Peristiwa
Khandaq (6 Hijriah)
Salman
berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia tidak puas dengan agama Majusi
(menyembah bintang) yang dianut masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat
mengikuti pendeta Nasrani di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan
dijual sebagai seorang budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka
di Madinah.
Kabar
rencana Qurais menyerbu Madinah telah berhembus kencang. Salman mendengar pula
kabar itu. Ia tahu, saudara-saudaranya sesama Muslim di Madinah merasa gentar
dengan kabar tersebut. Bayang-bayang kekalahan di Perang Uhud belum lagi sirna.
Apalagi kini Qurais tidak sendirian. Mereka dibantu oleh puak-puak Arab dari
Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi. Pasukan musuh diperkirakan mencapai
jumlah 10 ribu orang.
Di
saat Muslim berkecil hati itu, Salman melontarkan gagasan untuk menggali parit
di dataran pintu masuk Madinah. Itu strategi perang yang sama sekali belum
dikenal masyarakat Arab. Rasul menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam
seluruh warga Madinah -termasuk Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras
menggali parit tersebut.
Selama
enam hari, parit tersebut diselesaikan. Rumah-rumah di sisi parit dikosongkan.
Para perempuan dan anak-anak diungsikan ke belakang. Batu-batu ditumpuk untuk
senjata melawan musuh yang nekat melompati parit itu. Dengan demikian posisi
Muslim di Madinah cukup aman. Di sebelah kanan terlindung gunung batu yang
terjal, di depan terdapat parit besar yang akan membuat terperosok pasukan
berkuda apalagi unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit inilah Muhammad
bermarkas yang ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya.
Musuh
sebenarnya bisa masuk dari dataran di belakang. Tapi itu tak mungkin dilakukan.
Di sana adalah pemukiman Yahudi Quraiza yang terikat perjanjian dengan
Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas untuk mengatur kebutuhan makan bagi
pasukan Muslim di garis depan.
Segera
pasukan musuh yang dikomandani Abu Sofyan tiba di Uhud. Mereka terkejut karena
tak melihat satupun pasukan Muslim. Lebih terkejut lagi saat mereka melihat
parit perlindungan di pintu masuk Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan
selain mengepung Madinah, dan membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang
demikian juga sulit dilakukan karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk
waktu yang relatif lama. Apalagi saat itu musim dingin.
Sudah
berhari-hari mereka mengepung. Tak ada perkembangan berarti. Ka'ab bin Akhtab
--Yahudi penyusun rencana perang itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais
dan Ghatafan untuk tidak pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan
Yahudi Quraiza agar mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza
sempat ragu. Namun mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad
agar memanggil kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir
dari Madinah. Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum
muslimin.
Orang-orang
Islam mulai menderita dengan sangat. Kelaparan di garis depan perang pada saat
musim dingin membuat pasukan muslim berjatuhan sakit. Beberapa orang bahkan
meninggal karena itu. Dua sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit dan Shafia binti
Abdul Muthalib telah memergoki Yahudi yang memata-matai posisi pasukan Muslim
untuk dibocorkan pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga telah menerobos
parit, di antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal serta Dzirar
bin Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka.
Muhammad
menugasi dua pemimpin Muslim asli Madinah (Anshar) untuk menemui para pemimpin
Quraiza agar menghentikan pengkhiatannya tersebut. Mereka adalah Sa'ad bin
Mu'adz dari Bani Aus serta Sa'ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun Yahudi Quraiza
menampik keinginan itu. Mereka akan terus memboikot sampai tuntutannya
dipenuhi.
Keadaan
umat Islam semakin parah. Muhammad lalu berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis
tanpa henti. Bahkan di saat udara sangat dingin menjelang dinihari
menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat, pada hari ketiga -di saat kondisi
Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba muncul badai dingin yang luar biasa.
Masyarakat Muslim dapat berlindung di pemukimannya sendiri. Kaum Qurais dan
kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang dalam Quran disebut
"Al-Ahzab"-yang berada di tempat terbuka menjadi sasaran badai itu.
Pasukan itu hancur sama sekali.
Masing-masing
orang bersusah payah menyelamatkan diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad
menugaskan pasukan Muslim untuk mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya.
Setelah beberapa hari, Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang
dijatuhkan adalah pengusiran dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani
Qainuqa dan Bani Nadzir terdahulu.
Rasul
mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan oleh seorang hakim. Ia berjanji tidak
akan intervensi atau campur tangan. Orang-orang Quraiza berhak memilih sendiri
hakim tersebut. Saat itu pula, mereka memilih Sa'ad bin Mu'adz. Pemimpin suku
Aus yang sempat ditugasi Muhammad untuk bernegosiasi dengan Quraiza itu
sehari-hari memang cukup dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa diduga oleh
semua, Sa'ad justru menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki kelompok
pengkhianat tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak dari
keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam.
Sejak
saat itu, Madinah aman tenteram. Rasulullah lalu berkonsentrasi untuk membangun
peradaban masyarakat. Sebuah peradaban yang menjadi model dasar bagi konsep
"civil society" (masyarakat Madani) kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar