Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Saudaraku...”
Dalam surah al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu
kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS serta
kisah Dzulqarnain.
Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama
surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan
semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran
lainnya, bukan merupakan kisah semata-mata, tetapi juga terdapat banyak
pelajaran (ibrah) didalamnya. Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua)
yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya:
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman
291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul
Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam
gua lalu mereka berdo'a:
"Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)" (QS
al-Kahfi:10) Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566
meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Sayidina Umar Al-Khattab r.a. memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin,
pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada
Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah
Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar.
Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat
memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda
tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu batil dan Muhammad
bukan seorang Nabi."
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut
Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit,
apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama
penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di
permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu
atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau!
Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan
oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di
waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang
berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata:
"Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang
bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang
kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu
adalah batil!"
Salman Al-Farisi yang ketika itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!" Ia segera pergi
ke rumah Sayidina Ali bin Abi Thalib .Setelah bertemu beliau, Salman berkata:
"Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!" Sayidina Ali bingung,
lalu bertanya: "Mengapa?" Salman kemudian menceritakan apa yang
sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.
Sayidina Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Talib datang, ia bangun dari
tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan,
tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata: "Silahkan kalian bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam
ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang
ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu
syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!"
jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing
pintu-pintu langit?" Jawab Ali bin Abi Thalib: "Induk kunci itu ialah
syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pemuda maupun wanita, jika
ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadirat
Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka
pintu-pintu langit?" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu
ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata:
"Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut:
"Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!" Jawab Ali: "Kuburan itu ialah ikan hiu
yang menelan Nabi Yunus putera Matta. Nabi Yunus AS dibawa keliling ke tujuh samudra!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami
tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk
itu bukan manusia dan bukan jin!" Ali bin Abi Thalib menjawab:
"Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam.
Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam
tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya
dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak
satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya
atau induknya!" Ali bin Abi Thalib menjawab:
"Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi
Saleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma
menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban
serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu
yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang
masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Sayidina Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu
sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu
sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi. Ali bin Abi Thalib
menjawab:
"Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang
mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada RasulNya. Jika engkau mau,
akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Quran
kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing
mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai
akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut,
lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata:
"Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah SAW kekasihku telah menceritakan
kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama
Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak
di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius.
Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri
itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus.
Olehnya kota itu dijadikan ibu kota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah
Istana."
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya:
"Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu,
bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Sayidina Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu
farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Tiang-tiangnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang
berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak.
Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di
sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah,
demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai
terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana
dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.
Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di
situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80
buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para patih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas
kepala."
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata:
"Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota
itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja
itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya
bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi
kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan
gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari
emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6
orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan mentri-mentri
atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka.
Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di
sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang
kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi
pembantu-pembantu raja itu!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala
urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua
hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.
Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya
lagi membawa seekor burung.
Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung
itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung
di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai
sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang
pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya,
sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke
sekitarnya.
Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan
hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum
semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh
tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah
merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sihat, ia mulai bongkak,
durhaka dan zalim. Ia mengaku dirinya sebagai "tuhan" dan tidak mahu
lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa
yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera dibunuh.
Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiyakan kemauannya. Dalam masa yang
cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja.
Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana
mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang
memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah
kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan
sang raja dengan sepenuh fikiran.
Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar
Tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat
Tuhan."
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat
salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai
Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mahu minum?"
"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh
sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak
ingin tidur."
Teman-temannya bertanya: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai
Tamlikha?"
"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan.
"Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: "Siapakah yang mengangkatnya
ke atas sebagai atap yang sentiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari
atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan
matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan
bintang-bintang bertaburan?' Kemudian ku fikirkan juga bumi ini:
"Siapakah yang membentang dan menghamparkannya di cakrawala? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring ?" Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri:
"Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah
yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha
dicium sambil berkata: "Hai Tamlikha, dalam hati kami sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau
tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak
menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang zalim itu, pergi kepada
Raja pencipta langit dan bumi!"
"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan
akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian disematkan
dalam baju. Lalu berangkat menunggangi kuda bersama-sama dengan lima orang
temannya. Setelah berjalan 3 batu jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya:
"Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar."
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh,
sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh
itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai
air minum atau susu?"
"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu.
"Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga
kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita
perjalanan kalian itu!"
"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka.
"Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami
akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri
mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan
mereka, dan sambil mencium kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang
terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.
Kalian berhenti sajalah dulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing
itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Saat Imam Ali bercerita sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak
berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba
sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Kekasihku
Muhammad Rasul Allah SAW. menceritakan kepadaku, bahawa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qitmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling
berkata kepada temannya: "Kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya
akan membongkar rahasia kita!" Mereka meminta kepada penggembala supaya
anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua
kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas
sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada Tuhan selain Allah, yang tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.
Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku dapat
mendekatkan diriku kepada Allah SWT." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja.
Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu
bersama mereka mendekati sebuah gua.
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya
sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah
Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya:
"Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan
memancurkan mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang
tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di
dalam gua.
Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan
dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat Maut supaya mencabut nyawa mereka.
Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk
membolak-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri."
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya
tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban bahwa mereka itu melarikan
diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Lalu bersama 80,000 pasukan berkuda ia
cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan
diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua.
Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka,
tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah
menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya
mereka segera datang ke mari!"
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan untuk menutup rapat
pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan seperti semen). Selesai dikerjakan,
raja berkata kepada para pengikutnya:
"Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka
itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu." Dalam gua tertutup rapat itu,
mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu berlalu, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa
mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa
seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata
kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari
kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah
mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya.
Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar.
Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk mendapatkan makanan? Tetapi yang
akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan
yang dimasak dengan lemak-babi."
Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang
berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu
kepadaku dan ambillah bajuku ini!" Setelah Tamlikha memakai baju
penggembala, ia berangkat menuju ke kota.
Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat
pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan:
"Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu
berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!"(maksudnya
mimpi) Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota.
Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berjalan dengan orang-orang
yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang
penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"
"Aphesus," sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi.
"Abdurrahman," jawab penjual roti.
"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "Urusanku ini
sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"
Melihat uang itu, penjual roti keheranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Kemudian "Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu
berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau
mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan
uang baru!"
Sayidina Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW
menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan
uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham
baru!"
Sayidina Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada
Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru
menemukan harta karun! Berikan semua itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!"
"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini
ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga
dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah
Diqyanius!"
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan
harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi
pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri
sebagai Tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam!
Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru
ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada
orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang
ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan
selamat."
Tamlikha menjawab: "Tuanku, aku sama sekali tidak menemukan harta karun!
Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheranan: "Engkau penduduk kota ini?"
"Ya. Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.
"Ya, ada," jawab Tamlikha.
"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1,000 orang, tetapi tak ada satu nama
pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka
berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita
sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"
"Ya, tuanku," jawab Tamlikha.
"Utuslah seorang menyertai aku!" Raja kemudian memerintahkan beberapa
orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah
rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata
kepada orang yang mengiringnya: "Inilah rumahku!"
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut
usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut
hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu
bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku
rumah ini adalah rumahnya!" Orang tua itu marah, memandang kepada
Tamlikha. Sambil mengamat-amati, ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan
kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah Tuan saya ! Demi Allah, ia salah
seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja
durhaka."
Kemudian diteruskannya dengan suara terharu: "Ia lari berlindung kepada
Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!"
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja.
Dengan menunggang kuda, raja segera berangkat menuju ke tempat Tamlikha yang
sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera
turun dari kuda.
Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai mencium tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai
Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?" Kepada mereka Tamlikha memberi
tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.
Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang
bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju
ke gua," demikian Sayidina Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat
gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka:
"Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau
bunyi senjata.
Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka akan mati semua. Oleh kerana
itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!"
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah
yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"
Tamlikha bertanya: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah
berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.
"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama
309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah
lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang
Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"
Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh dunia?"
"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha kembali bertanya.
"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu
juga," jawab mereka. Lalu mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa:
"Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami
tanpa pengetahuan orang lain!"
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat Maut
mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa
bekas.
Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berkeliling
selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat
ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang
dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah
kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam
keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata,
akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
"Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahwa
janji Allah adalah benar, dan bahwa saat itu tidak ada keraguan padanya.
Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka
berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang
yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka
sebuah masjid."
Sampai di situ Sayidina Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para
penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu:
"Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi
Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan
itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan
tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"
Demikianlah Saudaraku hikayat tentang para penghuni gua (Ashabul Kahfi), yang
dapat aku sampaikan Di kutip dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam
kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Sayidina Ali bin Abi Thalib dari Rasulullah SAW. semoga saja bermanfaat.
Aamiin Wassalam