Bismillahir Rahmanir Rahim.
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh….
Ketika seseorang memahami masalah-masalah agamanya, berarti dia menghendaki kebaikan atas dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pemahaman tentang agamanya.
Maka, carilah ilmu, karena ilmu adalah cahaya dan petunjuk, sedangkan kebodohan adalah kegelapan, dan kesesatan.
Marilah kita menuntut ilmu, karena ulama yang merupakan pewaris para Nabi, sedang para Nabi tidak mewariskan harta atau uang atau emas. Mereka hanya mewariskan ilmu, sehingga siapapun yang mau mengambilnya berarti ia telah memperoleh bagian yang sempurna dari warisan para Nabi.
Marilah kita menekuni ilmu, karena ilmu syari’at adalah derajat di dunia dan akherat yang merupakan pahala yang terus menerus berlanjut bagi pemiliknya.
Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila seorang hamba telah meninggal, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga yaitu, shadaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat (sepeninggalnya), atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya”. (HR Muslim).
Belajarlah ilmu untuk ilmu, agar memperoleh berkah dan memetik buahnya, dan belajarlah ilmu untuk amal agar supaya kita beramal yang disertai dengan ilmu.
Bukan untuk berdebat dan bukan pula untuk berbantah-bantahan, karena orang yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang yang bodoh atau agar dia bisa berjalan sejajar dengan ulama, sesungguhnya dia telah menyerahkan dirinya untuk menerima sika Allah dan memberhentikan dirinya pada tujuan yang hina.
Janganlah menuntut ilmu karena harta. Ilmu lebih mulia daripada keberadaannya menjadi sarana untuk meraih harta. Harta lebih pantas digunakan sebagai sarana untuk mencapai ilmu, karena harta akan semakin berkurang bahkan bisa punah, sedangkan ilmu tetap bercahaya dan semakin bertambah jika mendapat pengamalan sebagai mestinya.
Ketidakpedulian terhadap menuntut atau belajar ilmu agama merupakan ketersia-siaan dan kezaliman pada diri sendiri serta akan menyesal di kemudian hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang sholeh dan berkata : Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat ayat 33).
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dijelaskan dengan perintah membaca “iqra” menjadi wahyu pertama yang diterima oleh Rosululullah.
Kemudian ilmu yang pertama kali diajarkan kepada manusia yakni Nabi Adam adalah ilmu tentang bahasa, berupa pengenalan nama-nama benda (Tolong lihat. Al Baqarah ayat 31-34).
Jadi membaca kemudian bahasa, dua perpaduan sempurna untuk sebuah ilmu. Dan selanjutnya adalah proses penyimpanannya berupa menuliskannya dengan pena, laksana mengikat hewan buruan dengan tali, demikian Imam Syafi’i menganalogikan.
Maka ilmu adalah sangat penting untuk dimiliki, dan dengan ilmu, Allah akan mengangkat derajat hambanya seperti yang tertulis surah Al Mujadalah ayat 11.
Salah satu cara memperoleh ilmu dengan bertanya dan salah satu ciri orang yang berilmu itu adalah kritis. Malu bertanya sesat dij alan. Banyaklah bertanya agar bertambah ilmunya. Islam mengajarkan dalam bertanya agar dapat memperoleh manfaat dari pertanyaan hendaknya :
• Ikhlash dalam bertanya. Maksudnya bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita sendiri atau diri orang lain, bukan berdebat kusir atau sombong di hadapan para ulama atau riya (supaya dikatakan orang yang bersemangat menuntut ilmu). Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka" (HR. At-Tirmidzi).
Ibnul Qayyim berkata, "Jika anda duduk bersama seorang 'alim (ahli ilmu), maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan"
• Bertanya karena tidak tahu, wajib hukumnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl ayat 43).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir berkata, “Ada sekolompok orang yang dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu hingga mengalami luka pada kepalanya.
Di malam harinya dia mimpi basah, lalu dia bertanya kepada temannya,
“Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?”. Teman-temannya serombongan tersebut menjawab, “Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air”.
Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati. Akhirnya berita ini sampai kepada Rasulullah, dan bersabdalah beliau, “Mereka (rombongan tersebut) telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka.
Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum… .”.
• Hindari bertanya bukan untuk membatah atau mendebat, apalagi sehingga mengadu domba.
Dalam bertanya hendaknya supaya dapat mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan dari pertanyaan tersebut. Bukan untuk berbantah-bantahan. Rasulullah bersabda : “Dijaminkan sebuah rumah di syurga barangsiapa menghindari perdebatan, meski padanya ada kebenaran”.(HR.Abu Dawud).
Bagaimana bila kita ingin meluruskan pemahaman orang yang kita tanya, tanpa bermaksud membantahnya atau mendebatnya?.
Dalam hal ini contohlah Hasan ibnu Ali dan Husain Ibn Ali (cucu Rosulullah) yang berlomba berwudhu. Cara ini mereka gunakan untuk memberitahukan tata laksana berwudhu yang shahih kepada seorang kakek.
Jadi tidak perlu bertanya dan mendebat karena debat hanya akan menimbulkan luka hati dan syahwat untuk memenangi serta dengki ketika argumentasi terbantahi.
Seorang penanya bukanlah seorang pendebat, maka tidak diperkenankan mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan, “Tapi ustadz, si fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian, dan yang demikian termasuk kurang beradab”.
Yang sebaiknya mengatakan, “Apa pendapatmu tentang ucapan ini?” (tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan).
• Haram hukumnya bertanya, yang kemudian berakibat haramnya sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan sebelum kita menanyakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. ( Al-Maidah ayat 101). Rosulullah bersabda, “Orang yang paling besar dosanya adalah orang yang menanyakan sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan.
Kemudian, hal itu diharamkan karena adanya pertanyaan tersebut” (Mutafaqun alaihi). Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), maka syariatnya adalah didesain untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.
Tradisi memudahkan dan tidak menyulitkan ini telah dilakukan semenjak jaman Rasulullah dan para sahabat. Begitu pula para tabi’in. Rosulullah bersabda, "Biarkanlah (jangan tanyakan) yang aku diamkan bagi kalian (yang tidak dijelaskan hukumnya).
Sessungguhnya, umat sebelum kalian binasa karena terlalu sering bertanya dan mereka berselisih dengan nabi-nabinya" (Mutafaq alaihi)
• Dianjurkan memperbagus kalimat pertanyaan dan cara bertanya. Di antara kebaikan dalam bertanya adalah mencari situasi dan kondisi atau konteks yang tepat untuk bertanya.
Kemudian memperbagus konteks pertanyaannya dengan pilihan diksi yang indah disertai dengan kelembutan ketika bertanya. Ibnul Qayyim berkata,
“Ilmu itu memiliki enam tingkatan,
yang pertama adalah bagusnya pertanyaan dan sebagian orang ada yang tidak mendapatkan ilmu karena jeleknya pertanyaan,
mungkin karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya tentang sesuatu padahal disana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan seperti bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini adalah keadaan kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh”.
Di antara cara memperbagus pertanyaan dengan berlemah lembut dalam bertanya, ingat rambu-rambu bertanya bahwa bertanya bukan untuk mendebat atau membantahnya.
Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, “Dahulu Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin ‘Utbah, seorang tabi’in) berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau (Ibnu ‘Abbas) memberinya ilmu yang banyak”
Selain itu perlu dicermati bahwa "Barangsiapa bersikap meremehkan,akan mudah baginya melakukan tindakan yg meremehkan. Ketahuilah bahwa luka itu tidak dapat menyakiti orang yang telah mati" (Al-Mutanabbi).
"Tuntutlah ilmu dengan tujuan mengamalkannya. Bertanyalah kepada yang tahu apa yang engkau tidak tahu. Namun jangan bertanya untuk menguji. Hindarilah dari berfatwa sebagaimana engkau menghindar dari singa. Apakah engkau ingin batang lehermu menjadi jembatan yang akan dilalui orang menuju neraka?” (Ja'far Ash-Shadiq).
Jadi kesimpulannya adalah janganlah engkau bertanya untuk menguji seseorang padahal kamu sudah lebih mengetahui tentang ilmu tersebut, kecuali jika tujuannya adalah untuk saling nasehat-menasehati itulah yang benar dan dianjurkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sesuatu kaum menghina kepada kaum yang lain, karena barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan.
Jangan pula golongan wanita menghina kepada golongan wanita yang lain, karena barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan” (Al-Hujurat ayat 11).
Yang dimaksud “penghinaan” itu adalah menganggap rendah derajat orang lain, meremehkannya atau mengingatkan cela-cela dan kekurangan-kekurangannya dengan cara yang dapat menyebabkan ketawa.
Cara ini sering dilakukan, dengan cara meniru-nirukan percakapan atau perbuatan orang itu dan ada kalanya dengan jalan berisyarat (bahasa tubuh) dengan apa-apa yang menunjukkan ke arah tersebut. Intinya adalah ditujukan untuk merendahkan kedudukan orang lain dan menertawakannya serta menghinakan dan menganggapnya kecil.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan, “Barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan”, artinya janganlah kamu menghinakan orang lain karena hendak menganggapnya ia kecil dan rendah.
Masalah kecil atau rendah itu belum dapat ditentukan, mungkin justru orang itu sebenarnya yang lebih baik, lebih mulia, lebih tinggi derajatnya dari padamu sendiri.
Pelarangan ini tentu terhadap seseorang yang merasa tidak enak atau tersinggung jika dihinakan, sedangkan terhadap seseorang yang sengaja dirinya untuk direndahkan karena telah menjadi watak dan tabiatnya dan bahkan bila diperbuat penghinaan, ia semakin gembira, maka kepadanya tidaklah termasuk sebagai penghinaan.
Ini termasuk dalam senda gurau yang diperkenankan (lawakan), asalkan tidak melampaui batas dan tidak pula melanggar kehormatannya.
Yang diharamkan dalam “penghinaan dan pengejekan”
adalah apabila dengan cara menganggap kecil seseorang yang menyebabkan orang itu merasa dihinakan, diremehkan atau dianggap sepi dan tidak ada harganya sama sekali.
Misalnya, meneertawakan kata-katanya di waktu ia salah mengucapkan atau tidak sistematis uraiannya atau menertawakan perbuatannya di waktu ia keliru, juga seperti menertawakan hafalannya, ciptaannya, gambar tubuhnya ataupun yang ditertawakan itu adalah bentuk tuhnya karena terdapat cela yang terlihat jelas.
Tertawa dalam segala hal sebagaimana yang diuraikan di atas termasuk hal-hal yang benar-benar dilarang.
Dalam hal cara menangkal pertanyaan yang keras dan kasar, ada sebuah kisah Khalifah Harun ar-Rasyid mengajarkan kepada Al-Ashma'i tentang prinsip-prinsip dan kaidah nahi mungkar terhadap penguasa (pejabat).
Suatu ketika seorang penanya yang tidak mengetahui sedikitpun tentang prinsip-prinsip itu mendatangi Khalifah, dan menasehatinya dengan kata-kata keras dan kasar.
Meskipun Harun Ar-Rasyid menyenangi para ulama dan sering duduk-duduk bersama sambil mendengarkan nasehat mereka, lain halnya dengan seorang yg satu ini. Harun ar-Rasyid berkata kepadanya :
"Cobalah engkau berbicara dengan baik dan obyektif kepadaku". Penanya itu menjawab : "Itu adalah yang paling minimal bagimu". Ar-Rasyid :"Cobalah beritahu kepadaku siapa yang lebih jahat, aku atau Fir'aun?".
Sang Penanya : "Fir'aun". Ar-Rasyid : "Sipakah yang lebih baik, engkau atau Musa bin Imran?". Sang Penanya : "Musa". Ar-Rasyid : "Apakah engkau tidak tahu, ketika Allah mengutus Musa dan saudaranya Harun kepada Fir’aun?
Allah berpesan kepada keduanya : 'Maka bicaralah kamu berdua padanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut'".
Sang Penanya, “Ya, aku tahu". Ar-Rasyid, "Itu adalah Fir’aun yang penuh dengan kesombongan dan kezhaliman, sementara engkau datang kepadaku dengan keadaan begitu.
Aku melaksanakan kewajiban-kewajibanku terhadap Allah, aku hanya menyembah kepada Allah. Aku mentaati hukum-hukum, perintah dan larangan-Nya, sedangkan engkau menasehatiku dengan nada yang keras dan kata-kata yang kasar tanpa tata krama dan akhlak.
Engkau tidak akan aman dan selamat jika aku menangkapmu. Dan jika engkau telah menawarkan jiwamu, berarti engkau sudah tidak memerlukannya lagi". Sang Penanya, "Aku telah bersalah, wahai Amirul Mukminin, dan aku minta maaf". Ar-Rasyid, "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampunimu".
Dari dialog antara Khalifah Harun ar-Rasyid dengan seorang penanya yang beraliran keras menunjukkan bahwa ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dilanjutkan oleh sahabatnya
khusus untuk menangani hal-hal yang menyimpang, menyatakan kritik-kritik keras terhadap ajaran islam dilakukan secara persuasif dengan membina agar yang bersangkutan memahami, mengerti dan mengakui kebenaran ajaran islam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosulullah mengumpamakan sahabat yang baik itu seperti membawa minyak wangi (terserah bau harumnya, harum seperti bunga melati, bunga mawar, buah melon dan sebagainya).
Sahabat yang baik itu adakalanya kamu diberi dan ada kalanya pula kamu memberi. Dan yang pasti kamu akan merasakan bau harum dari minyak wangi yang dibawanya.
Sedangkan sahabat yang buruk diumpamakan sebagai peniup api. Kalau tidak terbakar pakaianmu, tentulah engkau akan mencium bau busuk darinya".
Perlu diketahui juga, bahwa dalam bergaul dengan orang bodoh tetapi tidak suka mengumbar hawa nafsunya itu lebih baik daripada bergaul dengan orang alim (berilmu) namun suka mengumbar hawa nafsunya.
Selanjutnya, kita perlu memperhatikan kata mutiara yang pernah diucapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Tholib sebagai pedoman dalam memilih salahabat :
"Jangan bersahabat, kecuali dengan orang yang takwa, terdidik, terhormat, cerdik, cerdas, cendikiawan, tepat dengan janji-janjinya. Teguhkan keyakinanmu kepada Allah dalam setiap peristiwa, niscaya Allah akan menolongmu di setiap saat dari kejahatan, dengki dan tukang hasut".
Dalam hal berolok-olok, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Katakanlah : ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rosul-sorul-Nya kamu selalu berolok-olok?.
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman” (At-Taubah ayat 65-66).
Ayat ini menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah adalah kekufuran, mengolok-olok rosul adalah kekufuran dan mengolok-olok ayat-ayat Allah adalah kekufuran.
Karena itu, barangsiapa mengolok-olok salah satu dari perkara tersebut berarti ia telah mengolok-olok semuanya.
Apa yang terjadi pada orang-orang munafik adalah mereka mengolok-olok rosul dan para sahabatnya, lalu turunlah ayat ini.
Jadi mengolok-olok agama hukumnya adalah murtad dan keluar dari agama secara keseluruhan.
Mengolok-olok ada dua macam, yaitu secara terus terang dan secara tidak terus terang.
• Secara terus terang. Mengolok-olok secara nyata atau terus terang seperti yang karenanya ayat di atas turun, yaitu ucapam mereka, “Belum pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan atau ucapan-ucapan lain yang bersifat olok-olok.
Seperti ucapan sebagian dari mereka, “Agama kalian ini adalah agama kelima”. Atau ucapan mereka yang lain, “Agama kalian adalah agama kuno”. Atau ucapan sebagian lain jika melihat orang-orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran,
“Telah datang kepada kalian ahli agama”. Semuanya dalam nada mengejek mereka atau ucapan-ucapan lain yang tidak terhitung kecuali dengan susah payah, yang lebih besar dari ucapan yang karena ayat di atas turun kepada mereka.
• Tidak terus terang. Mengolok-olok secara tidak terus terang dan contohnya banyak tidak terhitung. Seperti dengan mengedipkan mata, menjulurkan lidah, memonyongkan bibir, meremehkan dengan isyarat tangan ketika membaca Kitabullah atau Sunah Rosul-Nya, atau ketika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Termasuk di dalamnya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian mereka bahwa Islam tidak sesuai untuk abad 20, tapi hanya cocok dan sesuai untuk abad-abad pertengahan.
Islam adalah terbelakang dan kuno, di dalamnya terdapat kekerasan dan kebengisan, kekejaman dalam memberikan hukuman had dan sangsi, Islam menganiaya wanita dan hak-haknya karena membolehkan menceraikannya dan berpoligami.
Juga termasuk ucapan mereka, memutuskan hukum dengan undang-undang buatan mereka lebih baik daripada berhukum dengan Islam. Mereka juga memberikan kepada orang yang menyeru kepada tauhid dan mengingkari ibadah kepada kuburan-kuburan dengan julukan ekstrimis, atau ingin memecah belah jama’ah umat Islam dengan julukan teroris.
Atau mengatakan, ini adalah wahabi atau madzab kelima, serta ucapan-ucapan lain yang semuanya merupakan pelecehan terhadap agama dan pemeluknya, serta olok-olok terhadap aqidah yang benar, laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Termasuk diantaranya adalah olok-olok mereka terhadap orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, agama itu tidaklah disambut, sebagai olok-olok terhadap orang yang memanjangkan jenggotnya, serta ucapan-ucapan buruk lainnya.
Berbantah-bantahan pun dilarang dalam ajaran Islam yaitu semua sanggahan kepada pembicaraan orang lain dengan tujuan hendak memperlihatkan kesalahan, kekurangan atau ketidaktahuan orang itu menganggapnya seolah-olah bodoh dan ia lebih tahu atau pintar.
Hal ini adakalanya berhubungan dengan ucapannya, adakalanya dengan isi yang dibicaarakan dan mengenai tujuan pembicaraan dimaksud.
Menghindarkan diri dari berbantah-bantahan lebih baik dengan jalan tidak menyanggah atau melawannya, dimana semua perkataan yang anda dengar (sekiranya memang benar menurut perasaan anda).
Sebaiknya dipercaya, dan sebaliknya (sekiranya anda anggap salah, bathil atau berdusta), sebaiknya anda berdiam diri saja, asalkan tidak ada hubungannya dengan kehormatan agama.
Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau mengucapkan bantahan kepada saudaramu, jangan pula mengajaknya bersenda gurau dan jangan pula engkau berjanji memenuhi suatu perjanjian, kemudian engkau menyalahinya” (HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain, Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sesuatu kaum itu menjadi sesat setelah diberi petunjuk oleh Allah, melainkan sebab mereka itu suka berbantah-bantahan” (HR Tirmidzi).
Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidaklah seseorang hamba itu mendapatkan kesempurnaan hakekat keimanan, sehingga suka meninggalkan berbantah-bantahan, sekalipun ia merasa dalam fihak yang benar” (HR Ibnu Abiddunya).
Sedangkan Bilal bin Sa’ad berkata, “Jika pada suatu ketika anda melihat seseorang yang banyak berbicara, suka berbantah dan merasa bangga dengan pendapatnya sendiri, maka sudah sempurnalah kerugiannya”.
Lain halnya Ibnu Abi Laila berkata, “Saya ini tidak suka membantah sahabatku, adakalanya saya seharusnya mendustakannya dan adakalanya saya perlu memarahinya”.
Bagaimana mensikapi terjadinya berbantahan tersebut?
Bila ada suatu perbantahan terjadi dan yang dibicarakan masalah ilmiah, sebaiknya saat itu berdiam diri saja sambil merenungkan atau mendengarkan alasan masing-masing fihak.
Sebaiknya janganlah mencampuri, namun sementara anda dapat menyaring dan meneliti mana yang benar dan mana yang salah. Bila diperlukan bertanya dalam suatu hal yang tidak dimengerti, lakukanlah, namun sifatnya jangan bersifat membantah, menyanggah atau lebih-lebih menyalahkannya.
Sebaiknya, hal tersebut dilakukan (bertanya) dengan sikap lemah lembut dan sopan agar mengeahui duduk permasalahannya, sehingga bukan bermaksud menjatuhkan dengan mengemukakan pertanyaan tersebut.
Bila suatu pertanyaan atau ucapan untuk tujuan mematahkan atau melumpuhkan pembicaraan orang lain sehingga tidak dapat menjawabnya atau mengurangi nilai ucapannya, maka bentuk perbantahan yang paling dilarang sekalai dalam ajaran agama Islam dan sangat tercela di pandangan masyarakat sebaiknya menghindari dengan cara berdiam diri saja agar selamat dari dosa dan akibatnya.
Kenapa seseorang suka berbantahan?
Seseorang suka berbantah, timbul karena perasaan yang salah yaitu semata-mata hendak menonjolkan kelebihan diri sendiri, lebih pandai, lebih benar pendapatnya.
Selain itu berkehendak menyerang orang yang dianggap lawannya dengan menunjukkan kekurangan ilmu serta ketololannya. Jadi dua sifat inilah benar-benar merusakkan jiwa seseorang.
Berbantah-bantahan itu tidak akan lepas dari sikap menyakiti hati orang lain, menyalakan api kemarahan dan membawa si penentang untuk mengulangi perbuatannya kepada siapapun juga.
Sebaiknya sifat yang demikian dijauhi sedapat mungkin, baik yang benar maupun yang salah pendapatnya. Orang yang suka berbantah-bantahan itu akhirnya tidak memperdulikan lagi ucapan-ucapannya, apakah benar atau salah.
Yang difikirkan hanyalah kemenangan dan menganggap lebih pintar dan cerdik. Ia tertipu dengan ucapannya sendiri, dengan mengungkapkan gambaran yang tidak semestinya, hanya semata-mata menginginkan keunggulan kehebatan berbantah atau berdebat.
Jika ini terjadi maka pastilah akan timbul perselisihan dan pertarungan lidah (tulisan) yang sangat tajam dan putuslah silaturahmi diantara keduanya.
Obat atau penawar dari sikap tersebut di atas adalah agar supaya seseorang senang melenyapkan sifat yang menimbulkan suka berbantah dimaksud, yaitu watak sombong dan takabbur yang hanya memperlihatkan bahwa dirinya lebih dipentingkan, juga sifat berbantah itu dimbul karena sifat kebinatangan yang senantiasa menganggap rendah dan kurang pada diri orang lain.
Banyak orang dalam bertanya membohongi atau dusta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana berbohong dan nifak hanya akan menggambarkan seseorang memperoleh keninaan dan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akherat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang yang pendusta” (An-Nahl ayat 105).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta. ‘Ini halal dan haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Manfaat mengada-adakan itu adalah kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih” (An-Nahl ayat 116-117). “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Az-Zumar ayat 3).
Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya memberikan larangan kepada umatnya untuk melakukan kebohongan dan bersikap nifak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, apalagi berpuasa yang langsung berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diantara sabda Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan mengenai larangan berbuat bohong dan nifak adalah : Dari Abu Hurairah bahwasanya sesungguhnya Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga. Apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat” (HR Bukhari dan Muslim).
“Khianat yang paling besar adalah apabila engkau menceriterakan suatu ceritera kepada saudaramu, kemudian dia membenarkan apa yang kamu ceritrakan, sedangkan kamu berdusta kepadanya” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Ibnu Umar berkata bahwasanya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Membuat-buat (membual) yang paling dibuat-buat adalah ketika seseorang mengatakan bahwa matanya melihat sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia lihat” (HR Bukhari).
Berbicara dusta, mengingkari janji dan berkhianat adalah bagian dari akhlak yang tercela, yang harus dijauhi oleh setiap muslim (apalagi di bulan Ramadhan), karena ketiga akhlak ini merupakan bagian dari tanda-tanda kemunafikan seseorang.
Demikian pula ceritera dusta yang kemudian dipercaya oleh orang lain termasuk akhlak yang tercela dan merupakan pengkhianat yang sangat besar.
Dari Abu Hurairah berkata bahwasanya sesungguhnya Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Takutlah kamu terhadap prasangka, sebab sesungnguhnya prasangka adalah sejelek-jelek pembicaraan dusta” (HR Bukhari dan Muslim).
Perbuatan dusta pada mulanya hanyalah bersifat coba-coba, namun akhirnya menjadi kebiasaan. Bila kedustaan dilakukan terus menerus akan membuat hati seseorang hitam kelam, tidak lagi mau menerima petunjuk, yang akhirnya mengantarkan seseorang menjadi pendusta yang sebenarnya.
Bila hal ini terjadi, berarti dia termasuk dalam golongan penghuni neraka. Stop berdusta mulai hari ini dan perbaiki dengan kejujuran, buang jauh-jauh cobat-coba yang menjadikan kebiasaan berdusta.
Dari Jabir bin Zaid, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, “Wahai Abu Abdillah, apakah nifak itu?”. Jawab Hudzaifah, “Kamu mengatakan Islam, namun tidak mengamalkannya” (HR Imam Empat).
Dari Jabir bin Zaid dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda, “Sesungguhnya La ilaaha ilallaah adalah kalimah yang dengannya bersatu hati orang-orang mukmin.
Barangsiapa mengucapkannya, kemudian mengikuti ucapan itu dengan amal sholeh, maka dia termasuk mukmin paripurna. Dan barangsiapa mengucapkannya, kemudian mengikuti ucapan itu dengan amal kejelekan, maka dia termasuk munafik” (HR Imam Empat).
Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh (Nurassajati Purnama Allam,
Demikianlah yang dapat aku haturkan semoga saja sajian ini menjadikan kemanpaatan bagi kita semua Aamiin Wassalam.
Bok: * TIJAN = Titian-Jannah.*
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh….
Ketika seseorang memahami masalah-masalah agamanya, berarti dia menghendaki kebaikan atas dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pemahaman tentang agamanya.
Maka, carilah ilmu, karena ilmu adalah cahaya dan petunjuk, sedangkan kebodohan adalah kegelapan, dan kesesatan.
Marilah kita menuntut ilmu, karena ulama yang merupakan pewaris para Nabi, sedang para Nabi tidak mewariskan harta atau uang atau emas. Mereka hanya mewariskan ilmu, sehingga siapapun yang mau mengambilnya berarti ia telah memperoleh bagian yang sempurna dari warisan para Nabi.
Marilah kita menekuni ilmu, karena ilmu syari’at adalah derajat di dunia dan akherat yang merupakan pahala yang terus menerus berlanjut bagi pemiliknya.
Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila seorang hamba telah meninggal, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga yaitu, shadaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat (sepeninggalnya), atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya”. (HR Muslim).
Belajarlah ilmu untuk ilmu, agar memperoleh berkah dan memetik buahnya, dan belajarlah ilmu untuk amal agar supaya kita beramal yang disertai dengan ilmu.
Bukan untuk berdebat dan bukan pula untuk berbantah-bantahan, karena orang yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang yang bodoh atau agar dia bisa berjalan sejajar dengan ulama, sesungguhnya dia telah menyerahkan dirinya untuk menerima sika Allah dan memberhentikan dirinya pada tujuan yang hina.
Janganlah menuntut ilmu karena harta. Ilmu lebih mulia daripada keberadaannya menjadi sarana untuk meraih harta. Harta lebih pantas digunakan sebagai sarana untuk mencapai ilmu, karena harta akan semakin berkurang bahkan bisa punah, sedangkan ilmu tetap bercahaya dan semakin bertambah jika mendapat pengamalan sebagai mestinya.
Ketidakpedulian terhadap menuntut atau belajar ilmu agama merupakan ketersia-siaan dan kezaliman pada diri sendiri serta akan menyesal di kemudian hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang sholeh dan berkata : Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat ayat 33).
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dijelaskan dengan perintah membaca “iqra” menjadi wahyu pertama yang diterima oleh Rosululullah.
Kemudian ilmu yang pertama kali diajarkan kepada manusia yakni Nabi Adam adalah ilmu tentang bahasa, berupa pengenalan nama-nama benda (Tolong lihat. Al Baqarah ayat 31-34).
Jadi membaca kemudian bahasa, dua perpaduan sempurna untuk sebuah ilmu. Dan selanjutnya adalah proses penyimpanannya berupa menuliskannya dengan pena, laksana mengikat hewan buruan dengan tali, demikian Imam Syafi’i menganalogikan.
Maka ilmu adalah sangat penting untuk dimiliki, dan dengan ilmu, Allah akan mengangkat derajat hambanya seperti yang tertulis surah Al Mujadalah ayat 11.
Salah satu cara memperoleh ilmu dengan bertanya dan salah satu ciri orang yang berilmu itu adalah kritis. Malu bertanya sesat dij alan. Banyaklah bertanya agar bertambah ilmunya. Islam mengajarkan dalam bertanya agar dapat memperoleh manfaat dari pertanyaan hendaknya :
• Ikhlash dalam bertanya. Maksudnya bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita sendiri atau diri orang lain, bukan berdebat kusir atau sombong di hadapan para ulama atau riya (supaya dikatakan orang yang bersemangat menuntut ilmu). Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka" (HR. At-Tirmidzi).
Ibnul Qayyim berkata, "Jika anda duduk bersama seorang 'alim (ahli ilmu), maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan"
• Bertanya karena tidak tahu, wajib hukumnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl ayat 43).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir berkata, “Ada sekolompok orang yang dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu hingga mengalami luka pada kepalanya.
Di malam harinya dia mimpi basah, lalu dia bertanya kepada temannya,
“Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?”. Teman-temannya serombongan tersebut menjawab, “Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air”.
Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati. Akhirnya berita ini sampai kepada Rasulullah, dan bersabdalah beliau, “Mereka (rombongan tersebut) telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka.
Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum… .”.
• Hindari bertanya bukan untuk membatah atau mendebat, apalagi sehingga mengadu domba.
Dalam bertanya hendaknya supaya dapat mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan dari pertanyaan tersebut. Bukan untuk berbantah-bantahan. Rasulullah bersabda : “Dijaminkan sebuah rumah di syurga barangsiapa menghindari perdebatan, meski padanya ada kebenaran”.(HR.Abu Dawud).
Bagaimana bila kita ingin meluruskan pemahaman orang yang kita tanya, tanpa bermaksud membantahnya atau mendebatnya?.
Dalam hal ini contohlah Hasan ibnu Ali dan Husain Ibn Ali (cucu Rosulullah) yang berlomba berwudhu. Cara ini mereka gunakan untuk memberitahukan tata laksana berwudhu yang shahih kepada seorang kakek.
Jadi tidak perlu bertanya dan mendebat karena debat hanya akan menimbulkan luka hati dan syahwat untuk memenangi serta dengki ketika argumentasi terbantahi.
Seorang penanya bukanlah seorang pendebat, maka tidak diperkenankan mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan, “Tapi ustadz, si fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian, dan yang demikian termasuk kurang beradab”.
Yang sebaiknya mengatakan, “Apa pendapatmu tentang ucapan ini?” (tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan).
• Haram hukumnya bertanya, yang kemudian berakibat haramnya sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan sebelum kita menanyakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. ( Al-Maidah ayat 101). Rosulullah bersabda, “Orang yang paling besar dosanya adalah orang yang menanyakan sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan.
Kemudian, hal itu diharamkan karena adanya pertanyaan tersebut” (Mutafaqun alaihi). Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), maka syariatnya adalah didesain untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.
Tradisi memudahkan dan tidak menyulitkan ini telah dilakukan semenjak jaman Rasulullah dan para sahabat. Begitu pula para tabi’in. Rosulullah bersabda, "Biarkanlah (jangan tanyakan) yang aku diamkan bagi kalian (yang tidak dijelaskan hukumnya).
Sessungguhnya, umat sebelum kalian binasa karena terlalu sering bertanya dan mereka berselisih dengan nabi-nabinya" (Mutafaq alaihi)
• Dianjurkan memperbagus kalimat pertanyaan dan cara bertanya. Di antara kebaikan dalam bertanya adalah mencari situasi dan kondisi atau konteks yang tepat untuk bertanya.
Kemudian memperbagus konteks pertanyaannya dengan pilihan diksi yang indah disertai dengan kelembutan ketika bertanya. Ibnul Qayyim berkata,
“Ilmu itu memiliki enam tingkatan,
yang pertama adalah bagusnya pertanyaan dan sebagian orang ada yang tidak mendapatkan ilmu karena jeleknya pertanyaan,
mungkin karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya tentang sesuatu padahal disana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan seperti bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini adalah keadaan kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh”.
Di antara cara memperbagus pertanyaan dengan berlemah lembut dalam bertanya, ingat rambu-rambu bertanya bahwa bertanya bukan untuk mendebat atau membantahnya.
Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, “Dahulu Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin ‘Utbah, seorang tabi’in) berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau (Ibnu ‘Abbas) memberinya ilmu yang banyak”
Selain itu perlu dicermati bahwa "Barangsiapa bersikap meremehkan,akan mudah baginya melakukan tindakan yg meremehkan. Ketahuilah bahwa luka itu tidak dapat menyakiti orang yang telah mati" (Al-Mutanabbi).
"Tuntutlah ilmu dengan tujuan mengamalkannya. Bertanyalah kepada yang tahu apa yang engkau tidak tahu. Namun jangan bertanya untuk menguji. Hindarilah dari berfatwa sebagaimana engkau menghindar dari singa. Apakah engkau ingin batang lehermu menjadi jembatan yang akan dilalui orang menuju neraka?” (Ja'far Ash-Shadiq).
Jadi kesimpulannya adalah janganlah engkau bertanya untuk menguji seseorang padahal kamu sudah lebih mengetahui tentang ilmu tersebut, kecuali jika tujuannya adalah untuk saling nasehat-menasehati itulah yang benar dan dianjurkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sesuatu kaum menghina kepada kaum yang lain, karena barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan.
Jangan pula golongan wanita menghina kepada golongan wanita yang lain, karena barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan” (Al-Hujurat ayat 11).
Yang dimaksud “penghinaan” itu adalah menganggap rendah derajat orang lain, meremehkannya atau mengingatkan cela-cela dan kekurangan-kekurangannya dengan cara yang dapat menyebabkan ketawa.
Cara ini sering dilakukan, dengan cara meniru-nirukan percakapan atau perbuatan orang itu dan ada kalanya dengan jalan berisyarat (bahasa tubuh) dengan apa-apa yang menunjukkan ke arah tersebut. Intinya adalah ditujukan untuk merendahkan kedudukan orang lain dan menertawakannya serta menghinakan dan menganggapnya kecil.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan, “Barangkali yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan”, artinya janganlah kamu menghinakan orang lain karena hendak menganggapnya ia kecil dan rendah.
Masalah kecil atau rendah itu belum dapat ditentukan, mungkin justru orang itu sebenarnya yang lebih baik, lebih mulia, lebih tinggi derajatnya dari padamu sendiri.
Pelarangan ini tentu terhadap seseorang yang merasa tidak enak atau tersinggung jika dihinakan, sedangkan terhadap seseorang yang sengaja dirinya untuk direndahkan karena telah menjadi watak dan tabiatnya dan bahkan bila diperbuat penghinaan, ia semakin gembira, maka kepadanya tidaklah termasuk sebagai penghinaan.
Ini termasuk dalam senda gurau yang diperkenankan (lawakan), asalkan tidak melampaui batas dan tidak pula melanggar kehormatannya.
Yang diharamkan dalam “penghinaan dan pengejekan”
adalah apabila dengan cara menganggap kecil seseorang yang menyebabkan orang itu merasa dihinakan, diremehkan atau dianggap sepi dan tidak ada harganya sama sekali.
Misalnya, meneertawakan kata-katanya di waktu ia salah mengucapkan atau tidak sistematis uraiannya atau menertawakan perbuatannya di waktu ia keliru, juga seperti menertawakan hafalannya, ciptaannya, gambar tubuhnya ataupun yang ditertawakan itu adalah bentuk tuhnya karena terdapat cela yang terlihat jelas.
Tertawa dalam segala hal sebagaimana yang diuraikan di atas termasuk hal-hal yang benar-benar dilarang.
Dalam hal cara menangkal pertanyaan yang keras dan kasar, ada sebuah kisah Khalifah Harun ar-Rasyid mengajarkan kepada Al-Ashma'i tentang prinsip-prinsip dan kaidah nahi mungkar terhadap penguasa (pejabat).
Suatu ketika seorang penanya yang tidak mengetahui sedikitpun tentang prinsip-prinsip itu mendatangi Khalifah, dan menasehatinya dengan kata-kata keras dan kasar.
Meskipun Harun Ar-Rasyid menyenangi para ulama dan sering duduk-duduk bersama sambil mendengarkan nasehat mereka, lain halnya dengan seorang yg satu ini. Harun ar-Rasyid berkata kepadanya :
"Cobalah engkau berbicara dengan baik dan obyektif kepadaku". Penanya itu menjawab : "Itu adalah yang paling minimal bagimu". Ar-Rasyid :"Cobalah beritahu kepadaku siapa yang lebih jahat, aku atau Fir'aun?".
Sang Penanya : "Fir'aun". Ar-Rasyid : "Sipakah yang lebih baik, engkau atau Musa bin Imran?". Sang Penanya : "Musa". Ar-Rasyid : "Apakah engkau tidak tahu, ketika Allah mengutus Musa dan saudaranya Harun kepada Fir’aun?
Allah berpesan kepada keduanya : 'Maka bicaralah kamu berdua padanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut'".
Sang Penanya, “Ya, aku tahu". Ar-Rasyid, "Itu adalah Fir’aun yang penuh dengan kesombongan dan kezhaliman, sementara engkau datang kepadaku dengan keadaan begitu.
Aku melaksanakan kewajiban-kewajibanku terhadap Allah, aku hanya menyembah kepada Allah. Aku mentaati hukum-hukum, perintah dan larangan-Nya, sedangkan engkau menasehatiku dengan nada yang keras dan kata-kata yang kasar tanpa tata krama dan akhlak.
Engkau tidak akan aman dan selamat jika aku menangkapmu. Dan jika engkau telah menawarkan jiwamu, berarti engkau sudah tidak memerlukannya lagi". Sang Penanya, "Aku telah bersalah, wahai Amirul Mukminin, dan aku minta maaf". Ar-Rasyid, "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampunimu".
Dari dialog antara Khalifah Harun ar-Rasyid dengan seorang penanya yang beraliran keras menunjukkan bahwa ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dilanjutkan oleh sahabatnya
khusus untuk menangani hal-hal yang menyimpang, menyatakan kritik-kritik keras terhadap ajaran islam dilakukan secara persuasif dengan membina agar yang bersangkutan memahami, mengerti dan mengakui kebenaran ajaran islam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosulullah mengumpamakan sahabat yang baik itu seperti membawa minyak wangi (terserah bau harumnya, harum seperti bunga melati, bunga mawar, buah melon dan sebagainya).
Sahabat yang baik itu adakalanya kamu diberi dan ada kalanya pula kamu memberi. Dan yang pasti kamu akan merasakan bau harum dari minyak wangi yang dibawanya.
Sedangkan sahabat yang buruk diumpamakan sebagai peniup api. Kalau tidak terbakar pakaianmu, tentulah engkau akan mencium bau busuk darinya".
Perlu diketahui juga, bahwa dalam bergaul dengan orang bodoh tetapi tidak suka mengumbar hawa nafsunya itu lebih baik daripada bergaul dengan orang alim (berilmu) namun suka mengumbar hawa nafsunya.
Selanjutnya, kita perlu memperhatikan kata mutiara yang pernah diucapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Tholib sebagai pedoman dalam memilih salahabat :
"Jangan bersahabat, kecuali dengan orang yang takwa, terdidik, terhormat, cerdik, cerdas, cendikiawan, tepat dengan janji-janjinya. Teguhkan keyakinanmu kepada Allah dalam setiap peristiwa, niscaya Allah akan menolongmu di setiap saat dari kejahatan, dengki dan tukang hasut".
Dalam hal berolok-olok, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Katakanlah : ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rosul-sorul-Nya kamu selalu berolok-olok?.
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman” (At-Taubah ayat 65-66).
Ayat ini menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah adalah kekufuran, mengolok-olok rosul adalah kekufuran dan mengolok-olok ayat-ayat Allah adalah kekufuran.
Karena itu, barangsiapa mengolok-olok salah satu dari perkara tersebut berarti ia telah mengolok-olok semuanya.
Apa yang terjadi pada orang-orang munafik adalah mereka mengolok-olok rosul dan para sahabatnya, lalu turunlah ayat ini.
Jadi mengolok-olok agama hukumnya adalah murtad dan keluar dari agama secara keseluruhan.
Mengolok-olok ada dua macam, yaitu secara terus terang dan secara tidak terus terang.
• Secara terus terang. Mengolok-olok secara nyata atau terus terang seperti yang karenanya ayat di atas turun, yaitu ucapam mereka, “Belum pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan atau ucapan-ucapan lain yang bersifat olok-olok.
Seperti ucapan sebagian dari mereka, “Agama kalian ini adalah agama kelima”. Atau ucapan mereka yang lain, “Agama kalian adalah agama kuno”. Atau ucapan sebagian lain jika melihat orang-orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran,
“Telah datang kepada kalian ahli agama”. Semuanya dalam nada mengejek mereka atau ucapan-ucapan lain yang tidak terhitung kecuali dengan susah payah, yang lebih besar dari ucapan yang karena ayat di atas turun kepada mereka.
• Tidak terus terang. Mengolok-olok secara tidak terus terang dan contohnya banyak tidak terhitung. Seperti dengan mengedipkan mata, menjulurkan lidah, memonyongkan bibir, meremehkan dengan isyarat tangan ketika membaca Kitabullah atau Sunah Rosul-Nya, atau ketika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Termasuk di dalamnya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian mereka bahwa Islam tidak sesuai untuk abad 20, tapi hanya cocok dan sesuai untuk abad-abad pertengahan.
Islam adalah terbelakang dan kuno, di dalamnya terdapat kekerasan dan kebengisan, kekejaman dalam memberikan hukuman had dan sangsi, Islam menganiaya wanita dan hak-haknya karena membolehkan menceraikannya dan berpoligami.
Juga termasuk ucapan mereka, memutuskan hukum dengan undang-undang buatan mereka lebih baik daripada berhukum dengan Islam. Mereka juga memberikan kepada orang yang menyeru kepada tauhid dan mengingkari ibadah kepada kuburan-kuburan dengan julukan ekstrimis, atau ingin memecah belah jama’ah umat Islam dengan julukan teroris.
Atau mengatakan, ini adalah wahabi atau madzab kelima, serta ucapan-ucapan lain yang semuanya merupakan pelecehan terhadap agama dan pemeluknya, serta olok-olok terhadap aqidah yang benar, laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Termasuk diantaranya adalah olok-olok mereka terhadap orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, agama itu tidaklah disambut, sebagai olok-olok terhadap orang yang memanjangkan jenggotnya, serta ucapan-ucapan buruk lainnya.
Berbantah-bantahan pun dilarang dalam ajaran Islam yaitu semua sanggahan kepada pembicaraan orang lain dengan tujuan hendak memperlihatkan kesalahan, kekurangan atau ketidaktahuan orang itu menganggapnya seolah-olah bodoh dan ia lebih tahu atau pintar.
Hal ini adakalanya berhubungan dengan ucapannya, adakalanya dengan isi yang dibicaarakan dan mengenai tujuan pembicaraan dimaksud.
Menghindarkan diri dari berbantah-bantahan lebih baik dengan jalan tidak menyanggah atau melawannya, dimana semua perkataan yang anda dengar (sekiranya memang benar menurut perasaan anda).
Sebaiknya dipercaya, dan sebaliknya (sekiranya anda anggap salah, bathil atau berdusta), sebaiknya anda berdiam diri saja, asalkan tidak ada hubungannya dengan kehormatan agama.
Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau mengucapkan bantahan kepada saudaramu, jangan pula mengajaknya bersenda gurau dan jangan pula engkau berjanji memenuhi suatu perjanjian, kemudian engkau menyalahinya” (HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain, Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sesuatu kaum itu menjadi sesat setelah diberi petunjuk oleh Allah, melainkan sebab mereka itu suka berbantah-bantahan” (HR Tirmidzi).
Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidaklah seseorang hamba itu mendapatkan kesempurnaan hakekat keimanan, sehingga suka meninggalkan berbantah-bantahan, sekalipun ia merasa dalam fihak yang benar” (HR Ibnu Abiddunya).
Sedangkan Bilal bin Sa’ad berkata, “Jika pada suatu ketika anda melihat seseorang yang banyak berbicara, suka berbantah dan merasa bangga dengan pendapatnya sendiri, maka sudah sempurnalah kerugiannya”.
Lain halnya Ibnu Abi Laila berkata, “Saya ini tidak suka membantah sahabatku, adakalanya saya seharusnya mendustakannya dan adakalanya saya perlu memarahinya”.
Bagaimana mensikapi terjadinya berbantahan tersebut?
Bila ada suatu perbantahan terjadi dan yang dibicarakan masalah ilmiah, sebaiknya saat itu berdiam diri saja sambil merenungkan atau mendengarkan alasan masing-masing fihak.
Sebaiknya janganlah mencampuri, namun sementara anda dapat menyaring dan meneliti mana yang benar dan mana yang salah. Bila diperlukan bertanya dalam suatu hal yang tidak dimengerti, lakukanlah, namun sifatnya jangan bersifat membantah, menyanggah atau lebih-lebih menyalahkannya.
Sebaiknya, hal tersebut dilakukan (bertanya) dengan sikap lemah lembut dan sopan agar mengeahui duduk permasalahannya, sehingga bukan bermaksud menjatuhkan dengan mengemukakan pertanyaan tersebut.
Bila suatu pertanyaan atau ucapan untuk tujuan mematahkan atau melumpuhkan pembicaraan orang lain sehingga tidak dapat menjawabnya atau mengurangi nilai ucapannya, maka bentuk perbantahan yang paling dilarang sekalai dalam ajaran agama Islam dan sangat tercela di pandangan masyarakat sebaiknya menghindari dengan cara berdiam diri saja agar selamat dari dosa dan akibatnya.
Kenapa seseorang suka berbantahan?
Seseorang suka berbantah, timbul karena perasaan yang salah yaitu semata-mata hendak menonjolkan kelebihan diri sendiri, lebih pandai, lebih benar pendapatnya.
Selain itu berkehendak menyerang orang yang dianggap lawannya dengan menunjukkan kekurangan ilmu serta ketololannya. Jadi dua sifat inilah benar-benar merusakkan jiwa seseorang.
Berbantah-bantahan itu tidak akan lepas dari sikap menyakiti hati orang lain, menyalakan api kemarahan dan membawa si penentang untuk mengulangi perbuatannya kepada siapapun juga.
Sebaiknya sifat yang demikian dijauhi sedapat mungkin, baik yang benar maupun yang salah pendapatnya. Orang yang suka berbantah-bantahan itu akhirnya tidak memperdulikan lagi ucapan-ucapannya, apakah benar atau salah.
Yang difikirkan hanyalah kemenangan dan menganggap lebih pintar dan cerdik. Ia tertipu dengan ucapannya sendiri, dengan mengungkapkan gambaran yang tidak semestinya, hanya semata-mata menginginkan keunggulan kehebatan berbantah atau berdebat.
Jika ini terjadi maka pastilah akan timbul perselisihan dan pertarungan lidah (tulisan) yang sangat tajam dan putuslah silaturahmi diantara keduanya.
Obat atau penawar dari sikap tersebut di atas adalah agar supaya seseorang senang melenyapkan sifat yang menimbulkan suka berbantah dimaksud, yaitu watak sombong dan takabbur yang hanya memperlihatkan bahwa dirinya lebih dipentingkan, juga sifat berbantah itu dimbul karena sifat kebinatangan yang senantiasa menganggap rendah dan kurang pada diri orang lain.
Banyak orang dalam bertanya membohongi atau dusta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana berbohong dan nifak hanya akan menggambarkan seseorang memperoleh keninaan dan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akherat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang yang pendusta” (An-Nahl ayat 105).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta. ‘Ini halal dan haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Manfaat mengada-adakan itu adalah kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih” (An-Nahl ayat 116-117). “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Az-Zumar ayat 3).
Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya memberikan larangan kepada umatnya untuk melakukan kebohongan dan bersikap nifak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, apalagi berpuasa yang langsung berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diantara sabda Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan mengenai larangan berbuat bohong dan nifak adalah : Dari Abu Hurairah bahwasanya sesungguhnya Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga. Apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat” (HR Bukhari dan Muslim).
“Khianat yang paling besar adalah apabila engkau menceriterakan suatu ceritera kepada saudaramu, kemudian dia membenarkan apa yang kamu ceritrakan, sedangkan kamu berdusta kepadanya” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Ibnu Umar berkata bahwasanya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Membuat-buat (membual) yang paling dibuat-buat adalah ketika seseorang mengatakan bahwa matanya melihat sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia lihat” (HR Bukhari).
Berbicara dusta, mengingkari janji dan berkhianat adalah bagian dari akhlak yang tercela, yang harus dijauhi oleh setiap muslim (apalagi di bulan Ramadhan), karena ketiga akhlak ini merupakan bagian dari tanda-tanda kemunafikan seseorang.
Demikian pula ceritera dusta yang kemudian dipercaya oleh orang lain termasuk akhlak yang tercela dan merupakan pengkhianat yang sangat besar.
Dari Abu Hurairah berkata bahwasanya sesungguhnya Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Takutlah kamu terhadap prasangka, sebab sesungnguhnya prasangka adalah sejelek-jelek pembicaraan dusta” (HR Bukhari dan Muslim).
Perbuatan dusta pada mulanya hanyalah bersifat coba-coba, namun akhirnya menjadi kebiasaan. Bila kedustaan dilakukan terus menerus akan membuat hati seseorang hitam kelam, tidak lagi mau menerima petunjuk, yang akhirnya mengantarkan seseorang menjadi pendusta yang sebenarnya.
Bila hal ini terjadi, berarti dia termasuk dalam golongan penghuni neraka. Stop berdusta mulai hari ini dan perbaiki dengan kejujuran, buang jauh-jauh cobat-coba yang menjadikan kebiasaan berdusta.
Dari Jabir bin Zaid, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, “Wahai Abu Abdillah, apakah nifak itu?”. Jawab Hudzaifah, “Kamu mengatakan Islam, namun tidak mengamalkannya” (HR Imam Empat).
Dari Jabir bin Zaid dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda, “Sesungguhnya La ilaaha ilallaah adalah kalimah yang dengannya bersatu hati orang-orang mukmin.
Barangsiapa mengucapkannya, kemudian mengikuti ucapan itu dengan amal sholeh, maka dia termasuk mukmin paripurna. Dan barangsiapa mengucapkannya, kemudian mengikuti ucapan itu dengan amal kejelekan, maka dia termasuk munafik” (HR Imam Empat).
Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh (Nurassajati Purnama Allam,
Demikianlah yang dapat aku haturkan semoga saja sajian ini menjadikan kemanpaatan bagi kita semua Aamiin Wassalam.
Bok: * TIJAN = Titian-Jannah.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar