Senin, 20 Agustus 2012

TAFSIR SURAT AL-’ASHR

Assalamu allaikum warahmatullahi wabarokatuh

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat
populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu
pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun
surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau
Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr
saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh
pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan
kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah
dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah
Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi.
Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi
yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin
Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan
Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang
turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat
dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.”
“Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh
‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga
turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?”
Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka
hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua
telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash,
yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku
sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat
Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi
pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya
seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup
untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di
dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan
benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah
bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ
sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah
dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS.
Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi
yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili
idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang
apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah
bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.

Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat
ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari
waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu
ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa
‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur
rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk
menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman
besi di dalam sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman
Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa
sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau
jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang
suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan
seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu
mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya
peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia
dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat
itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak
membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota
lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa
besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu
tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita
menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang
sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari
pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat
tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu
ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan
karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini
kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang
membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran
Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi
rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi,
walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari
lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita
sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke
tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu,
karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini
makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada
orangnya).

Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam,
tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang
begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting
bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah
(zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah).
Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting.
Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa
diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya
Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah
masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”

Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung
penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah
dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan).
Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya
ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh
kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan
kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki
happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan
binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti
Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang
suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun,
ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda
melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda.
Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan?
Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang
lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah
kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28).
Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar
dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang
ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak
memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam
perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada
manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit
kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita
pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai
manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat
menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak
otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan
atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan
“kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia
atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat
kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses
perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku
lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku
seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat
kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada
sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya
ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh
kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian,
karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita
sendiri.

Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain
yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing
yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling
hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia
yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti
jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi
hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal
beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih
rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia
yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan
nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia?
Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai
kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia
mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya
happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi
bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang
yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah
manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari
pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat
ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang,
nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan
mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam
pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan
yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai
Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata,
“Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan
orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia
orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda
mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua
kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.”
Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan.
Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi
makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan
baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air
matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan.
Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam
melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah
a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman
dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ
‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am
132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong
orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah
berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama,
ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan
amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua,
ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat
bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya.
Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai
orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah
hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak
mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika
mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas
kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi
karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan
orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar
setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal
saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu
shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada
melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat
Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan
malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh.
Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan
mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at,
shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan
daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah
itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan
bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran
sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah
juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu
yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi
juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang
yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua
berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat
sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia
memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena
tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak
sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan
bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu
sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam
hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang
bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi.
Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang
kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah
mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus
mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan
mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang
lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional
intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa
malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau
kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang
mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil
haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan
manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh.
Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal
saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya
mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan
masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an
menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr.
Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi
Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih
dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga
boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus
objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa
yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka
Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan
beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau
tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan
kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian
apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh.
Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan
Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)

Salam Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar