Masa
Awal di Madinah
Tak
mudah bagi Rasulullah menjalani hari-hari pertamanya di Madinah. Berbagai
masalah telah menghadang. Para pengikutnya asal Mekah, muhajirin, tak mempunyai
makanan, apalagi pekerjaan. Antara Muhajirin dan Anshar dapat bersaing berebut
hati Muhammad. Kaum Khazraj dan Aus masih mungkin bertikai lagi. Musuh setiap
saat dapat menyerang. Baik kaum Qurais di Mekah, maupun Yahudi tetangga mereka
sendiri.
Di
saat begitu pelik, Rasulullah mencetuskan gagasan. Sebuah gagasan cemerlang
menurut ilmu strategi lantaran memenuhi kriteria "sangat sederhana"
dan "sangat mudah dilaksanakan". Yakni mempersaudarakan satu orang
dengan satu orang lainnya, tanpa peduli asal-usul Mekah atau Madinah serta dari
keluarga manapun.
Cara seperti itu sekarang dipakai dalam pelatihan atau
'training' yang dikembangkan masyarakat Barat. Mereka menggunakan istilah
'buddy system'. Setiap dua orang saling "menjaga" dengan cara
membantu dan mengingatkan masing-masing.
Dengan
cara itu berbagai persoalan teratasi sekaligus. Mereka tinggal memusatkan
perhatian pada berbagai persoalan di depan. Muhammad "bersaudara"
dengan Ali. Hamzah dengan Zaid yang dulu menjadi budaknya. Abu Bakar dengan
Kharija bin Zaid. Umar dengan Ithban bin Malik.
Satu
riwayat menjelaskan pola persaudaraan itu. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan
dengan seorang Anshar -warga asli Madinah- Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad menawarkan
separuh hartanya, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan
ke pasar. Di sana, ia berdagang mentega dan keju sehingga sukses besar. Kisah
lain menyebutkan bahwa Abdurrahman juga dipinjami uang. Dengan uang itu ia
membeli sebidang tanah di samping pasar yang telah ada.
Saat
itu, pasar yang ada adalah milik seorang Yahudi dengan konsep serupa mal
sekarang. Pedagang boleh berjualan di pasar itu dengan menyewa tempat pada
pemilik tanah. Abdurrahman lalu membuat pengumuman bahwa siapa saja boleh
berdagang di tanahnya tanpa harus menyewa. Hanya bila untung, pedagang
menyisihkan sebagian uang ("fee" atau "bagi hasil") bagi
Abdurrahman selaku pemilik tanah.
Bila tidak ada keuntungan mereka tak perlu
membayar apapun.
Sontak,
hampir semua pedagang pindah ke "pasar" Abdurrahman bin Auf. Bagi
mereka, sistem ini lebih adil dan tak merugikan pedagang sama sekali. Maka,
konsep Abdurrahman bin Auf ini menjadi salah satu rujukan bagi pengembangan
sistem ekonomi syariah sekarang.
Muhammad
lalu membangun budi pekerti atau akhlak masyarakat. Ia percaya, itulah pondasi
untuk membangun masyarakat. Ia tekankan pentingnya semua orang untuk berlaku
santun dan saling menghormati. Ia tunjukkan keutamaan manusia untuk bekerja dan
bukan meminta-minta.
Ia tegaskan "tangan di atas (memberi) lebih baik dari
tangan di bawah (menerima)." Juga keharusan untuk membantu tetangga atau
orang kesusahan tanpa melihat suku maupun agama. Muhammad bahkan melarang
pengikutnya untuk menghormati dirinya secara berlebihan. Ia tak mau dihormati
berlebihan seperti penghormatan yang diberikan pada Nabi Isa.
Pada
masa inilah, ibadah ritual diajarkan. Mulai dari salat, puasa hingga zakat.
Rasul juga menyeru pentingnya salat berjamaah. Lalu ia dan para sahabat
berdiskusi soal bagaimana mengingatkan datangnya waktu salat. Ada usulan agar
menggunakan terompet seperti Yahudi.
Atau dengan lonceng seperti kaum Nasrani.
Namun kemudian Rasul meminta Bilal -melalui Abdullah bin Zaid- untuk menyerukan
azan. Sejak itu, setiap waktu salat tiba, Bilal selalu berdiri di atap rumah
seorang perempuan Banu Najjar di samping masjid untuk menyeru azan. Tempat itu
lebih tinggi ketimbang atap masjid.
Rasul
pun membangun Madinah sebagai sebuah 'Republik kota'. Untuk itu ia merumuskan
deklarasi yang mengikat seluruh warga. Isi deklarasi yang sangat menyeluruh itu
antara lain adalah jaminan bagi "kebebasan beragama". Mula-mula,
deklarasi ditandatangani bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian juga dengan Bani Quraiza,
Bani Nadzir dan Qainuqa.
Hubungan
harmonis Muslim-Yahudi tersebut menarik perhatian kalangan Nasrani. Saat itu,
di kancah global, Nasrani mengusai peta politik melalui dominasi Kerajaan
Romawi. Rombongan kaum Nasrani dari Najjran -yang disebut menggunakan "60 kendaraan"-pun
berkunjung ke Madinah. Maka terjadilah dialog antar agama yang langsung
melibatkan Rasulullah.
Namun,
hubungan antar agama tak selalu mulus. Para pemuka Yahudi acap melancarkan
polemik terhadap Islam. Mereka menguasai dalil-dalil yang diturunkan oleh Musa.
Mereka juga lebih berpendidikan ketimbang orang-orang Qurais di Mekah. Muhammad
kini menghadapi tantangan baru yang lebih sulit: perang wacana atau
argumentasi. Sebuah tantangan serupa yang harus dihadapi umat Islam di abad 21
ini.
Saat
itu Muslim dan Yahudi sama-sama menghadap Baitul Maqdis-Yerusalem, dalam
beribadah. Allah kemudian menurunkan wahyu agar Umat Islam beralih untuk
menghadapkan wajah ke Ka'bah di Mekah.
Wahyu tersebut turun saat Muhammad
tengah salat dhuhur berjamaah di rumah seorang janda tua. Muhammad dan beberapa
sahabat datang untuk menghibur perempuan yang baru ditingal mati keluarganya
itu. Konon, Muhammad hendak pulang sebelum dhuhur. Namun perempuan itu
menahannya, meminta Muhammad untuk menunggu makan siang yang tengah
disiapkannya.
Seperti
biasanya, Muhammad shalat menghadap ke Yerusalem, dari Madinah ke arah utara.
Begitu wahyu tersebut turun di tengah salat, Muhammad membalikkan badan
menghadap ke selatan, ke arah Ka'bah di Mekah. Rumah perempuan itu sekarang menjadi
Masjid Kiblatain -atau masjid dengan dua kiblat di Madinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar