✯✯ Dari Saudaramu yang mencintaimu karena Allah ...
Bacalah dengan santai sambil ngabuburit
Bismilllahirrohmaanirrohiim.
Assalaamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Saudaraku apa itu
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
ilah sebagai wadah atau panduan dalam berkeyakinan
Pada dasarnya, dalam Islam, secara tinjauan garis tujuan paham agamis-politis atau keKholifahan, ada dua golongan besar, Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) dan Syi’ah. Dan juga timbul berbagai perkembangan kelompok telaah yang bermacam-macam, semisal yang condong ke cabang aneka telaah hati dan atau atau pikiran (saja), bahkan ahli bid’ah dan lain-lain, bahkan kombinasi akidah dari beberapa jalan Firqotul Islam (perceraian Islam) ini seperti timbulnya golongan Khowarij, Murji'ah, Jabariyah, Qodariyah, Mu'tazilah, Sufi atau Tasawwuf, Falsafi, dan sebagainya yang dapat memancing perdebatan panjang.
Sehubungan dengan itu juga, untuk mengembalikan ke sunnah Rosululloh sholollohu 'alaihi wasallam, setelah masa para Sahabat dan Ahlul Bait, Tabi'iin, dan Tabi'ut Tabi'in, timbul golongan yang kemudian populer yaitu yang disebut sebagai golongan Ahlul Hadits atau Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang bermaksud berpegang atau kembali ke akidah Islam yang paling sesuai dengan petunjuk dan sunnah Hadits Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan Al Qurdan dan Al Hadits.
Beberapa pokok syarat akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam buku “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” tulisan Yazid bin Abdul Qodir Jawas, adalah:
Mengakui agama Islam adalah agama yang Haq (benar) yang dibawa oleh Rosululloh Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam. Mengakui dua kalimat syahadat. Mengakui Rukun Islam: (1) bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) puasa Ramadhan, dan (5) mengerjakan haji apabila mampu. Mengakui enam Rukun Iman. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan: Iman kepada Alloh. Iman kepada Malaikat (di antaranya Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan Rosul, Malaikat Mikail yang diserahi tugas menurunkan hujan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, Malaikat Israfil yang meniup sangkakala Kiamat dan Hari Kebangkitan makhluk, Malaikat Maut yang bertugas mencabut nyawa, Malaikat penjaga Surga dan Neraka, Malaikat yang meniupkan ruh pada janin dalam rahim pada umur 3-4 bulan, dua Malaikat yang diserahi manjaga dan menulis perbuatan manusia, dua Malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit setelah ia dikubur, dan sebagainya). Iman kepada Kitab-kitab (misalnya Al Quran yang diturunkan kepada Rosululloh Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, Taurat,yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud AS, Shuhuf Ibrahim AS dan Musa AS, dan berbagai kitab lain yang namanya tak disebutkan di Al Quran) dan bahwa kitab-kitab itu adalah kalamullah (kalimat Alloh), bukan makhluk (sebagaimana yang diyakini kaum Mu’tazilah).
Iman kepada Para Rosul (manusia yang diutus kepada umatnya masing-masing, yang pertama adalah Nabiyullah Nuh, dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam yang diutus kepada seluruh umat manusia). Iman kepada Hari Akhir (Yaumil Akhir) termasuk adanya fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar, ditegakkanya Mizan (timbangan) amalan hamba Alloh, dibaukakannya catatan-catatan amal, adanya Hisab (penghitungan), adanya al-Haudh (telaga) Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang paling besar dan indah, Shirath (jembatan) di atas neraka Jahannam menuju Surga, syafa’at (pertolongan) atau wasilah atau thalab Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam seijin Alloh subhanahu wa ta’aala, dan Surga serta Neraka. Iman kepada Qadar (Taqdir) baik dan buruk. Mengimani Tauhid Rububiyyah (mentauhidkan segala yang dilakukan Alloh subhanahu wa ta’aala). Mengimani Tauhid Uluhiyyah (mentauhidkan Alloh melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka dapat mendekatkan diri ke Alloh subhanahu wa ta’aala). Mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat (mentauhidkan Alloh sesuai dengan Nama-nama maupun Sifat-sifat Alloh).
Sepakat bahwa syirik adalah bentuk kemaksiatan terbesar terhadap Alloh subhanahu wa ta’aala. Sepakat bahwa manusia diciptakan Alloh subhanahu wa ta’aala untuk beribadah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dan meneladani sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Mengambil lahiriyah Al Quran dan As-Sunnah sebagai dasar pertama prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam untuk menafsirkan Al Quran, menguraikan, menerangkan, dan menjelaskan Nama dan Sifat Alloh. Menetapkan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Alloh subhanahu wa ta’aala. Mengimani adanya ‘Arsy (singgasana) Alloh subhanahu wa ta’aala dan bahwa Alloh subhanahu wa ta’aala bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy. Mengimani adanya ma’iyyah (kebersamaan) Alloh subhanahu wa ta’aala bersama makhlukNya. Menolak keyakinan Wahdatul Wujud (keyakinan bahwa semua yang ada hany satu, yaitu Alloh subhanahu wa ta’aala) dan i’tiqad (bahwa Alloh subhanahu wa ta’aala menjelma atau hulul kepada makhlukNya) juga ittihad (Alloh subhanahu wa ta’aala menyatu dengan makhlukNya).
Mengimani an-Nuzul (turunnya Alloh subhanahu wa ta’aala ke langit dunia) pada setiap malam. Mengakui ru’yatullah (melihat Alloh pada hari Kiamat) secara jelas Wajib mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam serta larangan untuk Ghuluw (berlebih-lebihan dalamnya) Mengakui Isra’ Mi’ Raj Mengimani munculnya Imam Mahdi menjelang Kiamat Besar Mengimani Keluarnya Dajjal dari timur Khurasan dan fitnahnya (bencananya) yang akan dibunuh oleh Nabi Isa bin Maryam AS Mengimani turunnya Nabi Isa AS di akhir jaman setelah munculnya Dajjal meneruskan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan membawa ketenangan, keamana, keselamatan selama 40 tahun. Mengimani keluarnya Ya’juj dan Ma’juj di akhir jaman pada mas Isa bin Maryam AS. Mengimani terbitnya matahari dari barat sebelum hari Kiamat. Mengimani sesudah manusia masuk surga dan neraka tak ada lagi kematian Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (umat yang pertengahan di antara berbagai Firqah atau perpecahan umat)
Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa tak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran besar (karena ada kekufuran besar dan ada kekufuran kecil) dan tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada muslim kecuali telah ada petunjuk jelas dari Al Quran dan Hadits atas kekufurannya, namun tetap tidak menganggap halal dosanya. Dan sebagian yang dapat membatalkan keislaman seseorang adalah:
menyekutukan Alloh, membuat perantaara antara dirinya dengan Alloh (berdoa, memohon syafa’at bertawakkal kepada mereka), mereka yang tidak mengkafirkan orang musyrik-kafir (misalnya Yahudi, Nasrani, Majusi, orang musyrik, mulhid atau Atheis) termasuk malah membenarkan mereka, meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna daripada Sunnah Rosululloh shalalallahu ‘alaihi wasallam, tidak senang terhadap atau membenci hal-hal yang dibawa Rosululloh shalalallahu ‘alaihi wasallam, menghina Islam, melakukan sihir (termasuk ash-Sharfu atau guna-guna, al-‘Athfu atau pelet, dan sebagainya), memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka memerangi kaum muslimin, meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi shalalallahu ‘alaihi wasallam, berpaling dari agama Alloh termasuk tak mempelajari dan mengamalkannya, syirik dalam berziarah kubur (seperti mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli kubur, meminta bantuan kepadanya, menyembelih kurban untuknya, berthawaf di sekelilingnya, dan sebagainya), orang munafiq (yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kejahatannya, lebih jelek daripada orang kafir) dan sebagainya. Beriman kepada al-Wa’du (janji Alloh akan kebaikan) dan al-Wa’iid (janji ancaman tentang siksaan neraka).
Berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh subhanahu wa ta’aala. Mengikuti Sunnah Rosululloh shalalallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan bathin Memuliakan para sahabat rodhiyallahu ‘anhum Membenarkan adanya karamah para Wali yang istiqomah dalam iman dan mengikuti syari’at Tidak mendirikan Masjid di atas kuburan Bertawassul hanya dengan asma Alloh dan sifat Alloh, juga dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui do’a orang shalih yang masih hidup Hanya melakukan tabarruk (mencari berkah) kepada yang telah ada dalilnya, misalnya tabarruk saat Lailatul Qadar, di ketiga Masjid utama Islam (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha), dengan air Zam-zam, atau dengan amal yang ada berkahnya seperti amal-shalil yang dikerjakan dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Nabi shalalallahu ‘alaihi wasallam, atau kepada yang berbentuk pribadi yang ada berkahnya (misalnya tubuh Nabi shalalallahu ‘alaihi wasallam saat masih hidup).
Mengakui adanya sihir dan tukang sihir dan memeranginya, tidak percaya kepada dukun (kahin), tukang ramal (‘arraf), dan ‘orang pintar’. Melarang melakukan Nusyrah (mengobati sihir dengan sihir) Tidak mengakui adanya pengaruh ilmu Nujum (perbintangan) terhadap keadaaan manusia dan Bumi, termasuk melakukan al-Istisqa’ bil Anwa’ (menisbatkan jatuhnya hujan kepada bintang) kecuali seperti penanggalan, pengetahuan kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah dan sebagainya.
Tidak percaya akan Thiyarah atau Tathayyur (bernasib sial karena suatu hal) Tidak memakai jimat (dalam bahasa Arab, “tamimah” dalam bentuk tunggal atau “tamaaim” dalam bentuk jamak) baik yang tidak bersumber dari Alquran maupun yang bersumber dari Alquran (pendapat yang lebih kuat, adalah tak memperbolehkannya) termasuk yang berupa barang, terutama dapat menjebak ketergantungan hati kepadanya, selain kepada Alloh subhanahu wa ta’aala, dan membuka pintu akan masuknya kepercayaan-kepercayaan yang rusak yang dapat menghantarkan kepada syirik. Memperbolehkan melakukan ruqyah syar’iyyah (doa perlindungan sebagai jampi menyembuhkan orang sakit termasuk gangguan makhluk ghaib yang sesuai syari’ah).
Melakukan cinta (al-Wala’) dan benci (al-Bara’) karena Alloh subhanahu wa ta’aala Membolehkan bermu’amalah dengan orang kafir dalam perdagangan, sewa-menyewa, jual-beli, wakaf terhadap muslim, pinjam-meminjam dengan cara menggadaikan barang, mengharamkan mereka membangun tempat ibadah di negeri muslim, dan bahwa orang dzimmi (non-muslim yang berada di negeri muslim) tak boleh diganggu selama mereka melakukan kewajiban mereka dan mematuhi perjanjina damai. Membenci ahli hawa nafsu dan ahli bid’ah (perbuatan yang dianggap ibadah namun tak ada dasar syari’ahnya) Menyuruh kepada yang ma’ruf, apa yang disukai Alloh dari iman dan amal shalih dan mencegah yang munkar, apa yang tidak disukai Alloh dan dilarangNya (amar ma’ruf nahi munkar) menurut syari’at Melaksanakan ibadah dan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Alloh) bersama Ulil Amri (pemerintah) dan melarang memberontak terhadapnya Berpedoman bahwa agama adalah nasihat yang baik dan dilakukan dengan cara yang baik Ta’at kepada pemimpin kaum muslimiin selama mereka tidak meyimpang dari syari’at Menjaga ukhuwwah (persaudaraan) sesama mu’miniin dan persatuan umat Islam yang dibangun di atas as-Sunnah (bukan bid’ah) Menyuruh kaum muslimiin untuk sabar dalam cobaan, bersukur ketika senang, ridha terhadap pahitnya Qadah dan Qadar Melakukan Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah (pembinaan muslim dari dalam) Berdakwah mengajak ke Islam dengan ilmu syar’i dan hikmah dan dimulai dengan Tauhid Dan lain-lain
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad (keputusan) para ulama untuk memudahkan memahami Agama (dien). Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut. Maka jika rukun tidak ada, sesuatu tersebut tidaklah terjadi.
Istilah rukun seperti ini dapat diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun secara keseluruhan tidak ada. Ini adalah persyaratan mutlak. Adapun karenanya, pada Rukun Islam, maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam (keislaman) masih tetap ada.
Pada masa Rosululloh sholallohu ’alaihi wasallam itu, akidah (’aqiidah) seluruh umat Islam adalah satu, yaitu apa yang dicontohkan Rosululloh shalalohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, yakni Islam yang dicontohkan mereka. Berbagai firqoh (perpecahan) dalam umat Islam, berbagai aliran, belumlah lagi terjadi.
Menurut ulama, ’aqiidah (secara terminologi) yang dimaksud adalah akidah generasi pertama dari umat ini, yaitu akidah kalangan Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga Hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran (disebutkan di buku ”Syarhul ’Aqiidah al-Waasithiyyah” oleh Khalil Hirras).
Golongan ini di kemudian hari juga dikenal sebagai ”Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, atau ”Sunni”, dan mereka menempuh seperti apa yang pernah ditempuh Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabat rodhiyallahu ‘anhum.
Golongan ini disebut sebagai Ahlus Sunnah, karena kuatnya mereka berpegang dan berittiba’ (mengikuti) sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, dengan standar verifikasi yang tinggi dan ketat. Dan pengertian al-Jama’ah yang melekat padanya adalah karena mereka bersatu, berjemaat di atas kebenaran, tak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimipinan para Imam (yang berpegang kepada) al-Haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jemaat mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah (umat yang terdahulu). Pengertian ini disebutkan di buku ”Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ’Aqiidah”.
Nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu, adalah juga Ahlul Hadits, atau adalah orang-orang yang ahli atau mengikuti contoh (sunnah) Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam.
Pengertian As-Sunnah sendiri menurut Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan para Kholifahnya yang terpimpin dan lurus berupa:
i’tiqad (keyakinan) perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu generasi Salaf (terdahulu) tidaklah berani menamakan sesuatu adalah merupakan As-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat 110 H), Imam al-Auza’i (wafat 157 H) dan Imam Fudhail bin Iyadh (wafat 187 H).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dapat dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih (yang artinya adalah ”orang terdahulu yang salih”), yang teguh-istiqomah mengikuti teladan para Sahabat rodhiyallahu ’anhum, para Tabi’in (mereka yang masih berjumpa para Sahabat namun tak berjumpa Rosululloh sholallahu ’alaihi wasallam) dan para Tabi’ut Tabi’in (mereka yang masih berjumpa para Tabi’in namun tak berjumpa para Sahabat dan Rosululloh shalallahu ’alaihi wasallam) atau pendeknya, adalah tiga generasi yang dijamin Rosululloh shalallahu ’alaihi wasallam sendiri sebagai umat yang terbaik dalam sebuah Haditsnya:
Sebaik-baik umatku adalah pada abadku ini (sahabat), kemudian yang sesudahnya (tabi’in) dan yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in). Kemudian sesudah mereka muncul suatu kaum yang memberi kesaksian tetapi tidak bisa dipercaya kesaksiannya. Mereka berkhianat dan tidak dapat diamanati. Mereka bernazar (berjanji) tetapi tidak menepatinya dan mereka tampak gemuk-gemuk. (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits ini, diterangkan oleh Rosulullah sholallahu ’alaihi wasallam sendiri, bahwa parameter standar dalam Manajemen Kualitas beragama terletak pada apa yang telah dilakukan orang-orang pada masanya (masa para Sahabat), orang-orang pada masa sesudahnya (masa para Tabi’in), dan masa orang-orang pada masa sesudahnya (masa para Tabi’ut Tabi’in).
Tentu kita juga telah tahu, bahwa di masa para Sahabat itu pula, ada orang-orang yang sudah dijamin Rosulullah sholallahu ’alaihi wasallam masuk surga jauh sebelum mereka meninggal dunia pula. Allahu akbar!
Dan generasi yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka, dapat disebut sebagai Salafi pula karena di dinisbatkan kepada ”yang terdahulu” atau ”Salaf” (menurut buku ”Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahli Ahwaa’ wal Bida’” karya DR. Ibrahim bin ’Amir ar-Ruhaili, ”Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf ” karya Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilali dan ”Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ’Aqiidah”).
Dari Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah rodhiallohu ‘anhu dia berkata, “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa salaam pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rosululloh, seperti ini adalah nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”.
Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rosyidin yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih
QS Al An’aam 153: Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
Tafsirnya oleh Rosululloh Muhammad SAW sendiri:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rosululloh SAW telah membuat untuk kami satu garis lurus dengan tangannya. Kemudian beliau bersabda, “Inilah jalan Allah yang lurus”
Lalu beliau membuat beberapa garis ke sebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda, “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak ke arahnya.”
Kemudian beliau membaca (ayat) Al An ‘aam 153. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya As Sunnah)
Pada suatu hari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya: "Kamu kini jelas atas petunjuk dari Robbmu, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar dan berjihad di jalan Alloh. Kemudian muncul di kalangan kamu dua hal yang memabukkan, yaitu kemewahan hidup (lupa diri) dan kebodohan. Kamu beralih kesitu dan berjangkit di kalangan kamu cinta dunia. Kalau terjadi yang demikian kamu tidak akan lagi beramar ma'ruf, nahi mungkar dan berjihad di jalan Alloh. Di kala itu yang menegakkan Al Quran dan sunnah, baik dengan sembunyi
maupun terang-terangan, tergolong orang-orang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
Para Imam Madzhab yang empat, digolongkan sebagai Ahlul Hadits.
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini.
Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (lihat ”Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam” karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al Quran sebagaimana disebutkan dalam sabda Rosululloh:
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV atau 130).
Para ulama juga menafsirkan firman Alloh sebagai berikut:
QS Al Baqarah ayat 129 (2:129): Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
"Al-Hikmah" dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain (”Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah” hal. 24).
Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Termasuk di sini adalah Hadits Qudsi, yang secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci).
Artinya, ini adalah Hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Alloh Ta'ala. Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabbnya.
Tidak seorang pun berhak melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, ”Ar-Risalah”, berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul juga menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”.
Wallahua'lam.
Abdullah Machicky Mayestino menyunting dokumen.
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar