Asssalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Saudaraku..."
Pada tanggal 12 Rabiul awal tahun gajah
atau tanggal 20 April 571 Masehi yang lalu telah lahir seorang manusia yang
menjadi Rahmatan Lil Alamin dan menyandang derajat keterpujian yang tidak
terukur ketinggian dan kesempurnaannya serta kelak membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia.
Manusia tersebut adalah Ahmad yang kemudian menyandang
nilai-nilai Ke-Muhammad-an yang sangat tinggi sehingga beliau berhak menyandang
gelar Muhammad yaitu yang sangat terpuji dan selalu dipuja dan dipuji, yang
menjadi Rahmatan Lil Alamin dan Uswatun Hasanah bagi seluruh makhluk yang ada
di alam semesta Raya ini.
Kata Muhammad apabila kita renungkan lebih dalam lagi dapat
diartikan secara lahiriah maupun secara batiniah, yaitu
Pertama, Muhammad secara lahiriah adalah menunjuk kepada satu
sosok seorang manusia biasa yang mempunyai sifat terpuji dan diutus oleh Allah
untuk menyampaikan seruan atau ajaran Tauhid kepada seluruh umat manusia.
Katakanlah : “sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Maha Esa….” (QS Al Kahfi 18 : 110).
Sebagai manusia biasa, Muhammad merupakan prothotype manusia
sempurna yang patut menjadi Uswatun Hasanah bagi seluruh umat manusia.
Sebutan “Manusia Sempurna” sering disalahartikan oleh sebagian
besar umat Islam, yakni Manusia sempurna adalah sosok manusia yang serba bisa,
serba tahu, serba baik dan lain sebagainya.
Padahal jika kita kaji dan renungkan kembali hakikat dari
istilah “Sempurna” itu, mempunyai unsur keseimbangan, kesepadanan, kesesuaian
dan keharmonisan dalam hal apapun.
Dalam kajian Tauhid, kesempurnaan yang paling sempurna pada
hakikatnya adalah Allah SWT itu sendiri. Apa yang diciptakan Allah di alam
semesta ini merupakan ciptaan yang Maha Sempurna dan tidak ada yang sia-sia,
sesuai dengan firman-Nya :
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah, sesuatu yang
tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu melihat sesuatu yang
tidak seimbang”?. (QS Al Mulk 67 : 3).
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapa orang-orang
kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”
(QS Shad 38 : 27).
“…Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan
sia-sia, maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali
Imran 3 : 191).
Saudaraku...”
Berdasarkan firman tersebut dapat diambil
suatu pengertian bahwa apa yang terjadi dan apa yang dicipta di alam semesta
ini adalah suatu kesempurnaan yang tidak sia-sia, baik sifat maupun bentuknya.
Misalnya seperti : baik-buruk, indah-jelek, terpuji-tercela,
siang-malam, panas-dingin, panjang-pendek, siang-malam, pria-wanita,
besar-kecil dan sebagainya.
Jadi suatu kesempurnaan adalah satu keseimbangan antara dua
sifat atau unsure yang dikotomis atau bertolak belakang, sebab apabila hanya
ada satu sifat saja atau ada baik saja, atau ada siang saja, atau ada dingin
saja, hal itu bukanlah suatu yang dapat disebut sempurna.
Dengan dalih bahwa kita tidak akan sanggup mencapai derajat
sempurna seperti Nabi Muhammad, banyak umat Islam merasa tidak perlu mencontoh
semua apa yang telah diteladani oleh Nabi Muhammad SAW, terutama peristiwa
Isra’ dan Mi’raj-nya beliau.
Padahal sebagai Guru Besar bidang Tauhid Islam, beliau akan
senang apabila seluruh umatnya dapat mencontoh semua teladannya., baik lahir
maupun batin, bahkan beliau akan lebih senang lagi apabila ada umatnya yang
dapat melebihi beliau.
Di dalam Al Qur’an telah diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah
contoh yang paling baik bagi umat manusia yang menghendaki perjumpaan dengan
Allah ketika kita masih hidup di atas dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah
;
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan
Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab 33 : 21).
Saudaraku...”
Sebagian ahli tafsir, banyak yang
menterjemahkan ayat tersebut dengan iftiro atau menambah-nambahkan ayat
tersebut dengan kata “mengharapkan rahmat Allah”, padahal bunyi sebenarnya
adalah “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatu hasanatun liman kaana
yaarjullohu walyaumil akhirawadzakarooloha kasyiron”.
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yarjulloha” yang berarti
mengharap Allah. Jadi bukan mengharapkan rahmat Allah atau mengharapkan ridha
Allah, atau mengharapkan pahala Allah, atau mengharapkan rezeki Allah, tetapi
yang benar adalah mengharapkan Allah semata.
Bahkan kalau boleh dipertegas lagi ayat tersebut bermakna :
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang paling baik
bai kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari akhir dan
banyak mengingat Allah”.
Berdasarkan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah
adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang ingin mengharapkan
bertemu dengan Allah di dunia ini, dan juga bertemu dengan hari akhir, agar
kita dapat mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sebab mustahil kita dapat
mengingat Allah apabila kita belum pernah bertemu dan melihat Allah.
Kedua, Muhammad secara batiniah adalah suatu anasir Yang
Bersifat Terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi
yang sangat disayangkan adalah bahwa tidak semua umat manusia yang menyadari
keberadaan anasir tersebut, apalagi menumbuhkannya dalam kehidupan
sehari-harinya.
Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang mengaku
umat Muhammad atau umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan
tercela.
Hal ini diakibatkan karena mereka belum dapat menyerap Muhammad
dalam arti nilai-nilai keterpujian, di setiap aktivitas hidupnya dalam
bermasyarakat. Padahal setiap harinya mereka selalu mengatakan : “Aku telah
menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku telah menyaksikan bahwa
Muhammad adalah Utusan Allah”.
Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam
sekali, yaitu saksinya seorang pesaksi yang menyaksikan kepada siapa dia
bersaksi.
Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la
Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati
oleh anasir Terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai
dengan firman Allah dalam Al Qur’an dan juga sabda Nabi Muhammad SAW :
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada
Rasulullah …” (QS Al Hujurot 49 : 7).
Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran 3 : 31).
“Muhammad itu sekali-kalilah bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi.
Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segalanya” (QS Al Ahzab 33 : 40).
“Orang-orang yang telah kami beri Al Kitab, mengenal Muhammad
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di
antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya” (QS Al
Baqarah 2 : 146).
“Ana ahmad bi la mim, wa ana ‘arabbi bi la ‘ain, wa man roaini,
innaroaitul haq” Aku ahmad tanpa huruf mim dan aku adalah ‘arabbi tanpa huruf
‘ain, barang siapa melihat aku, sesungguhnya telah melihat Sang Maha Benar”
Kesimpulan Berdasarkan (Hadits).
“Yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT adalah Cahaya-ku, wahai Jabir (HR Ibnu jabir).
"Siapa saja yang mengatakan Muhammad Rasulullah telah mati, akan saya
bunuh !" (Umar bin Khatab)
"Siapa yang menyembah Muhammad bin Abdullah, beliau telah
mati. Siapa yang menyembah Wajah Allah, Dia-lah Yang Maha Abadi" (Abu Bakr
Ash Shidiq)
"Dan janganlah kamu anggap mati orang-orang mati di Jalan
Allah, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan diberi Rezeki" (QS 3 :
169)
"Aku adalah Ahmad tanpa huruf mim. Aku adalah 'Arabbi tanpa
huruf 'ain. Barang siapa melihat aku, sesungguhnya ia telah melihat Al
Haqq" (Hadits)
"Sebuah makam dan kubah dan menara kecil tidaklah
menyenangkan bagi para pengikut Yang Maha Besar.
"Makammu bukanlah diperindah oleh batu, kayu dan plesteran.
Bukan, bukan itu, melainkan dengan menggali makam untuk dirimu
sendiri dalam kesucian ruhani dan menguburkan egoisme dirimu dalam Egoisme-Nya.
Dan menjadi debu-Nya dan terkubur dalam Cinta-Nya, sehingga
Nafas-Nya dapat memenuhi dan menghidupimu" (Jalaluddin Ar Rumi)
Demikianlah saudaraku sedikit bahasan tentang Uswatun Hasanah
Baginda Nabi SAW.
"Ya Nabi Salam 'alaika. Ya Rasul Salam 'alaika. Anta Syamsun, anta Badrun, anata Nuurun fauqo Nuurin !"
"Ya Nabi Salam 'alaika. Ya Rasul Salam 'alaika. Anta Syamsun, anta Badrun, anata Nuurun fauqo Nuurin !"
Bok:TIJAN=Titian-Jannah*~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar