Oleh Nursajati Purnama Alam
Disadur Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Assalamu allaikum warahmatullahi wabarokatuh
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Saudaraku..."
Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya
bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua
rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul
Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.
Karena di dalam
melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering melakukan perkara yang
dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Azza wa Jalla
mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih menyempurnakan puasanya. Oleh
karena itulah, sangat penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang
berkaitan dengan zakat fithri. Semoga pembahasan ringkas ini dapat
menjadi sumbangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan ibadah ini.
[1]. Makna Zakat Fithri
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat
fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah
yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa
Ramadhan.[Shahih Fiqhis Sunnah, 2/71]
[2]. Hikmah Zakat Fithri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :
"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id),
maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya
setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827.
Dihasankan oleh Syaikh al Albani]
[3]. Hukum Zakat Fithri
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim.
Sebagian ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh,
tetapi dalil yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).[Lihat
Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani; Ma’alimus Sunan,
2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman
101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi
al Atsari]
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip
adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri ini. Beliau t
berkata,"Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya
bahwa shadaqah fithri wajib [Ijma', karya Ibnul Mundzir, halaman 49.
Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80]. Maka kemudian menjadi sebuah
ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.
[4]. Siapa Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua:
1) Islam dan
2) Mampu.
Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak,
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah
diwajibkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Dari
Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah n telah
mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa' kurma atau satu shaa'
gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki
wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau
memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya
orang-orang menuju shalat (‘Id)"
[HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".
[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:
"Dari Sahl
Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta,
padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia
memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang
lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu tidak pantas
meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi
dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di tempat yang lain: “Dia
memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam
dan sehari".
[HR Abu Dawud, no. 1629. dishahihkan oleh Syaikh al
Albani].[Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul
Muslim, 299]
Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran
kemampuan itu ialah, memiliki nishab zakat uang atau senilai dengannya
dan lebih dari kebutuhan tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan".
[HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad]
Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta,
seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi
ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil,
karena kita berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib
mengeluarkan zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah
dijelaskan. Wallahu a’lam.[Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81]
[5]. Bagaimana Dengan Janin?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri
atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin,
menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.
[Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman
102]
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen
Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas
setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan,
anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan
semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di
dalam perut ibunya”. [Taisirul Fiqh, 74]
Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t berkata : “Yang nampak bagiku, jika
kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka zakat
itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah ditiupkan ruh padanya.
Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah empat bulan”.
Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi
janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau
mengeluarkan zakat fithri bagi janin [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419;
dan 'Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini
nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan
oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah
fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat
Abdurrazaq, no. 5788).]. Jika tidak, maka tentang hal ini tidak ada
Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi wajib kita
ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin, yang kita
diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”. [Syarhul Mumti’,
6/162-163]
Dari penjelasan ini kita mengetahui,
disunahkan bagi orang tua untuk membayar zakat fithri bagi janin yang
sudah berumur empat bulan dalam kandungan, wallahu a’lam.
[6]. Suami Membayar Zakat Fithri Dari Dirinya Dan Orang-Orang Yang Menjadi Tanggungannya.
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat
fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib membayar
zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung seluruh
anggota keluarganya?[Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh
Musthafa al ’Adawi; Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin
Shalih al ‘Utsaimin]
Pendapat Pertama.
Suami
wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang dia
tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil, bahwa
suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia juga
membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :
"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari
anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang
kamu tanggung”.
[Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no.
835].[Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi
al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi
(4/161), dari Ibnu 'Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga
diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi
sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain
mauquf (berhenti) pada Ibnu 'Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda
Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al
Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan
periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat
catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii
Ramadhan, hlm. 105).]
Pendapat Kedua.
Sebagian
ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang isteri membayar
zakat fithri sendiri, dengan dalil:
1. Hadits Ibnu Umar :
"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada
budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kalangan umat Islam”.
[HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].
Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap orang
pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga dia
wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami ataupun
belum bersuami.
Tetapi pendapat ini dibantah :
Bahwa disebutkan “wanita”, tidak berarti dia wajib membayar zakat
fithrah bagi dirinya. Karena di dalam hadits itu, juga disebutkan budak
dan anak kecil. Dalam masalah ini sudah dimaklumi, jika keduanya
ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya. Demikian juga para sahabat
membayar zakat fithri untuk janin di dalam perut ibunya. Apalagi sudah
ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami membayar zakat fithri bagi
orang-orang yang dia tanggung.
2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung orang lain.
Allah berfirman:
"Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].
Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang
yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan
memikul beban (dosa) orang lain.
Tetapi pendapat ini dibantah :
Ini seperti seorang suami yang menanggung nafkah orang-orang yang dia
tanggung. Dan setelah hadits yang memberitakan hal itu sah, maka wajib
diterima, tidak boleh dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau
yang lainnya. Dari keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih
kuat. Wallahu a’lam.
[7]. Bentuknya.
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di
daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis
makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang
paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau
rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan dalam
bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir
(sejenis gandum), atau tepung?”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-hamdulillah. Jika penduduk suatu
kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai makanan pokok, maka
tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat fithri dari (jenis)
makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka mengeluarkan makanan pokok
dari selain itu? Seperti jika makanan pokok mereka padi dan dukhn
(sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan hinthah (sejenis
gandum) atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup bagi mereka
(mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya? (Dalam permasalahan ini),
telah masyhur dikenal terjadinya perselisihan, dan keduanya diriwayatkan
dari Imam Ahmad :
Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.
Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari
jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah
yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam
semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin,
sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-".[Majmu’ Fatawa
25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107]
[8]. Ukurannya.
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau
anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang
menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.
"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman
Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu Sa’id
berkata,"Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju, dan
kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510].
Para ulama
berbeda pendapat tentang hinthah [Hinthah atau qumh, yaitu sejenis
gandum yang berkwalitas bagus], apakah satu sha’ seperti lainnya, atau
setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah
sha'.
"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri
berkata : Dua hari sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda:
“Tunaikan satu sha’ burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua
orang, atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis
biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua
"
[HR Ahmad, 5/432.
Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki
penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih.
Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105].
Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud
adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat, maka
ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar
ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan
perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini,
sebagai berikut:
1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih
Sunnah, 2/83).2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam,
3/74).3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,"Para ulama telah mencoba
dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara
sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr
gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan
menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh)
menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].
Dari
penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini selayaknya
dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita -umumnya- adalah
padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras sebanyak 2 ½ kg,
wallahu a’lam.
[9]. Tidak Boleh Diganti Dengan Jenis Lainnya.
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok
ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak
boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Kebanyakan ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai,
tetapi Abu Hanifah membolehkannya”. [Syarah Muslim].
Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah
rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu
telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti
pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna
lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu
Baaz, Ibnu 'Utsaimin, al Fauzan, 'Abdullah al Jibrin]
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Zakat fithri wajib
dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak
menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena,
tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan
walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [Minhajul
Muslim, halaman 231].
[10]. Waktu Mengeluarkan.
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib.
Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan, atau seseorang
masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Dan jika
seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri.
Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya
matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat,
waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul Fithri.[Taudhihul Ahkam Syarh
Bulughul Maram, 3/76]
2. Waktu afdhal.
Maksudnya
adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat fithri, yaitu fajar hari 'Id,
dengan kesepakatan empat madzhab.[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram,
3/80]3.
3. Waktu boleh.
Maksudnya, waktu yang
seseorang dibolehkan bayi membayar zakat fithri. Tentang waktu
terakhirnya, para ulama bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan
setelah shalat ‘Id, dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
"Dari Ibnu
'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id),
maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya
setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan
lain-lain].
Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam
masalah ini, terdapat beberapa pendapat : [Taudhihul Ahkam Syarh
Bulughul Maram, 3/75] - Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : "Boleh
maju setahun atau dua tahun". - Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak
boleh maju". - Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan
Ramadhan". - Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".
Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan
perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan beliau adalah
termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Nafi’ berkata:
"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri". [HR
Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
[11]. Yang Berhak Menerima.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal. Ini merupakan pendapat
Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat
Hanabilah.[Ikhtiyarat, 2/412-413]
2. Delapan golongan
penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin. Asy Syaukani
rahimahullah berkata,"Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah
tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat
yang diterima,' dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri. Kedua hadits itu telah
dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena
perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada
hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang
lain." [Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan,
Cet. II, Th. 1418H/1997M]
Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Tempat pembagian shadaqah
fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi,
orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada
bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!' Maka
zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali
jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya
kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain
mereka".[Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul 'Ulum wal Hikam
& Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74]
3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka,
muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya,
atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid
(orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak
diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil,
kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya
miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya,
tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada
orang gharim.[Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233.
Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413]
Pendapat ini juga
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana
tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad
(2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi
Ramadhan [halaman 105-106].
Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:
"Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].
2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa),
sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu
orang miskin, wallahu a’lam.3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat
fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri
atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla
:$"(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9
ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat
mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya. [Lihat
Majmu Fatawa, 25/71-78.]
Kemudian juga, tidak ada ulama
yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah
hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti
zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap
golongan akan menjadi sedikit. Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang
yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau
lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat.
Wallahu ‘alam.
[12]. Panitia Zakat Fithri?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya
orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di
antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[Sifat Shaum Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106] 1. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri.
(HR Bukhari, no. 3275). 2. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa
memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya (HR Bukhari,
no. 1511; Muslim, no. 986). Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk
oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat
fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin,
sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri.
Semoga bermanfaat untuk kita.
Wallahu a'lam.
Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm:
101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al
Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil Islam
Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Demikianlah Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar