersama para ash-shiddiqiin.”
(HQR Dailami dari Ibnu Abbas r.a.).
Banyak sekali ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa keberserah-dirian merupakan sikap dasar dari semua ciptaan di lelangit dan bumi.
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia bersabda kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kalian dengan suka-hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘kami datang dengan suka-hati.’”
(QS Fushshilat [41]: 11)
“Maka apakah mereka mencari selain diin Allah, padahal berserah-diri (aslama) segala sesuatu di lelangit dan bumi dengan suka-hati ataupun terpaksa, dan kepada Allahlah mereka dikembalikan.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 83).
Diajarkan Semua Nabi
Kepada nenek-moyang kita semua diturunkan firman ini:
“Allah bersabda: ‘Turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS Thaahaa [20]: 123).
Persoalan dasar bagi setiap jiwa adalah: apakah alam yang disini dan kini akan menjadi alam-dunia yang akan membuatnya terjebak dan menganggap bahwa disini dan kini itu merupakan keseluruhan perjalanannya; ataukah akan menjadi ‘mahdan’ suatu tempat petunjuk yang memang perlu dicari dan dikumpulkannya demi kemaslahatan jiwanya di alam-alam berikutnya. Kita telah mengetahui bahwa raga itu memang diciptakan dari unsur-unsur bumi, karenanya ia mencintai segala sesuatu dari alam ini, dan menganggap bahwa di sini dan kini adalah keseluruhan alam yang diperlukannya. Di dalam diri seseorang, hal ini berhadapan dengan kecenderungan jiwa yang menganggap bahwa semua yang dilakoninya di bumi ini merupakan tahap yang diperlukannya untuk mengumpulkan bekal dalam keseluruhan perjalanannya. Yang pertama-tama teramat penting baginya dalam fase kehidupan di Bumi ini adalah pemenuhan perjanjian primordial dengan Tuhannya. Amanah yang telah disepakatinya dalam perjanjian di alam alastu itulah yang merupakan perhatian utamanya, sedangkan semua yang lain merupakan penunjang yang mendukung pelaksanaan amanah tersebut. Karenanya, tidak ada satu hal pun yang dialaminya yang dianggapnya sebagai suatu kebetulan belaka. Baginya, Bumi ini tidaklah lain dari suatu mahdan: arena tempat Tuhan menaruh berbagai petunjuk yang dibutuhkannya untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Untuk melepaskan diri dari hanya sekedar memperturutkan kemauan ragawinya itulah maka setiap orang memerlukan ‘petunjuk’ bagi kemaslahatan jiwa-nya. Sewaktu seseorang berupaya patuh pada petenjuk yang memandu kepada kemaslahatan jiwanya, maka ia memerlukan jasa dari raganya. Tetapi raga di sini tidak lagi ditempatkannya sebagai ‘tuan besar’ yang harus dituruti semua kemauannya, akan tetapi akan ditempatkannya sebagai ‘tunggangan’ yang digembalakannya, dan dikendarainya kesana kemari sesuai keperluannya. Dan petunjuk itu membutuhkan kelapangan dada untuk berserah-diri. Antara lain, itulah signifikannya pelajaran dari hadits Rasulullah s.a.w. ini:
Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya,
niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…”
Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
‘Mati sebelum mati’ itulah yang dicari oleh mereka yang taubatnya sejati. Tentu saja artinya bukan bunuh-diri ragawi, melainkan suatu keadaan ideal dimana yang dikerjakan itu sepenuhnya merupakan petunjuk-Nya—penyerahan wajah sang hamba sepenuhnya kepada Sang Pencipta—bukan sesuatu yang berasal dari keinginannya sendiri. Barulah dikatakan seorang pencari itu menjadi ‘sufi’ jika ia telah sampai pada keadaan itu. Oleh karena itu, jelaslah panduan bagi semua orang yang mencari Allah adalah pelajaran Allah sendiri kepada para nabi: mereka itulah yang merupakan panutan dalam keberserah-dirian.
‘Dibukanya-dada’ untuk berserah-diri itulah yang akan membawa kepada pelimpahan cahaya dari Tuhan, yang tanpa cahaya itu manusia akan tersesat dalam kegelapannya sendiri.
“Maka apakah yang dibukakan Allah dadanya kepada keberserah-dirian lalu ia mendapatkan cahaya dari Rabb-nya ...”
(QS Az Zumar [39]: 22).
“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu ia berjalan diantara manusia serupa dengan yang dalam kegelapan yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya. Demikianlah al-kafirin memandang-baik apa yang mereka kerjakan.”
(QS Al An’aam [6]: 122).
Pendidikan Allah yang senada dengan hadits di atas juga disampaikan dalam awal risalah Nabi Ibrahim a.s. dalam persoalan pencarian Tuhan semesta alam yang harus dicari petunjuk-Nya, diantara belantara himbauan makhuk-makhluk lain:
“Maka kemanakah kalian akan pergi?”
“Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, kiranya Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Ibrahim, khalilullah a.s. sang Bapak bangsa-bangsa (abra arham) meneladankan dalam risalahnya pencarian akan Allah yang konsisten dalam keberserah-dirian. Tauhid sejati yang diamalkannya hanya mengenal satu obyektif dan satu sumber panduan saja: Allah, Sang Pencipta sendiri.
Bagi para nabi, tidaklah ada perbedaan diantara mereka, semuanya saja menyerukan keberserah-dirian dengan meneladakannya kepada umat mereka masing-masing.
“Katakanlah kami beriman billah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, dan Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan para nabi dari Tuhan mereka, tidaklah Kami membedak-bedakan seorang pun diantara mereka. Dan kepada-Nya lah kami berserah-diri.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 84).
Ad-Diin, Al-Islam
Simbol yang dipergunakan di alam jiwa bagi agama (ad-diin) adalah (buhul) tali yang terulur dari langit untuk berpegangannya jiwa kepadanya. Tali yang sangat halus ini mensyaratkan keberserahan-diri agar dapat terpegang. Tanpa kehalusan itu, manusia cenderung lebih memilih genggaman yang lebih ‘kuat-teraba’ dan ‘pasti.’
“Dan barangsiapa menyerahkan (yuslimu) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang kokoh.”
(QS Luqman [31]: 22).
Keseluruhan aspek diri seseorang, itulah yang diwakili oleh ‘wajah.’ Inilah yang dihimbau untuk diserahkan—seluruhnya—demi kebaikannya sendiri:
“Demikianlah, barangsiapa menyerahkan (aslama) wajahnya kepada Allah dan ia berbuat dengan ihsan (muhsinun), maka ia memiliki ganjaran (ajran) di sisi Rabb-nya.”
(QS Al Baqarah [2]: 112)
Dan kita bisa merenungkan kembali ayat berikut ini, tentang lebah (an-nahl) yang merupakan simbol dari suatu kaum—yang melayang dalam perjalanannya di bumi ini:
“Dan Rabb-mu mewahyukan kepada seekor lebah (an-nahli): buatlah dari gunung (al-jibal) sarang-sarang, dan dari pohon (asy-syajari), dan dari apa-apa yang meng-‘arsy (ya’risyun).”
(An-Nahl [16]: 68).
Keberserah-dirian secara paripurna, itulah agama (ad-ddin):
“Barangsiapa mencari selain al-islam sebagai diin-nya, maka sekali-kali tidaklah itu dikabulkan darinya. Dan ia pada hari akhirat termasuk golongan yang merugi.”
(QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Tidak Ada Tempat bagi Ciptaan yang Tidak Berserah-diri
Tanpa keberserah-dirian itu, maka suatu ciptaan menjadi ‘asing’ diantara ciptaan-ciptaan lainnya. Dan posisinya menjadi tidak jelas: ia makhluk yang keberadaannya senantiasa bergantung kepada yang mengadakannya, tetapi kepada yang mengadakannya itu ia tidak mau berserah-diri. Sementara itu lelangit, bumi dan semua makhluk lainnya berserah-diri. Ini bertebaran dalam banyak sekali ayat yang menyatakan mereka itu bertasbih, bersujud, mengabdi, dan dengan istilah-istilah searti lainnya.
Allah memperingatkan dalam sebuah Hadist Qudsi berikut ini, yang mendeskripsikan pokok-pokok persoalan keberserah-dirian, dan juga dengan sangat keras menyatakan bahwa tiada tempat dalam ciptaan bagi makhluk yang tidak berserah-diri:
“Barangsiapa tidak ridha dengan qadha-Ku, dan tidak bersabar atas ujian (bala’)-Ku, tidak bersyukur atas ni’mat-Ku, dan tidak mau menerima apa yang Aku berikan, maka sembahlah Tuhan selain Aku.”
Note:Alhamdulillah wa Syukrulillah,
materi pengantar kajian Al Qur’an dari program Serambi Suluk - Yayasan Islam Paramartha, telah selesai kami upload di Notes FB kami.
Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing kami yang telah memberi izin utk memuatnya di Notes kami,
Semoga bermanfa'at bagi yang membacanya dan semoga Allah SWT berkenan utk membimbing kita bersama dalam memahami alur perjalanan menuju-Nya, aamiin
Subhaanakallaahumma wa bihamdika. Asyhadu an-laa ilaaha illaa Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.
(“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan segala pujian bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun kepadaMu dan aku bertaubat kepadaMu.” )
was-salaamu 'alaikum wr wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar