Rabu, 24 Oktober 2012

Mengenai Hari Raya Yang Bertepatan Dengan Hari Jum'at




·        Menjawab Pertanyaa dari sahabat... Sri Kusmina


Jawaban...”
Mengenai" Shalat Jum’at yang bersamaan harinya dengan hari raya :

Apakah orang yang pagi harinya sudah melaksanakan Salat Hari Raya maka siangnya juga harus melaksanakan shalat jum’at ? atau sebaliknya dimana jika orang sudah melaksanakan shalat hari raya pada pagi harinya lalu siangnya tidak wajib untuk melaksanakan shalat jum’at ?

Agar tidak terjadi salah faham, maka disini perlu pemaparan berdasarkan penelitian dari berbagai dasar Al Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. yang tentunya juga perlu kita tuangkan pula pendapat-pendapat dari para ulama, agar persoalan yang menjadi polemik dimasyarakat ini menjadi jelas, karena masalah ini berhubungan dengan kepentingan orang banyak yang tentu berbeda-beda pemahamannya.

Tujuan dari pembahasan disini adalah agar supaya sesuatu amal ibadah itu berjalan menurut semestinya serta perbedaan pendapat dapat dihilangkan minimal dapat dikurangi.

PEMBAHASAN

Dalam membahas masalah ini, para ulama berbeda pendapat yaitu ada yang menetapkan wajibnya shalat jum’at sebagaimana biasa walaupun paginya sudah melaksanakan shalat hari raya idul fitri/adha. Ada yang menetapkan untuk tidak perlu shalat jum’at karena paginya sudah mendengarkan khutbah/shalat ied.

1. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.

Adapun dalil-dalail Naqli yang berhubungan dengan masalah ini adalah :

a). Dalil umum

1). Hadits dari Hafshah :

Artinya : “Dari Hafshah istri Rasulullah saw. berkata : Bahwa sesungguhnya Nabi bersabda : Shalat jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah dewasa”. (HR. Nasai dlm Sunan Nasai III hal. 79 )

2). Firman Allah dalam QS. Al Jumu’ah : 9

Artinya : “Apabila adzan telah dikumandangkan pada hari jum’at untuk memanggil shalat, maka berangkatlah pergi shalat dan tinggalkan jual beli”.

3). HR. Muslim dalam syarah muslim Juz VI hal. 152 dan Nasa’i

Artinya : “Rasulullah saw. bersabda : Hendak berhentilah orang-orang dari meninggalkan Jum’at atau maukah mereka di cap Tuhan hatinya, sesudah itu mereka tetap menjadi orang yang lalai selama-lamanya”.

4). HR. Muslim dalam syarah Muslim Juz VI hal 142-143

Artinya : “Rasulullah saw.bersabda : Kita adalah umat terkemudian tetapi kita adalah umat yang terdahulu pada hari kiamat, walaupun umat yang terdahulu diberi Kitab sebelum kita dan kita diberi dibelakang mereka. Kemudian Allah Azza wa Jalla memeberi hidayah kepada kita dengan memberi hari yang telah diwajibkan bagi kita. Maka semua orang mengikuti kita : orang yahudi besok (Sabtu) dan orang Nashara sesudah besok (Minggu)”.

Menurut Imam Nawawi dalam mensyarahi hadits ini adalah sebagai dalil tentang wajibnya shalat Jum’at ( Syarah Muslim VI hal. 142 )

5). Hadits dari Thariq bin Shihab

Artinya : “Dari Thariq bin Shihab dari Nabi saw.. beliau bersabda : Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah, kecuali 4 golongan yaitu : hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit” (HR. Abu Daud dalam sunan Abu Daud Juz I hal. 280)

b). Dalil Khusus

1). Hadits dari Abu Hurairah

Artinya : “Abu Hurairah berkata bahwa Nabi saw. bersabda : Telah terhimpun padahari ini dua hari raya ( hari raya dan hari jum’at ), maka barangsiapa mau, cukuplah shalat ini buat dia, tetapi kami akan dirikan jum’at”. (HR. Abu Daud dan Hakim)

2). Hadits dari Zaid bin Arqam

Artinya : “ Telah berkata Zaid bin Arqam : Bahwasanya Nabi saw. pernah shalat hari raya di hari jum’at, kemudian ia beri kelonggaran tentang shalat jum’at dengan bersabda : Barangsiapa yang mau melaksanakan shalat jum’at maka hendaknya ia kerjakan”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majjah).

3). Hadits dari umar bin Abdul Aziz dalam kitab Umm

Artinya : “Dari Umar bin Abdul Aziz berkata : Telah terhimpun dua hari raya pada masa Rasulullah saw., maka Beliau bersabda : Barangsiapa orang ‘Aliyah (pedesaan/pegunungan/pinggiran) yang suka melaksanakan shalat jum’at, maka tunggulah jum’at, boleh saja”. ( Kitab Umm hal 239)

4). Hadits Riwayat Nasa’i

Artinya : “Telah berkata Wahab bin Kaisan bahwa : Telah terhimpun dua hari raya dizaman pemerintahan Ibnu Zubair (sahabat Nabi dan juga penguasa saat itu), maka ia lambat keluar hingga matahari tinggi, kemudian ia keluar lalu berkhutbah, kemudian ia shalat, dan tidak ia dirikan shalat jum’at bagi orang ramai (pada hari itu), maka aku kabarkan yang demikian itu kepada Ibnu Abbas, maka Ia jawab : betul, ibnu zubair menurut sunnah”. (HR. Nasa’i)

Hadits serupa juga dikemukakan oleh Atho’ bin Rabbah.

5). Hadits dari Ibnu Umar

Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw., Abu Bakar dan Umar ra.adalah melaksanakan shalat hari raya dahulu sebelum khutbah”. (HR. Nasa’i III hal 183)

6). Hadits dari Ibnu Abbas

Artinya : “Ibnu Abbas berkata : Saya saksikan, bahwa saya menghadiri shalat hari raya bersama-sama Rasulullah saw, maka beliau memulai shalat sebelum khutbah. Sesudah shalat baru berkhutbah”. (Sunan Nasa’i III hal. 184)(HR. Bukhari Bab Kitabul Idain)

7). Hadits dari Nu’man bin Basyir

Artinya : “Dari Nu’man bin Basyir ra. Berkata : bahwasanya Rasulullah saw membaca ayat Surat al A’la dan Surat Al Ghasyiah dalam shalat hari raya dan jum’at. Kadang-kadang berhimpun hari raya dan Jum’at, maka dalam kedua shalat itu beliau membaca ayat-ayat ini juga”. ( HR. Nasaa’i dalam Sunan Nasa’i III hal 184)

8). Khutbah saidina Utsman sesudah shalat ied

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah terhimpun dua hari raya (hari raya dan hari jum’at), maka siapa-siapa diantara orang-orang ‘Aliyah (pedesaan/pegunungan/pinggiran), mau ikut shalat jum’at dengan kami silahkan ikut, dan siapa yang mau pulang disilahkan pulang”. ( Kitab Al-Muhadzdzab bab Shalat Jum’at) (HR. Malik dalam Al Muwatha’)

2. Pendapat para ulama

a). Imam Atha’ berpendapat bahwa jika terhimpun dua hari raya maka cukup shalat hari raya saja, tanpa shalat jum’at dan dhuhur berdasarkan riwayat dari Ibnu Zubair dan Ali

b). Imam Syafi’i, tidak wajib shalat Jum’at pada hari raya di hari Jum’at apabila sudah melaksanakan shalat hari raya adalah khusus bagi orang-orang yang tinggal terpencil di pegunungan/pedalaman, sedangkan shalat hari raya dan shalat Jum’at hanya dilaksanakan di perkotaan. Ini cocok dengan riwayat dari utsman yang di riwayatkan Malik dalam Kitab Hadits Al Muwatha’

Artinya : “Barang siapa dari penduduk ‘Aliyah ( pegunungan/pedalaman/ pinggiran) Madinah yang ingin menunggu shalat Jum’at, maka tunggulah dan barangsiapa yang ingin pulang maka pulanglah” (HR. Malik)

c). Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat : tidak ada perubahan hukum, tiap mukalaf tetap melaksanakan dua-duanya, karena shalat hari raya itu sunnah sedangkan shalat Jum’at itu wajib, maka tidak bisa shalat yang satu menggugurkan yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya.

Apabila pendapat utsman diatas diikuti, maka bukan sebagai dasar ijtihad, melainkan masalah tauqifi yang tidak menyimpang dari hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan dzuhur benar-benar menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali jika ada nash yang mendasari.

Penjelasan ini diambil dari kitab Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid Oleh Imamul Qadhi Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd/Ibnu Rusyd hal. 159 sbb :

واختلفوا اذا اجتمع فی یوم واحد عید وجمعة، هل یجزیء العید عن الجمعة ؟ فقال قوم : یجزیء العید عن الجمعة ولیس علیه فی ذلك الیوم ال العصر فقط، وبه قال عطاء، وروی ذلك عن ابن الزبیر وعلی. وقال قوم : هذه رخصة لاهل البوادی الذین یردون الامصار للعید والجمعة خاصة كما روی عن عٽمان انه خطب فی یوم عید وجمعة فقال : من احب من اهل العالیة ان ینتنظر ، ومن احب ان یرجع فلیرجع، رواه مالك فی الموطاء ،وروی نحوه عن عمر بن عبد العزیز وبه قال الشافعی، وقال مالك وابو حنیفة : اذااجتمع عید و جمعة فالمكلف مخاطب بهما جمیعا ، العید انه سنة، والجمعة علی انها فرض، ولا ینوب احدهما عن الاخر، وهذا هو الاصل الا ان یٽبت فی ذلك شرع یجب المصیر الیه، ومن تمسیك بقول عٽمان ، فلانه راءی ان مٽل ذلك لیس هو بتلراءی وانما هو توقف، ولیس هو یخارج عن الاصول كل الخروج. واما اسقاط فرض الظهر والجمعة التی هی بدله لمكان صلاة العید فخارج عن الاصول جدا، ال ان یٽبت فی ذلك شرع یجب المصیر الیه

penjelasan lain :

-Imam syafi’i dalam kitab Umm, juz I hal. 239 sbb:

Artinya : “Tidak boleh bagi penduduk kota meninggalkan shalat jum’at, walaupun pada hari raya sekalipun, kecuali ada udzur yang membolehkan meninggalkan jum’at”.

Yang dimaksud dengan Kota disini adalah suatu daerah yang punya syarat yang cukup untuk mendirikan jum’at yang biasanya shalat jum’at didirikan disitu.

Fatwa ini juga terdapat dalam Qoul Qodim Syarah Al Muhadzab Juz IV hal. 491 yang mengambil pendapat dari Imam syafi’i dan shabat-sahabatnya dalam kitab Umm diatas.

- Dalam Kitab Nailul Author jilid III hal. 347 Cet. Darul Jail Beirut tahun 1973 M menjelaskan bahwa : Imam Ahmad dan Imam Daru Quthni mengatakan bahwa : hadits dari Abu Hurairah diatas adalah hadits mursal. Dan ada hadits yang tidak mursal yang di riwayatkan oleh Imam Baihaqi tetapi sanadnya dzoif. Hadits dari Zaid bin Arqam juga hadits dzaif karena dalam sanadnya ada seorang yang tidak dikenal yaitu Iyas bin Abi Ramlah, seorang yang sama sekali tidak dikenal (Majhul).

- Dalam Kitab Syarah Muhadzab Juz IV hal. 492, Imam Nawawi menjelaskan bahwa Hadits Abu Hurairah yang di Rawikan oleh Abu Daud tentang terhimpun dua hari raya adalah hadits dzaif.

- Andaikata hadits dhaif tetap dijadikan hujjah sesuai dengan madzhab hambali, maka kata “MAN SYA-A” ( barangsiapa yang mau ) adalah kata “Aam” atau kata umum yang sudah di takhshish dengan kata khusus yaitu “MIN AHLIL ‘ALIYAH” (penduduk pegunungan/pinggiran) yang diberi rukhshoh untuk tidak shalat jum’at jika mereka mau.

- Dalam mengomentari hadits dari Wahab bin Kaisan yang diriwayatkan oleh Nasa’i adalah sbb : hadits tsb. adalah amalan dari ibnu zubair dan bisa menimbulkan pertanyaan : Shalat apakah yang dilakukan oleh ibnu Zubair tsb. Karena ibnu zubair langsung melaksanakan khutbah terlebih dahulu baru melaksanakan shalat. Padahal yang dilakukan Nabi saw. untuk shalat ied adalah shalat dahulu baru khutbah. Apalagi yang disampaikan oleh Wahab ibnu Kaisan itu bahwa Ibnu Zubair lambat keluar sehingga matahari sudah tinggi sehingga bisa-bisa yang dimaksud shalat tersebut adalah shalat Jum’at dan bukan shalat hari raya karena khutbah dahulu baru melaksanakan shalat. Bahkaan ada juga ulama yang mengatakan bahwa cerita wahab bin kaisan tsb. Campur aduk (mudh tharib) shg tidak bisa dijadikan dalil.

- Pendapat ulama lain bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan shalat jum’at walaupun bersamaan dengan hari raya dimana Rasulullah saw. selalu membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan sbb :

1). Shalat Jum’at itu wajib dikerjakan kecuali 4 golongan yaitu : hamba sahaya, wanita,anak-anak dan orang sakit.

2). Shalat jum’at tetap wajib dikerjakan walaupun bertepatan dengan hari raya.

3). Bagi orang pedusunan/pinggiran/pegunungan/terpencil yang disitu tidak diadakan shalat jum’at/hari raya dan harus ke kota jika melaksanakannya, maka boleh melaksanakan shalat jum’at juga boleh tidak melaksanakannya tetapi harus diganti dg shalat dhuhur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar