Saudaraku..." Berbicara
masalah warisan, Terkadang melayang pada benak kita tentang hal-hal
yang berkaitan dengan sejumlah harta peninggalan akibat kematian
seseorang.
Namun Berhati-hatilah dengan warisan sebab tidak sedikit orang yang bersengketa hanya karena warisan dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan tentangnya.
Maka
akibatnya bisa patal... didunia terjadi perpecahan antar keluarga dan
saudara sedangkan di akhirat bisa jadi kena azab-Nya, yg di akibatkan
karena ketamakan dan keserakahannya.
Masalah
warisan, didalam masyarakat kita memang sering menimbulkan perselisihan
yang mungkin akan mengakibatkan pecahnya keakraban persaudaraan.
Padahal,
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya kita semua memahami
apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang menjadi hak-hak kita, dan apa
pula yang menjadi kewajiban-kewajiban kita yang berkaitan dengan harta
warisan tersebut.
Disebabkan ketidaktahuan dan kekurangnya pengertian, sehingga banyak menjadi biang keladi konflik tersebut. Kemajemukan masyarakat di Indonesia diikuti dengan kemajemukan
Hukum
Perdatanya. Dimana Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari Hukum
Perdata yang berkembang dengan sangat kental di masyarakat Indonesia.
Karena
seperti kita ketahui kegiatan waris mewaris tidak bisa terlepas dari
tata kehidupan masyarakat. Ahli Waris merupakan salah satu unsur utama
dalam Hukum Waris.
Dalam membicarakan Ahli
Waris, sudah barangtentu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan
Ahli Waris, hak dan kewajibannya beserta penggolongannya
Serta kemungkinan – kemungkinan yang berkaitan dengan status Ahli
Waris, untuk menghidari kesalahpahaman dalam menindak lanjutinya dalam
kehidupan sehari – hari.
1. PENGERTIAN AHLI WARIS
Menurut undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu : 1.Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang
2.Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara
yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab
intestato”. Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan
“testamentair”.
Dalam hukum
waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”,
sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”. Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya.
Hak
dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak
waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat
wasiat, yang diatur dalam undang – undang.
Tetapi
legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan
pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa
kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt
dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal
dunia (pewaris).
Dalam Pasal 874 KUHPdt juga
dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah
kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar
terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah.
Ketentuan
Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit
le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati
berpegang pada orang yang masih hidup.
Asas
ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap
ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut
Pasal 834 B.W.
Seorang ahli waris berhak
untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si
meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris
(heriditatis petito).
Hak penuntutan ini
menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut
maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai
satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya.
Oleh
karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang
hanya menjadi houder saja, yaitu yg menguasainya benda itu berdasarkan
suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa.
Penuntutan
tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair
atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus.
Seorang
ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan
mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si
meninggal dengan barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda
peninggalan.
Menurut Pasal
1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta
warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu.
Jadi,
harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi
kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak
lebih lama dari lima tahun.
Walaupu ahli
waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang
meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya
oleh undang - undang telah ditetapkan ada orang orang yang karna
perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan.
Hal
ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi
ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
2.
mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah
menjadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat;
3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
4. mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain
itu, oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang
berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan
si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat
wasiat yang diperbuat oleh si meninggal.
Mereka
ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu serta
saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang
melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang
terakhir.
Bahkan pemberian
waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin menjadi perantara
dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat
dibatalkan.
Sebagai orang –
orang perantara ini oleh undang – undang diangap anak – anak dan isteri
dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dan
tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912
ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas,
menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris.
Berlaku
juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam
suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang
telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan.
Jika
si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan
warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap
sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
2. SYARAT – SYARAT AHLI WARIS
Dalam
pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak
menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar
kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama.
Dalam
hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di
antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang
meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala
hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian
menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang
yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut
undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah
diambilnya suatu ketetapan yang sah.
Menurut
Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal
2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah
lahir, pada saat warisan jatuh meluang.
Dimana
Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan
si anak mengkehendakinya,
Namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
1. mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :
a. hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
2.
harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal
836 B.W.), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 B.W. 3. ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan,
Adapun
Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris
yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab
sebelumnya .
jika kita tinjau dari syarat
pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan,
bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam
waktu yang sama?
Dari
ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau
lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu
yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat
dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya
tidak saling mewaris.
3. HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS
HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS
Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak dan kewajiban pewaris.
Hak
pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa
pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam
sebuah testament atau wasiat.
Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
1.
Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi
ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta
peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli
waris menurut wasiat).
2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
a. ( hak atas) satu atau beberapa benda tertentu;
b. ( hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;
c. ( hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang.
Ia
harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu
dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang
meninggalkan warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
1.
Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu dapat dilakukan
secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan
tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya sebagai
ahli waris.
Baik secara diam –
diam,atau terang-terangan, jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan
penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus
mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang
meluang,(menerima) yaitu dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang –
hutang pewaris.
2. Menerima dengan reserve
(hak untuk menukar) Voorrecht van boedel beschriyving atau beneffeciare
aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri
ditempat waris terbuka.
Akibat
yang terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa
kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris
dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan
warisan,
dalam hal ini berarti si ahli
waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaan
sendiri, jika hutang pewaris lebih besar dari harta bendanya.
Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
a.
melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat)
bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan
Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).
d.
Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan
untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak
bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang
memegang hypothek.
e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang – orang yang menerima pemberian secara legaat.
Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh,
jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu dapat dipenuhi.
f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi. 3.Menolak
warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang
berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk
menikmati harta peninggalan.
Penolakan
wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan
Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
• memelihara harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
• mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
• melunasi hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.
• melaksanakan wasiat jika ada.
4. PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA
PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA
Ada
dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris
berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris
berdasarkan surat wasiat.
Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli
Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang
berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri
(suami) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak
menjadi Ahli Waris adalah Negara.
Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu? Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I :
golongan
ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta
janda atau duda. Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak
walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang
berlainan, laki – laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama,
mewaris kepala demi kepala.
Anak – anak yang mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang.
Yang
dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak
menerrima waris, tetapi telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian
tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi
kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang
mengadopsinya.
Menurut
ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak
dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian
seorang anak yang meninggal.
Jika
perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari perkawinan yang
dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh
lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu.
Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan. Yang
dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang
dengan ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang
dari legitieme portie.
Selanjutnya dalam
pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris
bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau
keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh
atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya.
Yang
dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah
orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat
wasiat.
Harga perabot rumah tangga itu harus
dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih
basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus
dibayar lebih dahulu pada kawan (atau) pewarisnya.
Golongan II :
golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya sampai derajat ke 6 (enam).
Menurut
ketentuan pasal 854 KHUPdt, apabila seorang meninggal dunia tanpa
meniggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak dan ibunya
masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara
sebagai berikut :
a.bapak dan ibu masing -
masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu
hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertiga lebihnya,
b.bapak
dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika
yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana
mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya
dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal
dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan
bapak atau ibunya masih hidup, maka :
a.
Bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal
itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua
lebihnya ;
b. Bapak atau ibu mendapat
sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai dua
orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya ;
c.
Bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang
meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat
tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Pembagian
antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak
dan ibu yang sama.(namunberlainan bapak atau ibu maka pembagiannya hanya
berdasarkan pembagian atara suami atau istri )
Apabila
mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama tetapi lain
ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua.
Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu.
Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu.
Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857).
Apabila
orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan istri atau
suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya masih hidup.
Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)
Golongan III :
golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut
ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal
dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara
– saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan
nenek.
Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua.
Satu
bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang diturunkan bapak dan satu
bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu.
Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh kepada orang tua kakek dan nenek (kake nenek buyut).
Apabila
yang tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis
keturunannya, dan menjadi bagian yang masih hidup.
Ahli
waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat
setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli waris
lainnya.
Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV :
golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai derajat ke 6 (enam).
Apabila
orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau
suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut
ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli
Waris yang terdekat pada tiap garis.
Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi.
Jika
dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat
yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis
yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar kawin yang diakui.
Apabila
anak luar kawin inipun juga tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada
Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan
berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan
anak luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no.
1 tahun 1974 hanya mengenal anak yg sah dan anak luar kawin (tidak
sah).
Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan
anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan
keluarga sedarah dari pihak ibunya.
5. AHLI WARIS YANG TIDAK BERHAK MEWARIS
Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris dan karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2.
mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah
mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang
lebih berat.
3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.
4. mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris. Berbeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat.
Menurut
uraian Prof. Hilman Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa
terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap menerima harta
warisan, artinya masih berhak mewaris.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2. orang yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
3.
orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut
Agama Islam atau Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak
berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam
Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan
dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris.
Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris.
Menurut
Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada
ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak
pernah ada.
Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan
warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila
penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065
KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan).
Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang.
Jka
terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa
kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya
menjadi pengganti menerima warisan.
6. AHLI WARIS PENGGANTI
KUHPdt membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij plaasvervulling”.
Ahli
Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang memperoleh warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya anak pewaris
,istri/suami pewaris.
Ahli waris “bij
plaasvervulling”adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang berhak
mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris.
Misalnya
seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-anak ayah
yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris
dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam
garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal
lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya.
Jika
lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu
dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu
mendapatkan bagian yang sama.
Penggantian dapat juga terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap
saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika
meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga
dapat tanpa batas.
Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken).
Menurut
ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan
kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah
meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai
pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.
Penggantian
ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah
tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke
atas tidak terdapat penggatian.
Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Demikialah yang dapat aku sampaikan semoga saja ada guna serta manfaatnya. Aamiin...”Wassalam,-