Bismillah Alhamdulillah,“ Segala
Puji bagi Allah semata yang telah memuliakan Anak cucu Adam (Manusia)
dan memilih dari jumlah manusia itu sejumlah Ulama-ulama. Dan Allah
memilih pula dari golongan itu mereka yang zahid. Para Ahli Hikmat dan
Para Ahli Karomah. Allah utamakan dari golongn-glongan tersebut mereka
yang Arifin (Ahli Ma’rifat ) kepda Allah, sifat-sifatNya serta asmaNya.
Allah rasakan pula buat mereka kelezatan cinta kasih dan Allah tunjukkan
pula untuk mereka hakekat segala sesuatu di bumi dan di langit.
Solawat dan salam terhadap junjungan kita Muhammad s.a.w penutup
segala Nabi-nabi yang Ia ciptakan NUR MUHAMMAD itu dari ZAT-NYA dan Ia
ciptakan pula segala sesuatu itu daripada NUR MUHAMMAD itu. Salawat dan
salam pula untuk seluruh Sahabat Beliau sebagai Pimpinan Para Auliya.
Demikian juga selanjutnya solawat dan salam untuk para Tabi’in dan
Tabi’ittabi’in semoga kebaikan selalu buat mereka sampai Hari
Pembalasan. ”Aamiin....
Saudaraku...”
Berikut Ini Mengenai Tentang Penjabaran Sifat Ma’ani
* Sifat Ma’ani, maksudnya adalah sifat-sifat Allah yang penggambaran
(Tajalli) makna lahir sifat-sifat tersebut pada manusia. Sifat ma’ani
tersebut ada Tujuh macam;
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam.
Qudrat, artinya, Kuasa. Allah menampakkan lahir sifat kuasa tersebut
pada manusia seperti manusia kuasa membuat meja, kursi, televise, radio
dan lain-lain. Namun pada hakikatnya kekuasaan atau kemampuan manusia
tersebut hanyalah sekedar pemaknaan belaka, sedangkan Sang Kuasa Hakiki
adalah Allah SWT.
Dengan demikian manusia adalah Sang Fakir
yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa. Inilah
makna “ Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.” Tidak
ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah SWT.
Lebih tegas lagi Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya,
“ Wallahu khalaqakum wamaa ta’maluun” artinya Alllah yang telah
menciptakanmu dan apa-apa yang kamu kerjakan. Dengan demikian berarti
bahwa yang kuasa membuat meja, kursi, televise, radio dan lain-lain
hanyalah Allah semata, sedangkan manusia dan semua makhluq yang lain
bersifat ‘Ajzun yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan
apa-apa.
Hal ini pula-lah yang kita ikrarkan didalam shalat “
inna shalaati iwanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil
‘alamiin.” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah
milik Allah penguasa alam.
Iradat, artinya Kehendak. Allah
menampakkan sifat kehendak ini pada kehendak manusia dan semua
makhluqnya. Seperti, Si Fulan berkehendak menuntut ilmu tauhid di
Pesantren Suryalaya, Rangga Warsito berkehendak mengarang serat wirid
hidayat jati,“ Nurasajati Purnama Alam, berkehendak untuk menyampaikan
ajaran yg telah diberikan oleh Gurunya, dan lain-lain kehendak.
Kehendak-kehendak manusia sebagaimana contoh di atas pada hakikatnya
adalah kehendak Allah. Juga kehendak makhluq-makhluq yang lain seperti
walet membuat sarang dengan air liurnya, laba-laba menjerat mangsanya
dengan peerangkap jarring-jaringnya, ular hendak melumpuhkan mangsanya
dengan bisanya dan lain-lain.
Makhluq-makhluq tersebut melakukan
aktifitasnya sesuai dengan kodratnya masing-masing berdasarkan insting
atau ilham yang diberikan Allah kepadanya.
Lalu bagaimana dengan kehendak-kehendak yang buruk seperti mencuri, berzina dan sebagainya? Apakah juga kehendak Allah?
Bagaimana pula peran Iblis dan Syetan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perhatikan kutipan ayat berikut:
“ Fa alhamahaa fujuurahaa wataqwaaha.” Artinya, maka Allah mengilhamkan
keburukan dan ketaqwaan kepadanya. Juga hadist Nabi Muhammad SAW,
“ Man yahddillaahu falaa mudhillalah waman yudhlil falaa haadiyalah.
” Dan masih banyak ayat maupun hadist lain yang maknanya serupa.
Dengan demikian yang menggerakkan hati manusia untuk melakukan
kebaikan maupun keburukan adalah Allah sendiri. Sedangkan Iblis maupun
syetan hanyalah madhar dari af’al Allah.
Kalau ditanya mengapa
Allah memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan? Dan menyiksa
orang yang berbuat salah? Jawabnya adalah, itu semua Hak Priogatif
Allah.
Allah bersifat JAIZ. Dia wenang berbuat apa saja menurut
kehendakNya sendiri kepada semua makhluqnya. Bukankah manusia dan
seluruh jagat raya dan seisinya ini milik Allah.
Maka “Dia bebas
berbuat apa saja, mau mengganjar atau menyiksa kepada siapa saja yang
dikehendakinya, tanpa ada satupun yang bisa mencegah atau
menghalang-halanginya.
Sifat semacam ini ada yang menyebutnya sifat
sak karepe dewe. Dalam menyikapi hal ini disamping kita harus
betul-betul pasrah dan tawwakal kepada-Nya,
Olehkarenanya Baginda Rasulullah SAW mengajarkan do’a kepada umatnya,
“ Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘alaa diinika wa’alaa tha’atika.
” Wahai dzat yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama
dan ketaatan pada-Mu Rasulullah juga pernah berdo’a, “ A’uudzubika
minka.” Aku berlindung pada-MU dari-MU.
Ilmu, artinya
Mengetahui. Maksudnya adalah Allah menampakkan sifat Ilmunya ini pada
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya Nabi Adam as bisa
menunjukkan nama-nama benda dihadapan para malaikat setelah Allah
mengajarkan nama-nama benda tersebut kepadanya.
Sedangkan para malaikat yang tidak diajarkan nama-nama benda tersebut tidak bisa menyebutkannya.
Ketika Allah menyuruh kepada malaikat untuk menyebutkan nama-nama benda tersebut, para malaikat menjawab,
” Laa ‘ilma lanaa illaa maa’allamtanaa innaka antassamii’ul ‘aliim.”
Sesungguhnya engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Dari penjelasan ayat diatas dapat kita petik suatu
pengertian bahwa pada hakikatnya Nabi Adam as pun, tidak dapat
menyebutkan nama-nama benda tanpa dibarengi sifat ilmunya Allah.
Dengan demikian yang mengetahui dan yang bisa menyebutkan nama-nama barang tersebut adalah ALLAH.
Manusia mengetahui ilmu listrik ilmu astronomi, ilmu botani, ilmu
biologi, ilmu kedokteran, ilmu cloning dan segala macam bentuk keilmuan,
termasuk ilmu hakikat-makrifat, pada hakikatnya tetap Allah saja yang
mengetahuinya.
Manusia bisa ini itu, mengetahui ini itu karena dibarengi sifat ilmu Allah.
Jika Allah tidak menampakkan sifat ilmunya ini kepada manusia, maka manusia akan tetap buta, tidak bisa mengetahui apa-apa.
Hayat, artinya Hidup. Allah itu bersifat Hidup atau Urip. Berarti dimana saja ada kehidupan maka disitu ada Dzat Hidup.
Yang namanya Hidup berarti tidak akan kena mati.
Hayyun daa-imun laayamuutu Abadan. Urip langgeng tan kena ingat pati
selamanya. Hidup itu kekal adanya. Kalau ada hidup tidak kekal, maka
namanya bukan hidup, tetapi dihidupi.
Hidup itu hanya satu adanya
dari dulu kala sebelum digelarnya jagat sampai sekarang ini dan sampai
kapanpun yea hanya satu itu. Dia yang Maha Hidup itu sama sekali tidak
mengalami perubahan dan kematian.
Dia tetep langgeng tan kena owah gingsir ing kahanan jati. Dialah yang kita sebut sebagai Dzat Allah.
Maka dengan adanya Dzat Yang Maha Hidup ini, lalu muncullah kehidupan
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan pada hakikatnya tidak hidup. Buktinya
manusia, hewan tumbuh-tumbuhan masih mengalami mati. Bukankah hidup itu
langgeng?
Dengan demikian berarti yang hidup hanyalah Allah
semata, adapun manusia bisa bergerak, beraktifitas demikian pula dengan
makhluq yang lain. Semua itu karena bersamaan dengan adanya sifat
Hayatnya Allah. Dengan kata lain Allah menampakkan sifat hayatnya ini
pada manusia dan semua makhluqnya.
Karena sesungguhnya Hidup
adalah Hidup-Nya Allah, olehkarenanya maka kembalinya juga harus kepada
Allah. Jika tidak demikian berarti ia tersesat namanya.
Demikianlah bahasan kita kali ini semoga saja menjadikan kemanfaatan bagi kita semu. ”Aamiin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar