Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Bismillahir-Rohmaanir-Rohiim..
Saudaraku..."
Menanamkan rasa tanggung jawab adalah perkara yang cukup penting karena semua orang akan ditanya mengenai pertanggungjawabannya oleh Allaah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana Abdullaah bin Umar radhiallaahu ‘anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.
Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 1829)
Maka dari itu Sambil terus berusaha keras untuk menjalankan semua tanggung jawab yang ada pada diri kita, kita pun perlu mendidik anak dan keluarga juga lingkungan disekitar kita agar memiliki rasa tanggung jawab yang kelak akan bermanfaat baginya.
Saudaraku..."
Peran orangtua sangatlah menentukan baik atau buruk serta utuh atau tidaknya kepribadian anak, sebagaimana Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ
مَوْلُودٍ
إِلاَّ
يُولَدُ
عَلَى
الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ
أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ
“Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali
dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shalih atau tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.
Lalu bagaimana cara kita mendidiknya? Tentunya kita akan mencontoh suri teladan yang terbaik dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam menanamkan rasa tanggung jawab kita baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga dan juga terhadap anak-anak kita.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shalih atau tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.
Lalu bagaimana cara kita mendidiknya? Tentunya kita akan mencontoh suri teladan yang terbaik dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam menanamkan rasa tanggung jawab kita baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga dan juga terhadap anak-anak kita.
Kapan Waktu yang Tepat ?
Menanamkan
rasa tanggung jawab dapat dilakukan sejak usia anak masih sangat kecil yaitu
balita. Ustadz Abdul Hakim dalam bukunya “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk
yang Dinanti” membagi usia anak-anak menjadi dua tahapan, yaitu
sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz.
Tamyiz
secara bahasa bermakna membedakan di antara sesuatu, dan anak yang dapat
membedakan sesuatu dengan baik terutama di dalam hal-hal yang membahayakan
dirinya dinamakan mumayyiz.
Masih
dalam kitabnya, Ustadz Abdul Hakim berkata, “Pendidikan yang terbaik bagi anak
sebelum dan sesudah tamyiz dengan jalan mendengar dan melihat kepada sesuatu
yang baik dan terbaik menurut agama dan bukan menurut akal pikiran dan
adat-adat manusia yang menyalahi agama yang mulia.”
Saudaraku...”
Berdasarkan
kenyataan yang ada, menanamkan rasa tanggung jawab ini memang dapat dilakukan
bahkan ketika seseorang masih berusia sangat dini. Tentu saja ukuran kemampuan
anak akan berbeda-beda dan kita harus menyesuaikan perlakuan sesuai kemampuan
mereka.
Menanamkan rasa tanggung jawab dapat dimulai dari perkara yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya.
Dan juga perkara yang besar, berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allaah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh). Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaam kepada Hasan bin Ali dalam hadits sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة
“Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik anak yang masih sangat kecil (umurnya) agar kelak ia mengetahui mana makanan yang halal dan haram baginya. Dan kita ketahui bahwa persoalan halal dan haram merupakan perkara yang sangat penting karena akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Mungkin orangtua ragu untuk memberikan tugas atau tanggung jawab kepada anaknya. Bahkan saat-saat emas untuk menanamkan rasa ranggung jawab pada anak terlewatkan begitu saja dengan berbagai alasan, seperti: orang tua merasa apa yang dilakukan anak justru akan menambah beban pekerjaan orangtua atau merepotkan dan ada pula orang tua yang enggan karena merasa kasihan pada si kecil.
Padahal si kecil justru sangat menyenangi untuk melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan, seperti mencuci piring dan gelasnya, mengepel dan lain-lain.
Menanamkan rasa tanggung jawab dapat dimulai dari perkara yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya.
Dan juga perkara yang besar, berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allaah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh). Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaam kepada Hasan bin Ali dalam hadits sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة
“Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik anak yang masih sangat kecil (umurnya) agar kelak ia mengetahui mana makanan yang halal dan haram baginya. Dan kita ketahui bahwa persoalan halal dan haram merupakan perkara yang sangat penting karena akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Mungkin orangtua ragu untuk memberikan tugas atau tanggung jawab kepada anaknya. Bahkan saat-saat emas untuk menanamkan rasa ranggung jawab pada anak terlewatkan begitu saja dengan berbagai alasan, seperti: orang tua merasa apa yang dilakukan anak justru akan menambah beban pekerjaan orangtua atau merepotkan dan ada pula orang tua yang enggan karena merasa kasihan pada si kecil.
Padahal si kecil justru sangat menyenangi untuk melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan, seperti mencuci piring dan gelasnya, mengepel dan lain-lain.
Selanjutnya “Solusi Cara Yang Tepat
Untuk Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Pada Anak yang ke
1).
Seperti telah disebutkan dalam hadits, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur Hasan yang masih kecil umurnya dengan teguran yang berbeda dengan teguran kepada orang dewasa.
Maka orangtua dalam menegur atau ketika menjelaskan tentang pekerjaan yang bisa diberikan kepadanya juga dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa.
Bahkan kita pun seharusnya menerima hasil pekerjaan si kecil dengan sudut pandang penilaian yang berbeda dengan orang dewasa.
Misalnya jika hasil yang dilakukan anak kurang bagus, maka kita coba lihat sisi positifnya.
Karena Anak berusia dini sangat senang membantu orangtuanya. Dengan memberikan pujian atas hasil pekerjaannya dan memotivasi agar besok ia mau melakukan dengan lebih baik lagi, diharapkan tertanam kasih sayang kepada orangtuanya karena merasa jeri payahnya dihargai dan ia pun senang telah diberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu.
Hal ini juga diharapkan agar menumbuh kembangkan rasa percaya diri, dan sifat pantang menyerah ketika menemui permasalahan yang awalnya dia anggap sulit dan rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan amanah pekerjaan hingga tuntas.
Maka bersabar adalah poin yang harus ditekankan bagi orangtua di dalam proses menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Berikanlah batasan pekerjaan untuk si kecil sesuai kemampuannya.
Misalnya mencuci hanya mencuci piring dan gelas hanya yang mereka gunakan saja. Sehingga pihak anak ataupun orang tua, sama-sama tidak merasa terbebani.
Seperti telah disebutkan dalam hadits, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur Hasan yang masih kecil umurnya dengan teguran yang berbeda dengan teguran kepada orang dewasa.
Maka orangtua dalam menegur atau ketika menjelaskan tentang pekerjaan yang bisa diberikan kepadanya juga dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa.
Bahkan kita pun seharusnya menerima hasil pekerjaan si kecil dengan sudut pandang penilaian yang berbeda dengan orang dewasa.
Misalnya jika hasil yang dilakukan anak kurang bagus, maka kita coba lihat sisi positifnya.
Karena Anak berusia dini sangat senang membantu orangtuanya. Dengan memberikan pujian atas hasil pekerjaannya dan memotivasi agar besok ia mau melakukan dengan lebih baik lagi, diharapkan tertanam kasih sayang kepada orangtuanya karena merasa jeri payahnya dihargai dan ia pun senang telah diberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu.
Hal ini juga diharapkan agar menumbuh kembangkan rasa percaya diri, dan sifat pantang menyerah ketika menemui permasalahan yang awalnya dia anggap sulit dan rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan amanah pekerjaan hingga tuntas.
Maka bersabar adalah poin yang harus ditekankan bagi orangtua di dalam proses menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Berikanlah batasan pekerjaan untuk si kecil sesuai kemampuannya.
Misalnya mencuci hanya mencuci piring dan gelas hanya yang mereka gunakan saja. Sehingga pihak anak ataupun orang tua, sama-sama tidak merasa terbebani.
Ke 2. Tidak Lalai untuk Menegur Anak
Termasuk langkah penting menanamkan rasa tanggung jawab pada anak adalah menegurnya dari kesalahan yang telah dilakukannya. Tidak membiarkannya ketika melakukan kesalahan. Hal ini sebagaimana dicontohkan dalam hadits pertama dalam artikel ini dan juga dalam hadits berikut:
عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’.” (Hadits riwayat Ibnu Sunni)
Dari sini dapat kita ketahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi anak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan anak tersebut tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan, dan beliau menghukum dengan tidak berlebihan melainkan sesuai keadaan anak tersebut.
Maka bila kita hendak menegur anak, misalnya saja ketika anak melakukan kesalahan kepada temannya lalu bertengkar, kita harus memberikan motivasi agar ia berani minta maaf karena minta maaf adalah wujud rasa tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya.
Namun orang tua harus dapat bersikap adil ketika menasehati sehingga anak tidak merasa terpojokkan dan mentalnya jatuh di hadapan temannya. Salah satu taktiknya adalah dengan mendorong kedua belah pihak untuk saling memaafkan sambil diingatkan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
ما زاد الله عبدا يعفو إلاّ عزّا و ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله
“Allah tidak menambah seorang hamba yang mau memaafkan kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang itu bersikap rendah diri kepada Allah kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatnya.” (Hadits riwayat Muslim)
Termasuk langkah penting menanamkan rasa tanggung jawab pada anak adalah menegurnya dari kesalahan yang telah dilakukannya. Tidak membiarkannya ketika melakukan kesalahan. Hal ini sebagaimana dicontohkan dalam hadits pertama dalam artikel ini dan juga dalam hadits berikut:
عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’.” (Hadits riwayat Ibnu Sunni)
Dari sini dapat kita ketahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi anak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan anak tersebut tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan, dan beliau menghukum dengan tidak berlebihan melainkan sesuai keadaan anak tersebut.
Maka bila kita hendak menegur anak, misalnya saja ketika anak melakukan kesalahan kepada temannya lalu bertengkar, kita harus memberikan motivasi agar ia berani minta maaf karena minta maaf adalah wujud rasa tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya.
Namun orang tua harus dapat bersikap adil ketika menasehati sehingga anak tidak merasa terpojokkan dan mentalnya jatuh di hadapan temannya. Salah satu taktiknya adalah dengan mendorong kedua belah pihak untuk saling memaafkan sambil diingatkan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
ما زاد الله عبدا يعفو إلاّ عزّا و ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله
“Allah tidak menambah seorang hamba yang mau memaafkan kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang itu bersikap rendah diri kepada Allah kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatnya.” (Hadits riwayat Muslim)
Ke 3)
Tidak Hanya Tanggung Jawab Duniawi
Hal yang sangat penting untuk diingat oleh para pendidik, menanamkan rasa tanggung jawab tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara di dunia seperti membereskan tugas-tugas, mainan dan lain sebagainya.
Ada tanggung jawab lain yang sangat penting dan harus pula ditanamkan sejak usia dini. Dan ini berkaitan dengan rukun Islam yaitu penegakkan sholat lima waktu.
Tidaklah seseorang meninggalkan sholat karena meremehkan tanggung jawab nanti di hadapan Allaah, padahal sholat adalah hal yang pertama kali dipertanyakan ketika penghisaban nanti.
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ با الصّلاةِ إذَا بلغ سبع سنين، وإذا بلغ عشر سنين فاضرِبوه عليها
“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (Hadits riwayat Abu Daud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad)
Dari hadits ini, maka tanggung jawab dalam mendidik anak untuk sholat fardhu sejak usia 7 tahun ada pada bapak atau wali. Dan yang diwajibkan adalah memerintahkan mereka.
Adapun mereka melaksanakan atau tidak maka mereka tidak berdosa (Abdul Hakim Amir Abdat, Menanti Buah Hati).
Sedangkan setelah berumur sepuluh tahun, maka wajib bagi bapak atau wali untuk memukul anak mereka jika mereka meninggalkan sholat fardhu. Pukulan ini tentunya tidak boleh berupa pukulan pada wajah dan juga tidak pula pukulan yang membekas pada tubuh.
Demikian yang dapat aku sajikan tentang menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Dan Memang masih banyak poin-poin pembahasan rasa tanggung jawab yang dapat ditanamkan pada anak.
Namun agar lebih mendapat pembahasan yang luas, silakan melihat kepada kitab-kitab yang dapat di jadikan sebagai rujukan.
Semoga saja apa yang dapat aku sampaikan ini ada guna serta manfaatnya bagi kita semua dan "Semoga Allaah Subhanahu wa Ta’ala, memberi kemudahan dan kesabaran untuk melaksanakan amanah ini. Aamiin...”Wassalam,-
Hal yang sangat penting untuk diingat oleh para pendidik, menanamkan rasa tanggung jawab tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara di dunia seperti membereskan tugas-tugas, mainan dan lain sebagainya.
Ada tanggung jawab lain yang sangat penting dan harus pula ditanamkan sejak usia dini. Dan ini berkaitan dengan rukun Islam yaitu penegakkan sholat lima waktu.
Tidaklah seseorang meninggalkan sholat karena meremehkan tanggung jawab nanti di hadapan Allaah, padahal sholat adalah hal yang pertama kali dipertanyakan ketika penghisaban nanti.
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ با الصّلاةِ إذَا بلغ سبع سنين، وإذا بلغ عشر سنين فاضرِبوه عليها
“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (Hadits riwayat Abu Daud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad)
Dari hadits ini, maka tanggung jawab dalam mendidik anak untuk sholat fardhu sejak usia 7 tahun ada pada bapak atau wali. Dan yang diwajibkan adalah memerintahkan mereka.
Adapun mereka melaksanakan atau tidak maka mereka tidak berdosa (Abdul Hakim Amir Abdat, Menanti Buah Hati).
Sedangkan setelah berumur sepuluh tahun, maka wajib bagi bapak atau wali untuk memukul anak mereka jika mereka meninggalkan sholat fardhu. Pukulan ini tentunya tidak boleh berupa pukulan pada wajah dan juga tidak pula pukulan yang membekas pada tubuh.
Demikian yang dapat aku sajikan tentang menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Dan Memang masih banyak poin-poin pembahasan rasa tanggung jawab yang dapat ditanamkan pada anak.
Namun agar lebih mendapat pembahasan yang luas, silakan melihat kepada kitab-kitab yang dapat di jadikan sebagai rujukan.
Semoga saja apa yang dapat aku sampaikan ini ada guna serta manfaatnya bagi kita semua dan "Semoga Allaah Subhanahu wa Ta’ala, memberi kemudahan dan kesabaran untuk melaksanakan amanah ini. Aamiin...”Wassalam,-